بِسْــــــــــــــــــمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ
Kajian Ahad – Doha
Membahas: Mulakhas Fiqhi – Syaikh Shalih bin Fauzan Al Fauzan 𝓱𝓪𝓯𝓲𝔃𝓱𝓪𝓱𝓾𝓵𝓵𝓪𝓱
Bersama Ustadz Hanafi Abu Arify, Lc 𝓱𝓪𝓯𝓲𝔃𝓱𝓪𝓱𝓾𝓵𝓵𝓪𝓱
Doha, 29 Jumadil Awwal 1446 / 1 Desember 2024
KITAB SHALAT
Waktu-waktu Terlarang Shalat
Telah kami jelaskan di muka sejumlah hukum tentang shalat sunnah. Maka saatnya sekarang kami mengingatkan bahwa ada beberapa waktu di mana shalat dilarang dikerjakan pada waktu tersebut, -kecuali apa yang dikecualian-. Waktu-waktu di maksud ada lima:
– Pertama, dari terbitnya fajar kedua hingga terbitnya matahari, berdasarkan sabda Nabi ﷺ:
Apabila fajar telah terbit, tidak ada shalat kecuali dua rakaat sunnah shubuh.
Diriwayatkan oleh Ahmad, Abu Dawud dan yang lainnya.
Maka, apabila fajar terbit, tidak ada shalat sunnah selain dua rakaat sunnah sebelum Shubuh. Yang dimaksud di sini adalah fajar Sadiq.
Para ulama menjelaskan beberapa perbedaan antara Fajar pertama dengan kedua sebagai berikut :
1. Fajar pertama memanjang dari timur ke barat, sedangkan fajar kedua membentang dari utara ke selatan.
2. Cahaya fajar pertama bersifat sementara kemudian kembali gelap lagi, sedangkan cahaya fajar kedua terus bertambah, tidak kembali gelap lagi
3. Fajar pertama tidak bersambung dengan ufuk karena terhalangi oleh kegelapan, sedangkan fajar kedua bersambung dengan ufuk karena tidak ada kegelapan antaranya dan antara ufuk. [Syarh Mumti’ 2/113 oleh Syaikh Ibnu Utsaimin].
Fajar kadzib bukan penanda waktu subuh atau awal puasa. Maka fajar kedua inilah awalnya waktu subuh.
– Kedua, dari matahari terbit, hingga meninggi kira-kira satu tombak dalam pandangan mata.
– Ketiga, saat matahari berada tepat di atas, hingga bergeser ke arah barat).
Kondisi matahari seperti itu dapat diketahui apabila bayangan tegak, tidak kurang dan tidak lebih, hingga ia condong sedikit ke arah barat. Dasarnya adalah riwayat ‘Uqbah bin Amir:
ثَلَاثُ سَاعَاتٍ كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَنْهَانَا أَنْ نُصَلِّيَ فِيهِنَّ، أَوْ أَنْ نَقْبُرَ فِيهِنَّ مَوْتَانَا: «حِينَ تَطْلُعُ الشَّمْسُ بَازِغَةً حَتَّى تَرْتَفِعَ، وَحِينَ يَقُومُ قَائِمُ الظَّهِيرَةِ حَتَّى تَمِيلَ الشَّمْسُ، وَحِينَ تَضَيَّفُ الشَّمْسُ لِلْغُرُوبِ حَتَّى تَغْرُبَ
“Ada 3 waktu salat yang Rasulullah ﷺ melarang kami untuk melakukan shalat dan menguburkan orang yang meninggal. (1) Ketika matahari terbit hingga meninggi, (2) ketika matahari tepat berada di tengah-tengah cakrawala hingga bergeser sedikit ke barat dan (3) ketika matahari berwarna kekuningan saat menjelang terbenam.” (HR Muslim)
Apakah boleh shalat sunnah mutlak di waktu zawal di hari Jum’at?
1. Sebagian pendapat melarang dengan dasar hadits di atas. Karena itu mencakup semua hari dan tidak ada ijmak ulama. Demikian keterangan Ibnu Mundzir rahimahullah.
2. Boleh, Hal ini sebagaimana hadits yang diriwayatkan dari sahabat Salman Al-Farisi radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لاَ يَغْتَسِلُ رَجُلٌ يَوْمَ الجُمُعَةِ، وَيَتَطَهَّرُ مَا اسْتَطَاعَ مِنْ طُهْرٍ، وَيَدَّهِنُ مِنْ دُهْنِهِ، أَوْ يَمَسُّ مِنْ طِيبِ بَيْتِهِ، ثُمَّ يَخْرُجُ فَلاَ يُفَرِّقُ بَيْنَ اثْنَيْنِ، ثُمَّ يُصَلِّي مَا كُتِبَ لَهُ، ثُمَّ يُنْصِتُ إِذَا تَكَلَّمَ الإِمَامُ، إِلَّا غُفِرَ لَهُ مَا بَيْنَهُ وَبَيْنَ الجُمُعَةِ الأُخْرَى
“Tidaklah seorang laki-laki mandi pada hari Jum’at, lalu bersuci semaksimal mungkin, memakai wewangian miliknya atau minyak wangi keluarganya, lalu keluar rumah menuju masjid, dia tidak memisahkan dua orang pada tempat duduknya, lalu dia shalat sebanyak yang dia mampu dan diam mendengarkan khutbah imam, kecuali dia akan diampuni dosa-dosanya yang ada antara Jum’at itu dan Jum’at yang lainnya.” (HR. Bukhari no. 883).
Hal ini dikuatkan oleh perbuatan para sahabat dalam melakukan shalat sunnah mutlak sebelum Jum’at.
وعن ثعلبة بن أبي مالك أنهم كانوا في زمان عمر بن الخطاب يصلون يوم الجمعة حتى يخرج عمر . أخرجه مالك في “الموطأ” (1/103) وصححه النووي في “المجموع” (4/550).
Dari Tsa’labah bin Abi Malik, mereka di zaman ‘Umar bin Al Khottob melakukan shalat (sunnah) pada hari Jum’at hingga keluar ‘Umar (yang bertindak selaku imam). (Disebutkan dalam Al Muwatho’, 1: 103. Dishahihkan oleh An Nawawi dalam Al Majmu’, 4: 550).
وعن نافع قَال : كان ابن عمر يصلي قبل الجمعة اثنتي عشرة ركعة . عزاه ابن رجب في “فتح الباري” (8/329) لمصنف عبد الرزاق .
Dari Naafi’, ia berkata, “Dahulu Ibnu ‘Umar shalat sebelum Jum’at 12 raka’at.” (Dikeluarkan oleh ‘Abdur Rozaq dalam Mushonnafnya 8: 329, dikuatkan oleh Ibnu Rajab dalam Fathul Bari).
– Keempat, dari setelah shalat ‘Ashar hingga matahari tenggelam, berdasarkan sabda Nabi ﷺ:
Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
لا صلاة بعد الصبح حتى ترتفع الشمس، ولا صلاة بعد العصر، حتى تغيب الشمس
“Tidak ada shalat seusai shalat Shubuh, sehingga matahari terbit. Dan tidak ada shalat seusai shalat ‘Ashar, sehingga matahari tenggelam.” Muttafaqun’alaih.
Larangan ini berlaku bagi yang menjamak taqdim shalat ashar di waktu dzuhur, maka tidak boleh melakukan shalat sunah setelahnya.
– Kelima, saat matahari mulai tenggelam, hingga benar-benar terbenam.
Perlu anda ketahui, bahwa pada waktu-waktu tersebut dibolehkan melaksanakan shalat-shalat wajib yang terlewatkan, berdasarkan keumuman sabda Nabi ﷺ. Dari Anas bin Malik, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ نَسِيَ صَلَاةً، أَوْ نَامَ عَنْهَا، فَكَفَّارَتُهَا أَنْ يُصَلِّيَهَا إِذَا ذَكَرَهَا
“Barang siapa yang kelupaan shalat atau tertidur sehingga terlewat waktu shalat maka penebusnya adalah dia segera shalat ketika ia ingat.” (HR. Ahmad 11972 dan Muslim 1600).
Diperbolehkan melaksanakan shalat sunnah yang ada sebab di waktu-waktu terlarang. Seperti shalat tahiyatul masjid, shalat gerhana, mengqadha shalat sunnah qobliyah subuh dilakukan setelah subuh atau badiyah dzuhur dilakukan setelah ashar. Seperti yang pernah dilakukan oleh Rasulullah ﷺ.
Juga diperbolehkan melakukan shalat sunnah Thawaf dua rakaat di waktu-waktu larangan tersebut, berdasarkan sabda Nabi ﷺ.
وَعَنْ جُبَيْرِ بْنِ مُطْعِمٍ – رضي الله عنه – قَالَ: قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – – يَا بَنِي عَبْدِ مَنَافٍ, لَا تَمْنَعُوا أَحَدًا طَافَ بِهَذَا اَلْبَيْتِ وَصَلَّى أَيَّةَ سَاعَةٍ شَاءَ مِنْ لَيْلأوْ نَهَارٍ – رَوَاهُ اَلْخَمْسَةُ, وَصَحَّحَهُ اَلتِّرْمِذِيُّ, وَابْنُ حِبَّانَ
Dari Jubair bin Muth’im radhiyallahu ‘anhu berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Wahai Bani Abdu Manaf, janganlah engkau melarang seseorang melakukan thawaf di Baitullah ini dan melakukan shalat pada waktu kapan saja baik malam maupun siang.”
(Diriwayatkan oleh imam yang lima dan hadits ini shahih menurut At-Tirmidzi dan Ibnu Hibban) [HR. Abu Daud, no. 1894; Tirmidzi, no. 868, An-Nasai, 1:284; Ibnu Majah, no. 1254; Ahmad, 27:297, Ibnu Hibban, 1552, 1553, 1554. Syaikh ‘Abdullah Al-Fauzan mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih, perawinya perawi Muslim. Lihat Minhah Al-‘Allam, 2:210-211].
Ini merupakan izin langsung dari Rasulullah ﷺ, bahwa shalat Thawaf tersebut boleh dilakukan pada seluruh waktu yang dilarang. Karena thawaf boleh dilakukan kapan saja, maka demikian pula halnya dengan shalat sunnah thawaf yang dua rakaat itu.
Pada waktu-waktu yang dllarang tersebut, -menurut pendapat yang benar dari dua pendapat yang ada di kalangan ulama- juga dibolehkan mengerjakan shalat-shalat sunnah yang memiliki sebab-sebab tertentu. Seperti shalat jenazah,shalat tahiyyatul masjid, shalat kusuuf (gerhana) dan sejenisnya. Hal ini berdasarkan dalil-dalil yang mengindikasikan demikian. Dalil-dalil itu mengkhususkan keumuman larangan shalat di waktu-waktu tersebut. Sehingga larangan-larangan itu diterapkan pada shalat-shalat yang tidak memiliki sebab. Karenanya, tidak boleh misalnya seseorang melakukan shalat sunnah yang tidak memiliki sebab tertentu pada waktu-waktu tersebut.
Shalat sunnah sebelum Shubuh juga boleh diqadha sesudah shalat Shubuh. Demikian pula Shalat sunnah Zhuhur, boleh diqadha sesudah ‘Ashar. Terutama sekali bila seseorang menjamak shalat Zhuhur dengan shalat ‘Ashar. Diriwayatkan dengan shahih dari Nabi ﷺ, bahwa beliau pernah mengqadha shalat sunnah Zhuhur, sesudah ‘Ashar.
•┈┈┈┈┈┈•❀❁✿❁❀•┈┈┈┈┈•
وبالله التوفيق وصلى الله على نبينا محمد وعلى آله وصحبه وسلم