بِسْــــــــــــــــــمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ

Kajian Kitab: 𝕀𝕘𝕙𝕠𝕥𝕤𝕒𝕥𝕦𝕝 𝕃𝕒𝕙𝕗𝕒𝕟 𝕄𝕚𝕟 𝕄𝕒𝕤𝕙𝕠𝕪𝕚𝕕𝕚𝕤𝕪 𝕊𝕪𝕒𝕚𝕥𝕙𝕒𝕟
(Penolong Orang yang Terjepit – Dari Perangkap Syaitan)
Karya: Ibnul Qayyim al-Jauziyah 𝓡𝓪𝓱𝓲𝓶𝓪𝓱𝓾𝓵𝓵𝓪𝓱.
Pemateri: Ustadz Isnan Efendi, Lc. MA. 𝓱𝓪𝓯𝓲𝔃𝓱𝓪𝓱𝓾𝓵𝓵𝓪𝓱
Pertemuan: 24 Rabi’ul Awal 1446 / 27 September 2024.



Bab 13 – 27: TIPU DAYA SETAN: NYANYIAN DAN MUSIK

Termasuk tipu daya dan perangkap musuh Allah, yang dengannya terperdaya orang yang sedikit ilmu dan agamanya, serta terjaring dengannya hati orang-orang bodoh dan batil adalah mendengarkan siulan, tepuk tangan dan nyanyian dengan alat-alat yang diharamkan, yang menghalangi hati dari Al-Qur’an dan menjadikannya menikmati kefasikan dan kemaksiatan.

Ada tiga pengecualian dalam hukum asal musik ini, yaitu:
– Keadaannya: Disaat hari raya atau walimah pernikahan.
– Alatnya: Rebana (Duff).
– Pelakunya: Wanita dan anak-anak.

Selain kondisi-kondisi di atas, maka tetap pada hukum asal yaitu alat musik haram.

🏷️ Sunnatu Tark – سُنَّة التَّرك : sunnah yang ditinggalkan. Yaitu sesuatu yang ada pada zaman Nabi ﷺ dan ada kemungkinan Nabi ﷺ mampu untuk melakukannya tetapi tidak dilakukan, maka harus ditinggalkan.

Nafi Maula Ibnu ‘Umar berkata:

سمعَ ابنُ عُمرَ مِزمارًا فوضعَ أصبُعَيْهِ في أذُنَيْهِ، وَنَأَى عَن الطَّريقِ وقالَ لي: يا نافعُ هل تسمَعُ شَيئًا ؟ قلتُ: لا، فرَفعَ أصبُعَيْهِ مِن أذُنَيْهِ وقالَ: كُنتُ معَ النَّبيِّ – صلَّى اللَّهُ عليهِ وسلَّمَ – وسمعَ مثلَ هذا وصنعَ مِثلَ هذا

Ibnu ‘Umar mendengar suara seruling lalu ia meletakkan dua telunjuknya di telinganya dan menjauh dari jalan.

Ia berkata kepadaku, “Hai Nafi apakah kamu masih mendengarnya..?” Aku berkata, “Tidak..” Maka ia melepas jarinya dari telinganya dan berkata, “Dahulu aku bersama Nabi Shollallaahu ‘alayhi wa sallam dan beliau mendengar sama dengan yang aku dengar dan beliau melakukan seperti apa yang aku lakukan..” (HR Abu Dawud no 4924)

Sebagaian ahli syubhat berpendapat: dalil ini justru menunjukkan mendengarkan musik tidak haram karena Nabi ﷺ tidak menyuruh Ibnu Umar untuk menutup telinga.

Para ulama menjelaskan bahwa mendengar dengan sengaja dan tidak sengaja adalah hal yang berbeda. Sehingga dalam bahasa Arab ada kata: Istima’ ( الاستماع ) dan Sama’ (سمع) .
Istima’: Mendengar dengan seksama dan sengaja untuk mendengar.
Sama’: Mendengar tidak dengan sengaja.

Ibnu Qudamah Al-Maqdasi rahimahullah mengatakan, “Mustami’ adalah yang sengaja ingin mendengarkan. Dan hal ini tidak ada pada diri Ibnu Umar radhiallahu anhuma, akan tetapi hanya sekedar mendengar saja. Dan Nabi shallallahu alaihi wa sallam ada keperluan untuk mengetahui terputusnya suara darinya karena beliau minggir dari jalan dan menutup kedua telinganya. Tidak kembali ke jalan dan tidak juga mengangkat kedua telunjukknya sampai tak terdengar lagi suara darinya. Makah al ini diperbolehkan karena ada keperluan. (Al-Mughni, 10/173).

Ia adalah qur’annya syetan, dinding pembatas yang tebal dari Ar-Rahman. Ia adalah mantera homosexual dan zina. Dengannya, orang fasik yang dimabuk cinta mendapatkan puncak harapan dari orang yang dicintainya. Dengan nyanyian ini, syetan memperdaya jiwa-jiwa yang batil, ia menjadikan jiwa-jiwa itu -melalui tipu daya dan makarnya- menganggap baik terhadap nyanyian. Lalu, ia juga meniupkan syubhat-syubhat (argumen-argumen) batil sehingga ia tetap menganggapnya baik dan menerima bisikannya, dan karenanya ia menjauhi Al-Qur’an.

Rasulullah shallallahu alaihiwa sallam bersabda:

 لَيكونَنَّ من أمَّتِي أقوامٌ، يَستحِلُّون الحِرَ والحريرَ، والخمرَ والمعازفَ
( رواه البخاري تعليقا، رقم 559091  ووصله الطبراني والبيهقي ، وراجع السلسلة الصحيحة للألباني)

Akan terjadi di umatku suatu kaum yang menghalalkan zina (wanita merdeka), sutera (bagi laki-laki), minuman keras dan lagu.”  [Hadits diriwayatkan Bukhari secara menggantung (tidak besambung) dengan no. 559091. Ath-Thabrani dan Baihaqi menyebutkan sanadnya yang bersambung. Silahkan merujuk ‘Silsilah Shahihah’ Karangan Al-Albany]

Seandainya engkau melihat saat bagaimana mereka mendengarkan nyanyian tersebut; mereka tampak senyap dan hening, tidak sedikit pun bergerak, segenap hati mereka terkonsentrasi padanya, perhatian mereka hanya menuju ke sana. Lalu, secara refleks, diri mereka tertawan, laksana orang yang mabuk, mereka pun menari dan berjoget. Tahukah kalian, bagaimana para wanita dan orang-orang banci mabuk kepayang? Itulah mereka!

Dan hal itu pantas saja bagi mereka, sebab bius nyanyian telah menyatu dengan jiwa mereka, sehingga mereka bisa melakukan sesuatu yang lebih berbahaya dari peminum arak. Di sana, ada hati yang dikoyak, ada pakaian yang dirobek, ada harta yang dikeluarkan bukan karena ketaatan kepada Allah, semua bukan karena Allah, tetapi karena syetan, sehingga mereka tak peduli jika harus mabuk. Dengan begitu, syetan telah mendapatkan angan-angan dan harapannya. Ia menghasung mereka dengan suara dan tipuannya, bahkan mengerahkan terhadap mereka pasukan berkuda dan berjalan kaki, dan meletakkan di dalam dada mereka duri-duri, kemudian membujuk mereka agar berkelana di atas bumi dengan berjalan kaki. Sehingga terkadang ia menjadikan mereka seperti keledai di sekeliling tempat rotasi, dan di saat lain seperti orang lemah yang menari di tengah-tengah rumah.

Duhai, alangkah sayang atap dan bumi dirobohkan oleh telapak kaki-telapak kaki itu. Dan alangkah buruk penyerupaan dengan keledai dan binatang ternak. Duhai, betapa lega hati para musuh Islam terhadap bencana yang menimpa orang-orang yang mengaku sebagai orangorang Islam pilihan, mereka menghabiskan hidup mereka dengan segala kelezatan dan kenikmatan, dan menjadikan agama mereka sebagai pelecehan dan permainan.

Seruling syetan lebih mereka cintai daripada mendengarkan surat-surat Al-Qur’an. Seandainya salah seorang mereka mendengarkan AlQur’an dari awal hingga akhir, tentu ia tak akan memotivasinya untuk diam tenang, juga tidak akan membuatnya khusyu’ dan tak akan mempengaruhi perasaannya, juga tak akan membuatnya rindu kepada Allah.

Tetapi, jika dibacakan padanya qur’an syetan, begitu ia mendengarnya, serta-merta hatinya memancarkan sumber-sumber perasaan yang merambat sampai kepada dua matanya, lalu pada kedua kakinya sehingga membuatnya menari, pada kedua tangannya membuat dirinya bertepuk tangan dan pada seluruh anggota tubuhnya membuat semua badannya berjoget dan bergoyang, pada napasnya membuatnya semakin terengah-engah dan pada api kerinduannya menjadikannya semakin berkobar menyala.

Wahai orang yang membuat dan terkena fitnah, yang menjual bagiannya dari Allah dengan bagian dari syetan sehingga merugi. Kenapa perasaan pilu itu tidak terjadi ketika mendengarkan Al-Qur’an? Kenapa perasaan itu tidak datang ketika membaca Al-Qur’anul Majid? Juga berbagai keadaan yang baik, saat membaca surat dan ayat-ayat?

Tetapi memang, setiap orang mendapatkan apa yang sesuai dengan dirinya, juga cenderung kepada apa yang sebentuk dan sebangun dengan dirinya. Dan kesesuaian itu sendiri terjadi karena kecenderungan akal dan naluri. Lalu, dari mana persaudaraan dan nasab ini, jika bukan karena berhubungan dengan syetan, dengan sebab-sebab yang kuat? Lalu, dari mana pula perdamaian ini sehingga menjadikan simpul iman dan perjanjian dengan Ar-Rahman (Yang Maha Pengasih) terdapat cela?

اَفَتَـتَّخِذُوۡنَهٗ وَذُرِّيَّتَهٗۤ اَوۡلِيَآءَ مِنۡ دُوۡنِىۡ وَهُمۡ لَـكُمۡ عَدُوٌّ ؕ بِئۡسَ لِلظّٰلِمِيۡنَ بَدَلًا‏ ٥٠

Patutkah kamu mengambil dia dan turunan-turunannya sebagai pemimpin selain daripada-Ku, sedang mereka adalah musuhmu? Amat buruklah iblis itu sebagai pengganti (Allah) bagi orang-orang yang zalim.” (Al-Kahfi: 50).

Para pembela Islam dan para imam yang memberi petunjuk senantiasa menyeru orang-orang tersebut dari segala penjuru dunia, juga memperingatkan yang lain dari perbuatan buruk mereka dan dari mengikuti jejak mereka, yang mereka itu terdiri dari berbagai macam agama yang berbeda.

Imam Abu Bakar Ath-Thurthusi dalam sambutan kitab Tahrimus Sama’ berkata, “Segala puji bagi Allah Tuhan seru sekalian alam, dan sungguh kesudahan yang baik itu hanyalah bagi orang-orang yang bertakwa dan tiada permusuhan kecuali kepada orang-orang yang zalim. Kita meminta kepada-Nya agar memperlihatkan kebenaran kepada kita sebagai kebenaran agar kita mengikutinya, dan memperlihatkan kebatilan sebagai kebatilan agar kita menjauhinya”.

Pada zaman dahulu, jika orang melakukan maksiat berusaha untuk menyembunyikannya, lalu dia meminta ampun kepada Allah dan bertaubat daripadanya. Selanjutnya, kebodohan di mana-mana, ilmu hanya sedikit dan terus berkurang sedikit demi sedikit, sehingga salah seorang dari mereka melakukan maksiat secara terang-terangan, lalu raasalahnya bertambah menjadi membelakangi perintah. Bahkan sampai kepada kami berita, sekelompok dari saudara-saudara kita umat Islam -semoga Allah memberi taufiq kepada mereka dan kepada kita- digelincirkan syetan, akal mereka dijerat dengan kecintaan kepada nyanyian dan kesia-siaan, mendengarkan musik dan bunyi-bunyian. Lebih-lebih lagi ia meyakininya sebagai agama yang dapat mendekatkan mereka kepada Allah. Lalu, sekelompok umat Islam melakukannya secara terang-terangan dan menghalangi jalan orang-orangberiman serta menyelisihi para ahli fiqh, ulama dan pembawa agama.

Selanjutnya Ath-Thurthusi berkata, “Adapun Imam Malik, maka beliau melarang nyanyian dan melarang mendengarkannya. Bahkan beliau berkata, ‘Jika seseorang membeli budak wanita, ternyata ia dapati budak itu seorang penyanyi maka ia boleh mengembalikannya karena alasan cacat.’ Dan Imam Malik Rahimahullah ditanya tentang nyanyian yang dibolehkan oleh penduduk Madinah? Beliau menjawab, ‘Hal itu hanya dilakukan oleh orang-orang fasik’.”

Beliau juga berkata, “Adapun Abu Hanifah, beliau membenci nyanyian dan menjadikannya termasuk dosa-dosa.”

Demikian pula dengan madzhab Ahlul Kufah: Sufyan, Hammad, Ibrahim, Asy-Sya’bi dan lainnya, mereka semua tidak berbeda pendapat dalam masalah tersebut, juga kita tidak mendapatkan perbedaan pendapat di kalangan Ahlul Bashrah dalam melarang nyanyian.

Saya (Ibnul Qayyim) berkata, “Madzhab Abu Hanifah dalam hal nyanyian adalah madzhab yang paling keras, pendapat madzhab ini adalah pendapat yang paling berat. Para ulama madzhab Hanafi secara terang-terangan mengharamkan mendengar semua bentuk alat-alat musik seperti seruling dan rebana bahkan hingga sekedar menabuh batang pohon. Mereka menyatakan bahwa hal itu adalah maksiat, menjadikan seseorang fasik dan ditolak persaksiannya. Lebih dari itu mereka berkata, ‘Sesungguhnya mendengarnya adalah suatu kefasikan dan menikmatinya adalah kekufuran.’ Demikian lafadz mereka, dan tentang hal itu mereka meriwayatkan sebuah hadits, tetapi bukan hadits shahih.” Mereka juga berkata, ‘Setiap orang wajib berusaha agar tidak mendengarnya ketika sedang melewatinya atau ia berasal dari tetangganya’.”

Dan tentang rumah yang terdengar suara alat-alat musik, Abu Yusuf berkata, “Masuklah kamu kepada mereka tanpa meminta izin, sebab mencegah dari yang mungkar adalah wajib. Jika tidak dibolehkan masuk tanpa izin, tentu orang-orang tidak bisa menjalankan kewajibannya.”

Mereka berkata, “Jika imam mendengar suara musik dari rumah seseorang, maka ia harus mendatanginya. Jika ia masih membangkang, maka ia harus menahannya atau memukulnya dengan pecut, bahkan jika mau, ia boleh mengeluarkannya dari rumahnya.”

Adapun Imam Syafi’i, maka beliau berkata dalam kitab Adabul Qadha’ “Sesungguhnya nyanyian adalah suatu kesia-siaan yang dibenci, ia menyerupai kebatilan dan kemustahilan, siapa yang memperbanyak nyanyian, maka ia adalah orang bodoh dan tidak diterima kesaksiannya.”

•┈┈┈┈┈┈•❀❁✿❁❀•┈┈┈┈┈•

Pertemuan: 1 Rabi’ul Akhir 1446 / 4 Oktober 2024.

Pendapat Para Ulama tentang Musik

  • Ulama Syafi’iyyah

Adapun Imam Syafi’i, maka beliau berkata dalam kitab Adabul Qadha’ “Sesungguhnya nyanyian adalah suatu kesia-siaan yang dibenci, ia menyerupai kebatilan dan kemustahilan, siapa yang memperbanyak nyanyian, maka ia adalah orang bodoh dan tidak diterima kesaksiannya.”

Para sahabat Imam Syafi’i yang mengetahui madzhab beliau ada yang secara terang-terangan mengharamkannya, dan mereka mengingkari orang yang mengatakannya mubah. Mereka seperti Abu Thayyib Ath-Thabari, Syaikh Abu Ishak dan Ibnu Shubbagh.

Syaikh Abu Ishak dalam At-Tanbih berkata, “Dan tidak sah menyewa atas manfaat yang diharamkan, seperti: Nyanyian, menyuling atau mengangkut khamar, dan dalam hal ini tak seorang pun yang menyelisihinya.”

Selanjutnya dalam Al-Muhadzdzab beliau berkata, “Tidak boleh menyewa atas sesuatu manfaat yang diharamkan, sebab hal itu hukumnya haram, sehingga tidak boleh mengambil pengganti daripadanya, sebagaimana dalam hal bangkai dan darah.”

Perkataan syaikh di atas mengandung beberapa hal:

  • Pertama, manfaat (Hasil) nyanyian adalah jenis manfaat yang diharamkan.
  • Kedua, menyewa atau mengontraknya adalah batil.
  • Ketiga, makan dari hasil nyanyian berarti makan harta secara batil, yakni sama dengan makan dari harga bangkai atau darah.
  • Keempat, seseorang tidak boleh mengeluarkan hartanya untuk penyanyi, hal itu haram baginya karena berarti ia mengeluarkan harta untuk sesuatu yang diharamkan, sehingga mengeluarkannya untuk kepentingan tersebut sama dengan mengeluarkan harta untuk (membeli) darah dan bangkai.
  • Kelima, seruling adalah haram.

Jika seruling yang merupakan alat musik paling ringan hukumnya haram, bagaimana pula dengan sesuatu yang lebih berat daripadanya, seperti: Kecapi, gitar dan klarinet. Dan bagi orang yang pernah menimba ilmu, tidak seyogyanya bersikap tawaqquf (memilih diam) tentang pengharaman hal tersebut, sebab minimal ia adalah syiar (simbol) bagi para ahli kefasikan dan peminum khamar.

Hal yang sama juga dikatakan oleh Abu Zakaria An-Nawawi dalam Raudhah At-Thalibiin.

Masalah kedua yaitu menyanyi dengan menggunakan alat-alat musik yang merupakan syiar para peminum khamar untuk berjoget, seperti: Gitar, kecapi, simbal, senar dan semua jenis alat-alat musik lainnya adalah haram digunakan.

Beliau berkata, ‘Tentang klarinet ada dua pendapat, Al-Baghawi mengatakan itu haram, sedang Al-Ghazali membolehkannya.’ Lalu beliau mengatakan, “Yang benar adalah klarinet atau seruling itu adalah haram.” Abul Qasim Ad-Daula’i telah menulis kitab khusus tentang pengharaman klarinet. Abu Amr bin Shalah menukil adanya ijma’ (konsensus) tentang pengharaman mendengarkan rebana, klarinet dan nyanyian yang didendangkan secara bersamaan.

Dalam Fatawa-nya ia berkata, “Adapun tentang dibolehkan dan dihalalkannya mendengarkan hal tersebut, maka perlu diketahui bahwa rebana, seruling dan nyanyian, jika didendangkan secara bersamaan, maka mendengarkannya adalah haram. Demikian menurut para imam madzhab dan lainnya dari ulama kaum Muslimin. Tidak seorang pun ulama yang diperhitungkan ucapannya, baik dalam ijma’ maupun ikhtilaf (perselisihan pendapat) yang mengatakan dibolehkannya mendengarkan hal tersebut.

Sedangkan perbedaan pendapat yang dinukil dari sebagian ulama madzhab Syafi’i adalah dalam masalah seruling jika dimainkan sendirian, juga rebana jika dimainkan sendirian. Orang yang tidak mengerti atau tidak merenungkannya, mungkin mempercayai adanya perbedaan pendapat di kalangan ulama madzhab Syafi’i dalam mendengarkan rebana, seruling dan nyanyian jika didendangkan bersamaan. Padahal jelas, itu adalah kekeliruan yang bertentangan dengan dalil syariat dan logika.

Di samping itu, tidak semua perbedaan pendapat bisa dijadikan sandaran. Dan barangsiapa yang senantiasa mencari-cari perbedaan ulama, lalu mengambil yang paling mudah dan ringan dari pendapat mereka, maka dia telah atau hampir zindik (kafir).

Abu Amr selanjutnya berkata, “Perkataan mereka dalam masalah mendengarkan hal-hal yang disebutkan di atas sebagai bentuk ketaatan dan mendekatkan diri kepada Allah adalah perkataan yang bertentangan dengan ijma’ kaum Muslimin. Dan siapa yang menentang ijma’ mereka, maka baginya adalah sebagaimana firman Allah,

وَمَن يُشَاقِقِ ٱلرَّسُولَ مِنۢ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ ٱلْهُدَىٰ وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ ٱلْمُؤْمِنِينَ نُوَلِّهِۦ مَا تَوَلَّىٰ وَنُصْلِهِۦ جَهَنَّمَ ۖ وَسَآءَتْ مَصِيرًا

Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali. (QS An-Nisa ayat 115).

Beliau membantah kedua kelompok di atas yang merupakan bencana bagi Islam, dalam suatu bantahan yang panjang. Kedua kelompok yang dimaksud adalah yang menghalalkan apa yang diharamkan Allah dan yang mendekatkan did kepada Allah dengan sesuatu yang justru menjauhkan mereka daripada-Nya.

Dan Imam Syafi’i serta para ulama madzhab Syafi’i terdahulu, termasuk di antara orang yang paling keras dalam masalah ini. Diriwayatkan secara mutawatir dari Imam Syafi’i, beliau berkata, “Di Baghdad, aku meninggalkan sesuatu yang merupakan ciptaan orang-orang zindik. Mereka menamakannya taghbir (syair yang membuat orang zuhud di dunia), dengan syair tersebut, mereka menghalang-halangi manusia dari Al-Qur’an.”

Jika demikian perkataannya dalam masalah taghbir, dan alasannya adalah ia menghalang-halangi manusia dari Al-Qur’an, padahal ia adalah syair yang membuat orang berlaku zuhud terhadap dunia, yang dinyanyikan oleh seorang penyanyi, dan sebagian hadirin menabuh gendang dengan kayu untuk mengiringi lagunya. Aduhai, mendengarkan taghbir yang bagaikan buih dalam lautan, mereka katakan mengandung berbagai macam kerusakan dan menyimpan segala yang diharamkan, lalu bagaimana dengan yang lain? Dan sungguh Allah mengetahui para penuntut ilmu yang terkena fitnah dan juga ahli ibadah yang bodoh.

Sufyan bin Uyainah berkata, “Dahulu diserukan, waspadalah terhadap orang berilmu yang suka melakukan maksiat, dan ahli ibadah yang bodoh, sebab fitnah keduanya merupakan fitnah bagi setiap orang yang terkena fitnah”.

Seperti Ahli Kalam: pandai berbicara tetapi tanpa ilmu (Al-Qur’an dan Sunnah) seperti Khawarij, Rafidhah, Mu’tazilah, Qadariyah, Jahmiyah, asy’ariyah, maturidiyah dan lainnya. Maka mereka tetap disebut bodoh (tidak berilmu).

Dan sungguh siapa yang merenungkan kerusakan yang terjadi pada umat ini, niscaya ia akan mendapatkan semuanya bersumber pada kedua hal tersebut.

  • Pendapat Hanabilah:

Adapun madzhab Imam Ahmad, maka Abdullah putera Imam Ahmad berkata, “Aku bertanya kepada ayahku tentang nyanyian, maka beliau menjawab, ‘Nyanyian itu menumbuhkan nifaq dalam hati, ia tidak membuatku tertarik’.” Kemudian ia menyebutkan ucapan Imam Malik, “Sesungguhnya nyanyian (hanya) dilakukan oleh orang-orang fasik.” Abdullah berkata, “Aku mendengarkan ayahku berkata, ‘Aku mendengar Yahya Al-Qaththan berkata, ‘Jika ada orang yang mengamalkan setiap pendapat yang ringan (rukhshah), yakni mengambil pendapat penduduk Kufah dalam hal nabidz (anggur untuk minuman keras), pendapat penduduk Madinah dalam mendengarkan (nyanyian) dan pendapat penduduk Makkah dalam hal nikah mut’ah, maka dia adalah orang fasik’.

Mendengarkan Nyanyian dari Wanita dan Anak-anak Kecil Yang Tampan (Amrad).

Adapun mendengarkan nyanyian dari wanita asing (bukan mahram) atau anak kecil yang tampan maka ia termasuk hal-hal yang diharamkan yang paling besar dan ia lebih merusak terhadap agama.

As-Syafi’i Rahimahullah berkata, “Jika ada pemilik budak wanita mengumpulkan orang banyak agar mendengarkan nyanyian daripadanya maka ia adalah orang bodoh yang tidak bisa diterima kesaksiannya.” Bahkan lebih dari itu beliau berkata, “Perbuatan itu termasuk dayatsah. Orang yang melakukan hal itu adalah dayyuts (yang merelakan kehormatan keluarganya).”

Al-Qadhi Abu Thayyib berkata, “Beliau mengatakan pelakunya sebagai orang yang bodoh, karena ia mengajak manusia kepada kebatilan, dan siapa yang mengajak manusia pada kebatilan maka dia adalah orang bodoh dan fasik.”

Beliau juga berkata, “Adapun kecapi, gitar dan semua alat-alat musik maka itu semua adalah haram, orang yang mendengarnya adalah fasik dan sungguh mengikuti jama’ah lebih baik daripada mengikuti dua orang yang tercemar kehormatannya.”

Saya berkata, “Yang beliau maksud adalah Ibrahim bin Sa’d dan Ubaidillah bin Al-Hasan, karena beliau berkata, ‘Dan tidaklah menyelisihi dalam hal nyanyian kecuali dua orang yaitu: Ibrahim bin Sa’d, sebab AsSaji meriwayatkan daripadanya bahwa ia berpendapat tentang nyanyian sebagai sesuatu yang tidak apa-apa. Dan yang kedua adalah Ubaidillah bin Al-Hasan Al-Anbari, seorang qadhi Bashrah, dan dia adalah orang yang tercemar kehormatannya’.”

Abu Bakar Ath-Thurthusi berkata, “Ini adalah kelompok yang menyalahi jama’ah umat Islam, sebab mereka menjadikan nyanyian sebagai agama dan bentuk ketaatan, dan mereka berpendapat agar hal itu diumumkan di masjid-masjid, tempat-tempat berkumpul, dan setiap majlis-majlis yang mulia, padahal tidak ada orang yang berpendapat seperti mereka. Dengan demikian, pengakuan kelompok itu atas hal tersebut adalah suatu kefasikan, dan orang yang mengakuinya menjadikan aib dalam keadilan dan kedudukannya dalam agama.”

•┈┈┈┈┈┈•❀❁✿❁❀•┈┈┈┈┈•

اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ أَنْ أُشْرِكَ بِكَ وَأَنَا أَعْلَمُ ، وَأَسْتَغْفِرُكَ لِمَا لا أَعْلَمُ

“Ya Allah, aku meminta pada-Mu agar dilindungi dari perbuatan syirik yang kuketahui dan aku memohon ampun pada-Mu dari dosa syirik yang tidak kuketahui”.

وبالله التوفيق وصلى الله على نبينا محمد وعلى آله وصحبه وسلم