بِسْــــــــــــــــــمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ
Kajian Sabtu – Barwa Village
Barwa Village, 25 Syawal 1445 / 4 Mei 2024
Bersama Ustadz Syukron Khabiby, Lc M.Pd 𝓱𝓪𝓯𝓲𝔃𝓱𝓪𝓱𝓾𝓵𝓵𝓪𝓱
Kitab Al-Lu’lu wal Marjan – Muhammad Fu’ad Abdul Baqi
(Kumpulan hadits yang disepakati Bukhari Muslim)
Hadits ke-87: Terangkatnya Amanat dan Iman dari Hati dan Berganti dengan Fitnah
Allah ﷻ berfirman dalam Al-Qur’an Surat Al-Ahzab ayat 72:
اِنَّا عَرَضْنَا الْاَمَانَةَ عَلَى السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضِ وَالْجِبَالِ فَاَبَيْنَ اَنْ يَّحْمِلْنَهَا وَاَشْفَقْنَ مِنْهَا وَحَمَلَهَا الْاِنْسَانُۗ اِنَّهٗ كَانَ ظَلُوْمًا جَهُوْلًاۙ
Sesungguhnya Kami telah menawarkan amanat kepada langit, bumi dan gunung-gunung; tetapi semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir tidak akan melaksanakannya (berat), lalu dipikullah amanat itu oleh manusia. Sungguh, manusia itu sangat zalim dan sangat bodoh.
Allah ﷻ menawarkan beban, tanggungjawab, dan kewajiban dalam ibadah, muamalat, dan pemakmuran alam kepada seluruh makhluk, namun mereka semua menolak untuk memikulnya dan merasa tanggungjawab itu teramat besar dan berat. Kemudian manusia memilih untuk memikulnya dengan segala konsekuensinya. Sungguh manusia sangat zalim kepada diri sendiri dan sangat tidak mengetahui kadar tanggungjawab.
Hudzaifah Radhiyallahu anhu berkata:
حَدَّثَنَا رَسُـولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَدِيثَيْنِ، رَأَيْتُ أَحَدَهُمَا وَأَنَا أَنْتَظِرُ اْلآخَرَ، حَدَّثَنَا أَنَّ الأَمَانَةَ نَزَلَتْ فِي جَذْرِ قُلُوبِ الرِّجَالِ، ثُمَّ عَلِمُوا مِنَ الْقُرْآنِ، ثُمَّ عَلِمُوا مِنَ السُّنَّةِ، وَحَدَّثَنَا عَنْ رَفْعِهَا قَالَ: يَنَامُ الرَّجُلُ النَّوْمَةَ فَتُقْبَضُ اْلأَمَانَةُ مِنْ قَلْبِهِ فَيَظَلُّ أَثَرُهَا مِثْلَ أَثَرِ الْوَكْتِ، ثُمَّ يَنَامُ النَّوْمَةَ فَتُقْبَضُ، فَيَبْقَى أَثَرُهَا مِثْلَ الْمَجْلِ، كَجَمْرٍ دَحْرَجْتَهُ عَلَى رِجْلِكَ، فَنَفِطَ فَتَرَاهُ مُنْتَبِرًا، وَلَيْسَ فِيهِ شَيْءٌ، فَيُصْبِحُ النَّاسُ يَتَبَايَعُونَ، فَلاَ يَكَادُ أَحَدٌ يُؤَدِّي اْلأَمَانَةَ، فَيُقَالُ: إِنَّ فِي بَنِي فُلاَنٍ رَجُلاً أَمِينًا وَيُقَالُ لِلرَّجُلِ، مَا أَعْقَلَهُ! وَمَا أَظْرَفَهُ! وَمَا أَجْلَدَهُ! وَمَا فِـي قَلْبِهِ مِثْقَالُ حَبَّةِ خَرْدَلٍ مِنْ إِيْمَانٍ، وَلَقَدْ أَتَى عَلَيَّ زَمَانٌ وَمَا أُبَالِي أَيَّكُمْ بَايَعْتُ، لَئِنْ كَانَ مُسْلِمًا؛ رَدَّهُ اْلإِسْلاَمُ، وَإِنْ كَانَ نَصْرَانِيًّا؛ رَدَّهُ عَلَيَّ سَاعِيهِ، فَأَمَّا الْيَوْمَ؛ فَمَا كُنْتُ أُبَايِعُ إِلاَّ فُلاَنًا وفُلاَنًا.
“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam meriwayatkan kepada kami dua hadits, salah satu dari keduanya telah aku lihat, dan saat ini aku sedang menunggu yang lainnya. Beliau meriwayatkan kepadaku bahwasanya amanah singgah pada pangkal hati manusia, kemudian mereka mengetahui sebagian dari Al-Qur’an, mengetahui sebagian dari as-Sunnah, dan beliau meriwayatkan kepada kami bagaimana diangkatnya amanah itu, beliau bersabda, “Seseorang tidur, lalu amanah di dalam hatinya dicabut, maka bekasnya masih tetap ada bagaikan titik-titik, lalu dia tidur kemudian dicabut, maka bekasnya bagaikan lepuh, seperti sebongkah bara api yang digelindingkan ke kakimu, lalu ia melukainya sehingga engkau melihatnya melepuh, tidak ada apa-apa (sesuatu yang manfaat) di dalamnya. Lalu pagi harinya manusia melakukan jual beli, maka hampir saja salah seorang dari mereka tidak bisa melaksanakan amanah, dikatakan, ‘Sesungguhnya di bani Fulan ada seorang laki-laki yang terpercaya,’ dan dikatakan kepada seseorang, ‘Sungguh cerdas! Sungguh cerdik! dan sungguh kuat! Sementara di dalam hatinya tidak ada keimanan seberat biji sawi pun. Telah datang kepadaku satu zaman di mana aku tidak pernah peduli kepada siapa saja di antara kalian aku melakukan jual beli, jika ia seorang muslim, maka keislamannya yang akan mengembalikan (amanah), dan jika seorang Nasrani, maka walinyalah yang akan mengembalikan (amanah) kepadaku. Adapun hari ini, maka aku tidak melakukan jual beli kecuali kepada si fulan dan si fulan.”
📖 Shahiih al-Bukhari, kitab ar-Riqaaq, bab Raf’ul Amaanah (XI/333, al-Fath), dan kitab al-Fitan, bab Idzaa Baqiya fii Hatsalatin minan Naas (XIII/38, al-Fath).
Di dalam hadits ini terdapat penjelasan bahwa amanah akan diangkat dari hati, sehingga seseorang menjadi pengkhianat padahal sebelumnya dia adalah orang yang terpercaya. Hal ini hanyalah terjadi pada orang yang telah hilang rasa takutnya kepada Allah, lemah imannya, bergaul dengan orang yang selalu khianat sehingga dia menjadi seorang pengkhianat, karena seorang teman akan mengikuti orang yang menemaninya.
Benarlah apa yang disabdakan Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam. Mendapatkan orang yang amanah lebih sulit dari pada intan. Sampai-sampai jika ada seorang yang amanah, dia segera menjadi buah bibir. “Di kabilah fulan ada seorang yang amanah!” kata mereka. Artinya, dari ratusan atau bahkan ribuan anggota kabilah tersebut, hanya ada satu yang amanah!! Sungguh mengerikan dan ironis memang.
Agaknya memang seperti itulah kenyataannya. Amanah dan kejujuran telah demikian mahal nilainya. Kalaulah di zaman sahabat amanah telah sedemikian langka hingga Hudzaifah tak lagi mau berjual-beli dengan siapa saja, maka bagaimana pula di zaman kita?
Agar amanah semakin kuat adalah dengan belajar Al-Qur’an dan As-Sunnah serta mengamalkannya. Banyak ulama yang menafsirkan kata ‘amanah’ di sini dengan keimanan itu sendiri, yang bila menhunjam kuat dalam hati, niscaya semua perintah agama akan ditegakkan, dan semua larangan pasti dijauhi. Termasuk perintah untuk bersikap amanah dan jujur dalam bermuamalah. Lihat: Syarah Shahih Muslim oleh An Nawawi 2/168.
Diriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, dia berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِذَا ضُيِّعَتِ اْلأَمَانَةُ فَانْتَظِرِ السَّاعَةَ. قَالَ: كَيْفَ إِضَاعَتُهَا يَا رَسُولَ اللهِ؟ قَالَ: إِذَا أُسْنِدَ اْلأَمْرُ إِلَى غَيْرِ أَهْلِهِ فَانْتَظِرِ السَّاعَةَ.
‘Jika amanah telah disia-siakan, maka tunggulah hari Kiamat,’ dia (Abu Hurairah) bertanya, ‘Wahai Rasulullah, bagaimanakah menyia-nyiakan amanah itu?’ Beliau menjawab, ‘Jika satu urusan diserahkan kepada bukan ahlinya, maka tunggulah hari Kiamat!’” [Shahiih al-Bukhari, kitab ar-Riqaaq, bab Raf’ul Amaanah (XI/333, dalam al-Fat-hul)].
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan bagaimana diangkatnya amanah dari hati. Tidak ada yang tersisa darinya di dalam hati kecuali bekas-bekasnya saja.
Di antara bentuk nyata hilangnya amanah adalah memberikan berbagai urusan, berupa kepemimpinan, khilafah, peradilah, dan pekerjaan dengan berbagai macamnya kepada yang bukan ahlinya, yaitu (bukan) kepada orang yang mampu untuk melaksanakannya juga menjaganya. Karena dalam hal itu ada unsur mengabaikan hak-hak orang lain, menganggap remeh kebaikan-kebaikan mereka, melukai hati mereka dan menimbulkan fitnah di antara mereka.
•┈┈┈┈┈┈•❀❁✿❁❀•┈┈┈┈┈•
اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ أَنْ أُشْرِكَ بِكَ وَأَنَا أَعْلَمُ ، وَأَسْتَغْفِرُكَ لِمَا لا أَعْلَمُ
“Ya Allah, aku meminta pada-Mu agar dilindungi dari perbuatan syirik yang kuketahui dan aku memohon ampun pada-Mu dari dosa syirik yang tidak kuketahui”.
وبالله التوفيق وصلى الله على نبينا محمد وعلى آله وصحبه وسلم