بِسْــــــــــــــــــمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ

Kajian Ahad – Doha
Membahas: Mulakhas Fiqhi – Syaikh Shalih bin Fauzan Al Fauzan 𝓱𝓪𝓯𝓲𝔃𝓱𝓪𝓱𝓾𝓵𝓵𝓪𝓱
Bersama Ustadz Hanafi Abu Arify 𝓱𝓪𝓯𝓲𝔃𝓱𝓪𝓱𝓾𝓵𝓵𝓪𝓱
Doha, 27 Syawal 1445 / 5 Mei 2024


Audio Kajian 1:

https://www.assunnah-qatar.com/wp-content/uploads/2024/05/Sifat-dan-Tata-Cara-Shalat.mp3?_=1

KITAB SHALAT
Bab Tata Cara Shalat

Setelah kami menjelaskan rukun-rukun shalat, juga hal-hal yang wajib dan disunnahkan dalam shalat, baik ucapan maupun gerakan, berikutnya kami ingin memaparkan tata cara shalat yang meliputi seluruh rukun, hal-hal yang wajib dan hal-hal yang disunnahkan tersebut, sesuai dengan tata cara shalat Nabi ﷺ yang diriwayatkan dalam nasb-nash (teks-teks hadits) agar menjadi teladan bagi setiap muslim, dalam rangka mengamalkan hadits Nabi ﷺ : “Shalatlah kalian sebagaimana kalian rnelihatku shalat.”

Berikut ini, alur tata cara tersebut:

  • Apabila Rasulullah ﷺ, memulai shalat, beliau menghadap ke arah kiblat, kemudian mengangkat kedua tangannya, dan bagian dalam telapak tangannya mengarah ke kiblat, lalu mengucapkan:

الله أكبر

“Allah Maha Besar.”

  • Kemudian beliau menggenggam tangan kiri dengan tangan kanannya, dan meletakkan kedua tangan tersebut di atas dada.
  • Setelah itu beliau membaca do’a istiftah.

Beliau tidak pernah berkesinambungan membaca satu do’a istiftaah saja. Semua jenis do’a istrftah yang diriwayatkan dari beliau, boleh digunakan untuk istiftah. Di antaranya:

سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ وَبِحَمْدِكَ وَتَبَارَكَ اسْمُكَ وَتَعَالَى جَدُّكَ وَلاَ إِلَهَ غَيْرُكَ

“Maha suci Engkau ya Allah, aku memuji-Mu, Maha berkah Nama-Mu. Maha tinggi kekayaan dan kebesaran-Mu, tidak ada sesembahan yang berhak diibadahi dengan benar selain Engkau.” (HR Muslim, Abu Daud, dan Tirmdzi).

Kemudian beliau berdo’a:

أَعُوْذُ بِاللهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّحِيْمِ. بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْمِ.

“Aku berlindung kepada Allah dari godaan syaitan yang terkutuk. Dengan Nama Allah yang Maha Pengasih Lagi Maha Penyayang.”

  • Selanjutnya beliau membaca surat al-Faatihah, dan di penghujungnya beliau mengucapkan: ‘Aamin’.
  • Setelah membaca al-Faatihah beliau membaca surat lain.

Terkadang surat panjang, terkadang surat pendek, dan terkadang surat sedang. Beliau biasanya membaca surat lebih panjang dalam shalat Shubuh, dibandingkan dengan shalat-shalat lain. Beliau membaca al-Faatihah dan surat dengan suara yang terdengar makmum dalam shalat Shubuh, dan dalam dua rakaat perrama dari shalat Maghrib dan ‘Isya’. Sementara dalam shalat lain, beliau membacanya pelan. Pada setiap shalat, beliau melakukan rakaat pertama lebih panjang dari pada rakaat kedua.

  • Kemudian beliau mengangkat kedua tangan seperti pada saat beristiftaah, dan mengucapkan:

الله أكبر

” Allah Maha Besar.”

  • Lalu beliau pun turun ruku’, sambil meletakkan kedua tangannya di atas kedua lutut, dengan jari-jemari mengembang yang dilekatkan di lutut tersebut dengan mantap. Beliau meluruskan punggung, dan memosisikan kepala sejajar dengan punggung, tidak lebih tinggi dan tidak menunduk. Beliau mengucapkan do’a:

سُبْحَانَ رَبِّىَ الْعَظِيْمِ

(Subhaana Rabbial Adzim)

“Maha Suci Rabb-ku yang Maha Agung.”

  • Selanjutnya beliau bangkit dari ruku’sambil berdo’a:

سَمِعَ اللَّهُ لِمَنْ حَمِدَهُ، رَبَّنَا وَلَكَ الحَمْدُ

Semoga Allah mendengarkan orang Sambil mengangkat kedua rangannya yang memuji-Nya.”

sebagaimana saat ruku’ Setelah berdiri tegak, beliau mengucapkan:

I’tidal adalah gerakan mengangkat badan setelah dari rukuk hingga berdiri kembali dengan punggung dalam keadaan lurus. Dalam hadits Abu Humaid As Sa’idi radhiallahu’anhu, beliau mengatakan:

فإِذا رفَع رأسه استوى قائماً حتى يعود كلّ فقار مكانه

“Ketika Nabi shallallahu’ alaihi wasallam mengangkat kepalanya (dari rukuk) untuk berdiri hingga setiap ruas tulang punggung berada di posisinya semula” (HR. Bukhari no. 828).

•┈┈┈┈┈┈•❀❁✿❁❀•┈┈┈┈┈•

Pertemuan 2: Doha, 4 Dzulqa’dah 1445 / 12 Mei 2024

  • Kemudian beliau bertakbir, dan bersujud tanpa mengangkat tangan.

Tidak setiap awal rakaat diharuskan mengangkat tangan dalam bertakbir. Namun para ulama menetapkan mengangkat tangan dalam takbir disunnahkan dalam empat tempat:

1. Pada takbîratul ihram dirakaat yang pertama
2. Ketika hendak ruku’
3. Ketika mengucapkan Samiallâhu liman hamidah setelah ruku’
4. Ketika berdiri dari rakaat kedua menuju rakaat ketiga

  • Ketika turun sujud: boleh tangan dahulu atau lutut dahulu. Keduanya diperbolehkan, yang menjadi silang pendapat diantara para ulama adalah mana yang paling afdhal, tangan dulu atau lutut dulu.

Hadits Abu Huroiroh radhiyallaahu:

عَنْ أَبي هُرَيْرَة رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «إذَا سَجَدَ أَحَدُكُمْ، فَلاَ يَبْرُكْ كَمَا يَبْرُكُ الْبَعِيرُ، وَلْيَضَعْ يَدَيْهِ قَبْلَ رُكْبَتَيْهِ». أَخْرَجَهُ الثَّلاَثَةُ.

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Apabila kalian sujud, maka janganlah berlutut seperti berlututnya unta, yaitu meletakkan kedua tangannya sebelum kedua lututnya.” (Dikeluarkan oleh Imam yang tiga)

[HR. Abu Daud, no. 840; Tirmidzi, no. 269; An-Nasai, 2:207. Hadits ini diperselisihkan oleh para ulama mengenai kesahihannya, sebagian ulama mendhaifkan, sebagian ulama mensahihkan].

Hadits Wail bin Hujr:

رَأَيْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: إِذَا سَجَدَ وَضَعَ رُكْبَتَيْهِ قَبْلَ يَدَيْهِ. أَخْرَجَهُ الأرْبَعَةُ.

Aku melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam apabila sujud meletakkan kedua lututnya sebelum kedua tangannya. (Dikeluarkan oleh Imam yang empat)

[HR. Abu Daud, no. 838; Tirmidzi, no. 267; An-Nasai, 2:207; Ibnu Majah, no. 882. Hadits ini diperselisihkan oleh para ulama mengenai kesahihannya, sebagian ulama mendhaifkan].

Perselisihan para ulama mengenai cara turun sujud, apakah lutut dahulu ataukah tangan

  • Pendapat pertama: Mendahulukan lutut dari kedua tangan. Ini adalah pendapat dari Umar bin Al-Khaththab, Ibrahim An-Nakha’i, Muslim bin Yasar, Sufyan Ats-Tsauri, Imam Syafii, Imam Ahmad, Ishaq, dan pendapat ashabur ro’yi (ulama Hanafiyah). Alasan pendapat ini adalah hadits dari Wail bin Hujr.

Imam Nawawi dalam Al-Majmu’ (3:274) berkata,

مَذْهَبُنَا إِنَّهُ يُسْتَحَبُّ أَنْ يُقَدِّمَ فِي السُّجُوْدِ الرُّكْبَتَيْنِ ثُمَّ اليَدَيْنِ ثُمَّ الجَبْهَةَ وَالاَنْفَ

“Menurut madzhab kami (Syafii), disunnahkan ketika akan sujud mendahulukan kedua lutut, lalu kedua telapak tangan, lalu dahi dan hidung.”

  • Pendapat kedua: Mendahulukan kedua tangan sebelum lutut. Inilah pendapat Imam Malik, Al-Auza’i, salah satu pendapat Imam Ahmad. Dalil pendapat ini adalah hadits Abu Hurairah.
  • Pendapat ketiga: Boleh memilih mendahulukan yang mana. Inilah pendapat Imam Malik.

Kesimpulan sabaqah Islamiyah:
Mendahulukan kedua tangan sebelum lutut lebih kuat ditinjau dari sisi sanad.
Mendahulukan kedua tangan sebelum lutut lebih kuat ditinjau dari segi pendalilan.

Maka yang didahulukan adalah kuat dari segi sanad: Mendahulukan kedua tangan sebelum lutut. Wallohu’alam.

Beliau bersujud dengan menyentuhkan kening, hidung, kedua tangan, kedua lutut dan bagian belakang jari jemari kakinya di atas lantai.

  • Sujud yang dilakukan adalah bersujud pada tujuh anggota tubuh.

Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

أُمِرْتُ أَنْ أَسْجُدَ عَلَى سَبْعَةِ أَعْظُمٍ عَلَى الْجَبْهَةِ – وَأَشَارَ بِيَدِهِ عَلَى أَنْفِهِ – وَالْيَدَيْنِ ، وَالرُّكْبَتَيْنِ وَأَطْرَافِ الْقَدَمَيْنِ

“Aku diperintahkan bersujud dengan tujuh bagian anggota badan: (1) Dahi (termasuk juga hidung, beliau mengisyaratkan dengan tangannya), (2,3) telapak tangan kanan dan kiri, (4,5) lutut kanan dan kiri, dan (6,7) ujung kaki kanan dan kiri.” (HR. Bukhari, no. 812 dan Muslim, no. 490).

Imam Nawawi rahimahullah berkata, “Jika dari anggota tubuh tersebut tidak menyentuh lantai, shalatnya berarti tidak sah. Namun jika kita katakan wajib, bukan berarti telapak kaki dan lutut harus dalam keadaan terbuka. Adapun untuk telapak tangan wajib terbuka menurut salah satu pendapat ulama Syafi’iyah sebagaimana dahi demikian. Namun yang lebih tepat, tidaklah wajib terbuka kedua telapak tangan.” (Syarh Shahih Muslim, 4:185)

Jari-jemari kedua tangan dan kedua kaki dihadapkan ke arah kiblat. Beliau sujud dengan i’tidal (seimbang). Kening dan hidung dilekatkan ke lantai, bertumpu pada kedua telapak tangan memosisikan siku agak tinggi, merenggangkan jarak antara kedua lengan bagian atas dengan sisi lambung, menjauhkan perut dari kedua paha, dan kedua pahanya dari kedua betisnya.

Ada hadits dari Abu Humaid radhiyallahu ‘anhu, ia berkata mengenai sifat shalat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

وَإِذَا سَجَدَ فَرَّجَ بَيْنَ فَخِذَيْهِ غَيْرَ حَامِلٍ بَطْنَهُ عَلَى شَىْءٍ مِنْ فَخِذَيْهِ

“Ketika sujud, ia merenggangkan kedua pahanya dan menjauhkan perut dari pahanya.” (HR. Abu Daud, no. 735. Syaikh Al-Albani dalam Irwa’ Al-Ghalil, no. 358, 2:80, menyatakan bahwa hadits ini dha’if. Sedangkan Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa hadits ini shahih.)

Apakah dahi dan hidung menempel ke lantai adalah wajib?

Menurut ulama mazhab Syafi’i menilai hidung bukan bagian wajah yang wajib untuk ditempelkan saat sujud, hukumnya hanya sebatas sunnah. Imam Nawawi berkata yang lebih utama kening menyentuh ke lantai tanpa terhalang.

Jika terhalang peci atau surban maka tetap sah menurut jumhur ulama. Dari sini, maka jika rambut terjurai hingga menutupi kening, maka tidak mengapa dan tidak perlu ditahan dengan tangan. Karena justru terdapat larangan terhadap hal ini. Dari Ibnu Abbas radhiyallahu’anhu, Nabi Shallallahu’alaihi wasallam bersabda:

أُمِرْتُ أَنْ أَسْجُدَ عَلَى سَبْعَةٍ، لاَ أَكِفَّ شَعْرًا وَلاَ ثَوْبًا

“Aku diperintahkan untuk sujud di atas tujuh (anggota sujud) dan diperintahkan untuk tidak menahan rambut ataupun pakaian (ketika sujud)” (HR. Bukhari no. 810, Muslim no. 490).

Namun jika ia memakai peci atau semisalnya yang menahan rambutnya sehingga tidak menghalangi, dan keningnya bisa menempel ke lantai, itu lebih utama. Imam an Nawawi mengatakan:

العلماء مجمعون على أن المختار مباشرة الجبهة للأرض

“Para ulama sepakat bahwa yang paling utama adalah kening menyentuh lantai secara langsung” (Al Majmu’, 3/397-400).

Dalam sujud, beliau mengucapkan:

سُبْحَانَ رَبِّىَ الأَعْلَى

(Subhaana Rabbiyal a’laa)

“Maha Suci Rabb-ku yang Bab Tentang Tata Cara Shalat MahaTinggi.”

Tambahan وَبِحَمْدِهِ, menurut Ibnu Qudamah tidak masalah. Demikian juga kesimpulan dari Sabakah Islamiyah.

Setelah itu beliau bangkit dari suiud dengan mengucapkan:

الله أكبر

Allah Maha Besar.

Kemudian beliau melakukan iftirasy; menghamparkan telapak kaki kiri dan mendudukinya, sementara telapak kaki kanan beliau tegakkan. Sementara kedua tangan beliau letakkan di atas paha, kemudian beliau berdo’a:

اللَّهُمَّ اغْفِرْلِىْ وَارْحَمْنِىْ وَاجْبُرْنِىْ وَاهْدِنِىٌ وَازُقْنِىْ

“Ya Allah, ampunilah dosa-dosaku, berikan rahmat-Mu kepadaku, tutupilah kesalahanku, berikan petunjuk-Mu kepadaku, dan karuniakan rizki kepadaku.”