Tag Archives: Riyadhus Shalihin

Hadits 15:

وعن ابن عمر رضي الله عنهما، قَالَ: كَانَ النَّبيُّ – صلى الله عليه وسلم – يزور قُبَاءَ رَاكِبًا وَمَاشِيًا، فَيُصَلِّي فِيهِ رَكْعَتَيْنِ. مُتَّفَقٌ عَلَيهِ. وفي رواية: كَانَ النَّبيُّ – صلى الله عليه وسلم – يَأتي مَسْجِد قُبَاءَ كُلَّ سَبْتٍ رَاكبًا، وَمَاشِيًا وَكَانَ ابْنُ عُمَرَ يَفْعَلُهُ.

373. Dari Ibnu Umar radhiallahu ‘anhuma, katanya: “Nabi ﷺ berziarah ke Quba'[*)] sambil berkendaraan serta berjalan, kemudian beliau bershalat dua rakaat.” (Muttafaq ‘alaih)

Dalam riwayat lain disebutkan: “Nabi ﷺ mendatangi masjid Quba’ setiap hari Sabtu sambil berkendaraan dan berjalan dan Ibnu Umar juga melakukan seperti itu.”

Keutamaan Masjid Quba

Seperti yang dijelaskan dalam hadits di atas bahwa pahalanya dihitung seperti umroh, tetapi perlu diketahui bahwa ini bisa dicapai jika seseorang bersuci dari rumahnya ketika menuju masjid quba tersebut sebagaimana yang disebutkan dalam hadits “Barangsiapa bersuci di rumahnya”.

*) Masjid Quba adalah masjid yang pertama kali yang dibangun dalam Islam. Quba’ adalah sebuah desa yang jaraknya dari Madinah ada sefarsakh atau kira-kira 5 km. Di situ ada masjidnya yang terkenal, yakni masjid yang didirikan oleh Nabi ﷺ yang pertama kali, sedang yang kedua ialah masjid Nabawi di Madinah.

Dalam riwayat lain, Dari Sahl bin Hunaif radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ تَطَهَّرَ فِى بَيْتِهِ ثُمَّ أَتَى مَسْجِدَ قُبَاءٍ فَصَلَّى فِيهِ صَلاَةً كَانَ لَهُ كَأَجْرِ عُمْرَةٍ

“Siapa yang bersuci di rumahnya, lalu ia mendatangi masjid Quba’, lantas ia melaksanakan shalat di dalamnya, maka pahalanya seperti pahala umrah.” (HR. Ibnu Majah, no. 1412, An-Nasai, no. 700. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa hadits ini hasan).

Hadits ini menjelaskan investigasi Umar bin Khathab Radhiyallahu’anhu yang mencari seseorang dari Yaman, berdasarkan wahyu dari Rasulullah ﷺ dan ini menunjukkan benarnya perkataan Rasulullah ﷺ.

Umar bin Khathab mencari Uwais bin ‘Amir dengan menanyakan asal yang umum sampai ke yang khusus agar tidak salah orang. Beliau memulai dengan menyebut asal dari Murad kemudian dari Qaran kemudian bekas penyakit kulit yang berbekas.

Uwais bin ‘Amir adalah orang yang mustajab do’anya karena sangat berbakti kepada ibunya. Sehingga Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam menyebut agar Umar memohon untuk dimintakan ampun.

Uwais bin ‘Amir memiliki sifat yang qona’ah dan tawadhu, tidak mau dimuliakan dan lebih menyukai sebagai golongan masyarakat miskin pada umumnya, tidak memanfaatkan untuk dinaikkan kedudukannya padahal Umar bin Khathab Radhiyallahu’anhu menawarkan untuk dipermudah urusan safarnya. Dia hanya berkata “Saya lebih senang menjadi golongan manusia yang fakir miskin.”

Hadits ini juga menyebut keadaan zaman ini, dimana orang melihat seseorang dari penampilan fisiknya yang kaya agar dia menghormatinya. Hingga pada hadits kedua orang-orang mencela Uwais bin ‘Amir Al-Qarni.

Hadits 12:

وعن أَبي هريرة – رضي الله عنه – عن النَّبيِّ – صلى الله عليه وسلم – قَالَ: «النَّاسُ مَعَادِنٌ كَمَعَادِنِ الذَّهَبِ وَالفِضَّةِ، خِيَارُهُمْ في الجَاهِلِيَّةِ خِيَارُهُمْ في الإسْلاَمِ إِذَا فَقهُوا، وَالأرْوَاحُ جُنُودٌ مُجَنَّدَةٌ، فَمَا تَعَارَفَ مِنْهَا ائْتَلَفَ، ومَا تَنَاكَرَ مِنْهَا اخْتَلَفَ». رواه مسلم. وروى البخاري قوله: «الأَرْوَاحُ … » إلخ مِنْ رواية عائشة رضي الله عنها

Dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu dari Nabi ﷺ sabdanya: “Para manusia ini adalah bagaikan benda logam, sebagaimana juga logam emas dan perak. Orang-orang pilihan diantara mereka di zaman Jahiliyah adalah orang-orang pilihan pula di zaman Islam, jikalau mereka menjadi pandai -dalam hal agama. Ruh-ruh itu adalah sekumpulan tentara yang berlain-lainan, maka mana yang dikenal dari golongan ruh-ruh tadi tentulah dapat menjadi rukun damai, sedang mana yang tidak dikenalinya dari golongan ruh-ruh itu tentulah berselisihan -maksudnya ruh baik berkumpulnya ialah dengan ruh baik, sedang yang buruk dengan yang buruk.” (Riwayat Muslim)

Imam Bukhari meriwayatkan sabda Nabi ﷺ Al-Arwah dan seterusnya itu dari riwayat Aisyah radhiallahu ‘anha.

Keterangan: Dalam menafsiri pengertian perihal ruh itu ada yang saling kenal mengenal yakni ‘Ta’aruf dan ada yang tidak saling kenal-mengenal yakni Tanakur, maka Imam Ibnu Abdissalam berkata sebagai berikut: “Hal itu yakni kenal atau tidak kenal, maksudnya adalah mengenai keadaan sifat. Artinya andaikata Anda mengetahui seorang yang berlainan sifatnya dengan Anda, misalnya Anda seorang yang berbakti kepada Allah dan yang dikenal itu orang yang tidak berbakti atau mengaku ketiadaan Allah, sekalipun kenal orangnya, tetapi tidak saling kenal mengenal jiwa, ruh ataupun faham yang dianutnya. Sebaliknya jika orang itu sama dengan Anda perihal keadaan sifatnya, sama-sama berbaktinya kepada Allah, sama-sama berjuang untuk meluhurkan kalimat Allah, sama-sama membenci kepada kemungkaran dan kemaksiatan, maka selain kenal orangnya, juga sesuai jiwanya, sesuai ruhnya dan sejalan dalam faham yang dianutnya. Oleh sebab itu dalam sebuah hadis lain disebutkan bahwa seorang yang merasa jiwanya itu masih lari atau enggan mengikuti ajakan orang yang mulia dan utama amalannya, pula bagus kelakuannya, hendaknya segera mencari sebab-sebabnya, sekalipun ia sudah mengaku sebagai manusia muslim. Selanjutnya setelah penyakitnya ditemukan, hendaknya secepatnya diubati dan dibuang apa yang menyebabkan ia sakit sedemikian. Cara inilah yang sebaik-baiknya untuk menyelamatkan diri dari sifat yang buruk, sehingga ruhnya dan jiwanya dapat saling berkenalan dengan golongan orang-orang yang baik pula ruh dan jiwanya.”

Dari Abu Musa al-Asy’ari Radhiyallahu’anhu bahwasanya Nabi ﷺ bersabda: “Seseorang itu beserta orang yang dicintainya.” (Muttafaq ‘alaih)

Dalam suatu riwayat lain disebutkan: Abu Musa Radhiyallahu’anhu berkata: “Nabi ﷺ ditanya: “Ada seorang mencintai sesuatu kaum, tetapi ia tidak pernah menemui mereka itu, bagaimanakah?” Beliau ﷺ lalu bersabda: “Seseorang itu beserta orang yang dicintainya.” (HR Bukhari Muslim)

وعن ابن مسعود – رضي الله عنه – قَالَ: جاء رجلٌ إلى رَسُولِ الله – صلى الله عليه وسلم – فَقَالَ: يَا رَسُول الله، كَيْفَ تَقُولُ في رَجُلٍ أَحَبَّ قَوْمًا وَلَمْ يَلْحَقْ بِهِمْ؟ فَقَالَ رَسُول الله – صلى الله عليه وسلم: «المَرْءُ مَعَ مَنْ أحَبَّ». مُتَّفَقٌ عَلَيهِ.

11. Dari Ibnu Mas’ud Radhiyallahu’anhu katanya: “Ada seorang lelaki datang kepada Rasulullah ﷺ lalu berkata: “Ya Rasulullah, bagaimanakah pendapat Tuan mengenai seorang yang mencintai sesuatu kaum, tetapi tidak pernah menemui kaum itu?” [1)] Rasulullah ﷺ bersabda: “Seorang itu beserta orang yang dicintainya.” (Muttafaq ‘alaih)

1) Dalam riwayat Imam Ibnu Hibban ada tambahannya sesudah kata-kata “Walam yalhaq bihim”, sedang tambahannya itu berbunyi: Artinya: “Dan orang itu tidak dapat mengamalkan sebagaimana yang diamalkan oleh kaum yang dicintainya itu.”

Hadits ini merupakan kabar gembira bagi hamba-Nya yang beriman yang bermakna agung. Seseorang terkadang tidak bisa beramal dengan amalan yang banyak dan Allâh ﷻ menyertakan bersama orang-orang yang baik tersebut.

Ada jiwa yang tidak mendorong ke suatu amalan yang baik, maka setidaknya dia mencintai orang yang baik dan mencintai majelis-majelis mereka, jangan sebaliknya. Karena seseorang akan bersama orang yang dicintainya. Minimal kita akan terpacu untuk mengikuti jejak mereka.

Kalau yang menjadi idolanya adalah para artis atau model, atau yang serupanya, maka mereka akan diikutsertakan dengan mereka meskipun tidak ikut dengan mereka karena sebab kecintaan kepada mereka.

Namun jika para Ummahat mencintai para Ummahatul Mukminun (karena tidak bisa dinikahi sahabat Nabi ﷺ yang lain) atau dari perempuan yang bertakwa, maka dia akan dikumpulkan bersama mereka meskipun dia beramal tidak sampai sederajat dengan mereka.

📖 Hadis ke-43: Cobaan bagi Orang yang Beriman merupakan Bukti Allâh ﷻ Menghendaki Kebaikan.

43- وعن أنس رضي الله عنه قال‏:‏ قال رسول الله صلى الله عليه وسلم ‏:‏‏”‏إذا أراد الله بعبده خيراً عجل له العقوبة في الدنيا، وإذا أراد الله بعبده الشر أمسك عنه بذنبه حتى يوافي به يوم القيامة‏”‏‏.‏

وقال النبي صلى الله عليه وسلم ‏:‏ ‏”‏إن عظم الجزاء مع عظم البلاء، وإن الله تعالى إذا أحب قوماً ابتلاهم، فمن رضي فله الرضى، ومن سخط فله السخط‏”‏ ‏(‏‏(‏رواه الترمذي وقال ‏:‏ حديث حسن‏)‏‏)‏‏.‏

43. Dari Anas Radhiyallahu’anhu, berkata: “Rasulullah ﷺ bersabda: “Jikalau Allah menghendaki kebaikan pada seseorang hambaNya, maka ia mempercepatkan suatu siksaan – penderitaan – sewaktu dunia, tetapi jikalau Allah menghendaki keburukan pada seseorang hambaNya, maka orang itu dibiarkan sajalah dengan dosanya, sehingga nanti akan dipenuhkan balasan – siksaannya – hari kiamat.”

Dan Nabi ﷺ bersabda – juga riwayat Anas Radhiyallahu’anhu: “Sesungguhnya besarnya balasan – pahala – itu sesuai besarnya bala’ yang menimpa dan sesungguhnya Allah itu apabila mencintai sesuatu kaum, maka mereka itu diberi cobaan. Oleh sebab itu barangsiapa yang rela – menerima bala’ tadi, ia akan memperolehi keredhaan dari Allah dan barangsiapa yang marah-marah maka ia memperolehi kemurkaan Allah pula.”

Diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi dan ia mengatakan bahawa ini Hadis hasan.

Dari hadits di atas, diambil benang merah, jika seorang hamba penuh dengan kemaksiatan tetapi hidupnya selalu enak dan tidak ada cobaan, maka itu adalah istidraj. Allâh ﷻ ulur waktunya untuk melakukan dosa-dosa dan menunda siksanya nanti di akhirat. Allâh ﷻ menginginkan keburukan pada orang tersebut. Sungguh, cobaan di dunia jauh lebih ringan daripada kelak di akhirat.

Inti ibadah dibangun atas rasa cinta kepada Allâh ﷻ, dari rasa cinta melahirkan ketaatan, tunduk kepada Allâh ﷻ. Sama halnya seseorang yang cinta mati kepada orang lain, akan tunduk dan mengikuti apa yang diinginkan oleh orang yang dicintainya.

Hadits 8:

367 – وعن أَبي هريرة – رضي الله عنه: أن النَّبيّ – صلى الله عليه وسلم – قَالَ: «الرَّجُلُ عَلَى دِينِ خَلِيلِهِ، فَليَنْظُرْ أَحَدُكُمْ مَنْ يُخَالِلُ». رواه أَبُو داود والترمذي بإسناد صحيح، وَقالَ الترمذي: «حديث حسن».

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu’anhu bahwasanya Nabi ﷺ bersabda: “Seorang itu adalah menurut agama kekasihnya -teman atau sahabatnya-. Maka hendaklah seorang dari engkau semua itu melihat -meneliti benar-benar- orang yang dijadikan kekasihnya itu.” Diriwayatkan oleh Imam-imam Abu Dawud dan Tirmidzi dengan isnad shahih dan Imam Tirmidzi mengatakan bahwa ini adalah hadis hasan.

Kata خَالِلُ bermakna teman dekat atau sahabat. Dan seseorang akan dipengaruhi agamanya oleh teman dekatnya.

Bab ini menjelaskan tentang berteman dengan orang-orang yang baik dan mencintai mereka. Karena agama pasti akan dipengaruhi oleh teman dekatnya. Dan ini tidak bisa dielakkan, sebagaimana Rasulullah ﷺ jelaskan : “Ruh yang baik berkumpulnya dengan ruh yang baik, sedang yang buruk dengan yang buruk.” (Hadits selanjutnya).

Maka jiwa yang baik akan berkumpul dengan jiwa yang baik atau yang semisal dengannya pada hal-hal yang sama. Maka, jika berkumpul dengan yang buruk, akan mempengaruhi satu dengan lainnya. Jiwa akan condong dengan yang satu kesamaan tabiat.

Hati yang memiliki kehidupan akan mampu mendengarkan kebaikan dan akan terus bersama dengan orang yang baik, dan temannya akan menunjukkan kebaikan dunia dan akhirat. Teman yang baik akan mempengaruhi tingkah laku, sikap dan kebiasaan hidupnya, dan dijauhkan dari segala penyakit hati sebab teman yang baik.

📖 Hadits 6:

365 – وعن ابن عباس رضي الله عنهما، قَالَ: قَالَ النَّبيّ – صلى الله عليه وسلم – لِجبريل: «مَا يَمْنَعُكَ أَنْ تَزُورنَا أكثَر مِمَّا تَزُورَنَا؟» فَنَزَلَتْ: {وَمَا نَتَنَزَّلُ إِلاَّ بِأَمْرِ رَبِّكَ لَهُ مَا بَيْنَ أَيْدِينَا وَمَا خَلْفَنَا وَمَا بَيْنَ ذَلِكَ} [مريم: 64]. رواه البخاري.

Dari Ibnu Abbas Radhiyallahu’anhuma, katanya: “Nabi ﷺ bersabda -kepada- Jibril Alaihissalam: “Apakah sebabnya Tuan tidak suka berziarah pada kami yang lebih banyak lagi -lebih sering- daripada yang Tuan berziarah sekarang ini?” Kemudian turunlah ayat -yang artinya-: Dan kami tidak turun melainkan dengan perintah Tuhanmu. BagiNya adalah apa yang ada di hadapan serta di belakang kita [note 1] dan apa saja yang ada diantara yang tersebut itu.” (Maryam: 64) (Riwayat Imam Bukhari)

✍️ Note 1: Maksudnya ialah bahwa bagi Allah itu adalah semua yang ada di muka dan di belakang kita serta apa pun yang ada diantara keduanya itu, baik mengenai waktu dan tempat. Oleh sebab itu kita semua ini tidak dapat berpindah dari satu keadaan atau tempat kepada keadaan atau tempat yang lain, kecuali dengan perintah dan kehendak Allah sendiri.

📖 Hadits 7:

366 – وعن أَبي سعيد الخدري – رضي الله عنه – عن النَّبيّ – صلى الله عليه وسلم – قَالَ: «لا تُصَاحِبْ إلاَّ مُؤْمِنًا، وَلاَ يَأْكُلْ طَعَامَكَ إلاَّ تَقِيٌّ». رواه أَبُو داود والترمذي بإسناد لا بأس بِهِ.

Dari Abu Said al-Khudri Radhiyallahu’anhu dari Nabi ﷺ , sabdanya: “Janganlah engkau bersahabat, melainkan -dengan- orang yang mu’min dan janganlah makan makananmu itu kecuali orang yang bertaqwa.” Diriwayatkan oleh Imam-imam Abu Dawud dan Tirmidzi dengan isnad yang tidak mengapa untuk dijadikan pegangan.

Hadits ini memberikan pemahaman kepada kita bahwa kita diperintahkan menjadikan orang-orang beriman sebagai teman dekat. Kata pepatah Arab, as sohib sahib, sahabat itu bisa menyeret. Punya sahabat yang buruk (keadaan agamanya), terkadang kita merasa aman dari pengaruh buruknya, namun tanpa sadar kita terseret sedikit-demi-sedikit.

Yang dimaksud dengan “janganlah makan makananmu itu kecuali orang yang bertaqwa” adalah mengundang makan dan bercengkerama seperti teman dekat. Adapun memberi makan berdasarkan kebutuhan si penerima, maka tidak mengapa dengan harapan disertai dengan nasehat yang baik.

Wanita Dinikahi karena Empat Hal

📖  Hadits 5:

364 – وعن أَبي هريرة – رضي الله عنه – عن النَّبيّ – صلى الله عليه وسلم – قَالَ: «تُنْكَحُ المَرْأَةُ لأَرْبَعٍ: لِمَالِهَا، وَلِحَسَبِهَا، وَلِجَمَالِهَا، وَلِدِينِهَا، فَاظْفَرْ بِذَاتِ الدِّينِ تَرِبَتْ يَدَاك». مُتَّفَقٌ عَلَيهِ. ومعناه: أنَّ النَّاسَ يَقْصدونَ في العَادَة مِنَ المَرْأةِ هذِهِ الخِصَالَ الأرْبَعَ، فَاحْرَصْ أنتَ عَلَى ذَاتِ الدِّينِ، وَاظْفَرْ بِهَا، وَاحْرِصْ عَلَى صُحْبَتِها.

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu’anhudari Nabi ﷺ sabdanya: “Seorang wanita itu dikawini karena empat perkara, yaitu karena ada hartanya, karena keturunannya, karena kecantikannya dan karena teguh agamanya. Maka dari itu dapatkanlah -yakni usahakanlah untuk memperoleh- yang mempunyai keteguhan agama, tentu kedua tanganmu merasa puas -yakni hatimu menjadi tenteram.” (Muttafaq ‘alaih).

Adapun maknanya hadis di atas itu ialah bahwasanya para manusia itu dalam ghalibnya menginginkan wanita itu karena adanya empat perkara di atas itu, tetapi engkau sendiri hendaklah menginginkan lebih-lebih yang beragama teguh. Wanita sedemikian itulah yang harus didapatkan dan berlumbalah untuk mengawininya.

Hadits ini menjelaskan kriteria memilih pasangan hidup dalam perkawinan. Perempuan memiliki hak khiyar (hak dalam memilih baik fisik, pekerjaan, kesehatan, keturunan dan lainnya). Hadits ini juga menjelaskan latar belakang pernikahan dilihat dari tujuannya karena ada hartanya, karena keturunannya, karena kecantikannya dan karena teguh agamanya. Akan tetapi, dalam hal ini hendaknya dipilih yang sekufu (sebanding).

Syaikh Dr. Amir Bahjad Hafidzahullah menjelaskan, apabila nadzhar (melihat) dan kemungkinan besar pada dirinya akan ditolak, maka haram hukumnya untuk melihat. Karena ini termasuk mempermainkan si wanita.

Karena Hartanya…

Permasalahan saat ini segala permasalahan diawali dengan permasalahan masalah harta. Seperti bisa jadi si wanita bekerja sebagai pegawai, atau memiliki banyak harta warisan baik dari suami atau bapaknya. Dan suami yang baru biasanya terkadang terlilit hutang yang akhirnya menjadi tanggungan isteri juga. Atau di sisi lain jika si wanita bekerja, terkadang si suami tidak bertanggung jawab memberi nafkah yang menjadi kewajibannya dengan alasan si wanita sudah bekerja dan memiliki penghasilan. Allohul musta’aan.

Sampai ada calon istri yang memberikan syarat agar suami tidak berhak menanyakan harta yang ada pada isteri dari hasil jerih payahnya. Maka, hendaknya mempertimbangkan meminang seseorang karena hartanya. Jika harta ada cinta berkembang, jika harta habis maka Cinta pun lepas… Waliyadzubillah…

Pentingnya Teman yang Baik dalam Bergaul dan Perumpamaan Teman yang Baik 

📖  Hadits 4:

363 – وعن أَبي موسى الأشعري – رضي الله عنه – أن النبي – صلى الله عليه وسلم – قَالَ: «إِنَّمَا مَثلُ الجَلِيسِ الصَّالِحِ وَجَلِيسِ السُّوءِ، كَحَامِلِ المِسْكِ، وَنَافِخِ الْكِيرِ، فَحَامِلُ الْمِسْكِ: إمَّا أَنْ يُحْذِيَكَ، وَإمَّا أَنْ تَبْتَاعَ مِنْهُ، وَإمَّا أَنْ تَجِدَ مِنْهُ ريحًا طَيِّبَةً، وَنَافِخُ الكِيرِ: إمَّا أَنْ يُحْرِقَ ثِيَابَكَ، وَإمَّا أَنْ تَجِدَ مِنْهُ رِيحًا مُنْتِنَةً». مُتَّفَقٌ عَلَيهِ. (يُحْذِيكَ): يُعْطِيكَ.

Dari Abu Musa al-Asy’ari Radhiyallahu’anhu bahwasanya Nabi ﷺ bersabda: “Sesungguhnya perumpamaan kawan yang baik dan kawan yang buruk adalah sebagai pembawa minyak misik -yang baunya harum- dan peniup perapian -pandai besi. Pembawa minyak misik ada kalanya memberikan minyaknya padamu, atau engkau dapat membelinya, atau -setidak-tidaknya- engkau dapat memperoleh wanginya -bau yang harum daripadanya. Adapun peniup perapianmu, maka ada kalanya akan membakarkan pakaianmu atau engkau akan memperoleh bau yang busuk daripadanya.” (Muttafaq ‘alaih)

📖  Hadits 5:

364 – وعن أَبي هريرة – رضي الله عنه – عن النَّبيّ – صلى الله عليه وسلم – قَالَ: «تُنْكَحُ المَرْأَةُ لأَرْبَعٍ: لِمَالِهَا، وَلِحَسَبِهَا، وَلِجَمَالِهَا، وَلِدِينِهَا، فَاظْفَرْ بِذَاتِ الدِّينِ تَرِبَتْ يَدَاك». مُتَّفَقٌ عَلَيهِ. ومعناه: أنَّ النَّاسَ يَقْصدونَ في العَادَة مِنَ المَرْأةِ هذِهِ الخِصَالَ الأرْبَعَ، فَاحْرَصْ أنتَ عَلَى ذَاتِ الدِّينِ، وَاظْفَرْ بِهَا، وَاحْرِصْ عَلَى صُحْبَتِها.

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu’anhudari Nabi ﷺ sabdanya: “Seorang wanita itu dikawini karena empat perkara, yaitu karena ada hartanya, karena keturunannya, karena kecantikannya dan karena teguh agamanya. Maka dari itu dapatkanlah -yakni usahakanlah untuk memperoleh- yang mempunyai keteguhan agama, tentu kedua tanganmu merasa puas -yakni hatimu menjadi tenteram.” (Muttafaq ‘alaih) Adapun maknanya hadis di atas itu ialah bahwasanya para manusia itu dalam ghalibnya menginginkan wanita itu karena adanya empat perkara di atas itu, tetapi engkau sendiri hendaklah menginginkan lebih-lebih yang beragama teguh. Wanita sedemikian itulah yang harus didapatkan dan berlumbalah untuk mengawininya.

Hadits 2:

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu’anhu dari Nabi ﷺ bahwasanya ada seorang lelaki berziarah kepada seorang saudaranya di suatu desa lain, kemudian Allah memerintah seorang malaikat untuk melindunginya di sepanjang jalan -yang dilaluinya-. Setelah orang itu melalui jalan itu, berkatalah malaikat kepadanya: “Kemana engkau menghendaki?” Orang itu menjawab: “Saya hendak ke tempat seorang saudaraku di desa ini.” Malaikat bertanya lagi: “Adakah suatu kenikmatan yang hendak kau peroleh dari saudaramu itu?” Ia menjawab: “Tidak, hanya saja saya mencintainya karena Allah.” Malaikat lalu berkata: “Sesungguhnya saya ini adalah utusan Allah untuk menemuimu -guna memberitahukan- bahwa sesungguhnya Allah itu mencintaimu sebagaimana engkau mencintai saudaramu itu karena Allah.” (Riwayat Muslim)

Hadits 3:
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu’anhu pula, katanya: “Rasulullah ﷺ bersabda: “Barangsiapa yang meninjau orang sakit atau berziarah kepada saudaranya karena Allah, maka berserulah seorang yang mengundang-undang: “Engkau melakukan kebaikan dan baik pulalah perjalananmu, serta engkau dapat menduduki tempat dalam syurga.” ” Diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi dan ia mengatakan bahwa ini adalah hadis hasan dan dalam sebagian naskah disebutkan sebagai hadis ghaib. (Shahih dengan banyaknya penguat).