Tag Archives: Mulakhas Fiqhi

DALAM SHALAT, MENOLEH DENGAN WAJAH DAN DADA HUKUMNYA ADALAH MAKRUH.

Berdasarkan sabda Nabi ﷺ. Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, dia berkata:

سألت رسُولَ الله – صلى الله عليه وسلم – عَنِ الالتفَاتِ في الصَّلاَةِ، فَقَالَ: «هُوَ اخْتِلاَسٌ (¬1) يَخْتَلِسُهُ الشَّيْطَانُ مِنْ صَلاَةِ العَبْدِ». رواه البخاري

“Aku pernah bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang menoleh dalam shalat. Beliau menjawab: “Menoleh di dalam shalat adalah sebuah hasil curian setan yang diperoleh dari shalat seorang hamba”. (HR Al-Bukhari)

Imam Abu Ismail Ash-Shan’ani dalam kitab subulus salam berkata ini adalah dalil dimakruhkannya menoleh dalam shalat. Jumhur ulama memaknakan hadits ini jika badannya tidak membelakangi kiblat, tetapi jika membelakangi kiblat maka shalatnya batal.

Syeikh Ibnu Utsaimin –rahimahullah- berkata: “Ketahuilah bahwa menoleh itu ada dua macam:
1. Menoleh fisik dengan badan, yaitu menoleh dengan kepala.
2. Menoleh non fisik dengan hati, yaitu was-was dan sibuk dengan pikiran yang menghampiri hati (tidak khusyu). Inilah penyakit yang kita tidak bisa lepas, sangat sulit mengobatinya! Sedikit sekali orang yang selamat darinya. Hal ini mengurangi kualitas shalat. Masih bagus kalau cuma sebagiannya, namun yang terjadi tidak khusyu dari awal shalat sampai terakhir shalat. Perkara ini cocok dikatakan sebagai curian setan dari shalat seorang hamba” (As Syarhu al Mumti’: 3/70)

Kecuali, jika hal itu dilakukan untuk suatu keperluan, maka tidak menjadi masalah. Seperti saat dalam suasana peperangan, atau untuk tujuan yang dibenarkan syari’at.

Kemudian beliau duduk untuk melakukan tasyabhud pertama, dengan iftiraasy, seperti duduk di antara dua sujud.

Hukum Tasyahud Awal

Ulama berbeda pendapat. Yang rajih adalah wajib sebagaimana pendapat Hanabilah, Hanafiyah, dan salah salah satu pendapat Imam Malik dan Syafi’i. Dikuatkan oleh Syaikh bin Baz dan Syaikh Utsaimin Rahimahumullahu.

عَنْ عَبْدِ اللهِ ابنِ بُحَيْنَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَّى بِهِمُ الظُّهْرَ، فَقَامَ فِي الرَّكْعَتَيْنِ الأُولَييْنِ، وَلَمْ يَجْلِسْ، فَقَامَ النَّاسُ مَعَهُ، حَتَّى إِذَا قَضَى الصَّلاةَ، وَانْتَظَرَ النَّاسُ تَسْلِيمَهُ، كَبَّرَ وهُو جَالِسٌ. وَسَجَدَ سَجْدَتَيْن، قَبْلَ أَنْ يُسَلِّمَ، ثُمَّ سَلَّمَ. أَخْرَجَهُ السَّبْعَةُ، وَهَذَا لَفْظُ الْبُخَارِيِّ.

Dari ‘Abdullah bin Buhainah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat Zhuhur bersama mereka. Beliau berdiri pada dua rakaat pertama dan tidak sempat duduk tasyahud awal. Orang-orang pun ikut berdiri bersama beliau hingga beliau akan mengakhiri shalat dan orang-orang menunggu salamnya. Beliau takbir dengan duduk kemudian beliau sujud dua kali sebelum salam, lalu beliau salam. (Dikeluarkan oleh imam yang tujuh dan lafaz ini menurut riwayat Al-Bukhari) [HR. Bukhari, no. 829 dan Muslim, no. 570; juga Abu Daud, no. 1034; Tirmidzi, no. 391; An-Nasai, 19:3; Ibnu Majah, no. 1206; Ahmad, 7:38].

Setelah kami menjelaskan rukun-rukun shalat, juga hal-hal yang wajib dan disunnahkan dalam shalat, baik ucapan maupun gerakan, berikutnya kami ingin memaparkan tata cara shalat yang meliputi seluruh rukun, hal-hal yang wajib dan hal-hal yang disunnahkan tersebut, sesuai dengan tata cara shalat Nabi ﷺ yang diriwayatkan dalam nasb-nash (teks-teks hadits) agar menjadi teladan bagi setiap muslim, dalam rangka mengamalkan hadits Nabi ﷺ : “Shalatlah kalian sebagaimana kalian rnelihatku shalat.”

Berikut ini, alur tata cara tersebut:

Apabila Rasulullah ﷺ, memulai shalat, beliau menghadap ke arah kiblat, kemudian mengangkat kedua tangannya, dan bagian dalam telapak tangannya mengarah ke kiblat, lalu mengucapkan:

الله أكبر

“Allah Maha Besar.”

Kemudian beliau menggenggam tangan kiri dengan tangan kanannya, dan meletakkan kedua tangan tersebut di atas dada.
Setelah itu beliau membaca do’a istiftah.

Beliau tidak pernah berkesinambungan membaca satu do’a istiftaah saja. Semua jenis do’a istrftah yang diriwayatkan dari beliau, boleh digunakan untuk istiftah. Di antaranya:

سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ وَبِحَمْدِكَ وَتَبَارَكَ اسْمُكَ وَتَعَالَى جَدُّكَ وَلاَ إِلَهَ غَيْرُكَ

“Maha suci Engkau ya Allah, aku memuji-Mu, Maha berkah Nama-Mu. Maha tinggi kekayaan dan kebesaran-Mu, tidak ada sesembahan yang berhak diibadahi dengan benar selain Engkau.” (HR Muslim, Abu Daud, dan Tirmdzi).

Kemudian beliau berdo’a:

أَعُوْذُ بِاللهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّحِيْمِ. بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْمِ.

“Aku berlindung kepada Allah dari godaan syaitan yang terkutuk. Dengan Nama Allah yang Maha Pengasih Lagi Maha Penyayang.”

Selanjutnya beliau membaca surat al-Faatihah, dan di penghujungnya beliau mengucapkan: ‘Aamin’.
Setelah membaca al-Faatihah beliau membaca surat lain.

Terkadang surat panjang, terkadang surat pendek, dan terkadang surat sedang. Beliau biasanya membaca surat lebih panjang dalam shalat Shubuh, dibandingkan dengan shalat-shalat lain. Beliau membaca al-Faatihah dan surat dengan suara yang terdengar makmum dalam shalat Shubuh, dan dalam dua rakaat perrama dari shalat Maghrib dan ‘Isya’. Sementara dalam shalat lain, beliau membacanya pelan. Pada setiap shalat, beliau melakukan rakaat pertama lebih panjang dari pada rakaat kedua.

Bagian kedua: HAL-HAL YANG WAJIB DALAM SHALAT

Hal-hal yang wajib dalam shalat ada delapan, yaitu sebagai berikut:
1. SELURUH TAKBIR DALAM SHALAT, SELAIN TAKBIRATUL IHRAM, HUKUMNYA WAJIB.
Karenanya seluruh takbir untuk berpindah (dari satu rukun ke rukun yang lain) termasuk wajib, bukan rukun.
2. AT-TASMI’. Yaitu ucapan, (sami’allaahu li man hamidah).
Ucapan ini wajib bagi imam dan munfarid (orang yang shalat sendirian), adapun makmum, tidak mengucapkannya.
3. AT-TAHMIID. Yaitu mengucapkan: (rabbanaa wa lakal hamdu),bagi imam, makmum dan orang yang shalat sendirian.
4. UCAPAN SUBHAANA RABBIYAL’AZHIIM DALAM RUKU SEBANYAK SATU KALI.
5. UCAPAN (SUBHAANA RABBIYAL A’LA DALAM SUJUD, SEBANYAK SATU KALI. Namun disunnahkan menambahnya hingga tiga kali.
6. UCAPAN (RABBIGHFIRLI), ANTARA DUA SUJUD, SEBANYAK SATU KALI.
7. UCAPAN DO’A TASYAHHUD PERTAMA.
8. DUDUK TASYAHHUD PERTAMA.

Orang yang sengaja tidak melakukan salah satu dari hal-hal yang wajib ini, baik yang berupa ucapan, ataupun gerakan yang delapan ini, secara sengaja, maka shalatnya batal. Karena berarti ia mempermainkan shalat. Namun orang yang tidak melakukannya karena lupa, atau karena tidak tahu, maka ia cukup bersujud sahwi. Karena ia meninggalkan sesuatu yang tidak boleh ditinggalkan. Maka, ia harus menutupi kekurangan itu dengan sujud sahwi.

Bab Tentang Rukun-Rukun, Hal-hal yang Wajib & Hal-hal yang Disunnahkan dalam Shalat

Telah dijelaskan pada pertemuan sebelumnya tentang Rukun-Rukun shalat:

Rukun Pertama: BERDIRI DALAM SHALAT FARDHU
Rukun Kedua: TAKBIRATUL IHRAM DI AWAL SHALAT
Rukun Ketiga: MEMBACA AL-FAATIHAH
Rukun Keempat: RUKU’ PADA SETIAP RAKAAT
Rukun Kelima dan Keenam: BANGKIT DARI RUKU’ DAN BERDIRI I’TIDAL
Rukun Ketujuh: SUJUD
Rukun Kedelapan: BANGKIT DARI SUJUD DAN DUDUK DI ANTARA DUA SUJUD
Rukun Kesembilan: TUMA’NINAH PADA SETIAP GERAKAN SHALAT TERSEBUT
Rukun Kesepuluh dan Kesebelas: TASYAHHUD AKHIR DAN DUDUK TASYAHHUD
Rukun Keduabelas: MEMBACA SHALAWAT PADA TASYAHHUD AKHIR
Rukun Ketigabelas: TERTIB (BERURUTAN) DALAM PELAKSANAAN RUKUN-RUKUN SHALAT
Rukun Keempatbelas: SALAM

Telah dijelaskan pada pertemuan sebelumnya tentang Rukun-Rukun shalat:

Rukun Pertama: BERDIRI DALAM SHALAT FARDHU
Rukun Kedua: TAKBIRATUL IHRAM DI AWAL SHALAT
Rukun Ketiga: MEMBACA AL-FAATIHAH

Jumhur ulama menyatakan membaca Al Fatihah adalah termasuk rukun shalat. Tidak sah shalat tanpa membaca Al Fatihah. Diantara dalilnya adalah sabda Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam

لا صلاةَ لمن لم يقرأْ بفاتحةِ الكتابِ

“tidak ada shalat bagi orang yang tidak membaca Faatihatul Kitaab” (HR. Al Bukhari 756, Muslim 394)

Al Fatihah wajib di baca pada setiap raka’at. Jika posisinya sebagai makmum, para ulama berbeda pendapat. Yang lebih berhati-hati, makmum membaca surat Al-Fatihah baik pada shalat sirriyah atau jahriyah.

Rukun Keempat: RUKU’ PADA SETIAP RAKAAT

Sesungguhnya shalat adalah ibadah yang agung, meliputi ucapan dan perbuatan yang disyari’atkan. Dari keduanya, terangkai tata caranya yang begitu sempurna. Shalat, sebagaimana didefinisikan oleh para ulama, adalah: Rangkaian ucapan dan perbuatan yang bersifat khusus, dimulai dengan takbir, dan ditutup dengan salam.

Rangkaian ucapan dan perbuatan tersebut diklasifikasikan menjadi tiga bagian: Rukun-rukun, hal-hal yang wajib, dan hal-hal yang disunnahkan.

Rukun-rukun shalat, adalah hal-hal dalam shalat yang apabila sebagian darinya ditinggalkan, maka shalat menjadi batal. Baik itu ditinggalkan secara sengaja atau karena lupa. Atau minimal rakaat di mana hal itu ditinggalkan menjadi tidak sah, sehingga digantikan dengan rakaat selanjutnya, seperti akan dijelaskan nanti.

Hal-hal yang wajib dalam shalat, adalah hal-hal yang apabila sebagian darinya ditinggalkan dengan sengaja, maka shalat menjadi batal. Dan apabila ditinggalkan karena lupa, maka shalat tidak batal, tapi harus diganti dengan sujud sahwi.

Hal-hal yang disunnahkan dalam shalat, adalah hal-hal yang apabila sebagian darinya ditinggalkan, tidak menyebabkan shalat batal, baik dengan sengaja atau karena lupa. Akan tetapi menyebabkan nilai shalat menjadi berkurang.

Nabi ﷺ, melaksanakan shalat dengan sempurna,lengkap dengan semua rukun, hal-hal yang wajib, serta hal-hal yang disunnahkan di dalamnya. Beliau bersabda: “Shalatlah kalian sebagaimana kalian melihatku shalar.” (HR Bukhori)

KITAB SHALAT
Bab Tentang Syarat-syarat Sahnya Shalat – 5

Telah berlalu pembahasan tentang syarat-syarat sahnya shalat:
1. Masuk waktu shalat
2. Menutup aurat

Syarat Ketiga: MENGHINDARI NAJIS – lanjutan

Hukum Masjid di Kuburan atau Mengubur Mayit di Masjid

Semua lokasi yang masuk dalam wilayah ‘kuburan’, termasuk wilayah di seputar kuburan, tidak boleh digunakan untuk shalat. Karena larangan tersebut berlaku terhadap kuburan dan juga halaman kuburan di sekitarnya.

Kenapa Shalat di Masjid Nabawi yang Ada Kubur Nabi ﷺ?

Kita sudah tahu bahwa terlarang shalat di masjid yang ada kubur. Namun masih ada yang bersihkeras, tetap menganggap tidak terlarangnya hal itu. Mereka beralasan bahwa masjid Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri (Masjid Nabawi) di dalamnya terdapat kubur Nabi. Lantas kenapa masalah?

Cukup, syubhat di atas dijawab dengan penjelasan Syaikh Muhammad bin Sholeh Al ‘Utsaimin berikut ini…

Syarat Ketiga: MENGHINDARI NAJIS

Salah satu syarat shalat adalah menghindari najis. yakni, orang yang shalat harus berusaha menjauhkan diri dari najis dan membersihkan diri darinya secara total. Baik yang melekat di tubuhnya, pakaiannya, maupun tempat di mana ia shalat.

NAJIS adalah sejenis kotoran tertentu yang dapat menghalangi seseorang melakukan shalat. Seperti bangkai, darah,minuman keras, air seni dan kotoran manusia.

Hukum Darah Manusia: Tidak Najis

Para ulama berbeda pendapat tentang hal ini :

1. Darah manusia itu najis. Pendapat Ibnu hazm, Syaikh bin Baz dan ulama berikut:

Ibnul Arabi mengatakan:

اتفق العلماء على أن الدم حرام لا يؤكل نجس

“Ulama sepakat bahwa darah itu haram, tidak boleh dimakan dan najis” (Hasyiyah ar Ruhuni, 1/73).

Al Qurthubi mengatakan:

اتفق العلماء على أن الدم حرام نجس

“Ulama sepakat bahwa darah itu haram dan najis” (Tafsir Al Qurthubi, 2/222).

An Nawawi mengatakan:

وفيه أن الدم نجس وهو بإجماع المسلمين

“Dalam hadits ini terdapat dalil bahwa darah itu najis dan ini adalah ijma ulama kaum Muslimin” (Syarah Shahih Muslim, 3/200).

Ibnu Hajar mengatakan:

والدم نجس اتفاقاً

“Darah itu najis secara sepakat ulama” (Fathul Baari, 1/352).

Syarat Kedua: MENUTUP AURAT

Di antara syarat sahnya shalat adalah menutup aurat. Yakni menutupi aurat yang wajib ditutupi, yang apabila terlihat akan menjadi aib dan membuat orang malu.

Allâh ﷻ berfirman,

۞ يٰبَنِيْٓ اٰدَمَ خُذُوْا زِيْنَتَكُمْ عِنْدَ كُلِّ مَسْجِدٍ

“Hai anak, Adam, pakailah pahaianmu yang indab di setiap (memasuki) measjid…” (QS. Al-A’raaf: 3 1)

Yakni setiap waktu shalat. Nabi ﷺ, bersabda: “Allah tidak akan menerima shalat seorang wanita yang sudah haidh (baligh), kecuali bila ia menggunakan kerudung.” (Hadits shahih. Diriwayatkan dari ‘Aisyah oleh Ahmad (no.25823) [II:248], Abu Dawud (64I) (I:298)

💡 Apabila rambut perempuan tersingkap sedikit:
1. Sholatnya batal: pendapat Imam Syafi’i Rahimahullah yang dinukil Ibnu Qudamah dalam Al-Mughni.
2. Sholatnya tidak batal: pendapat Imam Ahmad dan Abu Hanifah.

Ibnu Taimiyah dalam Majmu Fatawa 2/123: sholatnya sah (tidak mengulang). Ini pendapat mayoritas ulama.

💡 Apabila rambut perempuan tersingkap banyak:
1. Apabila tidak mengetahui kecuali setelah sholat, maka sholatnya tidak batal.
2. Tahu rambutnya tersingkap saat sholat dan langsung menutupnya, maka sholatnya tetap sah. Demikian disampaikan oleh Ulama syafiiyah.
3. Tahu rambutnya tersingkap saat sholat, tapi dibiarkan. Maka sholatnya tidak sah (batal) dan wajib mengulangi.

Ibnu Taimiyah dalam Majmu Fatawa: Jika rambut tersingkap banyak, maka harus mengulangi dan ini pendapat mayoritas ulama.

Ibnu ‘Abdil Barr menyatakan, “Para ulama ber-ijma’ tentang batalnya shalat orang yang tidak berpakaian, sementara ia masih mampu menutupi tubuhnya dengan pakaian, namun ia shalat dengan telanjang.”