Tag Archives: Mulakhas Fiqhi

Allah ﷻ berfirman dalam Al-Qur’an Surat Al-ahzab ayat 41-42:

يٰۤـاَيُّهَا الَّذِيۡنَ اٰمَنُوا اذۡكُرُوۡا اللّٰهَ ذِكۡرًا كَثِيۡرًا ۙ‏ ٤١ وَّ سَبِّحُوۡهُ بُكۡرَةً وَّاَصِيۡلًا‏ ٤٢

Wahai orang-orang yang beriman! Ingatlah kepada Allah, dengan mengingat (nama-Nya) sebanyak-banyaknya, dan bertasbihlah kepada-Nya pada waktu pagi dan petang.

Pada ayat ini Allah ﷻ memerintahkan orang-orang yang beriman untuk selalu berdzikir mengingatNya. Siapa yang mencintai Allah ﷻ maka pasti akan selalu mengingatNya setiap waktu.

Sebagian salaf mengatakan : Barangsiapa yang mengenal Allah ﷻ pasti akan mengingatNya dan barangsiapa yang cinta kepada Allah ﷻ maka dia akan berdzikir mengingatNya.

Maka, dalam ayat ini Allah ﷻ memanggil hanya untuk orang yang beriman, bukan orang yang berislam.

Syaikh Abdurrahman as-Sa’di 𝓡𝓪𝓱𝓲𝓶𝓪𝓱𝓾𝓵𝓵𝓪𝓱 mengatakan berdzikir kepada Allah ﷻ kecuali bagi orang yang beriman yaitu bagi orang yang hatinya selalu cinta kepada Allah ﷻ.

Dzikir kepada Allah ﷻ adalah bacaan yang ringan bagi orang yang mendapat hidayah dariNya, namun bagi orang yang tidak mendapat hidayah akan terasa berat.

Manakala manusia memiliki kecenderungan untuk lengah dan lupa, sementara syaitan amat gigih menggoda manusia dalam shalatnya, dengan membangkitkan berbagai pikiran dan menyibukkan benaknya, hingga mengganggu konsentrasi shalatnya, di mana boleh jadi hal itu berakibat pada pengurangan atau penambahan dalam shalat, karena faktor lengah dan lalai tersebut.

Begitulah, manusia memiliki tabiat pelupa. Seorang penyair berkata:

وَمَاسُمِّيَ الإِنْسَانُ إِلاَّ لِنِسْيَانِهِ @ وَلاَ الْقَلْبُ إِلاَّ أَنَّهُ يَتَقَلَّبُ

Tidaklah manusia dinamakan insan kecuali karena pelupanya (an-nasyu).

Dan tidaklah hati dinamakan qalbu kecuali karena sifatnya yang suka bolak-balik (taqallub).

Terdapat hadits Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu’anhuma : “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah shalat bersama kami lima raka’at. Kami pun mengatakan, “Wahai Rasulullah, apakah engkau menambah dalam shalat?” Lalu beliau pun mengatakan, “Memang ada apa tadi?” Para sahabat pun menjawab, “Engkau telah mengerjakan shalat lima raka’at.” Lantas beliau bersabda, “Sesungguhnya aku hanyalah manusia semisal kalian. Aku bisa memiliki ingatan yang baik sebagaimana kalian. Begitu pula aku bisa lupa sebagaimana kalian pun demikian.” Setelah itu beliau melakukan dua kali sujud sahwi.” (HR. Muslim no. 572)

BAB: HAL YANG DISUNNAHKAN DAN DIPERBOLEHKAN DALAM SHALAT

Orang yang sedang shalat, dibolehkan mengenakan pakaian dan sejenisnya, membawa dan meletakkan sesuatu, membuka pintu, atau membunuh ular dan kalajengking.

Selama benda yang dibawa suci dan tidak najis.

– Boleh Menggendong anak Ketika Shalat

وَعَنْ أَبِي قَتَادَةَ ( قَالَ : { كَانَ رَسُولُ اَللَّهِ صلّى الله عليه وسلّم يُصَلِّي وَهُوَ حَامِلٌ أُمَامَةَ بِنْتَ زَيْنَبَ , فَإِذَا سَجَدَ وَضَعَهَا , وَإِذَا قَامَ حَمَلَهَا } مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ .

وَلِمُسْلِمٍ : { وَهُوَ يَؤُمُّ اَلنَّاسَ فِي اَلْمَسْجِدِ } .

Dari Abu Qatadah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah shalat sambil menggendong Umamah binti Zainab. Jika beliau sujud, beliau meletakkannya dan jika beliau berdiri, beliau menggendongnya.” (Muttafaqun ‘alaih. Dalam riwayat Muslim, “Sedang beliau mengimami orang-orang di masjid.”) [HR. Bukhari, no. 516 dan Muslim, no. 543]

Harus dipastikan anak yang digendong tidak membawa najis. Demikian disampaikan juga oleh Imam Ahmad 𝓡𝓪𝓱𝓲𝓶𝓪𝓱𝓾𝓵𝓵𝓪𝓱.

Ibnu Qudamah 𝓡𝓪𝓱𝓲𝓶𝓪𝓱𝓾𝓵𝓵𝓪𝓱 menjelaskan shalat yang membawa najis membatalkan shalat.

Imam Nawawi dalam Al-Majmu’ 2/163 : Menurut madzhab kami (Syafi’i) tidak ada kewajiban mengulangi jika tahu setelah selesai shalat.

– Membuka pintu saat shalat.

Hendaknya jangan tergesa-gesa, ucapkan Subhanallah bagi laki-laki dan tepuk tangan bagi wanita.

Ibnu Baz rahimahullahu menjelaskan, jika dalam shalat sunnah diingatkan dengan membaca tasbih bagi laki-laki dan tepuk tangan bagi wanita. Maka ini sudah cukup. Tetapi jika jauh, boleh membatalkan shalat.

Dalam shalat fardhu, jika perkara yang penting, maka boleh membatalkan shalat (Syaikh Fauzan dalam fatwanya).

BAB: HAL YANG DISUNNAHKAN DAN DIPERBOLEHKAN DALAM SHALAT

1. ORANG YANG SHALAT DISUNNAHKAN MENCEGAH SIAPA PUN YANG LEWAT DEKAT DI DEPANNYA.

Ulama berbeda pendapat tentang hukum melakukannya:
1. Wajib. Dasarnya adalah sabda Nabi ﷺ:

إذا صلَّى أحدُكُم إلى شيءٍ يستُرُهُ من الناسِ،فأرادَ أحَدٌ أنْ يَجتازَ بين يديْهِ، فليدفَعْهُ، فإنْ أبى فَليُقاتِلهُ، فإنما هو شيطانٌ

“Jika salah seorang dari kalian shalat menghadap sesuatu yang ia jadikan sutrah terhadap orang lain, kemudian ada seseorang yang mencoba lewat di antara ia dengan sutrah, maka cegahlah. jika ia enggan dicegah maka tolaklah ia dengan keras, karena sesungguhnya ia adalah setan” (HR. Al Bukhari 509, Muslim 505).

Dalam hadits ini Nabi ﷺ menggunakan kata perintah (فليدفَع), dan terdapat sebuah kaidah:

الأصل في الأمر للوجوب إلا مادل الدليل على خلافه

“Hukum dasar dalam ‘perintah’ itu wajib kecuali terdapat dalil yang menjelaskan tentang perbedaannya.“

Pendapat ini disampaikan oleh ulama dzahiriyah.

2. Sunnah Muakadah. Ini merupakan pendapat jumhur ulama, seperti pendapat Imam Nawawi 𝓡𝓪𝓱𝓲𝓶𝓪𝓱𝓾𝓵𝓵𝓪𝓱. Hukum sunnah ini menjadi pendapat Imam Nawawi dalam Syarh Shahih Muslim, 3:446: aku tidak mengetahui seorang pun dari kalangan para ulama yang mewajibkan.

🏷️ Pendapat yang kuat: ada perinciannya. Hal ini disampaikan oleh Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin 𝓡𝓪𝓱𝓲𝓶𝓪𝓱𝓾𝓵𝓵𝓪𝓱 :
1. Jika yang lewat bakal membatalkan sholat kita seperti : perempuan yang baligh, anjing hitam dan khimar. Maka wajib dicegah.

DALAM SHALAT, MENOLEH DENGAN WAJAH DAN DADA HUKUMNYA ADALAH MAKRUH.

Berdasarkan sabda Nabi ﷺ. Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, dia berkata:

سألت رسُولَ الله – صلى الله عليه وسلم – عَنِ الالتفَاتِ في الصَّلاَةِ، فَقَالَ: «هُوَ اخْتِلاَسٌ (¬1) يَخْتَلِسُهُ الشَّيْطَانُ مِنْ صَلاَةِ العَبْدِ». رواه البخاري

“Aku pernah bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang menoleh dalam shalat. Beliau menjawab: “Menoleh di dalam shalat adalah sebuah hasil curian setan yang diperoleh dari shalat seorang hamba”. (HR Al-Bukhari)

Imam Abu Ismail Ash-Shan’ani dalam kitab subulus salam berkata ini adalah dalil dimakruhkannya menoleh dalam shalat. Jumhur ulama memaknakan hadits ini jika badannya tidak membelakangi kiblat, tetapi jika membelakangi kiblat maka shalatnya batal.

Syeikh Ibnu Utsaimin –rahimahullah- berkata: “Ketahuilah bahwa menoleh itu ada dua macam:
1. Menoleh fisik dengan badan, yaitu menoleh dengan kepala.
2. Menoleh non fisik dengan hati, yaitu was-was dan sibuk dengan pikiran yang menghampiri hati (tidak khusyu). Inilah penyakit yang kita tidak bisa lepas, sangat sulit mengobatinya! Sedikit sekali orang yang selamat darinya. Hal ini mengurangi kualitas shalat. Masih bagus kalau cuma sebagiannya, namun yang terjadi tidak khusyu dari awal shalat sampai terakhir shalat. Perkara ini cocok dikatakan sebagai curian setan dari shalat seorang hamba” (As Syarhu al Mumti’: 3/70)

Kecuali, jika hal itu dilakukan untuk suatu keperluan, maka tidak menjadi masalah. Seperti saat dalam suasana peperangan, atau untuk tujuan yang dibenarkan syari’at.

Kemudian beliau duduk untuk melakukan tasyabhud pertama, dengan iftiraasy, seperti duduk di antara dua sujud.

Hukum Tasyahud Awal

Ulama berbeda pendapat. Yang rajih adalah wajib sebagaimana pendapat Hanabilah, Hanafiyah, dan salah salah satu pendapat Imam Malik dan Syafi’i. Dikuatkan oleh Syaikh bin Baz dan Syaikh Utsaimin Rahimahumullahu.

عَنْ عَبْدِ اللهِ ابنِ بُحَيْنَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَّى بِهِمُ الظُّهْرَ، فَقَامَ فِي الرَّكْعَتَيْنِ الأُولَييْنِ، وَلَمْ يَجْلِسْ، فَقَامَ النَّاسُ مَعَهُ، حَتَّى إِذَا قَضَى الصَّلاةَ، وَانْتَظَرَ النَّاسُ تَسْلِيمَهُ، كَبَّرَ وهُو جَالِسٌ. وَسَجَدَ سَجْدَتَيْن، قَبْلَ أَنْ يُسَلِّمَ، ثُمَّ سَلَّمَ. أَخْرَجَهُ السَّبْعَةُ، وَهَذَا لَفْظُ الْبُخَارِيِّ.

Dari ‘Abdullah bin Buhainah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat Zhuhur bersama mereka. Beliau berdiri pada dua rakaat pertama dan tidak sempat duduk tasyahud awal. Orang-orang pun ikut berdiri bersama beliau hingga beliau akan mengakhiri shalat dan orang-orang menunggu salamnya. Beliau takbir dengan duduk kemudian beliau sujud dua kali sebelum salam, lalu beliau salam. (Dikeluarkan oleh imam yang tujuh dan lafaz ini menurut riwayat Al-Bukhari) [HR. Bukhari, no. 829 dan Muslim, no. 570; juga Abu Daud, no. 1034; Tirmidzi, no. 391; An-Nasai, 19:3; Ibnu Majah, no. 1206; Ahmad, 7:38].

Setelah kami menjelaskan rukun-rukun shalat, juga hal-hal yang wajib dan disunnahkan dalam shalat, baik ucapan maupun gerakan, berikutnya kami ingin memaparkan tata cara shalat yang meliputi seluruh rukun, hal-hal yang wajib dan hal-hal yang disunnahkan tersebut, sesuai dengan tata cara shalat Nabi ﷺ yang diriwayatkan dalam nasb-nash (teks-teks hadits) agar menjadi teladan bagi setiap muslim, dalam rangka mengamalkan hadits Nabi ﷺ : “Shalatlah kalian sebagaimana kalian rnelihatku shalat.”

Berikut ini, alur tata cara tersebut:

Apabila Rasulullah ﷺ, memulai shalat, beliau menghadap ke arah kiblat, kemudian mengangkat kedua tangannya, dan bagian dalam telapak tangannya mengarah ke kiblat, lalu mengucapkan:

الله أكبر

“Allah Maha Besar.”

Kemudian beliau menggenggam tangan kiri dengan tangan kanannya, dan meletakkan kedua tangan tersebut di atas dada.
Setelah itu beliau membaca do’a istiftah.

Beliau tidak pernah berkesinambungan membaca satu do’a istiftaah saja. Semua jenis do’a istrftah yang diriwayatkan dari beliau, boleh digunakan untuk istiftah. Di antaranya:

سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ وَبِحَمْدِكَ وَتَبَارَكَ اسْمُكَ وَتَعَالَى جَدُّكَ وَلاَ إِلَهَ غَيْرُكَ

“Maha suci Engkau ya Allah, aku memuji-Mu, Maha berkah Nama-Mu. Maha tinggi kekayaan dan kebesaran-Mu, tidak ada sesembahan yang berhak diibadahi dengan benar selain Engkau.” (HR Muslim, Abu Daud, dan Tirmdzi).

Kemudian beliau berdo’a:

أَعُوْذُ بِاللهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّحِيْمِ. بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْمِ.

“Aku berlindung kepada Allah dari godaan syaitan yang terkutuk. Dengan Nama Allah yang Maha Pengasih Lagi Maha Penyayang.”

Selanjutnya beliau membaca surat al-Faatihah, dan di penghujungnya beliau mengucapkan: ‘Aamin’.
Setelah membaca al-Faatihah beliau membaca surat lain.

Terkadang surat panjang, terkadang surat pendek, dan terkadang surat sedang. Beliau biasanya membaca surat lebih panjang dalam shalat Shubuh, dibandingkan dengan shalat-shalat lain. Beliau membaca al-Faatihah dan surat dengan suara yang terdengar makmum dalam shalat Shubuh, dan dalam dua rakaat perrama dari shalat Maghrib dan ‘Isya’. Sementara dalam shalat lain, beliau membacanya pelan. Pada setiap shalat, beliau melakukan rakaat pertama lebih panjang dari pada rakaat kedua.

Bagian kedua: HAL-HAL YANG WAJIB DALAM SHALAT

Hal-hal yang wajib dalam shalat ada delapan, yaitu sebagai berikut:
1. SELURUH TAKBIR DALAM SHALAT, SELAIN TAKBIRATUL IHRAM, HUKUMNYA WAJIB.
Karenanya seluruh takbir untuk berpindah (dari satu rukun ke rukun yang lain) termasuk wajib, bukan rukun.
2. AT-TASMI’. Yaitu ucapan, (sami’allaahu li man hamidah).
Ucapan ini wajib bagi imam dan munfarid (orang yang shalat sendirian), adapun makmum, tidak mengucapkannya.
3. AT-TAHMIID. Yaitu mengucapkan: (rabbanaa wa lakal hamdu),bagi imam, makmum dan orang yang shalat sendirian.
4. UCAPAN SUBHAANA RABBIYAL’AZHIIM DALAM RUKU SEBANYAK SATU KALI.
5. UCAPAN (SUBHAANA RABBIYAL A’LA DALAM SUJUD, SEBANYAK SATU KALI. Namun disunnahkan menambahnya hingga tiga kali.
6. UCAPAN (RABBIGHFIRLI), ANTARA DUA SUJUD, SEBANYAK SATU KALI.
7. UCAPAN DO’A TASYAHHUD PERTAMA.
8. DUDUK TASYAHHUD PERTAMA.

Orang yang sengaja tidak melakukan salah satu dari hal-hal yang wajib ini, baik yang berupa ucapan, ataupun gerakan yang delapan ini, secara sengaja, maka shalatnya batal. Karena berarti ia mempermainkan shalat. Namun orang yang tidak melakukannya karena lupa, atau karena tidak tahu, maka ia cukup bersujud sahwi. Karena ia meninggalkan sesuatu yang tidak boleh ditinggalkan. Maka, ia harus menutupi kekurangan itu dengan sujud sahwi.

Bab Tentang Rukun-Rukun, Hal-hal yang Wajib & Hal-hal yang Disunnahkan dalam Shalat

Telah dijelaskan pada pertemuan sebelumnya tentang Rukun-Rukun shalat:

Rukun Pertama: BERDIRI DALAM SHALAT FARDHU
Rukun Kedua: TAKBIRATUL IHRAM DI AWAL SHALAT
Rukun Ketiga: MEMBACA AL-FAATIHAH
Rukun Keempat: RUKU’ PADA SETIAP RAKAAT
Rukun Kelima dan Keenam: BANGKIT DARI RUKU’ DAN BERDIRI I’TIDAL
Rukun Ketujuh: SUJUD
Rukun Kedelapan: BANGKIT DARI SUJUD DAN DUDUK DI ANTARA DUA SUJUD
Rukun Kesembilan: TUMA’NINAH PADA SETIAP GERAKAN SHALAT TERSEBUT
Rukun Kesepuluh dan Kesebelas: TASYAHHUD AKHIR DAN DUDUK TASYAHHUD
Rukun Keduabelas: MEMBACA SHALAWAT PADA TASYAHHUD AKHIR
Rukun Ketigabelas: TERTIB (BERURUTAN) DALAM PELAKSANAAN RUKUN-RUKUN SHALAT
Rukun Keempatbelas: SALAM

Telah dijelaskan pada pertemuan sebelumnya tentang Rukun-Rukun shalat:

Rukun Pertama: BERDIRI DALAM SHALAT FARDHU
Rukun Kedua: TAKBIRATUL IHRAM DI AWAL SHALAT
Rukun Ketiga: MEMBACA AL-FAATIHAH

Jumhur ulama menyatakan membaca Al Fatihah adalah termasuk rukun shalat. Tidak sah shalat tanpa membaca Al Fatihah. Diantara dalilnya adalah sabda Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam

لا صلاةَ لمن لم يقرأْ بفاتحةِ الكتابِ

“tidak ada shalat bagi orang yang tidak membaca Faatihatul Kitaab” (HR. Al Bukhari 756, Muslim 394)

Al Fatihah wajib di baca pada setiap raka’at. Jika posisinya sebagai makmum, para ulama berbeda pendapat. Yang lebih berhati-hati, makmum membaca surat Al-Fatihah baik pada shalat sirriyah atau jahriyah.

Rukun Keempat: RUKU’ PADA SETIAP RAKAAT

  • 1
  • 2