Tag Archives: muamalah

Boleh memberikan syarat berupa spesifikasi barang yang diinginkan. Jika memenuhi syarat tentang barang yang dinginkan maka jual beli menjadi sah. Namun, jika tidak memenuhi syarat maka transaksi jual beli tidak sah.

Misalnya: Seorang pembeli mensyaratkan bahwa buku yang diinginkan harus menggunakan kertas berukuran kecil. Atau, seseorang yang ingin membeli rumah mensyaratkan bahwa rumah yang diinginkannya harus menggunakan pintu yang terbuat dari besi.

Boleh pula memberi persyaratan tertentu dengan tujuan memperoleh manfaat tertentu. Misalnya,disyaratkan agar penjual mengantarkan binatang ternaknya ke tempat tertentu. Disyaratkan agar penjual rumah mengizinkan calon pembeli untuk tinggal selama sebulan di rumah yang dijual. Seseorang yang ingin membeli baju mensyaratkan bahwa dia akan membeli baju itu jika penjahitnya adalah orang yang ditentukan. Seorang pembeli mensyaratkan bahwa kayu yang dibelinya harus dibelah-belah terlebih dahulu.

Dasarnya adalah Jabir memberi syarat kepada Rasulullah Shalallahu Alaihi wa Sallam agar ada dua orang yang mengantarkan keledai yang dibeli dari Rasulullah.

– Secara bahasa, Jual beli atau Al-bai’ (البيع) bermakna mengambil barang atau sesuatu dan memberikan barang yang lain.

– Secara syariat: saling tukar barang yaitu dengan tujuan memiliki.

Jual beli disyariatkan menurut Al-Qur`an, sebagaimana yang tercantum dalam firman Allah ﷻ:

وَأَحَلَّ ٱللَّهُ ٱلْبَيْعَ وَحَرَّمَ ٱلرِّبَوٰا۟…

“Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.” (Al-Baqarah: 275)

Jual beli juga disyariatkan menurut As-Sunnah, baik dalam bentuk sabda maupun perbuatan Rasulullah. Nabi pernah melakukan transaksi jual beli. Beliau juga bersabda, “Seorang yang bermukim dilarang melakukan jual beli dengan seorang musafir.” (HR. Abu Dawud, 3440, At-Tirmidzi, 1222, 1223, Ibnu Majah, 2175, 2176)

Pembahasan Bab ini menunjukkan lengkapnya Islam dimana seluruh lini kehidupan telah dibahas dan disampaikan Rasulullah ﷺ.

Perlombaan di sini adalah perlombaan memanah, olah raga, dan cerdas cermat. Pemhahasan bab ini dibagi menjadi lima materi, yaitu:

Materi Pertama: Tujuan Olah Raga

Ada banyak cabang olahraga di dunia. Ternyata, ada tiga olahraga yang disunnahkan atau dianjurkan oleh Rasulullah ﷺ. Tiga olahraga sunnah Rasul tersebut adalah memanah, berkuda dan berenang.

”Ajarilah anak-anak kalian berkuda, berenang, dan memanah,” (HR Bukhari, Muslim).

Tujuan semua olah raga, yang dikenal pada masa awal kelahiran Islam dengan nama furusiyah (ketangkasan berkuda) adalah untuk memelihara kebenaran, mempertahankannya, dan membelanya. Tujuannya sama sekali bukan untuk memperoleh harta dan mengumpulkannya, bukan pula untuk popularitas dan kesukaan pada ketenaran, bukan pula untuk kemegahan di dunia beserta segala kerusakan yang mengiringinya, seperti yang terjadi pada olahragawan zaman sekarang.

Tujuan dari semua jenis olah raga adalah untuk menguatkan tubuh dan meningkatkan kemampuan jihad di jalan Allah ﷻ. Berdasarkan hal ini, olah raga dalam Islam harus dipahami dalam pengertian tersebut. Jika ada orang yang memahami olah raga secara berbeda, berarti ia mengeluarkan olah raga dari tujuannya yang baik ke tujuan yang buruk, yaitu permainan yang batil dan perjudian yang dilarang.

Dasar hukum disyariatkan dan dianjurkannya olah raga adalah firman Allah ﷻ dalam surat Al-A’raf ayat 60:

وَاَعِدُّوْا لَهُمْ مَّا اسْتَطَعْتُمْ مِّنْ قُوَّةٍ…

Dan persiapkanlah dengan segala kemampuan untuk menghadapi mereka dengan kekuatan yang kamu miliki…

Dari Abu Hurairah, Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda,

الْمُؤْمِنُ الْقَوِىُّ خَيْرٌ وَأَحَبُّ إِلَى اللَّهِ مِنَ الْمُؤْمِنِ الضَّعِيفِ وَفِى كُلٍّ خَيْرٌ احْرِصْ عَلَى مَا يَنْفَعُكَ وَاسْتَعِنْ بِاللَّهِ وَلاَ تَعْجِزْ…

“Mukmin yang kuat lebih baik dan lebih dicintai oleh Allah daripada mukmin yang lemah. Namun, keduanya tetap memiliki kebaikan. Bersemangatlah atas hal-hal yang bermanfaat bagimu. Minta tolonglah pada Allah, jangan engkau lemah….” (HR Muslim).

Memahami prinsip muamalah kesadaran yang kita bangun adalah semua akan dihisab disisi Allâh ﷻ. Dari Abu Barzah Al-Aslami, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لاَ تَزُولُ قَدَمَا عَبْدٍ يَوْمَ الْقِيَامَةِ حَتَّى يُسْأَلَ عَنْ عُمْرِهِ فِيمَا أَفْنَاهُ وَعَنْ عِلْمِهِ فِيمَا فَعَلَ وَعَنْ مَالِهِ مِنْ أَيْنَ اكْتَسَبَهُ وَفِيمَا أَنْفَقَهُ وَعَنْ جِسْمِهِ فِيمَا أَبْلاَهُ

“Kedua kaki seorang hamba tidaklah beranjak pada hari kiamat hingga ia ditanya mengenai: (1) umurnya di manakah ia habiskan, (2) ilmunya di manakah ia amalkan, (3) hartanya bagaimana ia peroleh dan (4) di mana ia infakkan dan (5) mengenai tubuhnya di manakah usangnya.” (HR. Tirmidzi no. 2417, dari Abi Barzah Al Aslami. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih)

Dengan modal inilah, seseorang akan berhati-hati jika bermuamalah dengan harta, jangan sampai ini menjadi musibah di sisi Allâh ﷻ.

Hal inilah yang diperhatikan sahabat Nabi ﷺ. Umar bin Khathab Radhiyallahu’anhu berkata, kami dahulu meninggalkan sembilan dari sepuluh peluang bisnis yang halal karena takut terjerumus kepada sesuatu yang haram.

Maka, jangan mencari yang khilaf dan abu-abu… Karena khilaf bukan dalil tetapi butuh dalil. Maka jangan mencari syubhat.

Rasulullah Muhammad Shallallahu alahi wasallam pernah berpesan tentang akan datang zaman ketika manusia tak peduli halal atau haram.

عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ رَضِىَ اللهُ عَنْهُ عَنِ النَّبِىِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ يَأْتِى عَلَى النَّاسِ زَمَانٌ، لاَ يُبَالِى الْمَرْءُ مَا أَخَذَ مِنْهُ أَمِنَ الْحَلاَلِ أَمْ مِنَ الْحَرَامِ

Dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu dari Nabi ﷺ bersabda : Akan datang suatu zaman pada manusia yang ketika itu seseorang tidak peduli lagi tentang apa yang didapatnya apakah dari barang halal ataukah haram. (H. R. Bukhari no . 2059)

Sungguh telah banyak nikmat yang telah Allah anugerahkan. Dan semua kelak akan ditanya, benarkah kita telah memanfaatkan nikmat tersebut dengan benar.