Tag Archives: minhajul muslim

Rasulullah ﷺ melarang berbagai jenis jual beli yang mengandung kecurangan, sehingga berakibat memakan harta orang lain dengan cara yang tidak sah. Demikian pula jual beli yang mengandung penipuan, sehingga
menimbulkan kedengkian, pertengkaran, dan permusuhan di antara kaum Muslimin. Antara lain:

1. Jual beli barang yang belum diterima. Seorang Muslim tidak boleh membeli barang kemudian menjualnya kembali saat barang itu belum ada di tangannya. Rasulullah bersabda,

“Jika engkau membeli barang, jangan menjual kembali sebelum barang itu engkau terima”. (HR. Ahmad,3/402, Ad-Daraquthni, 3/9)

Hikmah adanya khiyar adalah adanya maslahat, terutama kapada pembeli. Berfaedah bagi pembeli dalam hak memilih baik bagi muslim maupun non muslim.

Khiyar maknanya memilih. Definisi secara syari’at: penetapan hak untuk melangsungkan atau membatalkan akad.

Khiyar ada beberapa jenis seperti khiyar majelis, khiyar syart dan khiyar Aib.

Ada beberapa pembahasan terkait dengan legalitas khiyar dalam transaksi
jual beli.

1. Selama penjual dan pembeli masih berada di tempat dan belum berpisah,
keduanya berhak atas khiyar. Khiyar adalah hak memilih untuk melaksanakan jual beli atau membatalkannya (khiyar majelis).

Boleh memberikan syarat berupa spesifikasi barang yang diinginkan. Jika memenuhi syarat tentang barang yang dinginkan maka jual beli menjadi sah. Namun, jika tidak memenuhi syarat maka transaksi jual beli tidak sah.

Misalnya: Seorang pembeli mensyaratkan bahwa buku yang diinginkan harus menggunakan kertas berukuran kecil. Atau, seseorang yang ingin membeli rumah mensyaratkan bahwa rumah yang diinginkannya harus menggunakan pintu yang terbuat dari besi.

Boleh pula memberi persyaratan tertentu dengan tujuan memperoleh manfaat tertentu. Misalnya,disyaratkan agar penjual mengantarkan binatang ternaknya ke tempat tertentu. Disyaratkan agar penjual rumah mengizinkan calon pembeli untuk tinggal selama sebulan di rumah yang dijual. Seseorang yang ingin membeli baju mensyaratkan bahwa dia akan membeli baju itu jika penjahitnya adalah orang yang ditentukan. Seorang pembeli mensyaratkan bahwa kayu yang dibelinya harus dibelah-belah terlebih dahulu.

Dasarnya adalah Jabir memberi syarat kepada Rasulullah Shalallahu Alaihi wa Sallam agar ada dua orang yang mengantarkan keledai yang dibeli dari Rasulullah.

– Secara bahasa, Jual beli atau Al-bai’ (البيع) bermakna mengambil barang atau sesuatu dan memberikan barang yang lain.

– Secara syariat: saling tukar barang yaitu dengan tujuan memiliki.

Jual beli disyariatkan menurut Al-Qur`an, sebagaimana yang tercantum dalam firman Allah ﷻ:

وَأَحَلَّ ٱللَّهُ ٱلْبَيْعَ وَحَرَّمَ ٱلرِّبَوٰا۟…

“Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.” (Al-Baqarah: 275)

Jual beli juga disyariatkan menurut As-Sunnah, baik dalam bentuk sabda maupun perbuatan Rasulullah. Nabi pernah melakukan transaksi jual beli. Beliau juga bersabda, “Seorang yang bermukim dilarang melakukan jual beli dengan seorang musafir.” (HR. Abu Dawud, 3440, At-Tirmidzi, 1222, 1223, Ibnu Majah, 2175, 2176)

Materi Ketiga: Tata Cara Menentukan Taruhan dalam Pacuan Kuda dan Panahan

Pihak yang paling pantas menentukan hadiah dalam ketangkasan berkuda dan panahan adalah pemerintah atau yayasan sosial, atau para dermawan agar bersih dari segala syubhat (keragu-raguan) dan agar menjadi motivasi untuk yang tidak bertujuan selain menimbulkan kecintaan pada persiapan kekuatan untuk jihad.

Diperbolehkan pula salah seorang dari kedua peserta menentukan hadiah tersebut. Misalnya, ia mengatakan kepada peserta yang lain, “Jika engkau mengalahkanku maka engkau mendapatkan 10 atau 100 dinar dariku” Mayoritas ulama memperbolehkan masing-masing peserta menentukan taruhannya apabila mereka herdua memasukan peserta yang ketiga tanpa menentukan taruhan apa pun *), Ini adalah pendapat Sa’id bin Musayyab, tetapi Malik menolaknya, sedangkan yang lain menyetujuinya.

Pembahasan Bab ini menunjukkan lengkapnya Islam dimana seluruh lini kehidupan telah dibahas dan disampaikan Rasulullah ﷺ.

Perlombaan di sini adalah perlombaan memanah, olah raga, dan cerdas cermat. Pemhahasan bab ini dibagi menjadi lima materi, yaitu:

Materi Pertama: Tujuan Olah Raga

Ada banyak cabang olahraga di dunia. Ternyata, ada tiga olahraga yang disunnahkan atau dianjurkan oleh Rasulullah ﷺ. Tiga olahraga sunnah Rasul tersebut adalah memanah, berkuda dan berenang.

”Ajarilah anak-anak kalian berkuda, berenang, dan memanah,” (HR Bukhari, Muslim).

Tujuan semua olah raga, yang dikenal pada masa awal kelahiran Islam dengan nama furusiyah (ketangkasan berkuda) adalah untuk memelihara kebenaran, mempertahankannya, dan membelanya. Tujuannya sama sekali bukan untuk memperoleh harta dan mengumpulkannya, bukan pula untuk popularitas dan kesukaan pada ketenaran, bukan pula untuk kemegahan di dunia beserta segala kerusakan yang mengiringinya, seperti yang terjadi pada olahragawan zaman sekarang.

Tujuan dari semua jenis olah raga adalah untuk menguatkan tubuh dan meningkatkan kemampuan jihad di jalan Allah ﷻ. Berdasarkan hal ini, olah raga dalam Islam harus dipahami dalam pengertian tersebut. Jika ada orang yang memahami olah raga secara berbeda, berarti ia mengeluarkan olah raga dari tujuannya yang baik ke tujuan yang buruk, yaitu permainan yang batil dan perjudian yang dilarang.

Dasar hukum disyariatkan dan dianjurkannya olah raga adalah firman Allah ﷻ dalam surat Al-A’raf ayat 60:

وَاَعِدُّوْا لَهُمْ مَّا اسْتَطَعْتُمْ مِّنْ قُوَّةٍ…

Dan persiapkanlah dengan segala kemampuan untuk menghadapi mereka dengan kekuatan yang kamu miliki…

Dari Abu Hurairah, Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda,

الْمُؤْمِنُ الْقَوِىُّ خَيْرٌ وَأَحَبُّ إِلَى اللَّهِ مِنَ الْمُؤْمِنِ الضَّعِيفِ وَفِى كُلٍّ خَيْرٌ احْرِصْ عَلَى مَا يَنْفَعُكَ وَاسْتَعِنْ بِاللَّهِ وَلاَ تَعْجِزْ…

“Mukmin yang kuat lebih baik dan lebih dicintai oleh Allah daripada mukmin yang lemah. Namun, keduanya tetap memiliki kebaikan. Bersemangatlah atas hal-hal yang bermanfaat bagimu. Minta tolonglah pada Allah, jangan engkau lemah….” (HR Muslim).

Materi Kedelapan: Akad Dzimmah dan Hukum-hukumnya

A. Akad Dzimmah

Akad dzimmah ialah pemberian jaminan keamanan terhadap orang kafir yang bersedia memberikan jizyah (upeti) kepada kaum Muslimin serta berjanji kepada kaum Muslimin mengenai kesediaannya menerima pemberlakuan ketentuan hukum syariat Islam dalam kasus pelanggaran berat seperti: Kasus pembunuhan, pencurian dan pelanggaran kehormatan.

B. Siapakah yang Berhak Melakukan Akad Dzimmah

Adapun orang yang berhak mengadakan akad dzimmah ialah pimpinan atau wakilnya. Sedang selain keduanya tidak berhak melakukannya. Berbeda dengan masalah pemberian perlindungan serta keamanan, maka setiap orang Islam, baik laki-laki maupun wanita dapat memberikan perlindungan serta keamanan. Karena Ummu Hani binti Abi Thalib pun telah melindungi seorang laki-laki dari kaum musyrikin ketika penaklukan kota Makkah, kemudian ia menemui Rasulullah ﷺ dan menceritakan hal itu, maka Rasulullah ﷺ bersabda,

“Sungguh kami akan melindungi orang yang engkau lindungi, dan kami pun akan menjamin keamanan orang yang engkau jamin keamanannya, wahai Ummu Hani’. (Diriwayatkan oleh al-Bukhari, no. 2171).

C. Membedakan Ahludz Dzimmah (Orang Kafir yang Berada di Bawah Perlindungan Kaum Muslimin) dari Kaum Muslimin

Wajib membedakan ahludz dzimmah dari kaum Muslimin di dalam berpakaian dan lain-lain, supaya mereka dapat dikenali dan orang yang meninggal dari mereka tidak boleh dikuburkan di pekuburan orang-orang Muslim, tidak boleh berdiri memberi hormat terhadap mereka, tidak boleh memulai ucapan salam terhadap mereka dan tidak boleh mendudukkan mereka di bagian depan di dalam pertemuan, berdasarkan sabda Rasulullah ﷺ:

وَعَنْهُ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللَّهِ صلى الله عليه و سلم : “لاَ تَبْدَؤُوْا الْيَهُوْدَ وَلاَ النَّصَارَى بِالسَّلاَمِ، وَإِذَا لَقِيتُمُوْهُمْ فِي طَرِيْقٍ فَاضْطَرُّوْهُمْ إِلَى أَضْيَقِهِ.” أَخْرَجَهُ مُسْلِمٌ .

Dari Abu Hurairah Radiyallāhu anhu ia berkata: Rasūlullāh Shallallāhu Alayhi Wasallam bersabda: “Janganlah kalian mendahului mengucapkan salam kepada orang-orang Yahudi dan Nasrani, dan jika kalian bertemu dengan mereka disebuah jalan, desaklah mereka ke tempat yang paling sempit.”

(Diriwayatkan oleh Muslim, no. 2167).

Bagian Kelima: Muamalat | Bab 1 – Jihad | Bagian 1

Definisi Jihad (Pengertian Jihad)

▪️ Jihad secara bahasa berarti mengerahkan dan mencurahkan segala kemampuannya baik berupa perkataan maupun perbuatan.

▪️ Secara istilah syari’ah berarti mengerahkan dan mencurahkan segala kemampuan kaum muslimin untuk memperjuangkan melawan orang-orang yang dzalim, murtad maupun pemberontak dan selain mereka untuk menegakan Islam demi mencapai ridha Allâh ﷻ.

Bab ini terdiri atas sebelas materi:

Materi Pertama: Hukum, Macam, dan Hikmah Jihad

1. Hukum Jihad

Jihad khusus, yaitu perang melawan kaum kafir dan kaum yang memerangi umat Islam, hukumnya fardhu kifayah. Apabila sebagian kaum Muslimin sudah melakukannya maka kewajiban sebagian yang lain gugur. Ini berdasarkan firman Allâh ﷻ,

۞ وَمَا كَانَ الْمُؤْمِنُوْنَ لِيَنْفِرُوْا كَاۤفَّةًۗ فَلَوْلَا نَفَرَ مِنْ كُلِّ فِرْقَةٍ مِّنْهُمْ طَاۤىِٕفَةٌ لِّيَتَفَقَّهُوْا فِى الدِّيْنِ وَلِيُنْذِرُوْا قَوْمَهُمْ اِذَا رَجَعُوْٓا اِلَيْهِمْ لَعَلَّهُمْ يَحْذَرُوْنَ ࣖ

Dan tidak sepatutnya orang-orang mukmin itu semuanya pergi (ke medan perang). Mengapa sebagian dari setiap golongan di antara mereka tidak pergi untuk memperdalam pengetahuan agama mereka dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali, agar mereka dapat menjaga dirinya. (At-
Taubah: 122)

💡 Jihad terbagi menjadi dua, yaitu jihad ath tholab (menyerang) hukumnya fardhu kifayah dan jihad ad daf’u (bertahan) hukumnya fardhu ‘ain.

Hanya saja, bagi orang yang ditunjuk oleh imam maka jihad menjadi fardhu ain baginya, berdasarkan sabda Rasulullah ﷺ, “Dan apabila kalian diminta untuk berangkat maka berangkatlah.” (HR. Al-Bukhari, 3/18, Muslim, Kitab Al-Ijarah, 85, 86, Ibnu Majah, 2773, dan Imam Ahmad, 1/226).

Demikian pula halnya ketika musuh sudah mengepung suatu negeri maka seluruh penduduknya menjadi tertunjuk, termasuk kaum perempuan, untuk melawan musuh.

💡Maka hukum fardhu kifayah berubah menjadi fardhu ‘ain, berlaku pada tiga keadaan:
1. Jika ditunjuk oleh pemimpin.
2. Jika diserang musuh.
3. Jika sudah masuk ke kancah peperangan, maka dilarang untuk melarikan diri.

BAB 14 – HEWAN QURBAN DAN AQIQAH
Materi Kedua: Aqiqah

1. Definisinya: Aqiqah adalah hewan yang disembelih karena lahirnya seseorang pada hari kelujuh dari kelahirannya.

▪️ Yang disebutkan dalam hadits afdholnya adalah domba atau kambing, meskipun boleh misalnya dengan unta.

▪️ Jika sapi, maka tidak dibagi tujuh seperti pada kurban. 

2. Hukumnya: Aqiqah adalah sunnah muakkadah bagi keluarga bayi tersebut yang sanggup untuk melakukannya. Ini berdasarkan sabdanya, dari sahabat Samurah bin Jundub radhiallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

كُلُّ غُلاَمٍ مُرْتَهَنٌ بِعَقِيقَتِهِ تُذْبَحُ عَنْهُ يَوْمَ السَّابِعِ وَيُحْلَقُ رَأْسُهُ وَيُسَمَّى

“Setiap anak tergadaikan dengan aqiqahnya. Disembelih pada hari ketujuh, dicukur gundul rambutnya, dan diberi nama.” (HR. Ahmad 20722, at-Turmudzi 1605, dan dishahihkan al-Albani).

▪️ Sebagian ulama berpendapat wajib dan sebagian lainnya berpendapat sunnah biasa. Yang rajih, yang wajib adalah sang Bapak yang mengaqiqahkan anaknya. Namun, jika bapaknya tidak mengakikahkan karena kurang mampu atau tidak mau, maka kewajibannya/kebolehannya berpindah ke wali yang lain, apabila ada izin dari sang Bapak.

▪️ Jika anak sampai besar tidak diaqiqahkan, boleh mengaqiqahkan dirinya sendiri. Pendapat ini didukung oleh Syaikh Ibnu Baz Rahimahullah. Bahkan jika keburu meninggal dunia, maka boleh diaqiqahkan. Karena tidak ada dalil yang sharih dan para ulama berijtihad dalam hal ini.

▪️ Demikian juga dianjurkan mengaqiqahkan bayi yang keguguran karena sudah ada ruhnya setelah berumur empat bulan.

▪️ Jika ada nadzar dari orang tua kita, maka hukumannya menjadi wajib.

A. Definisinya

Hewan qurban adalah hewan yang disembelih pada waklu dhuha di hari id dalam rangka bertaqarrub kepada Allah Taala.

Definisi lain yang lebih tepat: Hewan yang disembelih dari hewan-hewan ternak pada hari Ied Adha hingga akhir hari tasyrik dalam rangka bertaqarrub kepada Allah Taala.

B. Hukumnya

Berqurban hukumnya adalah sunnah yang wajib bagi setiap keluarga Muslim yang sanggup melaksanakannya. Ini berdasarkan firman Allâh ﷻ, “Maka shalatlah karena Rabbmu, dan berqurban!ah.” (Al-Kautsar: 2)

Para ulama berbeda pendapat, ada yang mewajibkan dan Sunnah muakadah. Sesuai dengan kemampuan masing-masing. Dan yang paling dituntut yaitu kepala rumah tangga. Tetapi, jika seorang isteri memiliki harta sendiri, maka boleh ikut berkurban. Dan jika seseorang bernadzar maka wajib dilakukan.

Hukum berkurban hanya untuk orang yang masih hidup, kecuali dalam beberapa hal:
1. Diikutsertakan dalam niat bagi orang yang masih hidup.
2. Wasiat jika diucapkan sebelum meninggal, maka wajib dilakukan.

Begitu pula sabda Rasulullah ﷺ “Barangsiapa berqurban sebelum shalat id maka hendaklah dia mengulang.” (HR. Al-Bukhari, 7/129, Muslim, Al-Adhahi, 10, dan An-Nasai, 7/223)

Begitu pula perkataan Abu Ayub Al-Anshari, “Dahulu ada seseorang di zaman Rasulullah ﷺ yang berqurban untuk dirinya dan keluarganya. ”
( HR. At Tirmidzi, dia menilainya shahih).

C. Keutamaannya

Sunnah menjamin akan keutamaan yang besar dari berqurban. Ini berdasarkan sabda Rasulullah ﷺ : “Tidak ada amal kebajikan dari anak Adam yang lebih dicintai Allah pada hari qurban lebih dari mengalirkan darah (qurban). Hewan qurban akan datang pada Hari Kiamat dengan tanduknya, kukunya, dan bulu-bulunya. Sesungguhnya darah itu telah mencapai keridhaan Allah sebelum mencapai tanah, maka kerjakanlah dengan kerelaan hati.” (HR. Ibnu Majah, 3126, dan At-Tirmidzi, dia menilai hasan namun juga gharib).

Diriwayatkan oleh Al-Bukhari, rahimahullah, dari Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu ‘anhuma bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : Tidak ada hari dimana amal shalih pada saat itu lebih dicintai oleh Allah daripada hari-hari ini, yaitu : Sepuluh hari dari bulan Dzulhijjah. Mereka bertanya : Ya Rasulullah, tidak juga jihad fi sabilillah?. Beliau menjawab : Tidak juga jihad fi sabilillah, kecuali orang yang keluar (berjihad) dengan jiwa dan hartanya, kemudian tidak kembali dengan sesuatu apapun“.

Begitu pula sabdanya ketika para sahabat bertanya tentang qurban. Beliau menjawab, “Sunnah ayah kalian Ibrahim.”Mereka bertanya, “Apa balasannya bagi kami?” Beliau menjawab, “Bagi setiap bulu adalah satu kebaikan.” Mereka bertanya, “Bagaimana dengan bulu domba?” Beliau menjawab, Bagi setiap rambut dari domba adalah satu kebaikan.” (HR. Imam Ahmad, 4/368, dan Ibnu Majah, 3127.). Hadits ini statusnya dhaif.

  • 1
  • 2