Tag Archives: kajian rutin

Salah satu dari prinsip ‘aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah adalah cinta karena Allah dan benci karena Allah, yaitu mencintai dan memberikan wala’ (loyalitas) kepada kaum Mukminin, membenci kaum musyrikin dan orang-orang kafir serta berpaling (bara’) dari mereka.

al-bara’ berarti penyesuaian diri seorang hamba terhadap apa yang dibenci dan dimurkai Allah berupa perkataan, perbuatan, keyakinan dan kepercayaan serta orang. Dia tetap tegak di atas kebenaran. Dan ini dimiliki oleh hati yang sehat.

Hati yang sehat yaitu hati yang bersih yang seorang pun tak akan bisa selamat pada Hari Kiamat kecuali jika dia datang kepada Allah dengannya.

Untuk meraih derajat surga, kondisi amalan manusia memiliki kualitas yang berbeda-beda. Baik dari kesungguhan, keikhlasan dan lainnya.

Allah ﷻ berfirman dalam Al-Qur’an Surat Al-an’am ayat 132:

وَلِكُلٍّ دَرَجٰتٌ مِّمَّا عَمِلُوۡا ؕ وَمَا رَبُّكَ بِغَافِلٍ عَمَّا يَعۡمَلُوۡنَ‏ ١٣٢

Dan masing-masing orang ada tingkatannya, (sesuai) dengan apa yang mereka kerjakan. Dan Tuhanmu tidak lengah terhadap apa yang mereka kerjakan.

Dalam Surat Ali ‘Imran Ayat 162 – 163:

أَفَمَنِ ٱتَّبَعَ رِضْوَٰنَ ٱللَّهِ كَمَنۢ بَآءَ بِسَخَطٍ مِّنَ ٱللَّهِ وَمَأْوَىٰهُ جَهَنَّمُ ۚ وَبِئْسَ ٱلْمَصِيرُ

Apakah orang yang mengikuti keridhaan Allah sama dengan orang yang kembali membawa kemurkaan (yang besar) dari Allah dan tempatnya adalah Jahannam? Dan itulah seburuk-buruk tempat kembali.

هُمْ دَرَجَٰتٌ عِندَ ٱللَّهِ ۗ وَٱللَّهُ بَصِيرٌۢ بِمَا يَعْمَلُونَ

(Kedudukan) mereka itu bertingkat-tingkat di sisi Allah, dan Allah Maha Melihat apa yang mereka kerjakan.

Hasan Al-Bashri Rahimahullah menafsirkan makna هُمْ دَرَجَٰتٌ Maknanya adalah beberapa derajat bagi orang yang melakukan kebaikan dan orang yang melakukan keburukan.

Peristiwa Isrâ’ dan Mi’râj merupakan salah satu di antara mukjizat yang diberikan Allah Azza wa Jalla kepada Rasul-Nya, yaitu Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam , sebagai wujud penghormatan dan pelipur lara setelah paman dan istri beliau meninggal dunia. Peristiwa ini juga sebagai penghibur setelah beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam mendapatkan perlakuan tidak bersahabat dari penduduk Thâif.

Peristiwa Isrâ dan Mi’râj terjadi pada tahun kesepuluh kenabian. Namun para ulama berselisih tentang waktu kejadiannya. Yang tidak ada perseselisihan yaitu tentang kebenaran peristiwa ini, karena kejadian ini diabadikan dalam Al-Qur`ân dan Al-Hadits.

Manakala manusia memiliki kecenderungan untuk lengah dan lupa, sementara syaitan amat gigih menggoda manusia dalam shalatnya, dengan membangkitkan berbagai pikiran dan menyibukkan benaknya, hingga mengganggu konsentrasi shalatnya, di mana boleh jadi hal itu berakibat pada pengurangan atau penambahan dalam shalat, karena faktor lengah dan lalai tersebut.

Begitulah, manusia memiliki tabiat pelupa. Seorang penyair berkata:

وَمَاسُمِّيَ الإِنْسَانُ إِلاَّ لِنِسْيَانِهِ @ وَلاَ الْقَلْبُ إِلاَّ أَنَّهُ يَتَقَلَّبُ

Tidaklah manusia dinamakan insan kecuali karena pelupanya (an-nasyu).

Dan tidaklah hati dinamakan qalbu kecuali karena sifatnya yang suka bolak-balik (taqallub).

Terdapat hadits Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu’anhuma : “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah shalat bersama kami lima raka’at. Kami pun mengatakan, “Wahai Rasulullah, apakah engkau menambah dalam shalat?” Lalu beliau pun mengatakan, “Memang ada apa tadi?” Para sahabat pun menjawab, “Engkau telah mengerjakan shalat lima raka’at.” Lantas beliau bersabda, “Sesungguhnya aku hanyalah manusia semisal kalian. Aku bisa memiliki ingatan yang baik sebagaimana kalian. Begitu pula aku bisa lupa sebagaimana kalian pun demikian.” Setelah itu beliau melakukan dua kali sujud sahwi.” (HR. Muslim no. 572)

BAB: HAL YANG DISUNNAHKAN DAN DIPERBOLEHKAN DALAM SHALAT

Orang yang sedang shalat, dibolehkan mengenakan pakaian dan sejenisnya, membawa dan meletakkan sesuatu, membuka pintu, atau membunuh ular dan kalajengking.

Selama benda yang dibawa suci dan tidak najis.

– Boleh Menggendong anak Ketika Shalat

وَعَنْ أَبِي قَتَادَةَ ( قَالَ : { كَانَ رَسُولُ اَللَّهِ صلّى الله عليه وسلّم يُصَلِّي وَهُوَ حَامِلٌ أُمَامَةَ بِنْتَ زَيْنَبَ , فَإِذَا سَجَدَ وَضَعَهَا , وَإِذَا قَامَ حَمَلَهَا } مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ .

وَلِمُسْلِمٍ : { وَهُوَ يَؤُمُّ اَلنَّاسَ فِي اَلْمَسْجِدِ } .

Dari Abu Qatadah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah shalat sambil menggendong Umamah binti Zainab. Jika beliau sujud, beliau meletakkannya dan jika beliau berdiri, beliau menggendongnya.” (Muttafaqun ‘alaih. Dalam riwayat Muslim, “Sedang beliau mengimami orang-orang di masjid.”) [HR. Bukhari, no. 516 dan Muslim, no. 543]

Harus dipastikan anak yang digendong tidak membawa najis. Demikian disampaikan juga oleh Imam Ahmad 𝓡𝓪𝓱𝓲𝓶𝓪𝓱𝓾𝓵𝓵𝓪𝓱.

Ibnu Qudamah 𝓡𝓪𝓱𝓲𝓶𝓪𝓱𝓾𝓵𝓵𝓪𝓱 menjelaskan shalat yang membawa najis membatalkan shalat.

Imam Nawawi dalam Al-Majmu’ 2/163 : Menurut madzhab kami (Syafi’i) tidak ada kewajiban mengulangi jika tahu setelah selesai shalat.

– Membuka pintu saat shalat.

Hendaknya jangan tergesa-gesa, ucapkan Subhanallah bagi laki-laki dan tepuk tangan bagi wanita.

Ibnu Baz rahimahullahu menjelaskan, jika dalam shalat sunnah diingatkan dengan membaca tasbih bagi laki-laki dan tepuk tangan bagi wanita. Maka ini sudah cukup. Tetapi jika jauh, boleh membatalkan shalat.

Dalam shalat fardhu, jika perkara yang penting, maka boleh membatalkan shalat (Syaikh Fauzan dalam fatwanya).

BAB: HAL YANG DISUNNAHKAN DAN DIPERBOLEHKAN DALAM SHALAT

1. ORANG YANG SHALAT DISUNNAHKAN MENCEGAH SIAPA PUN YANG LEWAT DEKAT DI DEPANNYA.

Ulama berbeda pendapat tentang hukum melakukannya:
1. Wajib. Dasarnya adalah sabda Nabi ﷺ:

إذا صلَّى أحدُكُم إلى شيءٍ يستُرُهُ من الناسِ،فأرادَ أحَدٌ أنْ يَجتازَ بين يديْهِ، فليدفَعْهُ، فإنْ أبى فَليُقاتِلهُ، فإنما هو شيطانٌ

“Jika salah seorang dari kalian shalat menghadap sesuatu yang ia jadikan sutrah terhadap orang lain, kemudian ada seseorang yang mencoba lewat di antara ia dengan sutrah, maka cegahlah. jika ia enggan dicegah maka tolaklah ia dengan keras, karena sesungguhnya ia adalah setan” (HR. Al Bukhari 509, Muslim 505).

Dalam hadits ini Nabi ﷺ menggunakan kata perintah (فليدفَع), dan terdapat sebuah kaidah:

الأصل في الأمر للوجوب إلا مادل الدليل على خلافه

“Hukum dasar dalam ‘perintah’ itu wajib kecuali terdapat dalil yang menjelaskan tentang perbedaannya.“

Pendapat ini disampaikan oleh ulama dzahiriyah.

2. Sunnah Muakadah. Ini merupakan pendapat jumhur ulama, seperti pendapat Imam Nawawi 𝓡𝓪𝓱𝓲𝓶𝓪𝓱𝓾𝓵𝓵𝓪𝓱. Hukum sunnah ini menjadi pendapat Imam Nawawi dalam Syarh Shahih Muslim, 3:446: aku tidak mengetahui seorang pun dari kalangan para ulama yang mewajibkan.

🏷️ Pendapat yang kuat: ada perinciannya. Hal ini disampaikan oleh Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin 𝓡𝓪𝓱𝓲𝓶𝓪𝓱𝓾𝓵𝓵𝓪𝓱 :
1. Jika yang lewat bakal membatalkan sholat kita seperti : perempuan yang baligh, anjing hitam dan khimar. Maka wajib dicegah.

DALAM SHALAT, MENOLEH DENGAN WAJAH DAN DADA HUKUMNYA ADALAH MAKRUH.

Berdasarkan sabda Nabi ﷺ. Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, dia berkata:

سألت رسُولَ الله – صلى الله عليه وسلم – عَنِ الالتفَاتِ في الصَّلاَةِ، فَقَالَ: «هُوَ اخْتِلاَسٌ (¬1) يَخْتَلِسُهُ الشَّيْطَانُ مِنْ صَلاَةِ العَبْدِ». رواه البخاري

“Aku pernah bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang menoleh dalam shalat. Beliau menjawab: “Menoleh di dalam shalat adalah sebuah hasil curian setan yang diperoleh dari shalat seorang hamba”. (HR Al-Bukhari)

Imam Abu Ismail Ash-Shan’ani dalam kitab subulus salam berkata ini adalah dalil dimakruhkannya menoleh dalam shalat. Jumhur ulama memaknakan hadits ini jika badannya tidak membelakangi kiblat, tetapi jika membelakangi kiblat maka shalatnya batal.

Syeikh Ibnu Utsaimin –rahimahullah- berkata: “Ketahuilah bahwa menoleh itu ada dua macam:
1. Menoleh fisik dengan badan, yaitu menoleh dengan kepala.
2. Menoleh non fisik dengan hati, yaitu was-was dan sibuk dengan pikiran yang menghampiri hati (tidak khusyu). Inilah penyakit yang kita tidak bisa lepas, sangat sulit mengobatinya! Sedikit sekali orang yang selamat darinya. Hal ini mengurangi kualitas shalat. Masih bagus kalau cuma sebagiannya, namun yang terjadi tidak khusyu dari awal shalat sampai terakhir shalat. Perkara ini cocok dikatakan sebagai curian setan dari shalat seorang hamba” (As Syarhu al Mumti’: 3/70)

Kecuali, jika hal itu dilakukan untuk suatu keperluan, maka tidak menjadi masalah. Seperti saat dalam suasana peperangan, atau untuk tujuan yang dibenarkan syari’at.

Penutup Kajian Libur Summer 2014 – Ringkasan dan Murajaah Materi Sebelumnya.

▪️ Setiap penyakit ada obatnya.

Dalam Shahih Al-Bukhari tercantum sebuah hadits yang dikutip dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

ًمَا أَنْزَلَ اللهُ دَاءً إِلاَّ أَنْزَلَ لَهُ شِفَاء

“Tidaklah Allah menurunkan suatu penyakit, melainkan Allah juga menurunkan obatnya.” (HR. Bukhari, no. 5354)

Disebutkan juga dalam Shahih Muslim, dari Jabir bin ‘Abdillah, ia menyatakan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

ِلِكُلِّ دَاءِ دَوَاءٌ فَإِذَا أُصِيْبَ دَوَاءُ الدَّاءِ بَرَأَ بِاِذْنِ الله

“Setiap penyakit ada obatnya. Apabila obat tersebut sesuai dengan penyakitnya, maka ia akan sembuh dengan izin Allah.” (HR. Muslim, no. 2204)

Disebutkan pula dalam Musnad Imam Ahmad, dari Usamah bin Syarik, bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

ُإِنَّ اللهَ لَمْ يُنْزِل دَاءً إِلاَّ أَنْزَلَ لَهُ شِفَاءً عَلِمَهُ مَنْ عَلِمَهُ وَجَهِلَهُ مَنْ جَهِلَه

“Sesungguhnya Allah tidak menurunkan suatu penyakit, melainkan Allah juga menurunkan obatnya. Ini diketahui oleh sebagian orang dan tidak diketahui oleh yang lain.” (HR. Ahmad, 4:278, Sanad hadits ini sahih sebagaimana dikatakan oleh Syaikh Ali Hasan Al-Halabi, juga ada hadits dari Ibnu Mas’ud)

Hadits ke-3:

Dari Abu Ma’bad yaitu al-Miqdad bin al-Aswad 𝓡𝓪𝓭𝓱𝓲𝔂𝓪𝓵𝓵𝓪𝓱𝓾’𝓪𝓷𝓱𝓾, katanya: “Saya berkata kepada Rasulullah ﷺ : “Bagaimanakah pendapat Engkau, jika saya bertemu seorang dari kaum kafir, kemudian kita berperang, lalu ia memukul salah satu dari kedua tanganku dengan pedang dan terus memutuskannya. Selanjutnya ia bersembunyi daripadaku di balik sebuah pohon, lalu ia mengucapkan: “Saya masuk Agama Islam karena Allah,” apakah orang yang sedemikian itu boleh saya bunuh, ya Rasulullah sesudah ia mengucapkan kata-kata seperti tadi itu?” Beliau ﷺ menjawab: “Jangan engkau membunuhnya.” Saya berkata lagi: “Ia sudah memutuskan salah satu tangan saya, kemudian mengucapkan sebagaimana di atas itu setelah memutuskannya.” Rasulullah ﷺ bersabda lagi: “Jangan engkau membunuhnya, karena jikalau engkau membunuhnya, maka ia adalah menempati tempatmu sebelum engkau membunuhnya dan sesungguhnya engkau adalah di tempatnya sebelum ia mengucapkan kata-kata yang diucapkannya itu.” (Muttafaq ‘alaih)

📖 Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah Rahimahullah berkata:

Asal setiap keburukan adalah sedikitnya pengetahuan serta kelemahan dan kerendahan jiwa. Sebaliknya, asal setiap kebaikan adalah kesempurnaan pengetahuan yang diiringi oleh kekuatan, kemuliaan, dan keberanian jiwa.

Cinta dan keinginan merupakan pokok dan landasan dari segala sesuatu, sedangkan benci merupakan pokok dan landasan dari meninggalkan sesuatu. Dua kekuatan yang terdapat dalam hati tersebut merupakan asal dari kebahagiaan atau kesengsaraan seorang hamba.

Syarah oleh Syeikh Abdurrazaq Al-Badr Hafidzahullah :

Seperti yang dijelaskan Ibnul Qayyim rahimahullah bahwa cinta adalah penggerak amal. Setiap kali cinta itu kuat pada jiwa seseorang, maka gerakannya akan semakin kuat, apapun jenisnya.

Begitu juga ketika pada amal shaleh yang merupakan keridhaan Al-Amhbuub Allah ﷻ. Cinta merupakan mesin penggerak amal.