Tag Archives: kajian rutin

Allâh ﷻ berfirman dalam Al-Qur’an Surat Al-Baqarah Ayat 174:

اِنَّ الَّذِيۡنَ يَكۡتُمُوۡنَ مَآ اَنۡزَلَ اللّٰهُ مِنَ الۡکِتٰبِ وَ يَشۡتَرُوۡنَ بِهٖ ثَمَنًا قَلِيۡلًا ۙ اُولٰٓٮِٕكَ مَا يَاۡكُلُوۡنَ فِىۡ بُطُوۡنِهِمۡ اِلَّا النَّارَ وَلَا يُکَلِّمُهُمُ اللّٰهُ يَوۡمَ الۡقِيٰمَةِ وَلَا يُزَکِّيۡهِمۡ ۖۚ وَلَهُمۡ عَذَابٌ اَ لِيۡمٌ‏ ١٧٤

Sungguh, orang-orang yang menyembunyikan apa yang telah diturunkan Allah, yaitu Kitab, dan menjualnya dengan harga murah, mereka hanya menelan api neraka ke dalam perutnya, dan Allah tidak akan menyapa mereka pada hari Kiamat dan tidak akan menyucikan mereka. Mereka akan mendapat azab yang sangat pedih.

أُو۟لَٰٓئِكَ ٱلَّذِينَ ٱشْتَرَوُا۟ ٱلضَّلَٰلَةَ بِٱلْهُدَىٰ وَٱلْعَذَابَ بِٱلْمَغْفِرَةِ ۚ فَمَآ أَصْبَرَهُمْ عَلَى ٱلنَّارِ

Mereka itulah orang-orang yang membeli kesesatan dengan petunjuk dan siksa dengan ampunan. Maka alangkah beraninya mereka menentang api neraka!

ذَٰلِكَ بِأَنَّ ٱللَّهَ نَزَّلَ ٱلْكِتَٰبَ بِٱلْحَقِّ ۗ وَإِنَّ ٱلَّذِينَ ٱخْتَلَفُوا۟ فِى ٱلْكِتَٰبِ لَفِى شِقَاقٍۭ بَعِيدٍ

Yang demikian itu adalah karena Allah telah menurunkan Al Kitab dengan membawa kebenaran; dan sesungguhnya orang-orang yang berselisih tentang (kebenaran) Al Kitab itu, benar-benar dalam penyimpangan yang jauh (dari kebenaran).

Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah Rahimahullah berkata:

Masing-masing dari “tindakan” dan “tidak adanya tindakan” yang dilakukan karena pilihan dan kesadaran merupakan perkara yang hanya dikedepankan oleh orang yang hidup. Tujuannya ialah memperoleh manfaat yang dengannya seseorang merasakan kelezatan atau untuk menghilangkan rasa sakit yang dengannya dia mendapatkan kesembuhan.

Oleh karena itu, secara etimologi dikatakan: “Sembuhlah dadanya, atau sembuhlah hatinya.”

Seorang penya’ir berkata: Ia adalah penyembuh sakitku jika aku mendapatkannya, meskipun tidak ada obat penyakit yang dihasilkannya.

Syarah oleh Syeikh Abdurrazaq Al-Badr Hafidzahullah :

Pasal ini adalah penyempurna kajian sebelumnya dimana seseorang mengerjakan sesuatu atau meninggalkan sesuatu yang merupakan pilihan untuk mendapatkan kesenangan. Dia mendapatkan kelezatan dalam hal perbuatan sesuatu atau dia mendapatkan kesenangan dari keselamatan dengan meninggalkan sesuatu.

Kita meninggalkan sesuatu agar selamat dari sesuatu yang menyakitkan. Seperti halnya memilih makanan untuk mendapatkan manfaat atau mudharat.

Seseorang tersebut melakukannya dengan tujuan untuk mendapatkan kelezatan dan meninggalkan untuk mendapatkan keselamatan. Tetapi jalan untuk mendapatkan itu bermacam-macam dan setiap jalan untuk menempuhnya bisa jadi jalan menuju kebinasaannya.

Maka cara dan jalan untuk mendapatkan kesenangan perlu dilihat kemaslahatannya.

Dari Usamah bin Zaid radhiallahu ‘anhuma, katanya: “Rasulullah ﷺ mengirim kita ke daerah Huraqah dari suku Juhainah, kemudian kita berpagi-pagi menduduki tempat air mereka. Saya dan seorang lagi dari kaum Anshar bertemu dengan seorang lelaki dari golongan mereka -musuh-. Setelah kita dekat padanya, ia lalu mengucapkan: La ilaha illallah. Orang dari sahabat Anshar itu menahan diri daripadanya -tidak menyakiti sama sekali-, sedang saya lalu menusuknya dengan tombakku sehingga saya membunuhnya. Setelah kita datang -di Madinah-, peristiwa itu sampai kepada Nabi ﷺ, kemudian beliau bertanya padaku: “Hai Usamah, adakah engkau membunuhnya setelah ia mengucapkan La ilaha illallah?” Saya berkata: “Ya Rasulullah, sebenarnya orang itu hanya untuk mencari perlindungan diri saja -yakni mengatakan syahadat itu hanya untuk mencari selamat-, sedang hatinya tidak meyakinkan itu.” Beliau ﷺ. bersabda lagi: “Adakah ia engkau bunuh setelah mengucapkan La ilaha illallah?” Ucapan itu senantiasa diulang-ulangi oleh Nabi ﷺ., sehingga saya mengharap-harapkan, bahwa saya belum menjadi Islam sebelum hari itu -yakni bahwa saya mengharapkan menjadi orang Islam itu mulai hari itu saja-, supaya tidak ada dosa dalam diriku.” (Muttafaq ‘alaih)

Salah satu dari prinsip ‘aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah adalah cinta karena Allah dan benci karena Allah, yaitu mencintai dan memberikan wala’ (loyalitas) kepada kaum Mukminin, membenci kaum musyrikin dan orang-orang kafir serta berpaling (bara’) dari mereka.

al-bara’ berarti penyesuaian diri seorang hamba terhadap apa yang dibenci dan dimurkai Allah berupa perkataan, perbuatan, keyakinan dan kepercayaan serta orang. Dia tetap tegak di atas kebenaran. Dan ini dimiliki oleh hati yang sehat.

Hati yang sehat yaitu hati yang bersih yang seorang pun tak akan bisa selamat pada Hari Kiamat kecuali jika dia datang kepada Allah dengannya.

Untuk meraih derajat surga, kondisi amalan manusia memiliki kualitas yang berbeda-beda. Baik dari kesungguhan, keikhlasan dan lainnya.

Allah ﷻ berfirman dalam Al-Qur’an Surat Al-an’am ayat 132:

وَلِكُلٍّ دَرَجٰتٌ مِّمَّا عَمِلُوۡا ؕ وَمَا رَبُّكَ بِغَافِلٍ عَمَّا يَعۡمَلُوۡنَ‏ ١٣٢

Dan masing-masing orang ada tingkatannya, (sesuai) dengan apa yang mereka kerjakan. Dan Tuhanmu tidak lengah terhadap apa yang mereka kerjakan.

Dalam Surat Ali ‘Imran Ayat 162 – 163:

أَفَمَنِ ٱتَّبَعَ رِضْوَٰنَ ٱللَّهِ كَمَنۢ بَآءَ بِسَخَطٍ مِّنَ ٱللَّهِ وَمَأْوَىٰهُ جَهَنَّمُ ۚ وَبِئْسَ ٱلْمَصِيرُ

Apakah orang yang mengikuti keridhaan Allah sama dengan orang yang kembali membawa kemurkaan (yang besar) dari Allah dan tempatnya adalah Jahannam? Dan itulah seburuk-buruk tempat kembali.

هُمْ دَرَجَٰتٌ عِندَ ٱللَّهِ ۗ وَٱللَّهُ بَصِيرٌۢ بِمَا يَعْمَلُونَ

(Kedudukan) mereka itu bertingkat-tingkat di sisi Allah, dan Allah Maha Melihat apa yang mereka kerjakan.

Hasan Al-Bashri Rahimahullah menafsirkan makna هُمْ دَرَجَٰتٌ Maknanya adalah beberapa derajat bagi orang yang melakukan kebaikan dan orang yang melakukan keburukan.

Peristiwa Isrâ’ dan Mi’râj merupakan salah satu di antara mukjizat yang diberikan Allah Azza wa Jalla kepada Rasul-Nya, yaitu Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam , sebagai wujud penghormatan dan pelipur lara setelah paman dan istri beliau meninggal dunia. Peristiwa ini juga sebagai penghibur setelah beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam mendapatkan perlakuan tidak bersahabat dari penduduk Thâif.

Peristiwa Isrâ dan Mi’râj terjadi pada tahun kesepuluh kenabian. Namun para ulama berselisih tentang waktu kejadiannya. Yang tidak ada perseselisihan yaitu tentang kebenaran peristiwa ini, karena kejadian ini diabadikan dalam Al-Qur`ân dan Al-Hadits.

Manakala manusia memiliki kecenderungan untuk lengah dan lupa, sementara syaitan amat gigih menggoda manusia dalam shalatnya, dengan membangkitkan berbagai pikiran dan menyibukkan benaknya, hingga mengganggu konsentrasi shalatnya, di mana boleh jadi hal itu berakibat pada pengurangan atau penambahan dalam shalat, karena faktor lengah dan lalai tersebut.

Begitulah, manusia memiliki tabiat pelupa. Seorang penyair berkata:

وَمَاسُمِّيَ الإِنْسَانُ إِلاَّ لِنِسْيَانِهِ @ وَلاَ الْقَلْبُ إِلاَّ أَنَّهُ يَتَقَلَّبُ

Tidaklah manusia dinamakan insan kecuali karena pelupanya (an-nasyu).

Dan tidaklah hati dinamakan qalbu kecuali karena sifatnya yang suka bolak-balik (taqallub).

Terdapat hadits Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu’anhuma : “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah shalat bersama kami lima raka’at. Kami pun mengatakan, “Wahai Rasulullah, apakah engkau menambah dalam shalat?” Lalu beliau pun mengatakan, “Memang ada apa tadi?” Para sahabat pun menjawab, “Engkau telah mengerjakan shalat lima raka’at.” Lantas beliau bersabda, “Sesungguhnya aku hanyalah manusia semisal kalian. Aku bisa memiliki ingatan yang baik sebagaimana kalian. Begitu pula aku bisa lupa sebagaimana kalian pun demikian.” Setelah itu beliau melakukan dua kali sujud sahwi.” (HR. Muslim no. 572)

BAB: HAL YANG DISUNNAHKAN DAN DIPERBOLEHKAN DALAM SHALAT

Orang yang sedang shalat, dibolehkan mengenakan pakaian dan sejenisnya, membawa dan meletakkan sesuatu, membuka pintu, atau membunuh ular dan kalajengking.

Selama benda yang dibawa suci dan tidak najis.

– Boleh Menggendong anak Ketika Shalat

وَعَنْ أَبِي قَتَادَةَ ( قَالَ : { كَانَ رَسُولُ اَللَّهِ صلّى الله عليه وسلّم يُصَلِّي وَهُوَ حَامِلٌ أُمَامَةَ بِنْتَ زَيْنَبَ , فَإِذَا سَجَدَ وَضَعَهَا , وَإِذَا قَامَ حَمَلَهَا } مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ .

وَلِمُسْلِمٍ : { وَهُوَ يَؤُمُّ اَلنَّاسَ فِي اَلْمَسْجِدِ } .

Dari Abu Qatadah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah shalat sambil menggendong Umamah binti Zainab. Jika beliau sujud, beliau meletakkannya dan jika beliau berdiri, beliau menggendongnya.” (Muttafaqun ‘alaih. Dalam riwayat Muslim, “Sedang beliau mengimami orang-orang di masjid.”) [HR. Bukhari, no. 516 dan Muslim, no. 543]

Harus dipastikan anak yang digendong tidak membawa najis. Demikian disampaikan juga oleh Imam Ahmad 𝓡𝓪𝓱𝓲𝓶𝓪𝓱𝓾𝓵𝓵𝓪𝓱.

Ibnu Qudamah 𝓡𝓪𝓱𝓲𝓶𝓪𝓱𝓾𝓵𝓵𝓪𝓱 menjelaskan shalat yang membawa najis membatalkan shalat.

Imam Nawawi dalam Al-Majmu’ 2/163 : Menurut madzhab kami (Syafi’i) tidak ada kewajiban mengulangi jika tahu setelah selesai shalat.

– Membuka pintu saat shalat.

Hendaknya jangan tergesa-gesa, ucapkan Subhanallah bagi laki-laki dan tepuk tangan bagi wanita.

Ibnu Baz rahimahullahu menjelaskan, jika dalam shalat sunnah diingatkan dengan membaca tasbih bagi laki-laki dan tepuk tangan bagi wanita. Maka ini sudah cukup. Tetapi jika jauh, boleh membatalkan shalat.

Dalam shalat fardhu, jika perkara yang penting, maka boleh membatalkan shalat (Syaikh Fauzan dalam fatwanya).

BAB: HAL YANG DISUNNAHKAN DAN DIPERBOLEHKAN DALAM SHALAT

1. ORANG YANG SHALAT DISUNNAHKAN MENCEGAH SIAPA PUN YANG LEWAT DEKAT DI DEPANNYA.

Ulama berbeda pendapat tentang hukum melakukannya:
1. Wajib. Dasarnya adalah sabda Nabi ﷺ:

إذا صلَّى أحدُكُم إلى شيءٍ يستُرُهُ من الناسِ،فأرادَ أحَدٌ أنْ يَجتازَ بين يديْهِ، فليدفَعْهُ، فإنْ أبى فَليُقاتِلهُ، فإنما هو شيطانٌ

“Jika salah seorang dari kalian shalat menghadap sesuatu yang ia jadikan sutrah terhadap orang lain, kemudian ada seseorang yang mencoba lewat di antara ia dengan sutrah, maka cegahlah. jika ia enggan dicegah maka tolaklah ia dengan keras, karena sesungguhnya ia adalah setan” (HR. Al Bukhari 509, Muslim 505).

Dalam hadits ini Nabi ﷺ menggunakan kata perintah (فليدفَع), dan terdapat sebuah kaidah:

الأصل في الأمر للوجوب إلا مادل الدليل على خلافه

“Hukum dasar dalam ‘perintah’ itu wajib kecuali terdapat dalil yang menjelaskan tentang perbedaannya.“

Pendapat ini disampaikan oleh ulama dzahiriyah.

2. Sunnah Muakadah. Ini merupakan pendapat jumhur ulama, seperti pendapat Imam Nawawi 𝓡𝓪𝓱𝓲𝓶𝓪𝓱𝓾𝓵𝓵𝓪𝓱. Hukum sunnah ini menjadi pendapat Imam Nawawi dalam Syarh Shahih Muslim, 3:446: aku tidak mengetahui seorang pun dari kalangan para ulama yang mewajibkan.

🏷️ Pendapat yang kuat: ada perinciannya. Hal ini disampaikan oleh Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin 𝓡𝓪𝓱𝓲𝓶𝓪𝓱𝓾𝓵𝓵𝓪𝓱 :
1. Jika yang lewat bakal membatalkan sholat kita seperti : perempuan yang baligh, anjing hitam dan khimar. Maka wajib dicegah.

DALAM SHALAT, MENOLEH DENGAN WAJAH DAN DADA HUKUMNYA ADALAH MAKRUH.

Berdasarkan sabda Nabi ﷺ. Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, dia berkata:

سألت رسُولَ الله – صلى الله عليه وسلم – عَنِ الالتفَاتِ في الصَّلاَةِ، فَقَالَ: «هُوَ اخْتِلاَسٌ (¬1) يَخْتَلِسُهُ الشَّيْطَانُ مِنْ صَلاَةِ العَبْدِ». رواه البخاري

“Aku pernah bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang menoleh dalam shalat. Beliau menjawab: “Menoleh di dalam shalat adalah sebuah hasil curian setan yang diperoleh dari shalat seorang hamba”. (HR Al-Bukhari)

Imam Abu Ismail Ash-Shan’ani dalam kitab subulus salam berkata ini adalah dalil dimakruhkannya menoleh dalam shalat. Jumhur ulama memaknakan hadits ini jika badannya tidak membelakangi kiblat, tetapi jika membelakangi kiblat maka shalatnya batal.

Syeikh Ibnu Utsaimin –rahimahullah- berkata: “Ketahuilah bahwa menoleh itu ada dua macam:
1. Menoleh fisik dengan badan, yaitu menoleh dengan kepala.
2. Menoleh non fisik dengan hati, yaitu was-was dan sibuk dengan pikiran yang menghampiri hati (tidak khusyu). Inilah penyakit yang kita tidak bisa lepas, sangat sulit mengobatinya! Sedikit sekali orang yang selamat darinya. Hal ini mengurangi kualitas shalat. Masih bagus kalau cuma sebagiannya, namun yang terjadi tidak khusyu dari awal shalat sampai terakhir shalat. Perkara ini cocok dikatakan sebagai curian setan dari shalat seorang hamba” (As Syarhu al Mumti’: 3/70)

Kecuali, jika hal itu dilakukan untuk suatu keperluan, maka tidak menjadi masalah. Seperti saat dalam suasana peperangan, atau untuk tujuan yang dibenarkan syari’at.