Tag Archives: Cinta yang benar

Manusia yang paling berakal adalah orang yang mengedepankan kelezatan dan kesenangan yang abadi dibandingkan kesenangan yang singkat, fana, dan terputus.

Sebaliknya, orang yang paling bodoh adalah orang yang menjual kenikmatan yang abadi, kehidupan yang kekal, dan kelezatan yang agung, yang sama sekali tidak ada suatu kekurangan pun di dalamnya, dengan suatu kelezatan yang terputus, singkat, fana, dan tercemari oleh kepedihan serta kekhawatiran.

Sebagian ulama berkata: “Aku memikirkan tindakan orang-orang berakal. Aku pun mendapati bahwa seluruhnya berusaha menggapai satu tujuan meskipun cara mereka untuk mendapatkannya berbeda-beda. Aku melihat semuanya berusaha mengusir kegundahan dan kegelisahan dari diri mereka. Ada yang dengan cara makan dan minum, ada yang dengan berdagang dan bekerja, ada yang dengan menikah, ada yang dengan mendengarkan musik dan nyanyian, serta ada yang dengan permainan dan perkara yang sia-sia.

Atas dasar itu, aku menyimpulkan bahwa tujuan mereka itu sesuai dengan tuntutan orang-orang yang berakal. Hanya saja, semua jalan itu tidak akan mengantarkan mereka untuk meraihnya, bahkan mayoritas justru membawa mereka sampai kepada lawan dari tuntutan tersebut.

📖 Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah Rahimahullah berkata:

Asal setiap keburukan adalah sedikitnya pengetahuan serta kelemahan dan kerendahan jiwa. Sebaliknya, asal setiap kebaikan adalah kesempurnaan pengetahuan yang diiringi oleh kekuatan, kemuliaan, dan keberanian jiwa.

Cinta dan keinginan merupakan pokok dan landasan dari segala sesuatu, sedangkan benci merupakan pokok dan landasan dari meninggalkan sesuatu. Dua kekuatan yang terdapat dalam hati tersebut merupakan asal dari kebahagiaan atau kesengsaraan seorang hamba.

Syarah oleh Syeikh Abdurrazaq Al-Badr Hafidzahullah :

Seperti yang dijelaskan Ibnul Qayyim rahimahullah bahwa cinta adalah penggerak amal. Setiap kali cinta itu kuat pada jiwa seseorang, maka gerakannya akan semakin kuat, apapun jenisnya.

Begitu juga ketika pada amal shaleh yang merupakan keridhaan Al-Amhbuub Allah ﷻ. Cinta merupakan mesin penggerak amal.

Dan tidaklah seorang hamba mendekat kepada-Ku; yang lebih aku cintai daripada apa-apa yang telah Aku fardhukan kepadanya. Hamba-Ku terus-menerus mendekat kepada-Ku dengan ibadah-ibadah sunnah hingga Aku pun mencintainya. Bila Aku telah mencintainya, maka Aku pun menjadi pendengarannya yang ia gunakan untuk mendengar, menjadi penglihatannya yang ia pakai untuk melihat, menjadi tangannya yang ia gunakan untuk berbuat, dan menjadi kakinya yang ia pakai untuk berjalan. Bila ia meminta kepada-Ku, Aku pun pasti memberinya. Dan bila ia meminta perlindungan kepada-Ku, Aku pun pasti akan melindunginya.” [Shahih Bukhari].

Hadits ilahi yang mulia ini—yang oleh orang bertabiat buruk dan berhati keras tidak dapat dipahami makna dan tujuannya mengkhususkan sebab-sebab cinta-Nya dalam dua perkara:

1. Melaksanakan perkara-perkara yang wajib.
2. Mendekatkan diri kepada-Nya dengan perkara-perkara yang sunnah.

Jika kamu telah memahami muqaddimah ini, maka dapat diketahui bahwasanya rasa cinta terhadap Dzat yang paling dicintai lagi tertinggi dan cinta yang semu dalam hati seorang hamba tidak akan pernah bersatu. Keduanya saling bertolak belakang sehingga tidak akan pernah bertemu, bahkan salah satunya pasti akan mengeluarkan yang lain.

Barang siapa yang seluruh kekuatan cintanya ditujukan untuk Dzat yang paling dicintai lagi tertinggi, menganggap kecintaan kepada selain Nya sebagai suatu kebathilan dan adzab, maka niscaya dia akan memalingkan cintanya dari selain Nya. Kalaupun mencintai selainNya, maka hal itu didasari cinta karena Nya, atau disebabkan sesuatu itu merupakan sarana untuk mencintai Nya, atau dikarenakan ia adalah pemutus dari perkara-perkara yang berseberangan dan yang dapat mengurangi rasa cinta kepada Nya.

Cinta yang benar adalah pengesaan terhadap Dzat yang dicintai. Tidak disekutukan antara Dia dan selain-Nya dalam cintanya, karena Allah membenci hal itu. Menjauhkannya dan tidak memberinya kesempatan untuk berada di sisi-Nya dan menggolongkannya sebagai pendusta dalam pengakuan cintanya. Jika makhluk saja enggan dan cemburu sekiranya kecintaan terhadapnya disekutukan dengan selainnya, padahal dia tidak berhak menerima seluruh kekuatan cinta itu, maka bagaimana pula dengan Dzat Yang Mahatinggi, yang rasa cinta itu hanya layak ditujukan kepada Nya, sedangkan seluruh cinta kepada selain Nya ditetapkan sebagai adzab dan bencana baginya?