بِسْــــــــــــــــــمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ

Kajian Ummahat Doha – Senin Pagi
Tanggal: 6 Rajab 1446 / 6 Januari 2025
Tempat: Aind Khalid
Bersama: Ustadz Abu Abdus Syahid Isnan Efendi, Lc, M.A Hafidzahullah



Tafsir Surat Al-Baqarah Ayat 187

📖 Allâh ﷻ berfirman dalam Al-Qur’an Surat Al-Baqarah Ayat 187:

أُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ ٱلصِّيَامِ ٱلرَّفَثُ إِلَىٰ نِسَآئِكُمْ ۚ هُنَّ لِبَاسٌ لَّكُمْ وَأَنتُمْ لِبَاسٌ لَّهُنَّ ۗ عَلِمَ ٱللَّهُ أَنَّكُمْ كُنتُمْ تَخْتَانُونَ أَنفُسَكُمْ فَتَابَ عَلَيْكُمْ وَعَفَا عَنكُمْ ۖ فَٱلْـَٰٔنَ بَٰشِرُوهُنَّ وَٱبْتَغُوا۟ مَا كَتَبَ ٱللَّهُ لَكُمْ ۚ وَكُلُوا۟ وَٱشْرَبُوا۟ حَتَّىٰ يَتَبَيَّنَ لَكُمُ ٱلْخَيْطُ ٱلْأَبْيَضُ مِنَ ٱلْخَيْطِ ٱلْأَسْوَدِ مِنَ ٱلْفَجْرِ ۖ ثُمَّ أَتِمُّوا۟ ٱلصِّيَامَ إِلَى ٱلَّيْلِ ۚ وَلَا تُبَٰشِرُوهُنَّ وَأَنتُمْ عَٰكِفُونَ فِى ٱلْمَسَٰجِدِ ۗ تِلْكَ حُدُودُ ٱللَّهِ فَلَا تَقْرَبُوهَا ۗ كَذَٰلِكَ يُبَيِّنُ ٱللَّهُ ءَايَٰتِهِۦ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَّقُونَ

Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan isteri-isteri kamu; mereka adalah pakaian bagimu, dan kamupun adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi maaf kepadamu. Maka sekarang campurilah mereka dan ikutilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu, dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam, (tetapi) janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri’tikaf dalam mesjid. Itulah larangan Allah, maka janganlah kamu mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia, supaya mereka bertakwa.

📃 Penjelasan:

Ayat ini merupakan salah ayat penjelasan tentang puasa Ramadhan. Dan beberapa hukum dimansuh (dihapus) dengan ayat-ayat lain.

Lafadz أُحِلَّ menunjukkan bahwa sebelumnya diharamkan. Sehingga hukum ini dimansuh.

Di awal-awal pensyariatan puasa, jika sudah berbuka puasa, dibolehkan untuk makan, minum dan berhubungan intim selama belum tidur di malam hari. Jika sudah tidur, maka hal yang dibolehkan tadi sudah dilarang. Coba perhatikan kisah ‘Umar berikut,

وَكَانَ عُمَرُ قَدْ أَصَابَ مِنَ النِّسَاءِ مِنْ جَارِيَةٍ أَوْ مِنْ حُرَّةٍ بَعْدَ مَا نَامَ وَأَتَى النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- فَذَكَرَ ذَلِكَ لَهُ فَأَنْزَلَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ (أُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ الصِّيَامِ الرَّفَثُ إِلَى نِسَائِكُمْ) إِلَى قَوْلِهِ (ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى اللَّيْلِ )

“Umar pernah berhubungan intim dengan budak wanitanya atau salah satu istrinya yang merdeka. Itu dilakukan setelah tidur di malam hari. Kemudian ‘Umar mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan menceritakan yang ia alami tadi. Allah Ta’ala lantas menurunkan firman Allah (yang artinya), “Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan isteri-isteri kamu.” Hingga firman Allah Ta’ala (yang artinya), “Kemudian sempurnakanlah puasa hingga malam hari.” (HR. Ahmad, 5: 246. Syaikh Syu’aib Al-Arnauth menyatakan bahwa periwayat hadits ini adalah tsiqah selain Al-Mas’udi)

Suami isteri diibaratkan sebagai pakaian, mereka adalah pakaian bagimu, dan kamupun adalah pakaian bagi mereka.

Imam Nawawi dalam Tafsir Nawawi menjelaskan makna pakaian bagi pasangan suami istri yaitu saling menutupi keburukan di antara keduanya (Syaikh Nawawi, Tafsir An-Nawawi, Dar Al-Ilmi, juz I, hal. 49). Pasangan suami istri tidak boleh membeberkan keburukan masing-masing kepada orang lain.

Kalimat كُنتُمْ تَخْتَانُونَ أَنفُسَكُمْ (kalian mengkhianati diri sendiri) menunjukkan kamu mengikuti hawa nafsu sendiri. Dan Allah ﷻ maha mengetahui, dan dengan Rahman dan Rahimnya Allah ﷻ mengampuni dosa-dosa kita. Sehingga aturan ini dihapus dan dihalalkan di malam hari.

Dari Aisyah Radhiyallahu’anha berkata,  “Rasulullah ﷺ ketika masuk 10 hari terakhir bulan Ramadhan, mengencangkan kain bawahnya, menghidupkan malamnya, dan membangunkan keluarganya (muttafaq ‘alaih).” Maknanya mengurangi makan, tidur, dan tidak mendekat ke para istrinya. Fokus beribadah.

Ayat ini juga memberi penjelasan tentang waktu Subuh yang ditandai dengan fajar. Ayat ini memberi perumpamaan fajar dengan ‘benang putih’ dan ‘benang hitam’. Para sahabatpun awalnya tidak mengetahui bahwa itu adalah kiasan. Dari Adi bin Hatim radhiallahu ‘anhu berkata,

“Tatkala turun ayat ْحَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الأَسْوَدِْ aku meletakkan tali [pengikat kepala] hitam dan putih di bawah bantalku, aku terus melihatnya diwaktu malam akan tetapi tidak jelas bagiku, pagi harinya aku menemui Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam dan kuceritakan padanya, beliau bersabda,

إنم ذلك سواد الليل و بياض النهار

Sesungguhnya maksud ayat tersebut adalah hitamnya malam dan putihnya siang” [HR. Al-Bukhari IV/113, Muslim no.1090]

📚 Tafsir as-Sa’di / Syaikh Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di:

Pada awal-awal diwajibkannya puasa, kaum muslimin diharamkan makan, minum, dan jimak (menggauli istri) pada malam hari setelah tidur, lalu sebagian mereka merasa kesulitan dengan hal tersebut, maka Allah meringankan hal tersebut dengan membolehkan mereka pada malam hari Ramadhan semua perkara itu, dari makan, minum maupun berjimak, baik setelah tidur maupun sebelumnya, karena mereka tidak dapat menahan nafsu mereka dengan cara meninggalkan beberapa hal yang mereka diperintahkan kepadanya.

“maka (Dia) mengampuni,” yakni Allah “kamu” Yakni dengan melapangkan perkara itu bagi kalian dan sekiranya bukan karena kelapangan itu, pastilah akan menimbulkan dosa, “dan memberikan maaf kepadamu,” terhadap apa yang telah berlalu dari perkara tidak mampu menahan nafsu tersebut.

“Maka sekarang” setelah adanya keringanan dan kelapangan dari Allah ini, “campurilah mereka,” baik berjima, mencium, menyentuh, dan sebagainya, “dan carilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu,” maksudnya, berniatlah untuk mendekatkan diri kepada Allah ketika mencampuri istri istri kalian, dan maksud yang paling besar dari adanya jima tersebut adalah mendapatkan keturunan, menjaga kemaluannya dan kemaluan istrinya, dan juga memperoleh tujuan-tujuan nikah.

Dan diantara apa yang telah ditentukan oleh Allah atas kalian adalah lailatul qadar yang bertepatan dengan malam malam bulan puasa Ramadhan, maka seharusnya kalian tidak disibukkan oleh kenikmatan tersebut dari malam yang mulia itu dan tidak menyia-nyiakan malam tersebut, karena kenikmatan itu masih dapat diperoleh (dengan tertunda) sedangkan lailatul qadar tidak diperoleh setiap waktu.

“Dan makan dan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu Fajar.” Ini adalah batasan waktu bagi makan, minum, dan berjima.

Ayat ini juga mengandung dalil bahwa apabila seseorang makan atau minum dengan perasaan ragu tentang terbitnya Fajar, maka tidak apa-apa baginya.

Ayat ini juga merupakan dalil dianjurkannya sahur dengan adanya perintah dan dianjurkannya untuk diakhirkan dengan dasar yang diambil dari arti keringanan dari Allah dan kemudahan yang diberikan olehNya untuk hamba-hambaNya.

Ayat ini juga sebagai dalil bolehnya meneruskan puasa ketika fajar telah datang sedang ia masih junub dari berbuat jima sedangkan ia belum mandi dan puasanya tetap sah, karena konsekuensinya bolehnya hingga terbitnya Fajar, maka ia akan mendapati Fajar dalam keadaan masih junub, dan konsekuensi kebenaran adalah benar.

“Kemudian” apabila fajar telah terbit, maka “sempurnakanlah puasa itu,” yakni menahan diri dari hal-hal yang membatalkan, “hingga malam,” yakni terbenamnya matahari.

Dan ketika bolehnya berjima pada malam-malam puasa bukanlah secara umum bagi setiap orang, di mana seorang yang beri’tikaf tidaklah halal baginya melakukan hal itu, dan telah dikecualikan dalam FirmanNya, “janganlah kamu campur yg mereka itu, sedang kamu beritikaf dalam masjid,” maksudnya, kalian sedang melakukan itikaf tersebut.

Ayat ini menunjukkan bahwa itikaf itu disyariatkan, dan itikaf itu adalah berdiam di masjid dalam rangka ketaatan kepada Allah dan memusatkan perhatian hanya kepadaNya, dan bahwasanya itikaf itu tidak sah kecuali dalam masjid. Dapat dipahami dari arti masih disini adalah masjid yang dipahami oleh mereka, yaitu yang didirikan di dalamnya shalat lima waktu. Dan juga menunjukkan bahwa itu adalah diantara pembatal ibadah itikaf.

Hal-hal yang telah disebutkan di atas seperti haramnya makan, minum, berjima, dan macamnya dari pembatal pembatal puasa, dan haramnya berbuka karena suatu perkara yang bukan alasan syar’i, haramnya berjima bagi orang yang melakukan itikaf dan semacamnya diantara hal-hal yang diharamkan, “itulah larangan Allah” yang telah Allah tetapkan bagi hamba-hambaNya dan Dia larang darinya. Kemudian Dia berfirman, “maka janganlah kamu mendekatinya.” Ungkapan ini lebih kuat daripada perkataan “maka janganlah kamu melakukannya”, karena kata mendekati itu meliputi larangan dari mengerjakan hal yang diharamkan itu sendiri dan larangan dari sarana-sarana yang menyampaikan kepada perbuatan tersebut.

Seorang hamba diperintahkan untuk meninggalkan hal-hal yang diharamkan dan menjauh darinya sejauh mungkin yang ia mampu, dan juga meninggalkan segala sebab yang mengajak kepadanya. Adapun tentang perintah perintah, Allah berfirman kepadanya, “Itulah ketentuan-ketentuan Allah maka janganlah kamu melampaui batasnya,” Allah melarang atasnya dari bertindak melampaui batas padanya.

“Demikianlah,” maksudnya, Allah menjelaskan kepada hamba-hambaNya berkenaan dengan hukum-hukum yang telah berlalu itu dengan pembalasan yang paling sempurna dan menerangkannya dengan keterangan yang paling jelas, “Allah menerangkan ayat-ayat-nya kepada manusia supaya mereka bertakwa.”

Apabila kebenaran telah jelas bagi mereka, niscaya mereka akan mengikutinya, dan apabila kebatilan jelas bagi mereka, niscaya mereka akan menjauhinya. Manusia terkadang melakukan hal yang diharamkan karena ketidaktahuannya bahwa hal tersebut adalah haram, namun bila ia mengetahui keharamannya pasti tidak akan dilakukan.

Apabila Allah telah menjelaskan ayat-ayatNya kepada manusia, maka tidak ada lagi alasan dan hujjah bagi mereka, dan hal itu agar menjadi faktor penyebab ketaqwaan.

•┈┈┈┈┈┈•❀❁✿❁❀•┈┈┈┈┈•

اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ أَنْ أُشْرِكَ بِكَ وَأَنَا أَعْلَمُ ، وَأَسْتَغْفِرُكَ لِمَا لا أَعْلَمُ

Ya Allah, aku meminta pada-Mu agar dilindungi dari perbuatan syirik yang kuketahui dan aku memohon ampun pada-Mu dari dosa syirik yang tidak kuketahui”.

وبالله التوفيق وصلى الله على نبينا محمد وعلى آله وصحبه وسلم