بِسْــــــــــــــــــمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ
Kajian Ummahat Doha – Senin Pagi
Tanggal: 4 Rabi’ul Akhir 1446 / 7 Oktober 2024
Tempat: Aind Khalid
Bersama: Ustadz Abu Abdus Syahid Isnan Efendi, Lc, M.A Hafidzahullah
Tafsir Surat Al-Baqarah Ayat 178-179
📖 Allâh ﷻ berfirman dalam Al-Qur’an Surat Al-Baqarah Ayat 178:
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ كُتِبَ عَلَيْكُمُ ٱلْقِصَاصُ فِى ٱلْقَتْلَى ۖ ٱلْحُرُّ بِٱلْحُرِّ وَٱلْعَبْدُ بِٱلْعَبْدِ وَٱلْأُنثَىٰ بِٱلْأُنثَىٰ ۚ فَمَنْ عُفِىَ لَهُۥ مِنْ أَخِيهِ شَىْءٌ فَٱتِّبَاعٌۢ بِٱلْمَعْرُوفِ وَأَدَآءٌ إِلَيْهِ بِإِحْسَٰنٍ ۗ ذَٰلِكَ تَخْفِيفٌ مِّن رَّبِّكُمْ وَرَحْمَةٌ ۗ فَمَنِ ٱعْتَدَىٰ بَعْدَ ذَٰلِكَ فَلَهُۥ عَذَابٌ أَلِيمٌ
Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishaash berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh; orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba, dan wanita dengan wanita. Maka barangsiapa yang mendapat suatu pemaafan dari saudaranya, hendaklah (yang memaafkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi maaf) membayar (diat) kepada yang memberi maaf dengan cara yang baik (pula). Yang demikian itu adalah suatu keringanan dari Tuhan kamu dan suatu rahmat. Barangsiapa yang melampaui batas sesudah itu, maka baginya siksa yang sangat pedih.
Penjelasan Ayat:
Ayat ini disebut ayat qishas terhadap seseorang yang menyakiti bagian tubuh manusia. Maka Allah ﷻ berfirman bahwa qishas adalah kehidupan. Dia tidak menghilangkan hak-hak manusia tetapi menegakkan keadilan.
Imam Qurthubi 𝓡𝓪𝓱𝓲𝓶𝓪𝓱𝓾𝓵𝓵𝓪𝓱 menjelaskan bahwa betapa banyak manusia yang terselematkan karena qishas ini. Maka secara tidak langsung bahwa qishas adalah kehidupan. Bayangkan jika tidak ditegakkan, maka pembunuhan akan merajalela.
al-Qishâsh adalah perbuatan (pembalasan) korban atau walinya terhadap pelaku kejahatan sama atau seperti perbuatan pelaku tadi.
Perbedaan qishas dengan hudud:
Hudud didefinisikan oleh banyak ulama sebagai : Hukuman yang ditetapkan Allah dan diwajibkan untuk memenuhi hak Allah.
Hubungan antara qishash dan hudud adalah bahwa keduanya sama-sama merupakan bentuk hukuman atas perbuatan jinayah (kejahatan). Namun perbedaan antara keduanya jelas, yaitu bahwa qishash merupakan hukuman atas dilanggarnya hak manusia atau hak orang lain, sedangkan hudud secara umum adalah hukuman atas dilanggarnya hak Allah ﷻ. Dalam qishas ada unsur pemaafan seperti dengan membayar diyat. Dan ditentukan oleh hakim atau penguasa.
Syarat Diwajibkannya Qishash
Hukum qishash tidak wajib dilaksanakan kecuali telah terpenuhi syarat-syarat berikut:
1. Pelaku pembunuhan adalah mukallaf (baligh dan berakal-pent), maka tidak ada qishash atas anak kecil, orang gila, dan orang yang sedang tidur.
2. Terjaganya darah korban.
Hendaknya pembunuhan bukan disebabkan karena sebab-sebab yang disebutkan dalam hadits: “Tidak halal menumpahkan darah seorang muslim… kecuali dengan salah satu dari tiga perkara…” [Shahiih al-Jaami’ish Shaghiir (no. 7641)].
3. Korban bukan anak kandung pelaku.
Berdasarkan hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
لاَ يُقْتَلُ وَالِدٌ بِوَلَدِهِ.
“Seorang bapak tidak dibunuh karena membunuh anaknya.” (HR Tirmidzi dan Ibnu Majah).
4. Selevel. Sebandingnya darah antara pelaku dan korban. Maka tidak diqishash seorang muslim yang melukai kafir dzimmi, atau orang merdeka yang melukai seorang budak, atau orang tua yang melukai anaknya.
Berdasarkan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
لاَ يُقْتَلُ مُسْلِمٌ بِكَافِرٍ.
“Seorang muslim tidak dibunuh karena telah membunuh seorang kafir.” [HR Bukhari]
5. Membunuh dengan sengaja. (Bukan mirip dengan pembunuhan atau dengan tidak sengaja).
Membunuh dosa besar
Allâh Subhanahu wa Ta’ala mengancam pelakunya dengan ancaman berat, sebagaimana firman-Nya :
وَمَنْ يَقْتُلْ مُؤْمِنًا مُتَعَمِّدًا فَجَزَاؤُهُ جَهَنَّمُ خَالِدًا فِيهَا وَغَضِبَ اللَّهُ عَلَيْهِ وَلَعَنَهُ وَأَعَدَّ لَهُ عَذَابًا عَظِيمًا
Dan barangsiapa membunuh seorang Mukmin dengan sengaja, maka balasannya ialah Jahannam, ia kekal di dalamnya dan Allâh murka kepadanya, dan mengutukinya serta menyediakan adzab yang besar baginya. [an-Nisâ`/4:93]
📚 Tafsir as-Sa’di / Syaikh Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di, pakar tafsir abad 14 H
Allah memberikan karunia kepada hamba-hambaNya yang beriman dengan mewajibkan atas mereka menegakkan “qishash berkenaan dengan orang-orang yang terbunuh,” yakni memberikan hukuman yang sama, dimana pelaku pembunuhan dibunuh dengan model pembunuhan yang ia lakukan terhadap orang yang dibunuhnya, sebagai penegakan keadilan dan kesetaraan antara manusia.
Diarahkan nya kalimat ini kepada kaum muslimin secara umum adalah dalil yang menunjukkan bahwa hal itu wajib atas mereka semua hingga keluarga pelaku pembunuhan atau bahkan hingga pelaku pembunuhan itu sendiri sebagai bentuk pertolongan bagi keluarga orang yang terbunuh apabila mereka memilih qishash dan memungkinkannya menuntut hal tersebut dari pihak pelaku tersebut, dan tidak dibolehkan bagi mereka untuk merubah hukum tersebut dan menghalangi keluarganya dalam memilih hukum qishash sebagaimana kebiasaan orang-orang jahiliyah atau orang-orang yang semisalnya dari orang-orang yang melindungi pelaku kedholiman.
Kemudian Allah menjelaskan rincian hal tersebut seraya berfirman, “Orang merdeka dengan orang yang merdeka.” Menurut makna lafadznya, termasuk di dalamnya adalah laki-laki dengan laki-laki, perempuan dengan perempuan, perempuan dengan laki-laki, dan laki-laki dengan perempuan. Maka makna tersurat dari lafadz itu itu lebih didahulukan daripada makna yang terpahami dari firmanNya, “dan perempuan dengan perempuan,” disertai dengan adanya dalil dari as-sunnah, yaitu bahwa laki-laki juga dibunuh dengan perempuan. Namun kedua orang tua dan seterusnya keatas tidak termasuk dalam makna yang umum ini, artinya bahwa mereka tidak dibunuh karena membunuh anak, disebabkan adanya as-sunnah yang menjelaskan akan hal tersebut.
Padahal dalam firmanNya, “hukum qishash,” terkandung apa yang menunjukkan bahwa bukanlah suatu keadilan jika seorang ayah dibunuh karena membunuh anaknya, dan karena dalam hati seorang ayah ada rasa kasih sayang dan rahmat (yang begitu kuat) yang akan menghalanginya dari tindakan membunuh anaknya sendiri kecuali dengan sebab adanya gangguan pada akalnya atau kedurhakaan yang besar dari anaknya terhadap dirinya.
Dan termasuk yang tidak terkait dalam keumuman tersebut adalah seorang kafir, berdasarkan dalil as-sunnah, padahal ayat ini diarahkan khusus untuk kaum mukminin. Dan juga bukanlah suatu keadilan bila seorang wali Allah dibunuh karena membunuh seorang musuh Allah.
“Dan hamba dengan hamba,” perempuan ataupun laki-laki, yang sama maupun berbeda kadar harganya. Ayat ini menurut pemahaman terbaliknya menunjukkan bahwa seorang yang merdeka tidak dibunuh karena membunuh hamba, karena tidak sama derajatnya. “Dan wanita dengan wanita.” Sebagian ulama mengambil dari pemahaman terbaliknya adalah bahwa laki-laki tidak dibunuh karena membunuh perempuan, dan hal ini telah dibahas sebelumnya.
Ayat ini menunjukkan bahwa pada dasarnya hukum qishash adalah wajib dalam masalah pembunuhan, dan bahwa membayar diyat itu adalah sebagai penggantinya. Oleh karena itu Allah berfirman, “Maka barangsiapa yang mendapat suatu pemaafan dari saudaranya,” maksudnya, keluarga orang yang terbunuh memaafkan pembunuhnya untuk diganti dengan membayar diyat saja atau sebagian keluarga terbunuh memaafkan, maka gugurlah hukum qishash dan wajiblah hukum membayar diyat atas si pembunuh. Penentuan pilihan pada tuntutan qishash dan pilihan membayar diyat, kembali kepada Wali yang terbunuh.
Apabila dia memaafkan pembunuhnya, maka wajiblah atas Wali itu hukum tersebut, yakni si Wali si terbunuh, untuk mengikuti (kesanggupan) si pembunuh “dengan cara yang baik,” tanpa memberatkannya dan membebaninya dengan sesuatu yang tidak mampu dipikulnya akan tetapi hendaknya ia menuntut dan meminta dengan baik serta tidak menyusahkannya.
Dan hendaklah si pembunuh juga “membayar diyat kepada yang memaafkan dengan cara yang baik pula,” dengan tidak menunda-nunda, tidak kurang dan tidak berbuat kejelekan, baik perkataan maupun perbuatan. Dan tidak ada balasan kebaikan dengan pemaafan itu, kecuali kebaikan (pula) dengan menunaikannya dengan baik. Ini sangat diperintahkan dalam segala hal yang bersangkutan dengan hak-hak manusia, yaitu seorang yang memiliki hak diperintahkan untuk menuntut dengan cara yang baik, dan orang yang diwajibkan untuk menunaikan hak orang lain, juga harus menunaikannya dengan cara yang baik pula.
Dan dalam FirmanNya, “Maka barangsiapa yang mendapat suatu pemaafan dari saudaranya,” terkandung sikap kelembutan hati dan anjuran kepada tindakan memaafkan dengan berpindah kepada mengambil bayaran diyat, dan tentunya yang lebih baik dari itu adalah tindakan memaafkan tanpa bayaran.
Dalam firmanNya, “Saudaranya,” terkandung salil yang menunjukkan bahwa pelaku pembunuhan itu bukanlah kafir, karena yang dimaksud dalam persaudaraan di sini adalah persaudaraan dengan ikatan keimanan, dan dia tidak akan dikatakan terlepas dari ikatan itu dengan pembunuhan tersebut, maka lebih patut lagi hal seperti itu berlaku pada masalah kemaksiatan yang tidak menyebabkan kekufuran, pelakunya tidaklah dikafirkan karena melakukan kemaksiatan tersebut, hanya saja keimanannya berkurang.
Apabila keluarga orang yang terbunuh atau sebagian dari mereka memaafkan, maka darah pembunuhnya haram ditumpahkan oleh mereka maupun oleh selain mereka. Oleh karena itu Allah berfirman, “barangsiapa yang melampaui batas setelah itu,” yakni, setelah adanya pemaafan, “maka baginya siksa yang pedih,” maksudnya, diakhirat. Adapun membunuhnya ataupun tidak membunuhnya, maka diambil dari yang sebelumnya karena ia telah membunuh yang sederajat dengannya, maka ia pun harus dibunuh karenanya.
Adapun orang yang menafsirkan siksa yang pedih itu dengan membunuh dan bahwa ayat ini menunjukkan wajibnya membunuh si pembunuh serta tidak bolehnya dimaafkan, maka pendapat seperti ini telah dikatakan oleh sebagian ulama, tetapi yang lebih benar adalah yang pertama, karena pelanggarannya tidak lebih dari pelanggaran yang lainnya.
Kemudian Allah menjelaskan hikmah yang agung dari syariat hukum qishash seraya berfirman,
📖 Surat Al-Baqarah Ayat 179:
وَلَكُمْ فِى ٱلْقِصَاصِ حَيَوٰةٌ يَٰٓأُو۟لِى ٱلْأَلْبَٰبِ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
Dan dalam qishaash itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu, hai orang-orang yang berakal, supaya kamu bertakwa.
📚 Tafsir as-Sa’di / Syaikh Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di, pakar tafsir abad 14 H
“Dan dalam qishash itu ada kelangsungan hidup bagimu,” maksudnya, dengan hukum itu terjagalah darah dan terkendali lah orang-orang yang jahat, karena barang siapa yang mengetahui bahwasanya dia akan dibunuh apabila dia membunuh, niscaya tidak akan terbersit darinya tindakan pembunuhan, dan apabila seorang pembunuh disaksikan dibunuh, niscaya orang lain akan merasa takut dan tercegah dengan hal itu. Seandainya saja hukuman bagi seorang pembunuh bukan hukuman mati, pastilah kejahatan itu tidak akan mampu dicegah sebagaimana dengan pencegahan yang mampu dilakukan oleh hukuman mati. Dan seperti itulah seluruh hukum-hukum had syariat yang mengandung pemaksaan dan pencegahan sebagai hal yang menunjukkan hikmah dari Dzat Yang Maha bijaksana lagi maha pengampun.
Kata “kelangsungan hidup” dinyatakan dalam bentuk kata benda tidak tertentu (nakirah), maksudnya adalah untuk pengagungan dan mencakup secara luas.
Dan ketika hukum ini tidak diketahui hakikatnya nya kecuali oleh para cendekiawan dan ulama, maka Allah menghadapkan perkataanNya secara khusus kepada mereka. Ini menunjukkan bahwa Allah sangat suka apabila hamba-hambaNya mau memakai akalnya dan pemikirannya untuk merenungi hikmah hikmah dibalik hukum-hukumNya dan kemaslahatan kemaslahatan yang menunjukkan kesempurnaan, hikmah, pujian, keadilan, dan rahmatNya yang luas. Dan barangsiapa yang berkedudukan seperti itu, sesungguhnya dia telah berhak mendapatkan pujian bahwasanya dia termasuk dari orang-orang berakal yang perkataan itu dihadapkan kepada mereka dan disuruh oleh Tuhan dari segala yang dituhankan. Dan cukuplah dengan itu sebagai kemuliaan dan kehormatan bagi orang-orang yang berfikir.
Dan firmanNya, “Agar kamu bertakwa,” hal itu karena barangsiapa yang mengenal robbnya dan mengetahui apa yang tersimpan di balik agama dan syariatNya dari rahasia-rahasia yang agung, hikmah-hikmah yang indah dan ayat-ayat yang luhur, maka pastilah dengan hal itu dia tunduk kepada perintah Allah, dia menganggap besar kemaksiatan kepadaNya hingga dia meninggalkannya, dan akhirnya dia berhak menjadi salah seorang diantara orang-orang yang bertakwa.
•┈┈┈┈┈┈•❀❁✿❁❀•┈┈┈┈┈•
اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ أَنْ أُشْرِكَ بِكَ وَأَنَا أَعْلَمُ ، وَأَسْتَغْفِرُكَ لِمَا لا أَعْلَمُ
“Ya Allah, aku meminta pada-Mu agar dilindungi dari perbuatan syirik yang kuketahui dan aku memohon ampun pada-Mu dari dosa syirik yang tidak kuketahui”.
وبالله التوفيق وصلى الله على نبينا محمد وعلى آله وصحبه وسلم