بِسْــــــــــــــــــمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ

Kajian Ummahat Doha – Senin Pagi
Tanggal: 29 Rabi’ul Akhir 1445 / 13 November 2023
Tempat: Izghowa Qatar
Bersama: Ustadz Abu Abdus Syahid Isnan Efendi, Lc, M.A Hafidzahullah



Tafsir Surat Al-Baqarah Ayat 155-158

📖 Surat Al-Baqarah Ayat 155:

Allâh ﷻ berfirman :

وَلَنَبْلُوَنَّكُم بِشَىْءٍ مِّنَ ٱلْخَوْفِ وَٱلْجُوعِ وَنَقْصٍ مِّنَ ٱلْأَمْوَٰلِ وَٱلْأَنفُسِ وَٱلثَّمَرَٰتِ ۗ وَبَشِّرِ ٱلصَّٰبِرِينَ

Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar.

Dan kami akan benar-benar menguji kalian dengan sedikit rasa takut, kelaparan dan kekurangannya harta karena kesulitan dalam mendapatkannya atau hilang sama sekali.

Ayat ini jelas menerangkan bahwa ujian yang diberikan hanya sedikit saja. Lebih banyak kenikmatan yang kita dapatkan.

Allah mengabarkan bahwa sudah terjadi keharusan bagi hamba-hambaNya untuk diuji dengan segala cobaan, agar jelas orang yang benar dan orang yang berdosa, orang yang sabar dengan orang yang tidak sabar, dan ini adalah sunnah Allah pada hamba-hambaNya. Karena suatu kesenangan itu bila terus berlanjut bagi orang-orang yang beriman dan tidak diiringi dengan suatu cobaan, niscaya akan terjadi di campur aduk yang merupakan kerusakan baginya, ke mahabijaksanaan Allah memastikan untuk memilah-milah antara orang-orang yang baik dan orang-orang yang jahat.

Inilah manfaat dari cobaan dan ujian bukannya untuk menghilangkan keimanan yang ada pada seorang hamba yang beriman, dan tidak pula untuk memalingkan mereka dari agamanya, karena Allah tidak menyia-nyiakan keimanan kaum Mukminin.

Dalam hadits Aisyah radhiallahu anha sesungguhnya Nabi sallallahu alaihi wa sallam bersabda:

مَا يُصِيبُ الْمُؤْمِنَ مِنْ شَوْكَةٍ فَمَا فَوْقَهَا إِلَّا رَفَعَهُ اللَّهُ بِهَا دَرَجَةً ، أَوْ حَطَّ عَنْهُ بِهَا خَطِيئَةً .. رواه البخاري (5641) ، ومسلم 2573

“Tidaklah seorang mukmin terkena duri dan lebih dari itu melainkan Allah akan mengangkat derajat dengannya. Atau dihapuskan kesalahannya dengannya.” (HR. Bukhori, (5641) dan Muslim, (2573).

💡 Syaikh Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di berkata:

Manusia terbagi dalam 2 golongan dalam menerima musibah: orang-orang yang berkeluh kesah dan orang-orang yang sabar.

Orang yang tidak sabar mendapatkan dua musibah, hilangnya sesuatu yang dicintai yaitu adanya musibah tersebut dan hilangnya sesuatu yang lebih besar dari hal pertama, yaitu pahala dengan menunaikan perintah Allah yaitu bersabar, akhirnya dia memperoleh kerugian dan kehampaan serta kekurangan iman, yang ada padanya juga kehilangan kesabaran dan rasa syukur, namun yang ia dapatkan hanyalah kemurkaan yang menunjukkan bahwa banyaknya kekurangan.

Adapun orang yang diberi Taufik oleh Allah dengan kesabaran ketika terjadinya musibah, ia akan menahan diri dari mencaci maki baik secara lisan maupun perbuatan. Ia hanya mengharap pahala di sisi Allah dan ia tahu bahwa kesabarannya lebih besar daripada musibah yang menimpa dirinya, bahkan musibah itu menjadi sebuah kenikmatan tersendiri bagi dirinya. Karena musibah itu menjadi Jalan untuknya dalam memperoleh sesuatu yang lebih baik baginya dan lebih bermanfaat dari musibah itu.

📖 Surat Al-Baqarah Ayat 156:

Allâh ﷻ berfirman :

ٱلَّذِينَ إِذَآ أَصَٰبَتْهُم مُّصِيبَةٌ قَالُوٓا۟ إِنَّا لِلَّهِ وَإِنَّآ إِلَيْهِ رَٰجِعُونَ

(yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan: “Inna lillaahi wa innaa ilaihi raaji’uun”.

💡 Syaikh Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di berkata:

Kalimat مُّصِيبَةٌ dalam ayat ini bersifat umum (naqirah). Seperti kelaparan, kekurangan harta, kematian dan lainnya.

“Yaitu orang-orang yang apabila ditimpa musibah,” yaitu segala hal yang menyakitkan hati atau tubuh atau keduanya dari segala hal yang telah disebutkan sebelumnya “mereka mengucapkan innalillah,” maksudnya, kami adalah milik Allah yang diatur di bawah perintah dan kekuasaannya. Kami tak punya hak sedikitpun terhadap harta maupun diri kami sendiri, bila Dia menguji kami dengan mengambil atau memusnahkan sesuatu darinya, maka pada hakikatnya Dia yang maha pengasih telah melakukan tindakan terhadap hamba-hamba miliknya dan harta-harta mereka.

Disebutkan dalam satu riwayat bahwa kalimat istirja hanya dikhususkan untuk umat Muhammad ﷺ.

Kalimat istirja ini secara lafadz memiliki makna dan konsekuensi yang tidak hanya di lisan saja. Maka Akan timbul sabar, ridho dan syukur. Inilah tiga hal kunci bagi orang yang terkena musibah.

Akan Mendapatkan Ganti yang Lebih Baik

Ummu Salamah -salah satu istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam- berkata bahwa beliau pernah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

أُمَّ سَلَمَةَ زَوْجَ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- تَقُولُ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَقُولُ « مَا مِنْ عَبْدٍ تُصِيبُهُ مُصِيبَةٌ فَيَقُولُ إِنَّا لِلَّهِ وَإِنَّا إِلَيْهِ رَاجِعُونَ اللَّهُمَّ أْجُرْنِى فِى مُصِيبَتِى وَأَخْلِفْ لِى خَيْرًا مِنْهَا إِلاَّ أَجَرَهُ اللَّهُ فِى مُصِيبَتِهِ وَأَخْلَفَ لَهُ خَيْرًا مِنْهَا ». قَالَتْ فَلَمَّا تُوُفِّىَ أَبُو سَلَمَةَ قُلْتُ كَمَا أَمَرَنِى رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- فَأَخْلَفَ اللَّهُ لِى خَيْرًا مِنْهُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم-.

“Siapa saja dari hamba yang tertimpa suatu musibah lalu ia mengucapkan: “Inna lillahi wa inna ilaihi rooji’un. Allahumma’jurnii fii mushibatii wa akhlif lii khoiron minhaa [Segala sesuatu adalah milik Allah dan akan kembali pada-Nya. Ya Allah, berilah ganjaran terhadap musibah ang menimpaku dan berilah ganti dengan yang lebih baik]”, maka Allah akan memberinya ganjaran dalam musibahnya dan menggantinya dengan yang lebih baik.”

Ketika, Abu Salamah (suamiku) wafat, aku pun menyebut do’a sebagaimana yang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam perintahkan padaku. Allah pun memberiku suami yang lebih baik dari suamiku yang dulu yaitu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (HR Muslim no. 918).

Do’a yang disebutkan dalam hadits ini semestinya diucapkan oleh seorang muslim ketika ia ditimpa musibah dan sudah seharusnya ia pahami. Insya Allah, dengan ini ia akan mendapatkan ganti yang lebih baik.

Musibah ada dua jenis:
▪️Musibah Dunia: kelaparan, sakit, dan selainnya.
▪️Musibah agama: Bermaksiat, bid’ah, berbuat syirik dan lainnya.

Selain kalimat istirja, Kita juga diperintahkan untuk memohon pertolongan kepada Allâh ﷻ.

Isti’anah kepada Allah Ta’ala

Yaitu meminta pertolongan hanya kepada Allâh ﷻ, isti’anah yang mengandung kesempurnaan sikap merendahkan diri dari seorang hamba kepada Rabbnya, dan menyerahkan seluruh perkara kepada-Nya, serta meyakini bahwa hanya Allah yang bisa memberi kecukupan kepadanya.

Bunyinya:

لا حول ولا قوة الا بالله

Tiada daya dan upaya kecuali dengan kekuatan Allah yang Maha Tinggi lagi Maha Agung.

💡 Syaikh Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di berkata:

Oleh karena itu tidak perlu ada gugatan sama sekali terhadap semua itu bahkan termasuk kesempurnaan penghambaan seorang hamba adalah pengetahuannya bahwa terjadi suatu cobaan itu adalah dari yang memiliki lagi maha bijaksana, yang mana dia adalah dzat yang paling pengasih terhadap hamba-Nya daripada diri hamba itu sendiri.

Dengan demikian, hamba itu haruslah Ridho terhadap Allah dan bersyukur kepadaNya atas pengaturannya kepada sesuatu yang lebih baik bagi hamba-Nya walaupun hamba itu sendiri tidak sadar akan hal tersebut.

Dan keadaan bahwa kami ini milik Allah, bersama itu kami juga akan kembali kepadaNya pada hari kebangkitan nanti. Lalu Dia akan membalas setiap perbuatan dari pelakunya, bila kami bersabar dan hanya mengharap pahala di sisi-Nya kami akan memperoleh ganjaran secara sempurna disisi-Nya, namun bila kami tidak bersabar dan mencaci-maki niscaya kami tidak memiliki apa-apa kecuali hanya murka dan lenyapnya pahala. Keberadaan seorang hamba bahwa dia milik Allah dan akan kembali kepadaNya adalah faktor terbesar yang menyebabkan tumbuhnya kesabaran.

📖 Surat Al-Baqarah Ayat 157:

Allâh ﷻ berfirman :

أُو۟لَٰٓئِكَ عَلَيْهِمْ صَلَوَٰتٌ مِّن رَّبِّهِمْ وَرَحْمَةٌ ۖ وَأُو۟لَٰٓئِكَ هُمُ ٱلْمُهْتَدُونَ

Mereka itulah yang mendapat keberkatan yang sempurna dan rahmat dari Tuhan mereka dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk.

💡 Syaikh Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di berkata:

“Mereka itulah,” yakni orang yang berlaku sabar yang disebutkan tadi “yang mendapatkan keberkahan yang sempurna dari rabb mereka,” yaitu pujian dan perubahan kondisi mereka “dan rahmat,” yang agung dan diantara rahmatnya kepada mereka adalah bahwa Allah memberi Taufik kepada mereka dengan kesabaran, yang membuat mereka mendapat pahala yang sempurna “dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk,” yaitu orang-orang yang mengetahui kebenaran yaitu pengetahuan mereka bahwa mereka itu adalah milik Allah dan mereka itu akan kembali kepadaNya serta berbuat karenaNya. Dalam hal ini kesabaran mereka karena Allah.

Ayat ini menunjukkan bahwa orang yang tidak bersabar akan mendapatkan kebalikannya yaitu celaan dari Allah, hukuman, kesesatan, dan kerugian. Maka alangkah besarnya perbedaan antara kedua golongan itu, alangkah sedikitnya kelelahan orang-orang yang bersabar dan alangkah besarnya kesulitan orang-orang yang berkeluh kesah.

Kedua ayat ini mengandung penguatan jiwa terhadap musibah musibah sebelum terjadi, agar menjadi ringan dan mudah dihadapi bila terjadi, juga penjelasan tentang apa yang harus digunakan untuk menghadapinya pada saat terjadi musibah yaitu kesabaran, penjelasan tentang hal yang membantu dalam bersabar, serta pahala yang diperoleh oleh orang-orang yang bersabar.

Ayat ini juga memberitahukan kondisi orang yang tidak bersabar dengan kebalikan dari kondisi orang-orang yang bersabar tadi dan bahwasanya ujian dan cobaan itu adalah sunnatullah yang telah berlaku atas orang-orang terdahulu, dan kamu sekali-kali tidak akan mendapati perubahan pada sunnatullah, serta penjelasan bermacam-macam musibah.

Hidayah mengandung dua unsur yaitu ilmu dan amal. Tanpa keduanya, seseorang tidak bisa disebut telah menerima hidayah.

📖 Surat Al-Baqarah Ayat 158:

Allâh ﷻ berfirman :

۞ إِنَّ ٱلصَّفَا وَٱلْمَرْوَةَ مِن شَعَآئِرِ ٱللَّهِ ۖ فَمَنْ حَجَّ ٱلْبَيْتَ أَوِ ٱعْتَمَرَ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِ أَن يَطَّوَّفَ بِهِمَا ۚ وَمَن تَطَوَّعَ خَيْرًا فَإِنَّ ٱللَّهَ شَاكِرٌ عَلِيمٌ

Sesungguhnya Shafaa dan Marwa adalah sebahagian dari syi’ar Allah. Maka barangsiapa yang beribadah haji ke Baitullah atau ber’umrah, maka tidak ada dosa baginya mengerjakan sa’i antara keduanya. Dan barangsiapa yang mengerjakan suatu kebajikan dengan kerelaan hati, maka sesungguhnya Allah Maha Mensyukuri kebaikan lagi Maha Mengetahui.

Ayat ini berkaitan dengan kesabaran dalam ketaatan kepada-Nya. Karena haji dan umrah adalah serangkaian ibadah fisik yang memerlukan kesabaran.

💡 Syaikh Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di berkata:

Allah mengabarkan “Sesungguhnya Shafa dan Marwa,” keduanya adalah tempat yang telah diketahui, “adalah sebagian dari syiar Allah,” yakni tanda-tanda agamaNya yang jelas yang dipakai oleh hamba-hambaNya untuk beribadah kepada Allah dengannya, dan apabila kedua tempat itu adalah di antara syiar-syiar Allah, maka Allah telah memerintahkan untuk mengagungkan syiar-syiarNya seraya berfirman : “Dan barangsiapa mengagungkan syi’ar-syi’ar Allah, maka sesungguhnya itu timbul dari ketakwaan hati.” QS al-hajj ayat 32

▪️Syiar maksudnya: tanda yang jelas. Bukan hanya semata pada hal fisik, tetapi ibadah yang dilakukan pada tempat itu. Termasuk seperti adzan (tanda yang nampak).

Kedua nash di atas menunjukkan bahwa kedua tempat tersebut adalah diantara syiar-syiar Allah, dan mengagungkan syiar syiar Allah itu timbul dari ketakwaan hati, sedangkan ketaqwaan itu wajib atas orang-orang yang telah terbebani kewajiban (mukallaf). Dengan demikian, hal itu menunjukkan bahwa mmelakukan sai di antara dua tempat itu adalah sebuah kewajiban yang pasti dalam ibadah haji dan umroh, sebagaimana yang disepakati oleh mayoritas ulama, yang ditunjukkan oleh hadits-hadits dan perbuatan Nabi. Beliau bersabda: “Ambilah contoh dari ku dalam manasik haji dan umrah kalian,”

“Maka barangsiapa yang beribadah haji ke Baitullah atau berumroh maka tidak ada dosa baginya mengerjakan sai antara keduanya,” ayat ini adalah jawaban bagi orang yang ragu dan merasa bersalah di antara kaum muslimin yang melakukan sai antara keduanya, karena pada masa jahiliyah dulu, kedua tempat tersebut menjadi tempat disembahnya patung-patung, lalu Allah meniadakan dosa untuk menolak keraguan tersebut, bukan karena ia merupakan suatu yang tidak wajib. Pembatasan peniadaan dosa bagi orang yang sai di antara dua tempat itu saat ibadah haji dan umroh menunjukkan bahwa tidaklah seseorang melakukan sai secara tersendiri kecuali disertai dengan haji dan umroh, berbeda dengan tawaf di Baitullah, karena ia disyariatkan bersama umroh dan haji karena Ia merupakan ibadah yang tersendiri.

Adapun sai, wukuf di Arafah dan Muzdalifah, serta melempar jumroh adalah bagian kegiatan yang mengikuti nusuk (tata cara haji), sekiranya anda melakukannya tanpa mengikuti nusuk, maka perbuatan itu adalah sebuah bid’ah, karena bid’ah itu ada dua macam: Pertama yang dilakukan untuk beribadah kepada Allah yang tidak disyariatkan sama sekali, dan kedua yang dilakukan untuk beribadah kepada Allah yang disyariatkan olehNya dalam bentuk tertentu tapi dikerjakan dengan bentuk yang lain; dan perbuatan ini termasuk dalam kategori kedua.

FirmanNya, “Dan barangsiapa dengan kerelaan hati,” maksudnya, melakukan suatu ketaatan dengan ikhlas karena Allah Semata, “yang baik” seperti haji, umroh, tawaf, shalat, puasa, dan sebagainya, maka hal itu adalah baik baginya. Hal ini menunjukkan bahwa setiap kali ketaatan seorang hamba bertambah kepada Allah, maka bertambah pula kebaikannya, kesempurnaannya, dan derajatnya disisi Allah, karena bertambahnya keimanan dalam dirinya dan juga menunjukkan atas batas kerelaan hatinya dengan baik, dan bahwasanya barangsiapa yang melakukan suatu bid’ah dengan kerelaan hati, yang tidak disyariatkan oleh Allah dan tidak pula oleh rasulNya, niscaya dia tidak akan memperoleh apa-apa kecuali lelah semata, dan bukan suatu yang baik untuknya, bahkan kemungkinan bisa menjadi suatu yang buruk baginya jikalau dia melakukannya secara sengaja dan mengetahui tentang tidak disyariatkan nya amalan tersebut.

“Maka sesungguhnya Allah Maha mensyukuri lagi Maha Mengetahui,” asy syakir dan asy syakur (Yang Maha mensyukuri) adalah diantara nama-nama Allah yang baik, di mana Dia menerima perbuatan yang sedikit sekalipun dari hambaNya, lalu Dia membalasnya dengan pahala yang besar, yakni bila seorang hamba menunaikan perintah perintahNya dan menunaikan ketaatan kepadaNya, niscaya Dia akan menolongnya, memujinya, dan membalasnya dengan memberikan cahaya (Hidayah), keimanan, dan kelapangan dalam hatinya, kekuatan dan semangat dalam dirinya, tambahan keberkahan dan peningkatan dalam segala kondisinya, bertambah Taufik dalam perbuatannya, kemudian setelah itu Dia mendahulukan balasan yang ditangguhkan di sisi rabbnya secara sempurna dan lengkap, dan tidak dikurangi oleh perkara-perkara tersebut.

Dan diantara syukur Allah kepada hambaNya adalah bahwa barangsiapa yang meninggalkan sesuatu karena Allah, niscaya Allah akan menggantinya dengan sesuatu yang lebih baik darinya, barangsiapa yang mendekatkan diri kepadaNya sejengkal, Dia akan mendekat kepadanya satu hasta, barangsiapa yang mendekatkan diri kepada-Nya satu hasta, Dia akan mendekat kepadanya satu depa, barangsiapa yang menuju kepadaNya dengan berjalan, Dia akan menuju kepadanya dengan berlari kecil, dan barangsiapa yang bermuamalah denganNya, niscaya dia akan beruntung berlipat-lipat ganda.

Dan disamping bahwa Allah adalah Maha bersyukur, Dia pun Maha Mengetahui siapa yang berhak memperoleh balasan sempurna sesuai dengan niat, keimanan, dan ketakwaannya dari orang yang tidak seperti itu, Maha mengetahui perbuatan hamba-hambaNya, tidak menyia-nyiakannya bahkan mereka akan mendapat balasan paling sempurna sesuai niat mereka yang diketahui oleh Allah yang Maha Mengetahui lagi Maha bijaksana.

•┈┈┈┈┈┈•❀❁✿❁❀•┈┈┈┈┈•

اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ أَنْ أُشْرِكَ بِكَ وَأَنَا أَعْلَمُ ، وَأَسْتَغْفِرُكَ لِمَا لا أَعْلَمُ

Ya Allah, aku meminta pada-Mu agar dilindungi dari perbuatan syirik yang kuketahui dan aku memohon ampun pada-Mu dari dosa syirik yang tidak kuketahui”.

وبالله التوفيق وصلى الله على نبينا محمد وعلى آله وصحبه وسلم