Barangsiapa yang berucap dengannya akan benar, barangsiapa yang mengamalkannya dijanjikan dengan pahala, barangsiapa yang berhukum dengannya akan adil, barangsiapa yang menyeru kepadanya akan ditunjukkan oleh Allah ke jalan yang lurus, barangisapa yang meninggalkannya karena kesombongan akan dibinasakan oleh Allah dan barangsiapa yang mencari petunjuk selainnya akan disesatkan oleh Allah. Allah ber firman,
“Maka jika datang kepadamu petunjuk daripada-Ku lalu barangsiapa yang mengikut petunjuk-Ku, ia tidak akan sesat dan tidak akan celaka. Dan barangsiapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang amat sempit, dan Kami akan menghimpunkannya pada hari kiamat dalam keadaan buta. Berkatalah ia, “Ya Rabbku, mengapa Engkau menghimpunkan aku dalam keadaan buta, padahal aku dahulunya adalah orang yang melihat?”. Allah ber rnan, “Demikianlah, telah datang kepadamu ayat-ayat Kami, maka kamu melupakannya, dan begitu (pula) pada hari ini, kamupun dilupakan.” (QS. Thoha: 123 – 126).(Majmu’ Fatawa 13/330)
Pentingnya Ilmu Tafsir
Tidaklah Allah menurunkan Al-Qur’an Al-Karim kepada manusia melainkan agar mereka memahaminya, memikirkan dan mengamalkannya. Allah Ta’ala ber rman, Ini adalah sebuah kitab yang Kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah supaya mereka memperhatikan ayat-ayatnya dan supaya mendapat pelajaran orang-orang yang mempunyai kiran. (QS. Shod: 29)
Ibnu Jarir Ath-Thobari berkata, Di dalam hasungan Allah kepada hamba-hamba-Nya agar mereka mengambil ibroh dari ayat-ayat Al-Qur’an terpadat perintah yang mewajibkan mereka mengetahui tafsir ayat-ayat yang mampu diketahui oleh manusia. (Tafsir Thobari: 1/161.)
Ibnu Mas’ud berkata: “Sungguh seseorang di antara kami (sahabat) jika mempelajari sepuluh ayat dari Al-Qur’an tidak akan melampauinya sampai dia mengetahui maknanya dan mengamalkannya.” (Diriwayatkan oleh Ibnu Jarir dalam tafsirnya 1/60 dengan sanad yang shahih.)
Dan merupakan hal yang dimaklumi bahwa yang dimaksud dengan setiap perkataan adalah pemahaman makna-maknanya, bukan sekedar lafadznya. Maka Al-Qur’an lebih berhak untuk dipahami daripada semua perkataan. (Majmu’ Fatawa: 13/332.)
Sa’id bin Jubair berkata : “Barangsiapa membaca Al-Qur’an kemudian tidak tahu tafsirnya, maka seakan-akan dia seperti orang buta atau orang badui (Arab gunung)“. (Diriwayatkan oleh Ibnu Jarir dalam tafsirnya 1/60 dengan sanad hasan.)
Dan Allah telah mencela ahli kitab karena mereka berpaling dari kitabullah yang diturunkan kepada mereka. Mereka sibuk mengurusi dunia dan mengumpulkannya. Maka wajib bagi kita kaum muslimin untuk berhenti dari apa yang dicela oleh Allah dan melaksanakan perintah-Nya untuk mempelajari kitabullah dan memahaminya. Allah ber firnan :
“Belumkah datang waktunya bagi orang-orang yang beriman untuk tunduk hati mereka mengingat Allah dan kepada kebenaran yang telah turun (kepada mereka), dan janganlah mereka seperti orang-orang yang sebelumnya telah diturunkan Al-Kitab kepadanya, kemudian berlalulah masa yang panjang atas mereka lalu hati mereka menjadi keras. Dan kebanyakan di antara mereka adalah orang-orang yang fasik”. (QS. Al- Hadid: 16)
Imam Suyuthi berkata, “Para ulama telah sepakat bahwa ilmu tafsir termasuk dari fardhu-fardhu kifayah.” (Al-Itqon Ulumil Qur’an: 2/385)
Dengan ungkapan senada, Al-Anshori berkata, “Pekerjaan yang paling mulia untuk digeluti manusia adalah tafsir Al-Qur’an.” (Dinukil oleh Suyuthi dalam Al-Itqon: 2/386.)
Macam-macam Tafsir
Secara umum tafsir dibagi menjadi dua kelompok, yaitu Tafsir bil ma’tsur dan tafsir bir ro’yi. Dibawah ini kita jelaskan ada dua macam tafsir ini beserta hukumnya:
1. Tafsir bil ma’tsur
Tafsir bil ma’tsur adalah tafsir yang berlandaskan naqli (Dalil naqli yaitu dalil yang berasal dari Al-Qur’an atau As-Sunnah ) yang shahih, dengan cara menafsirkan Al-Qur’an dengan Al-Qur’an atau dengan sunnah, yang merupakan penjelas kitabullah. Atau dengan perkataan para sahabat yang merupakan orang- orang yang paling tahu tentang kitabullah, atau dengan perkataan tabi’in yang belajar tafsir dari para sahabat.
Cara tafsir bil ma’tsur adalah dengan memakai atsar-atsar yang menjelaskan tentang makna suatu ayat, dan tidak membicarakan hal-hal yang tidak ada faedahnya, selama tidak ada riwayat yang shohih tentang itu. (Mabahits Ulumil Qur’an hal. 358.)
Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah : “Wajib diketahui bahwa nabi telah menjelaskan makna-makna Al-Qur’an kepada para sahabat sebagaimana telah menjelaskan lafadz-lafadznya kepada mereka. Karena firman Allah : “agar kamu menerangkan pada umat manusia apa yang telah dirurunkan kepada mereka” (QS. An-Nahl: 44) mencakup penjelasan lafadz-lafadz dan makna. (Majmu’ Fatawa: 13/331)
Dan beliau juga berkata,
“Jika ada orang yang bertanya, “Apa jalan tafsir yang terbaik?” Maka jawabannya adalah : Yang paling shahih dari cara menafsirkan Al-Qur’an adalah menafsirkan Al-Qur’an dengan Al-Qur’an. Apa yang dimaksud mujmal di suatu ayat, dijelaskan di ayat lainnya. Apa yang diringkas dalam suatu ayat, diperpanjang di tempat yang lain. Kalau hal ini menyulitkanmu maka wajib bagimu mencarinya dalam sunnah Rasulullah, karena sunnah adalah pemberi keterangan Al-Qur’an dan penjelas baginya. Allah berfirrman : “Dan Kami turunkan kepadamu Al-Qur’an, agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan”. (QS. An-Nahl: 44).
Dan karena inilah Rasulullah bersabda : “Ketahuilah aku telah diberi Al-Qur’an dan yang semisalnya (yaitu As-Sunnah) bersamanya. (Diriwayatkan oleh Abu Dawud dan Tirmidzi, dan dishohihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam Al-Hadits Hujjatun binafsihi hal. 32.)
Dan jika kita tidak menjumpai tafsir dalam Al-Qur’an dan sunnah, maka kita merujuk kepada perkataan para sahabat. Karena mereka lebih tahu tentang tafsir dengan apa-apa yang mereka persaksikan dari Al-Qur’an dan keadaan-keadaan khusus bagi mereka. Juga apa yang dimiliki mereka dari pemahaman yang sempurna, ilmu yang shahih dan amal yang shahih. Dan jika kita tidak mendapatkan tafsir dalam Al-Qur’an dan tidak juga dalam As-Sunnah dan tidak juga dari perkataan para sahabat, maka banyak para imam yang merujuk kepada perkataan tabi’in seperti Mujahid bin Jabr, Sa’id bin Jubair, Ikrimah, Atho’ bin Abi Robah, Al-Hasan Al-Bashri, Masruq bin Al-Ajda’, Sa’in bin Al-Musayyib, Abul ‘Aliyah, Robi’ bin Anas, Qotadah, Adh-Dhohak bin Muzaahim dan yang selain mereka dari tabi’in. (Majmu’ Fatawa13/363 – 369, 368 – 369 dengan sedikit ringkasan.)
Hukum Tafsir bil Ma’tsur.
Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah : “Dan kita mengetahui bahwa Al-Qur’an telah dibaca oleh para sahabat, tabi’in dan orang-rang yang mengikuti mereka. Dan bahwa mereka paling tahu tentang kebenaran yang dibebankan Allah kepada Rasulullah untuk menyampaikannya. (Majmu’ Fatawa: 13/362.)
2. Tafsir Bir Ro’yi
Tafsir bir Ro’yi adalah tafsir yang berlandaskan pemahaman pribadi penafsir, dan istimbatnya dengan akal semata. (Mabahits Ulumil Qur’an, hal. 362)
Tafsir ini banyak dilakukan oleh ahli bid’ah yang meyakini pemikiran tertentu kemudian membawa lafadz-lafadz Al-Qur’an kepada pemikiran mereka tanpa ada pendahulu dari kalangan sahabat maupun tabi’in. Tidak dinukil dari para imam ataupun pendapat merek dan tidak pula dari tafsir mereka. (Majmu’ Fatawa: 13/358.)
Seperti kelompok Mu’tazilah yang banyak menulis tafsir berlandaskan pokok-pokok pemikiran mereka yang sesat, seperti Tafsir Abdurrohman bin Kaisar, Tafsir Abu ‘Ali Al-Juba’i, Tafsir Al-Kabir oleh Abdul Sabban dan Al-Kasysyaf yang ditulis oleh Zamakhsari. (Majmu’ Fatawa: 13/357.)
Hukum Tafsir Bir Ro’yi
Adapun menafsirkan Al-Qur’an dengan akal semata, maka hukumnya adalah harom. Sebagaimana rman Allah, Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. (QS. Al-Isro’: 36)
Rasulullah bersabda : “Barangsiapa yang berkata tentang Al-Qur’an dengan akalnya semata, maka hendaknya mengambil tempat duduknya di neraka. (Diriwayatkan oleh Ibnu Jarir dalam tafsirnya: 1/58 dengan yang shahih mauquf (terputus), tetapi mempunyai hukum marfu’ (bersambung sampai kepada Nabi) karena berhubungan dengan hal ghoib yang tidak mungkin bersumber dari akal semata.)
Karena inilah, banyak ulama salaf yang merasa berat menafsirkan suatu ayat Al-Qur’an tanpa ilmu, sebagaimana dinukil dari Abu Bakar Ash-Shiddiq bahwa ia berkata, Bumi manakah yang bisa membawaku, dan langit manakah yang akan menaungiku jika aku mengatakan sesuatu tentang Al-Qur’an yang aku tidak punya ilmunya? (Diriwayatkan oleh Ibnu Jarir dalam tafsirnya: 1/58 dengan sanad yang shahih.)
Dari Ibnu Abi Malikah bahwasanya Ibnu Abbas ditanya tentang suatu ayat yang jika sebagian di antara kalian ditanya tentu akan berkata tentangnya, maka ia enggan berkata tentangnya. (Diriwayatkan oleh Ibnu Jarir dalam tafsirnya: 1/62-63 dengan sanad yang shahih.)
Berkata Ubaidullah bin Umar : “Telah aku jumpai para fuqoha Madinah, dan sesungguhnya mereka menganggap besar bicara dalam hal tafsir. Di antara mereka adalah Salim bin Abdullah, Al-Qosim bin Muhammad, Sain bin Musayyib dan Na ‘. (Diriwayatkan oleh Ibnu Jarir dalam tafsirnya: 1/62 dengan sanad yang shahih.)
Masyruq berkata, “Hati-hatilah kalian dari tafsir, karena dia adalah riwayat dari Allah.” (Diriwayatkan oleh Abu Ubaid dengan sanad yang hasan sebagaimana dinukil oleh Ibnu Katsir dalam tafsirnya: 1/12.)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata : “Secara umum, barangsiapa yang berpaling dari madzhab sahabat dan tabi’in dan tafsir mereka kepada tafsir yang menyelisihinya, maka telah berbuat kesalahan, bahkan berbuat bid’ah (sesuatu hal yang baru yang tidak ada contohnya dari Rasulullah) dalam agama. (23Majmu’ Fatawa: 13/361.) – Artikel: vbaitullah.or.id.