بِسْــــــــــــــــــمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ
Kajian Ummahat Doha – Senin Pagi
Tanggal: 520 Syawal 1445 / 29 April 2024
Tempat: Aind Khalid
Bersama: Ustadz Abu Abdus Syahid Isnan Efendi, Lc, M.A Hafidzahullah
Allah ta’aala berfirman dalam Al-Qur’an Surat Al-Baqarah ayat 170:
وَإِذَا قِيلَ لَهُمُ ٱتَّبِعُوا۟ مَآ أَنزَلَ ٱللَّهُ قَالُوا۟ بَلْ نَتَّبِعُ مَآ أَلْفَيْنَا عَلَيْهِ ءَابَآءَنَآ ۗ أَوَلَوْ كَانَ ءَابَآؤُهُمْ لَا يَعْقِلُونَ شَيْـًٔا وَلَا يَهْتَدُونَ
Dan apabila dikatakan kepada mereka: “Ikutilah apa yang telah diturunkan Allah,” mereka menjawab: “(Tidak), tetapi kami hanya mengikuti apa yang telah kami dapati dari (perbuatan) nenek moyang kami”. “(Apakah mereka akan mengikuti juga), walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui suatu apapun, dan tidak mendapat petunjuk?”.
📚 Tafsir as-Sa’di / Syaikh Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di, pakar tafsir abad 14 H
170. “(Tidak), tetapi kami hanya mengikuti apa yang telah kami dapati dari (perbuatan) nenek moyang kami.” Mereka merasa cukup hanya mengikuti nenek moyang mereka, dan mereka tidak membutuhkan untuk beriman kepada para nabi, padahal nenek moyang mereka itu adalah orang-orang yang paling bodoh dan paling sesat. Syubhat ini sangatlah lemah untuk menolak kebenaran. Ini semua adalah tanda tentang berpalingnya mereka dari kebenaran dan kebencian mereka terhadapnya, serta tidak adanya sikap adil pada mereka, sekiranya mereka diberikan hidayah dan kehendak yang tulus, pasti kebenaran itulah yang menjadi target, karena barangsiapa yang menjadikan kebenaran itu sebagai targetnya lalu menimbang-nimbang kebenaran itu dengan yang lainnya, maka jelaslah baginya kebenaran itu secara pasti, lalu ia akan mengikutinya bila ia bersikap adil.
Allah ta’aala berfirman dalam Al-Qur’an Surat Al-Baqarah ayat 171:
وَمَثَلُ ٱلَّذِينَ كَفَرُوا۟ كَمَثَلِ ٱلَّذِى يَنْعِقُ بِمَا لَا يَسْمَعُ إِلَّا دُعَآءً وَنِدَآءً ۚ صُمٌّۢ بُكْمٌ عُمْىٌ فَهُمْ لَا يَعْقِلُونَ
Dan perumpamaan (orang-orang yang menyeru) orang-orang kafir adalah seperti penggembala yang memanggil binatang yang tidak mendengar selain panggilan dan seruan saja. Mereka tuli, bisu dan buta, maka (oleh sebab itu) mereka tidak mengerti.
📚 Tafsir as-Sa’di / Syaikh Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di, pakar tafsir abad 14 H
171. Ketika Allah menjelaskan tentang ketidaktaatan mereka terhadap apa yang dibawa oleh para rasul dan bantahan mereka terhadap mereka atas hal itu dengan menyatakan bahwa itu adalah taqlid, maka diketahui dari hal itu semua bahwa mereka tidak menerima kebenaran dan tidak meresponnya, bahkan telah diketahui oleh setiap orang bahwa mereka akan selalu berada pada kedurhakaan mereka. Kemudian Allah mengabarkan bahwa perumpamaan mereka ketika ada orang yang mendakwahi mereka kepada keimanan adalah seperti binatang ternak yang dipanggil oleh pengembalanya dan ia tidak mengetahui apa yang dikatakan oleh penyeru dan pemanggilnya itu, mereka itu hanya mendengar suara saja yang hujjah itu akan tegak dengannya, akan tetapi mereka tidak memahaminya dengan pemahaman yang bermanfaat bagi mereka. Oleh karena itu, mereka adalah tuli dan tidak mendengar kebenaran dengan pendengaran kepahaman dan penerimaan, mereka itu buta, yang tidak melihat dalam rangka mengambil pelajaran, mereka itu bisu, yang tidak dapat berbicara dengan hal yang baik bagi mereka.
Dan penyebab dari semua itu adalah karena mereka tidak memiliki akal yang sehat, akan tetapi mereka adalah sebuah bodohnya manusia dan se dungu dungu nya orang.
Apakah seseorang yang berakal akan ragu bahwa orang yang diserahkan kepada petunjuk dan menjauh dari kerusakan, dilarang terjun ke dalam siksaan, ia diperintahkan kepada kebaikan, keberhasilan, kemenangan dan kenikmatan untuknya, lalu ia bermaksiat kepada orang yang menasehatinya, berpalinglah dari perintah Rabbnya, menerobos ke dalam api neraka meski ia tahu dan mengikuti kebatilan serta membuang kebenaran, bahwa yang seperti inilah yang tidak memiliki pegangan akal? dan bahwasanya bila disertai dengan sifat makar, tipu daya, dan penipuan, maka sesungguhnya ia adalah manusia yang paling dungu.
Allah ta’aala berfirman dalam Al-Qur’an Surat Al-Baqarah ayat 172:
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ كُلُوا۟ مِن طَيِّبَٰتِ مَا رَزَقْنَٰكُمْ وَٱشْكُرُوا۟ لِلَّهِ إِن كُنتُمْ إِيَّاهُ تَعْبُدُونَ
Hai orang-orang yang beriman, makanlah di antara rezeki yang baik-baik yang Kami berikan kepadamu dan bersyukurlah kepada Allah, jika benar-benar kepada-Nya kamu menyembah.
📚 Tafsir as-Sa’di / Syaikh Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di, pakar tafsir abad 14 H
172. Ayat ini adalah perintah kepada kaum muslimin secara khusus setelah perintah kepada manusia umumnya. Yang demikian itu karena pada dasarnya mereka lah yang mengambil manfaat dari perintah-perintah dan larangan-larangan, disebabkan keimanan mereka, perintah Allah untuk makan hal-hal yang baik dari rizki dan bersyukur kepada Allah atas segala nikmat nikmatNya dengan menggunakannya dalam ketaatan kepada Allah dan taqwa dengan nikmat nikmat tersebut yang dapat menyampaikan kepada hakikat syukur. Maka Allah memerintahkan kepada mereka apa yang diperintahkan kepada para Nabi dalam FirmanNya :
“Hai rasul-rasul, makanlah dari makanan yang baik-baik, dan kerjakanlah amal yang saleh. Sesungguhnya Aku Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” QS. al-mu’minun ayat 51
Bersyukur dalam ayat ini adalah amal yang Shalih.
Di sini Allah tidak berkata yang halal, karena seorang mukmin itu Allah bolehkan baginya hal-hal yang baik dari rizki yang terlepas dari akibat buruk, dan juga karena keimanan seorang mukmin itu menghalangi dirinya dari menikmati apa yang bukan miliknya.
Dan FirmanNya “Jika benar-benar kepadaNya kamu menyembah,” Maknanya, maka bersyukurlah kepadaNya. Hal ini menunjukkan bahwa barangsiapa yang tidak bersyukur kepada Allah, berarti ia tidak menyembah semata-mata hanya kepadaNya, sebagaimana orang yang bersyukur kepadaNya, berarti ia telah beribadah kepadaNya dan menunaikan apa yang telah diperintahkan. Ayat ini juga menunjukkan bahwa memakan hal-hal yang baik adalah penyebab amal sholeh dan diterimanya amal tersebut.
Allah memerintahkan untuk bersyukur setelah mendapatkan kenikmatan, karena dengan bersyukur akan memelihara kenikmatan yang ada tersebut, dan akan memunculkan kenikmatan-kenikmatan yang sebelumnya tidak ada, sebagaimana sikap kufur nikmat akan menjauhkan kenikmatan yang tidak ada dan menghilangkan kenikmatan yang telah ada.
Allah ta’aala berfirman dalam Al-Qur’an Surat Al-Baqarah ayat 173:
إِنَّمَا حَرَّمَ عَلَيْكُمُ ٱلْمَيْتَةَ وَٱلدَّمَ وَلَحْمَ ٱلْخِنزِيرِ وَمَآ أُهِلَّ بِهِۦ لِغَيْرِ ٱللَّهِ ۖ فَمَنِ ٱضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَلَا عَادٍ فَلَآ إِثْمَ عَلَيْهِ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ غَفُورٌ رَّحِيمٌ
Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi, dan binatang yang (ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah. Tetapi barangsiapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
📚 Tafsir as-Sa’di / Syaikh Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di, pakar tafsir abad 14 H
173. Dan ketika Allah menyebutkan bolehnya hal-hal yang baik, Dia sebutkan juga haramnya hal-hal yang kotor, melalui FirmanNya, “Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai,” yaitu binatang yang mati tanpa disembelih secara syar’i, karena bangkai itu kotor lagi berbahaya, karena kejelekan dzatnya, dan karena mayoritas bangkai itu adalah dari penyakit, sehingga menambah penyakitnya. Namun pembuat syariat mengecualikan dari keumuman tersebut, bangkai belalang dan ikan, karena kedua bangkai itu halal lagi baik.
Juga “darah” yaitu darah yang mengalir (mengucur) sebagaimana yang telah dibatasi oleh ayat yang lain, “Dan binatang yang ketika disembelih disebutkan nama selain Allah,” yakni, disembelih untuk selain Allah seperti hewan yang disembelih untuk patung, berhala dari batu, kuburan, dan sebagainya. Hal-hal yang telah disebutkan di atas tidaklah membatasi bagi hal-hal yang diharamkan. Hal-hal tersebut disebutkan dalam ayat ini hanya untuk menjelaskan jenis dari hal-hal yang kotor tersebut yang dimaksudkan dari pemahaman terbalik dalam FirmanNya, “hal-hal yang baik.” Keumuman apa-apa yang diharamkan dapat dipahami dari ayat terdahulu dari FirmanNya, “halal lagi baik” sebagaimana yang telah berlalu.
Sesungguhnya hal yang kotor itu atau yang semacamnya diharamkan untuk kita, sebagai bentuk kasih sayangNya kepada kita dan pemeliharaan diri dari hal-hal yang berbahaya.
Walaupun demikian, “barangsiapa dalam keadaan terpaksa memakannya,” maksudnya, terpaksa beralih kepada yang haram karena lapar dan tidak punya apa-apa, atau dipaksa, “sedang dia tidak menginginkannya,” yakni, tidak mencari yang haram padahal dia mampu mendapatkan yang halal atau karena tidak adanya rasa lapar, “dan tidak pula melampaui batas,” yakni kelewat batas dalam menikmati apa yang telah diharamkan tersebut karena keterpaksaan tadi, maka barangsiapa yang terpaksa dan ia tidak mampu mendapatkan yang halal dan ia makan menurut batas kebutuhan mendasar saja dan tidak lebih dari itu, “maka tidak ada dosa,” yakni kesalahan, “baginya” dan apabila dosa yang telah dihilangkan, maka perkara itu kembali kepada asal-muasalnya. Dan manusia dalam kondisi seperti ini diperintahkan untuk makan, bahkan ia dilarang untuk mencelakakan dirinya atau membunuh dirinya, maka wajiblah atasnya untuk makan, bahkan ia berdosa jika tidak makan hingga ia meninggal, yang akhirnya dia telah membunuh dirinya sendiri. Pembolehan dan keringanan ini adalah rahmat dari Allah terhadap hamba-hambaNya. Oleh karena itu Allah menutup ayat ini dengan 2 nama yang paling mulia lagi sangat sesuai tersebut, seraya berfirman, “Sesungguhnya Allah maha pengampun lagi maha penyayang.”
Ketika kehalalan itu disyaratkan dengan 2 hal tersebut dan kondisi dalam manusia seperti ini kemungkinan tidak mengerahkan segala upayanya dalam merealisasikannya, maka Allah mengabarkan bahwasanya Dia adalah maha pengampun, Dia akan mengampuninya dari kesalahan yang terjadi dalam kondisi seperti ini khususnya, yang sesungguhnya keterpaksaan itu telah mendesaknya dan kesulitan itu telah menghilangkan segala perasaannya.
Ayat ini adalah dalil untuk sebuah kaidah yang terkenal yaitu, “Kedaruratan membolehkan hal-hal yang diharamkan,”
Setiap hal yang telah diharamkan sedang manusia sangat membutuhkannya (karena darurat), maka hal itu telah diperbolehkan oleh dzat yang maha memiliki lagi maha penyayang, karena itu segala pujian hanya bagiNya dan juga rasa syukur yang pertama dan yang terakhir, yang lahir maupun yang batin.