بِسْــــــــــــــــــمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ
Kajian Kitab: 𝕀𝕘𝕙𝕠𝕥𝕤𝕒𝕥𝕦𝕝 𝕃𝕒𝕙𝕗𝕒𝕟 𝕄𝕚𝕟 𝕄𝕒𝕤𝕙𝕠𝕪𝕚𝕕𝕚𝕤𝕪 𝕊𝕪𝕒𝕚𝕥𝕙𝕒𝕟
(Penolong Orang yang Terjepit – Dari Perangkap Syaitan)
- Karya: Ibnul Qayyim al-Jauziyah 𝓡𝓪𝓱𝓲𝓶𝓪𝓱𝓾𝓵𝓵𝓪𝓱.
- Pemateri: Ustadz Isnan Efendi, Lc. MA. 𝓱𝓪𝓯𝓲𝔃𝓱𝓪𝓱𝓾𝓵𝓵𝓪𝓱
- Pertemuan: 6 Sya’ban 1445 / 16 Februari 2024
Bab 13 – 17 – Melumpuhkan Senjata-senjata Setan
Pada pertemuan yang lalu telah dijelaskan senjata setan antara lain:
1. Memperpanjang Angan-angan.
2. Memperdaya Manusia untuk Memandang Sesuatu yang Jahat sebagai Sesuatu Yang Baik.
3. Menakut-nakuti Orang-orang Beriman.
4. Tipu Daya terhadap Adam dan Hawwa’ dengan sumpah palsu.
5. Menguji Manusia dengan Berlebih-lebihan (ghuluw) dan Meremehkan (Al-Jafa’).
6. Pendapat dan Hawa nafsu (perkataan yang batil, pendapat-pendapat yang rendah dan hayalan-hayalan).
7. Bersandar kepada akal (mengeluarkan manusia dari ilmu dan agama)
8. Keanehan Orang-orang Sufi.
9. Menganggap Baik Perbuatan Mungkar.
10. Menganggap Diri Mulia.
11. Mengasingkan Diri dari Manusia.
12. Mengagungkan Diri Sendiri.
13. Menganggap Baik terhadap Diri Sendiri.
14. Syetan Membuat Manusia Berkelompok-kelompok.
15. Keragu-raguan dalam Bersuci.
Beberapa Syubhat Orang-orang Yang Was-was
▪️ Beralasan dengan: Hati-hati dalam Urusan Agama.
Orang-orang yang selalu was-was itu berkata, “Kami melakukan hal itu karena kami berhati-hati dalam urusan agama kami, serta untuk mengamalkan sabda Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam, ‘Tinggalkan apa yang meragukanmu kepada apa yang tidak meragukanmu’.” (Diriwayatkan At-Tirmidzi, Nasa’i, Ahmad dari Al-Hasan bin Ali dengan sanad shahih).
Dan sabda beliau, “Siapa yang menjaga syubhat maka dia telah membebaskan dirinya (dari tuduhan) dalam hal agama dan kehormatannya.” (Diriwayatkan Al-Bukhari, Muslim dari Nu’man bin Basyir).
Dan sabda beliau, “Dosa adalah apa yang terdetik (sebagai dosa) dalam hatimu.” (Diriwayatkan Muslim dari An-Nuwas bin Sam’an).
Dan sebagian salaf berkata, “Dosa adalah hawaz hati.” (Maksudnya, segala sesuatu yang tersimpan dalam hati, dan ditakutkan berupa maksiat yang dilakukan hamba).
Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam pernah menemukan sebuah kurma, lalu beliau bersabda, “Sungguh seandainya aku tidak takut ia dari shadaqah, tentu aku memakannya.” (Diriwayatkan Al-Bukhari, Muslim dari Anas). Bukankah Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam tidak memakannya karena kehati-hatian? Masalah ini masih panjang untuk diikuti. Berhati-hati sesungguhnya tidak diingkari oleh syariat, meskipun kalian menamakannya sebagai keragu-raguan. (Syubhat mereka).
Bahkan Abdullah bin Umar membasuh hingga ke dalam biji dua matanya sampai beliau buta. (Sunan Al-Baihaqi (1/177) dan Mushannaf Abdurrazak (991).
Dan jika Abu Hurairah berwudhu, beliau membasuh hingga ke lengan, dan bila membasuh kedua kakinya beliau membasuh hingga kedua betisnya. Dengan demikian berarti kami berhati-hati untuk diri kami, kami mengambil sesuatu yang yakin dan meninggalkan sesuatu yang meragukan kepada yang tidak meragukan, kami meninggalkan yang meragukan kepada sesuatu yang yakin dan maklum, kami menjauhi hal-hal yang menyerupai, maka berarti kami tidak keluar dari syariat, juga tidak masuk ke dalam bid’ah. Bukankah hal ini lebih baik daripada meremehkan dan menganggap mudah? Sehingga seseorang tak lagi mempedulikan dengan agamanya, tidak berhati-hati dengannya, malahan menggampangkan setiap perkara dan senantiasa bersikap demikian, sehingga tak mempedulikan bagaimana ia berwudhu? Di tempat mana ia shalat, tidak pula mempedulikan apa yang mengenai sarung dan pakaiannya, tidak menanyakan tentang janjinya, bahkan pura-pura lupa, dan senantiasa berbaik sangka, ia meremehkan agamanya, tidak mempedulikan hal-hal yang ia ragukan, dan menjadikan segala sesuatu ada dalam kesucian, padahal ia adalah najis yang paling keji, ia masuk dengan keragu-raguan dan keluar dengan keragu-raguan. Mana bukti bahwa ia begitu teliti dan sungguh-sungguh dalam hal apa yang diperintahkan, sehingga sama sekali tidak menguranginya? Adapun yang ini, jika ia menambah lebih dari yang diperintahkan maka maksudnya adalah penambahan untuk menyempurnakan apa yang diperintahkan, dan tidak kurang sesuatu pun daripadanya.
Mereka juga berkata, “Inti dari apa yang mereka ingkari dari kami adalah karena kami berhati-hati dalam mengerjakan perintah dan berhati-hati dalam menjauhi larangan. Dan itu tentu lebih baik akibatnya daripada menggampangkan dalam dua urusan tersebut. Sebab hal itu biasanya menyebabkan kekurangan dari yang diwajibkan, dan tergelincir pada yang diharamkan.
Jika kami timbang antara kerusakan hal di atas dengan kerusakan karena was-was maka kerusakan karena was-was tentu lebih ringan. Ini jika kami membantu kalian dalam memberinya istilah was-was, padahal kami sendiri menamainya dengan kehati-hatian (ihtiyathan). Maka tidaklah kalian lebih berbahagia daripada kami dalam hal Sunnah, justru kami senantiasa mendengungkan Sunnah tersebut, dan penyempurnaannya jualah yang kami kehendaki!”
▪️Bantahan yang disampaikan oleh Ibnul Qayyim al-Jauziyah Rahimahullah:
Timbangan Menurut Ahli Ittiba’ (Mengikuti Rasul Shallallahu Alaihi wa Sallam)
▪️ Segala bentuk ibadah, contohnya ada pada Rasulullah ﷺ
Orang-orang yang mengambil jalan lurus dan ittiba’ (mengikuti) Rasul Shallallahu Alaihi wa Sallam berkata,
“Allah befirman,
لَّقَدۡ كَانَ لَكُمۡ فِي رَسُولِ ٱللَّهِ أُسۡوَةٌ حَسَنَةٞ لِّمَن كَانَ يَرۡجُواْ ٱللَّهَ وَٱلۡيَوۡمَ ٱلۡأٓخِرَ وَذَكَرَ ٱللَّهَ كَثِيرٗا
Sungguh, telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari Kiamat dan yang banyak mengingat Allah. (Al-Ahzab: 21).
{ قُلۡ إِن كُنتُمۡ تُحِبُّونَ ٱللَّهَ فَٱتَّبِعُونِي يُحۡبِبۡكُمُ ٱللَّهُ
“Katakanlah, Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihimu‘.” (Ali Imran: 31).
“Dan ikutilah dia (Muhammad) supaya kamu mendapat petunjuk.” (Al-A’raaf: 158).
“Dan bahwa (yang Kami perintahkan) ini adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia, dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai-beraikan kamu dari jalan-Nya. Yang demikian itu diperintahkan Allah kepadamu agar kamu bertakwa.” (Al-An’am: 153).
Dan shirathal mustaqim yang kita diperintahkan untuk mengikutinya adalah jalan Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam dan para sahabatnya, itulah jalan yang dituju, dan apa yang keluar daripadanya maka ia adalah jalan-jalan yang menyimpang, siapa pun yang mengatakannya. Penyimpangan itu bisa berupa penyimpanganyang jauh dari jalan yang benar, tapi terkadang berupa sedikit penyimpangan dan antara keduanya terdapat tingkatan-tingkatan penyimpangan yang tidak diketahui kecuali oleh Allah Ta’ala. Jalan kebenaran tersebut sebagaimana jalan yang sesungguhnya. Seorang pejalan terkadang menyimpang daripadanya, ada yang menyimpang sama sekali, dan ada pula yang tingkat penyimpangannya kurang dari itu.
Adapun timbangan yang dengannya diketahui jalan yang lurus dan yang menyimpang daripadanya adalah apa yang ada pada Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam dan para sahabatnya. Dan orang yang menyimpang daripadanya, entah karena berlebih-lebihan dan aniaya, atau karena berijtihad dan menggunakan takwil atau karena ber-taklid secara bodoh. Di antara mereka ada yang berhak mendapat hukuman, ada yang dimaafkan, dan ada pula yang mendapatkan satu pahala, sesuai dengan niat, tujuan dan ijtihad (kesungguhan) mereka dalam mentaati Allah dan Rasul-Nya atau dalam meremehkannya.
Di sini kami akan paparkan petunjuk Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam dan para sahabatnya yang menjelaskan, manakah antara dua kelompok tersebut yang lebih pantas diikuti, lalu kami akan menjawab berbagai alasan mereka dengan pertolongan dan taufiq Allah.
▪️ Larangan Berlebih-lebihan dan Melampaui Batas
Sebelumnya kami kemukakan larangan berlebih-lebihan dan melampaui batas dan bahwa jalan tengah dan berpegang teguh dengan Sunnah adalah poros agama.
Allah befirman, “Wahai Ahli Kitab, janganlah kamu melampaui batas dalam agamamu.“(An-Nisa’: 171).
“Dan janganlah kamu berlebih-lebihan, sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan.” (Al-An’am: 141).
“Itulah hukum-hukum Allah, maka janganlah kamu melanggarnya.” (Al-Baqarah: 229).
“Dan janganlah kamu melampaui batas, karena sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.” (Al-Baqarah: 190).
“Berdoalah kepada Tuhanmu dengan berendah diri dan suara yang lembut. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.” (Al-A’raaf: 55).
Ibnu Abbas Radhiyallahu Anhuma berkata, “Rasulullah -ketika hendak berangkat ke Aqabah sedang beliau berada di atas untanya- bersab- da, ‘Ambilkan untukku sebutir kerikil!’ Maka aku mengambilkan buat beliau tujuh butir kerikil dari kerikil-kerikil untuk melempar, lalu beliau meletakkan di telapak tangannya kemudian mengibaskan debunya, seraya berkata, ‘Seperti ini hendaknya kalian buang!’ Lalu beliau bersabda, Wahai manusia, jauhilah oleh kalian berlebih-lebihan dalam agama, karena sesungguhnya telah rusak orang-orang sebelum kalian karena berlebih-lebihan dalam agama’.”
(Tasyaddud – Membebani diri dengan sesuatu yang tidak dibebankan oleh syariat seperti nadzar).
Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam melarang bersikap keras dalam agama (Tasyaddud), yakni dengan menambah apa yang telah disyariatkan, dan beliau mengabarkan bahwa sikap keras hamba atas dirinya itulah yang menyebabkan sikap keras Allah atas mereka, baik dengan qadar maupun dengan syara’. Adapun dengan syara’, maka sebagaimana ia bersikap keras atas dirinya dengan nadzar yang berat maka Allah mewajibkan agar ia memenuhi nadzarnya.
Adapun dengan qadar, maka sebagaimana yang dilakukan orang yang selalu was-was, mereka bersikap keras atas diri mereka, maka Allah bersikap keras pula atas mereka dalam qadarNya, sehingga Dia menetapkan hal itu dan menjadikannya sebagai sifat yang senantiasa melekat pada mereka.
Al-Bukhari berkata, “Para ahli ilmu membenci berlebih-lebihan di dalamnya -yakni dalam berwudhu- dan dalam melampaui perbuatan Nabi ﷺ.
Ibnu Umar Radhiyallahu Anhuma berkata, “Menyempurnakan wudhu artinya membersihkannya.” Dan pemahaman yang sesungguhnya adalah sederhana dalam agama (tidak berlebih-lebihan, tidak pula meremehkan), juga berpegang teguh dengan As-Sunnah.
Ubay bin Ka’ab berkata, “Hendaknya kalian selalu berada di atas jalan (yang lurus) dan As-Sunnah, sebab tidaklah seorang hamba berada di atas jalan (yang lurus) dan As-Sunnah, lalu mengingat Allah Azza wa Jalla sehingga bergetar kulitnya karena takut kepada Allah kecuali berjatuhanlah dosa-dosanya sebagaimana berjatuhannya dedaunan dari pohon kering. Dan bahwasanya berlaku sederhana pada jalan (lurus) serta As-Sunnah adalah lebih baik daripada ijtihad yang menyalahi jalan dan As-Sunnah. Karena itu berusahalah keras jika amal perbuatanmu telah sederhana (tidak berlebihan dan tidak meremehkan) agar ia sesuai dengan jalan para nabi dan Sunnah mereka.”
Syaikh Abu Muhammad Al-Maqdisi dalam kitabnya Dzammul Wis-was berkata, “Segala puji bagi Allah yang telah menunjuki kita dengan nikmat-Nya, yang memuliakan kita dengan Muhammad Shallallahu Alaihi wa Sallam dan dengan risalahnya, yang memberi kita taufiq untuk meneladaninya dan berpegang teguh dengan Sunnahnya, yang menganugerahi kita untuk mengikutinya yang dengannya Allah menjadikan tanda bagi kecintaan terhadapnya dan keampunan dosa, serta sebab bagi ditulisnya rahmat-Nya dan pencapaian hidayah-Nya. Allah befirman,
“Katakanlah, ‘Jika kamu (benar-benar) mencintaiAllah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu.” (Ali Imran: 31).
“Dan rahmat-Ku meliputi segala sesuatu. Maka akan Aku tetapkan rahmat-Ku untuk orang-orang yang bertakwa yang menunaikan zakat dan orang-orang yang beriman kepada ayat-ayat Kami. (Yaitu) orangorang yang mengikut rasul, nabi yang ummi.” (Al-A’raaf: 156-157).
“Maka berimanlah kamu kepada Allah dan Rasul-Nya, nabi yang ummi yang beriman kepada Allah dan kepada kalimat-kalimat-Nya (kitab-kitab-Nya) dan ikutilah dia, supaya kamu mendapat petunjuk.” (Al-A’raaf: 158).
Amma ba’du.
Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala menjadikan syetan sebagai musuh manusia, menghalang-halanginya dari jalan yang lurus, mendatanginya dari semua arah dan jalan, sebagaimana yang diberitakan Allah tentang perkataannya, “Saya benar-benar akan (menghalang-halangi) mereka dari jalan Engkau yang lurus, kemudian saya akan mendatangi mereka dari muka dan dari belakang mereka, dari kanan dan dari kiri mereka. Dan Engkau tidak akan mendapati kebanyakan mereka bersyukur (taat).” (Al-A’raaf: 16).
Allah memperingatkan kita agar tidak mengikuti syetan, memerintahkan kita agar memusuhi dan menyalahinya. Allah befirman, “Sesungguhnya syetan itu adalah musuh bagimu, maka anggaplah ia musuh-(mu).” (Faathir: 6).
“Hai anak Adam. Janganlah sekali-kali kamu dapat ditipu oleh syetan sebagaimana ia telah mengeluarkan kedua ibu-bapakmu dari surga.” (Al-A’raaf: 27).
Allah juga memberitakan tentang apa yang diperbuat syetan terhadap kedua ibu bapak kita agar kita waspada dari mentaatinya, serta untuk mematahkan segala alasan dalam mengikutinya, selanjutnya Allah memerintahkan kita agar mengikuti jalan-Nya yang lurus, dan melarang kita mengikuti jalan-jalan yang banyak.
Allah befirman, “Dan bahwa (yang Kami perintahkan) ini adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu menceraiberaikan kamu dari jalan-Nya.” (Al-An’am: 153).
Jalan Allah yang lurus (sirathal mustaqim) adalah apa yang ada pada Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam dan para sahabatnya, hal ini berdasarkan firman Allah, “Yaa siin. Demi Al-Qur’an yang penuh hikmah, sesungguhnya kamu salah seorang dari rasul-rasul (yang berada) di atas jalan yang lurus.” (Yasin: 1-4).
“Dan sesungguhnya engkau berada di atas petunjuk yang lurus.” (AlHajj: 67). “Dan sesungguhnya kamu benar-benar memberi petunjuk ke jalan yang lurus.” (Asy-Syura: 52).
Maka barangsiapa mengikuti Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam dalam ucapan dan perbuatannya maka dia berada di atas jalan yang lurus, dan ia termasuk orang yang dicintai Allah dan diampuni dosa-dosanya. Dan barangsiapa yang menyelisihi ucapan dan perbuatannya maka dia adalah ahli bid’ah, pengikut jalan syetan, tidak termasuk dalam kelompok orang yang dijanjikan Allah dengan surga, ampunan serta kebaikan.
•┈┈┈┈┈┈•❀❁✿❁❀•┈┈┈┈┈•
اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ أَنْ أُشْرِكَ بِكَ وَأَنَا أَعْلَمُ ، وَأَسْتَغْفِرُكَ لِمَا لا أَعْلَمُ
“Ya Allah, aku meminta pada-Mu agar dilindungi dari perbuatan syirik yang kuketahui dan aku memohon ampun pada-Mu dari dosa syirik yang tidak kuketahui”.
وبالله التوفيق وصلى الله على نبينا محمد وعلى آله وصحبه وسلم