بِسْــــــــــــــــــمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ
Kajian Ummahat Doha – Senin Pagi
Membahas: Kitab Minhajul Muslim karya Syeikh Abu Bakar Jabir al-Jazairi Rahimahullah
Bersama Ustadz Isnan Efendi, Lc. MA. Hafidzahullah
Ain Khalid – Doha, 13 Rabi’ul awal 1446 / 16 September 2024
Bagian Kelima: Muamalat | Pasal – Jual Beli – Materi Ke-2
Mukadimah
Ustadz mengawali kajian dengan mengingatkan kembali untuk tetap kokoh dalam menjalankan syariat Islam agar selalu mengikuti jejak salafus shalih.
Terutama di bulan Rabi’ul Awal yang sebagian kaum muslimin merayakannya dengan peringatan Maulid Nabi ﷺ. Padahal tidak ada informasi yang valid akan tanggal kelahiran Nabi ﷺ dan tidak pula ada contoh sama sekali dari Nabi ﷺ dan para sahabat sebagai umat terbaik untuk merayakan maulid Nabi ﷺ.
Kecintaan kepada Nabi ﷺ adalah masalah agama yang penting. Maka, perlu adanya dalil yang menjadi rujukan dan contoh Rasulullah ﷺ dalam menjalankannya.
Perlu selektif dalam memilih guru, terutama di sosial media karena perkara agama adalah perkara yang penting.
Di antara adab dan syarat yang paling penting dalam hal ini adalah mengetahui sumber pengambilan ilmu yang benar dan memahami siapa yang pantas dijadikan sebagai rujukan dan guru dalam menimba ilmu agama.
Imam besar Ahlus sunnah dari generasi Tabi’in, Muhammad bin Sirin 𝓡𝓪𝓱𝓲𝓶𝓪𝓱𝓾𝓵𝓵𝓪𝓱 berkata, “Sesungguhnya ilmu agama (yang kamu pelajari) adalah agamamu (yang akan membimbingmu meraih ketakwaan kapada Allâh), maka telitilah dari siapa kamu mengambil (ilmu) agamamu.” [Dinukil oleh Imam Muslim dalam Muqaddimah Shahîh Muslim, 1/43-44 – Syarhu Shahîh Muslim].
Artinya, janganlah kamu mengambil ilmu agama dari sembarang orang, kecuali orang yang telah kamu yakini keahlian dan kepantasannya untuk menjadi tempat mengambil ilmu. [Penjelasan Imam al-Munawi dalam Faidhul Qadîr , 2/545 dan 6/383].
Inilah metode para Ulama Salaf dalam menuntut ilmu dan memilih guru ilmu agama yang benar, guna meraih ilmu yang bermanfaat dan mewariskan amal shalih.
Tentu saja, metode inilah yang seharusnya kita ikuti dalam semua perkara agama kita, apalagi dalam urusan menuntut ilmu agama yang merupakan sebab utama limpahan taufik dari Allâh Azza wa Jalla untuk kebaikan hamba-Nya.
Materi Kedua: Syarat yang Dibolehkan dan Tidak Dibolehkan dalam Jual Beli
A. Syarat yang Dibolehkan dalam Jual Beli
Boleh memberikan syarat berupa spesifikasi barang yang diinginkan. Jika memenuhi syarat tentang barang yang dinginkan maka jual beli menjadi sah. Namun, jika tidak memenuhi syarat maka transaksi jual beli tidak sah.
Misalnya: Seorang pembeli mensyaratkan bahwa buku yang diinginkan harus menggunakan kertas berukuran kecil. Atau, seseorang yang ingin membeli rumah mensyaratkan bahwa rumah yang diinginkannya harus menggunakan pintu yang terbuat dari besi.
Boleh pula memberi persyaratan tertentu dengan tujuan memperoleh manfaat tertentu. Misalnya,disyaratkan agar penjual mengantarkan binatang ternaknya ke tempat tertentu. Disyaratkan agar penjual rumah mengizinkan calon pembeli untuk tinggal selama sebulan di rumah yang dijual. Seseorang yang ingin membeli baju mensyaratkan bahwa dia akan membeli baju itu jika penjahitnya adalah orang yang ditentukan. Seorang pembeli mensyaratkan bahwa kayu yang dibelinya harus dibelah-belah terlebih dahulu.
Dasarnya adalah Jabir memberi syarat kepada Rasulullah Shalallahu Alaihi wa Sallam agar ada dua orang yang mengantarkan keledai yang dibeli dari Rasulullah.
B. Syarat yang Tidak Dibolehkan dalam Jual Beli
1. Menggabungkan dua syarat dalam satu akad jual beli.
Maksudnya adalah menyatukan akad hutang dengan akad jual beli (Menurut jumhur ulama). Seperti seseorang membeli handphone tetapi dengan syarat dipinjami (hutang) sebagian, misalnya. Inilah yang dilarang! Tetapi, jika syarat yang lain dalam jual beli maka diperbolehkan seperti hadits Jabir di atas (akad jual beli dan syarat diambil unta di Madinah).
Misalnya, seorang pembeli kayu bakar mensyaratkan agar kayu yang dibelinya dibelah-belah dan dibawa ke suatu tempat.
Sebab, Rasulullah Shalallahu alaihi wa Sallam bersabda,
“Tidak dihałalkan meminjam dan membeli dalam satu waktu dan tidak ada dua syarat dalam jual beli.” (HR. Abu Dawud, 3504, dan At-Tirmidzi, 1234).
2. Seorang penjual binatang ternak mensyaratkan agar pembeli binatang ternaknya tidak menjual lagi binatang ternak yang telah dibelinya. Atau, mensyaratkan agar binatang ternak yang telah dibeli tidak dijual lagi kepada si fulan. Atau, mensyaratkan agar binatang ternak yang dibelinya tidak dihibahkan kepada si fulan. Atau, mensyaratkan agar binatang ternak yang telah dibelinya dapat dipinjamkan. Atau, mensyaratkan binatang ternak yang telah dibelinya dapat dijual dengan harga tertentu. Semua itu dilarang karena sabda Rasulullah ﷺ,
“Tidak dihalalkan meminjam dan membeli dalam satu waktu dan tidak ada dua syarat dalam jual beli. Engkau tidak dapat menjual sesuatu yang bukan milikmu.” (HR. Al Bukhari, 1/123, dan An Nasa`i, Kitab Al Buyu’, 86).
Intinya merusak akad awal dari jual beli.
3. Syarat yang bathil (tidak sah).
Meskipun akad yang terjadi dengan syarat itu tetap sah. Misalnya,disyaratkannya agar pembeli tidak rugi ketika dia menjualnya kembali. Atau, seorang penjual hamba sahaya mensyaratkan agar dia berhak atas al-wala` dari hamba sahaya itu. Syarat dalam kedua contoh tersebut tidak sah, namun transaksi jual belinya tetap sah.
Hal ini karena Rasulullah ﷺ bersabda,
‘Barangsiapa membuat syarat, yaitu syarat yang tidak terdapat dalam Kitabullah maka syarat itu bathil. Walaupun jumlah syaratnya ada seratus’.
(HR. Abu Dawud, 3457, 3459, dan Al-Hakim, 2/16. Hadits ini shahih).
•┈┈┈┈┈┈•❀❁✿❁❀•┈┈┈┈┈•
اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ أَنْ أُشْرِكَ بِكَ وَأَنَا أَعْلَمُ ، وَأَسْتَغْفِرُكَ لِمَا لا أَعْلَمُ
“Ya Allah, aku meminta pada-Mu agar dilindungi dari perbuatan syirik yang kuketahui dan aku memohon ampun pada-Mu dari dosa syirik yang tidak kuketahui”.
وبالله التوفيق وصلى الله على نبينا محمد وعلى آله وصحبه وسلم