بِسْــــــــــــــــــمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ

Kajian Ahad – Doha
Membahas: Mulakhas Fiqhi – Syaikh Shalih bin Fauzan Al Fauzan 𝓱𝓪𝓯𝓲𝔃𝓱𝓪𝓱𝓾𝓵𝓵𝓪𝓱
Bersama Ustadz Hanafi Abu Arify 𝓱𝓪𝓯𝓲𝔃𝓱𝓪𝓱𝓾𝓵𝓵𝓪𝓱
Doha, 21 Rabi’ul Akhir 1445 / 5 November 2023



KITAB SHALAT

Bab Tentang Syarat-syarat Sahnya Shalat – 4

Syarat Ketiga: MENGHINDARI NAJIS

Salah satu syarat shalat adalah menghindari najis. yakni, orang yang shalat harus berusaha menjauhkan diri dari najis dan membersihkan diri darinya secara total. Baik yang melekat di tubuhnya, pakaiannya, maupun tempat di mana ia shalat.

NAJIS adalah sejenis kotoran tertentu yang dapat menghalangi seseorang melakukan shalat. Seperti bangkai, darah,minuman keras, air seni dan kotoran manusia.

Hukum Darah Manusia: Tidak Najis

Para ulama berbeda pendapat tentang hal ini :

1. Darah manusia itu najis. Pendapat Ibnu hazm, Syaikh bin Baz dan ulama berikut:

Ibnul Arabi mengatakan:

اتفق العلماء على أن الدم حرام لا يؤكل نجس

Ulama sepakat bahwa darah itu haram, tidak boleh dimakan dan najis” (Hasyiyah ar Ruhuni, 1/73).

Al Qurthubi mengatakan:

اتفق العلماء على أن الدم حرام نجس

Ulama sepakat bahwa darah itu haram dan najis” (Tafsir Al Qurthubi, 2/222).

An Nawawi mengatakan:

وفيه أن الدم نجس وهو بإجماع المسلمين

Dalam hadits ini terdapat dalil bahwa darah itu najis dan ini adalah ijma ulama kaum Muslimin” (Syarah Shahih Muslim, 3/200).

Ibnu Hajar mengatakan:

والدم نجس اتفاقاً

Darah itu najis secara sepakat ulama” (Fathul Baari, 1/352).

2. Tidak Najis. Ini adalah pendapat yang dikuatkan oleh Asy Syaukani, Shiddiq Hasan Khan, Al Albani dan Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin.

Kemudian diantara dalil kuat yang digunakan ulama yang mengatakan tidak najisnya darah, adalah perkataan Al Hasan Al Bashri rahimahullah:

ما زال المسلمونَ يُصَلُّونَ في جِرَاحاتِهِم

dahulu kaum Muslimin (para sahabat) biasa shalat dalam keadaan luka-luka” (HR. Al Bukhari dalam Shahih-nya secara mu’allaq, dishahihkan Al Albani dalam Tamamul Minnah hal. 50).

Inilah pendapat yang kuat. Syaikh Ibnu Al Utsaimin rahimahullah mengatakan:

ولهذا كان القول الراجح أن دم الإنسان الذي لا يخرج من القبل أو الدبر طاهر، لا يجب غسله ولا التنزه منه إلا على سبيل النظافة ودم الإنسان طاهر؛ لأن ميتته طاهرة, إلا ما خرج من السبيلين القبل أو الدبر- فإن الحديث دل على أنه نجس

Oleh karena itu pendapat yang rajih adalah darah manusia itu suci selain yang keluar dari qubul atau dubur. Tidak wajib dicuci atau dibersihkan, kecuali dalam rangka untuk menjaga kebersihan saja. Dan (alasan lain) darah manusia itu suci, karena bangkai manusia itu suci. Kecuali jika keluar darah dari dua jalan, dari qubul atau dubur, karena hadits menunjukkan darah yang demikian itu najis” (Liqa Babil Maftuh).

Hukum Khamr: Haram tapi Tidak Najis

Para ulama berbeda pendapat tentang hal ini:

Pendapat Pertama: Khomr itu Najis

Pendapat ini adalah pendapat jumhur (mayoritas) ulama yaitu empat ulama madzab, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dan ulama kontemporer seperti Syaikh Muhammad Amin Asy Syinqithi, Al Lajnah Ad Da-imah lil Buhuts ‘Ilmiyyah wal Ifta’, Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah bin Baz, dan Syaikh Sholih Al Fauzan.

Dalilnya adalah firman Allah Ta’ala,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا إِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَالْأَنْصَابُ وَالْأَزْلَامُ رِجْسٌ مِنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ فَاجْتَنِبُوهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ

Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah adalah rijsun termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.” (QS. Al Maidah: 90) Dari ayat ini, mayoritas ulama berdalil bahwa khomr di samping haram, juga najis. Mereka memaknakan rijsun dalam ayat tersebut dengan najis yang riil.

Pendapat Kedua: Khomr Memang Haram, Namun Khomr Tidak Najis. (Ini Pendapat yang kuat)

Inilah pendapat yang dipilih oleh Robi’ah, Al Laits, Al Maziniy, dan ulama salaf lainnya. Sedangkan ulama belakangan yang berpendapat seperti ini adalah Asy Syaukani, Ash Shon’ani, Ahmad Syakir, Syaikh Muhammad bin Sholih Al Utsaimin dan Syaikh Al Albani rahimahumullah.

Allâh ﷻ berfirman: “Adapun pakaianmu, maka sucikanlah. ” (QS. Al-Muddatstsir: 4)

Ibnu Sirin menjelaskan, “Artinya, ‘Cucilah dengan air.” Nabi ﷺ bersabda: “Hindarkan diri kalian dari percikan air seni. Sesungguhnya kebanyakan siksa kubur adalah akibat air seni.”

Hadits shahih diriwayatkan oleh ad-Daruquthni [VII:128].

Nabi ﷺ memerintahkan seorang wanita untuk mencuci pakaiannya jika terkena darah haid, lalu mengenakan pakaian tersebut untuk shalat. Nabi ﷺ juga memerintahkan seesorang untuk menggosokgosokkan sendal yang terkena najis, kemudian menggunakannya untuk shalat.

Beliau juga pernah memerintahkan agar air seni yang ada dalam masjid disiram. Dan banyak lagi dalil yang menunjukkan bahwa najis harus dihindari.

Shalat tidak sah apabila terdapat najis pada tubuh dan pakaian orang yang shalat, juga tempat di mana ia shalat. Demikian juga bila orang tersebut membawa sesuatu yang mengandung najis.

Ibnu Qudamah rahimahullah dalam ‘Mugni, (1/403) mengatakan, “Kalau orang yang shalat membawa botol di dalamnya ada najisnya yang tertutup. Maka shalatnya tidak sah. Karena dia membawa najis yang tidak dimaafkan di tempat yang tidak tepat. “Maka seperti kalau (najis) itu di badan atau bajunya.”

Jika lupa: Tidak perlu Mengulangi Shalatnya

Imam Nawawi rahimahullah mengatakan dalam ‘Majmu, (3/163), “Mazhab para ulama bagi orang shalat dengan adanya najis karena lupa atau tidak mengetahuinya. Kami telah sebutkan bahwa yang paling kuat dalam mazhab kami adalah diwajibkan mengulangi dan ini pendapat Abu Qulabah dan Ahmad. Sementara jumhur ulama mengatakan, tidak perlu mengulanginya. Diceritakan Ibnu Munzir dari Ibnu Umar, Ibnu Musayyab, Towus, Atho’, Salim bin Abdullah, Mujahid, Sya’bi, Nakho’I, Zuhri, Yahya Al-Anshori, Auza’I, Ishaq, Abu Tsaur. Ibnu Munzir, dan ini pendapat saya juga. Dan ini mazhabnya Rabi’ah, dan Malik. Ia kuat dari sisi dalilnya dan ia adalah pilihan.”

Orang yang melihat adanya najis setelah ia shalat, sementara ia tidak tahu kapan datangnya najis tersebut, maka shalatnya sah.

Demikian pula jika dia mengetahui adanya najis sebelum shalat, namun dia lupa untuk membersihkannya, maka shalatnya tetap sah menurut pendapat yang kuat.

Syekh Ibnu Utsaimin rahimahullah mengatakan, “Kalau dia shalat sementara di badannya ada najis maksudnya terkena najis dan belum dicuci atau bajunya najis. Atau tempatnya ada najis, maka shalatnya tidak sah menurut jumhur ulama. Akan tetapi kalau dia tidak mengetahui najisnya ini atau mengetahuinya kemudian lupa mencucinya sampai selesai shalat, maka shalatnya sah, tidak diharuskan mengulangi. Dalil hal itu bahwa Nabi sallallahu alaihi wa sallam ketika shalat dengan para shahabatnya suatu hari, kemudian melepas dua sandalnya, maka orang-orang pada melepaskan sandalnya. Ketika Rasulullah sallallahu alaihi wa sallm selesai, beliau bertanya kenapa mereka melepas sandalnya? Mereka menjawab, “Kami melihat anda melepas sandal anda. sehingga kami juga melepaskannya. Maka beliau bersabda:

إن جبريل أتاني فأخبرني أن فيهما خبثاً

Sesungguhnya Jibril mendatangiku dan membertahukan kepadaku bahwa di kedua sandal ada barang najis (khobats).”

Jika shalatnya batal dengan adanya najis karena tidak tahu. Maka Nabi sallallahu alaihi wa sallam pasti akan mengulanginya.

Jika ia mengetahui adanya najis saat sedang shalat, dan ia mampu untuk menghilangkannya tanpa banyak melakukan gerakan, seperti sekadar melepas sandal, sorban dan sejenisnya, maka ia harus menghilangkannya dan meneruskan shalatnya. Namun jika ia tidak mampu untuk menghilangkannya, maka shalatnya batal.

Shalat di kuburan tidak sah, kecuali shalat jenazah,berdasarkan sabda Nabi ﷺ : “Bumi ini seluruhnya adalah masjid, kecuali kuburan dan kamar mandi.” (HR Ahmad no 11903).

Diriwayatkan juga oleh Imam yang lima, kecuali an-Nasai. Hadits ini dinyatakan Shahih.

Janganlah kalian shalat menghadap kuburan, dan jangan pura kalian duduk di atasnya. (HR Muslim no 972).

Diriwayatkan oleh al-Jama’ah, kecuali al-Bukhari.

Alasan dilarangnya shalat menghadap ke kuburan, atau di atas kuburan, bukanlah karena takut adanya najis, namun kekhawatiran akan terjadinya pengagungan terhadapnya, atau dijadikannya kuburan tersebut sebagai berhala (sesembahan). Jadi yang menjadi alasan adalah untuk mencegah terjadinya penyembahan terhadap para penghuni kubur tersebut.

Dikecualikan dari hal tersebut adalah shalat Jenazah, di mana ia boleh dilakukan di kuburan. Karena Nabi ﷺ, pernah melakukannya. Dan itu merupakan hal yang dikecualikan dari larangan tersebut.

Semua lokasi yang masuk dalam wilayah ‘kuburan’, termasuk wilayah di seputar kuburan, tidak boleh digunakan untuk shalat. Karena larangan tersebut berlaku terhadap kuburan dan juga halaman kuburan di sekitarnya.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah Rahimahullah berkata, “Para Imam telah bersepakat, bahwa haram hukumnya membangun masjid di atas kuburan. Dan haram hukumnya mengebumikan mayat di dalam masjid. Jika masjid tersebut dibangun sebelum kuburan, maka harus dilakukan perubahan. Baik dengan cara meratakan kuburan tersebut, atau dengan memindahkan mayatnya, jika baru dikubur. Namun jika masjid tersebut dibangun setelah adanya kuburan, maka masjid itu harus dirobohkan, atau bisa juga kuburannya yang dilenyapkan. Masjid yang berdiri di atas kuburan, tidak boleh digunakan untuk shalat. Baik shalat wajib maupun shalat sunnah. Karena hal tersebut diharamkan.”

Shalat juga tidak sah dilakukan di masjid yang menghadap ke arah kuburan, berdasarkan sabda Nabi ﷺ : “Janganlah kalian shalat menghadap kuburan.” (HR Muslim).

•┈┈┈┈┈┈•❀❁✿❁❀•┈┈┈┈┈•

اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ أَنْ أُشْرِكَ بِكَ وَأَنَا أَعْلَمُ ، وَأَسْتَغْفِرُكَ لِمَا لا أَعْلَمُ

Ya Allah, aku meminta pada-Mu agar dilindungi dari perbuatan syirik yang kuketahui dan aku memohon ampun pada-Mu dari dosa syirik yang tidak kuketahui”.

وبالله التوفيق وصلى الله على نبينا محمد وعلى آله وصحبه وسلم