MUQODDIMAH
DEFINISI KUNYAH
Kunyah adalah nama yang diawali dengan “Abu” atau “Ibnu” untuk laki-laki, seperti Abu Abdillah dan Ibnu Hajar. Sedangkan “Ummu” atau “Bintu” adalah untuk perempuan, seperti Ummu Aisyah dan bintu Malik.
Kunyah apabila bergabung dengan nama asli maka kunyah boleh diawalkan atau diakhirkan. Contoh Abu Hafsh Umar atau Bakr Abu Zaid. Namun yang lebih masyhur, kunyah diawalkan karena maksud dari kunyah adalah untuk menunjukkan kepada dzat bukan sebagai sifat.[2]
Kunyah secara umum merupakan suatu penghormatan dan kemuliaan.[3] Seorang peyair berkata:
أُكْنِيْهِ حِيْنَ أُنَادِيْهِ لِأُكْرِمَهُ
وَلاَ أُلَقِّبُهُ وَالسَّوْءَةُ اللَّقَبُ
Aku memanggilnya dengan kunyah sebagai penghormatan padanya
Dan saya tidak menggelarinya, karena gelar adalah jelek baginya.[4]
Namun terkadang kunyah juga bisa bermakna celaan seperti Abu Jahl, Abu Lahab dan lain sebagainya.[5]
DALIL-DALIL DISYARI’ATKANNYA KUNYAH
Hadits Pertama:
عَنْ أَنَسٍ قَالَ: كَانَ النَبِيُّ – صلى الله عليه وسلم–أَحْسَنَ النَّاسِ خُلُقًا, وَكَانَ لِيْ أَخٌ يُقَالُ لَهُ أَبُوْ عُمَيْرٍ, قَالَ أَحْسَبُهُ فَطِيْمٌ, وَكَانَ إِذَا جَاءَ قَالَ: يَا أَبَا عُمَيْرٍ مَا فَعَلَ نُغَيْرٌ ؟
Dari Anas radhiyallahu ‘anhu ia berkata:
“Nabi shalallahu ‘alayhi wa sallam adalah manusia yang paling baik akhlaknya. Saya mempunyai saudara yang biasa dipanggil Abu Umair. Apabila Rosululloh shalallahu ‘alayhi wa sallam datang, beliau mengatakan, ’Wahai Abu Umair apa yang sedang dilakukan oleh Nughoir (Nughoir adalah sejenis burung)?’”[6]
Imam Bukhori rahimahulloh membuat bab hadits ini dengan ucapannya “Bab kunyah untuk anak dan orang yang belum mempunyai anak”. Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahulloh berkata: “Imam Bukhori mengisyaratkan dalam bab ini untuk membantah anggapan orang yang melarang kunyah bagi yang belum mempunyai anak dengan alasan bahwa hal itu menyelisihi fakta.”[7]
Imam Ibnul Qosh asy-Syafi’i rahimahulloh berkata: “Dalam hadits ini terdapat faedah tentang bolehnya memberi kunyah kepada orang yang belum mempunyai anak.”[8]
Hadits Kedua:
عَنْ عُرْوَةَ أَنَّ عَائِشَةَ قَالَتْ لِلنَّبِيِّ – صلى الله عليه وسلم–: يَا رَسُوْلَ اللهِ كُلُّ نِسَائِكَ لَهَا كُنْيَةٌ غَيْرِيْ, فَقَالَ لَهَا رَسُوْلُ اللهِ: إِكْتَنِيْ أَنْتِ أُمَّ عَبْدِ اللهِ, فَكَانَ يُقَالُ لَهَا أُمُّ عَبْدِ اللهِ حَتَّى مَاتَتْ وَلَمْ تَلِدْ قُطُّ
Dari Urwah bahwasanya ’Aisyah radhiyallahu ‘anha pernah berkata kepada Nabi shalallahu ‘alayhi wa sallam: “Wahai Rosululloh shalallahu ‘alayhi wa sallam, seluruh istrimu mempunyai kunyah selain diriku.”Maka Rosululloh shalallahu ‘alayhi wa sallam bersabda, “Berkunyahlah dengan Ummu Abdillah.” Setelah itu ’Aisyah radhiyallahu ‘anha selalu dipanggil dengan Ummu Abdillah[9] hingga meninggal dunia, padahal dia tidak melahirkan seorang anak pun.”[10]
Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani rahimahulloh berkata: “Hadits ini menunjukkan disyari’atkannya kunyah sekalipun belum mempunyai anak. Karena hal ini termasuk adab Islam yang menurut pengetahuan kami tidak ada dalam agama-agama lainnya. Maka hendaknya kaum muslimin menerapkan Sunnah ini baik kaum pria maupun wanita.”[11]
Hadits Ketiga:
أَنَّ عُمَرَ قَالَ لِصُهَيْبٍ مَا لَكَ تَكْتَنِى بِأَبِى يَحْيَى وَلَيْسَ لَكَ وَلَدٌ. قَالَ كَنَّانِى رَسُولُ اللَّهِ –صلى الله عليه وسلم– بِأَبِى يَحْيَى.
“Umar radhiyallahu ‘anhu pernah mengatakan kepada Shuhaib: ‘Kenapa engkau berkunyah dengan Abu Yahya padahal kamu belum mempunyai anak?’ Maka dia menjawab: ‘Rosululloh shalallahu ‘alayhi wa sallam yang memberiku kunyah Abu Yahya.’”[12]
Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani berkata: “Dalam hadits ini terdapat faedah disyari’atkan kunyah bagi yang belum mempunyai anak, bahkan dalam shohih Bukhori dan lainnya bahwa beliau shalallahu ‘alayhi wa sallam memberikan kunyah kepada putri kecil dengan Ummu Kholid.”
Sungguh disayangkan, banyak kaum muslimin yang melupakan Sunnah ini. Amat jarang sekali kita menjumpai orang yang berkunyah padahal dia mempunyai anak banyak. Apalagi lagi yang belum mempunyai anak?![13]
Syaikh Ahmad al-Banna berkata: “Hadits-hadits di atas menunjukkan bolehnya kunyah bagi anak kecil dan dewasa baik sudah mempunyai anak atau belum (dan ini bukanlah suatu kebohongan), baik lelaki atau wanita, dan bolehnya berkunyah dengan selain anaknya. Abu Bakr radhiyallahu ‘anhu tidak memiliki anak yang namanya Bakr, Umar radhiyallahu ‘anhu tidak memiliki anak yang bernama Hafsh, Abu Dzar radhiyallahu ‘anhu tidak memiliki anak yang bernama Dzar, dan seterusnya banyak sekali tak terhitung.
Dibolehkan pula bagi wanita untuk berkunyah dengan nama anak orang lain sekalipun ia tidak memiliki anak, sebagaimana Nabi shalallahu ‘alayhi wa sallam memberi kunyah ’Aisyah dengan Ummu Abdillah. Jadi, kunyah itu tidak harus memiliki anak terlebih dahulu dan tidak harus juga ia berkunyah dengan nama anaknya.
Para ulama mengatakan: “Mereka memberikan kunyah kepada anak kecil sebagai rasa optimisme bahwa dia akan hidup hingga mempunyai anak dan sebagai penghindaran diri dari gelar-gelar jelek. Oleh karenanya seorang di antara mereka mengatakan: “Cepatlah berikan kunyah untuk anak-anak kalian sebelum didahului oleh gelar.” Wallohu a’lam.”[14]
KUNYAH PARA SALAF
Berdasarkan hadits-hadits di atas yang menunjukkan disyari’atkannya kunyah bagi anak kecil dan orang dewasa sekalipun belum mempunyai anak, maka merupakan kebiasaan salaf dari kalangan sahabat adalah berkunyah sekalipun belum dikaruniai anak. Imam az-Zuhri rahimahulloh berkata: “Adalah beberapa sahabat, mereka berkunyah sebelum dikaruniai anak.”[15]
- Ath-Thobroni meriwayatkan dengan sanad shohih dari Alqomah dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu bahwasanya Nabi shalallahu ‘alayhi wa sallam memberinya kunyah Abu Abdirrohman sebelum dikarunia anak.”
- Al-Bukhori dalam Adabul Mufrod meriwayatkan dari Alqomah radhiyallahu ‘anhu: “Abdulloh bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu memberiku kunyah sebelum aku dikaruniai anak.”
- Sa’id bin Manshur meriwayatkan dari Ibrahim, berkata: “Adalah Alqomah radhiyallahu ‘anhu diberi kunyah Abu Syibl padahal dia mandul tidak mempunyai anak.”
- Al-Bukhori meriwayatkan dari Hilal al-Wazan berkata: “Urwah memberiku kunyah sebelum aku dikaruniai anak.”
- Al-Bukhori dalam Tarikh Kabir meriwayatkan dari Hisyam: “Muhammad bin Sirin memberiku kunyah sebelum aku dikaruniai anak.”[16]
Oleh karenanya, semua ini dapat membantah pendapat sebagian kalangan yang melarang kunyah bagi orang yang belum mempunyai anak. Jika kita ingin mengutip semuanya, maka banyak sekali ulama salaf dan ahli hadits yang memiliki kunyah[17], sehingga banyak pula ditulis kitab-kitab khusus yang membahas tentang kunyah mereka.
Dalam muqoddimah Syaikh Muhammad bin Sholih al-Murod terhadap kitab al-Muqtana fil Kuna hlm. 22-31 beliau menyebutkan lebih dari tiga puluh judul kitab tentang kunyah para perawi hadits, di antaranya adalah al-Kuna oleh Imam Muslim (2 jilid), al-Kuna wal Asma’ oleh ad-Daulabi (2 jilid), al-Kuna oleh Imam Ahmad, al-Hakim Abu Ahmad, Nasai’, Ibnu Mandah, Ali bin Madini dan lain sebagainya.[18]
KUNYAH DENGAN ABUL QOSHIM
Rosululloh shalallahu ‘alayhi wa sallam menjelaskan mengenai penggunaan kunyah bagi kaum laki-laki dengan menggunakan kunyah Abul Qosim, beliau shalallahu ‘alayhi wa sallam bersabda:
عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ يَقُوْلُ: قَالَ أَبُو الْقَاسِمِ– صلى الله عليه وسلم–: سَمُّوْا بِاسْمِيْ, وَلاَ تَكْتَنُوْا بِكُنْيَتِيْ
Dari Abu Huroiroh radhiyallahu ‘anhu berkata, Abul Qosim shalallahu ‘alayhi wa sallam berkata: “Pakailah namaku dan jangan berkunyah dengan kunyahku.” [19]
Para ulama berselisih dalam penggunaan kunyah Abul Qosim ini, al-Hafizh Ibnu Qoyyim rahimahulloh berkata: “Pendapat yang benar adalah boleh bernama dengan nama Muhammad dan dilarang berkunyah dengan kunyah Abul Qosim. Larangan ini lebih keras lagi pada masa beliau dan dilarang pula menggabung nama beserta kunyah beliau yakni Muhammad dan Abul Qosim.”[20]
Demikianlah penjelasan singkat tentang sunnahnya kunyah dalam nama. Semoga hal ini bermanfaat bagi kita semua. Amiin.
___________________________________________________________________
Faedah: Ibnu Qash asy-Syafi’i rahimahulloh di awal kitabnya Juz fi Fawaid Hadits Ya Aba Umair, menyebutkan bahwa sebagian manusia mencela ahli hadits dan menuding bahwa mereka meriwayatkan sesuatu yang tidak ada faedahnya seperti hadits Abu Umair. Kata beliau: “Apakah mereka tahu bahwa hadits ini ternyata menyimpan faedah dalam masalah fiqih, adab dan faedah lainnya sehingga mencapai enam puluh faedah?!.” (Lihat Fathul Bari oleh Ibnu Hajar 10/716, Mu’jam al-Mushannafat fi Fathil Bari oleh Masyhur bin Hasan hafidzahullah hlm. 167-168)
Artikel : Abu Ubaidah Yusuf As-Sidawi