بِسْــــــــــــــــــمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ
Kajian Ahad – Doha
Membahas: Mulakhas Fiqhi – Syaikh Shalih bin Fauzan Al Fauzan 𝓱𝓪𝓯𝓲𝔃𝓱𝓪𝓱𝓾𝓵𝓵𝓪𝓱
Bersama Ustadz Hanafi Abu Arify, Lc 𝓱𝓪𝓯𝓲𝔃𝓱𝓪𝓱𝓾𝓵𝓵𝓪𝓱
Doha, 19 Rabi’ul Awal 1446 / 22 September 2024
KITAB SHALAT
Shalat Tathawwu’ (Shalat Sunnah)
Ketahuilah, bahwa Allah ﷻ telah mensyari’atkan kepada anda untuk mendekatkan diri kepada-Nya dengan shalat-shalat sunnah, di samping shalat-shalat fardhu.
– Perkara yang Pertama dihisab adalah Shalat
وَعَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ – رَضِيَ اللهُ عَنْهُ – ، قَالَ : قاَلَ رَسُولُ اللهِ – صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – : (( إنَّ أَوَّلَ مَا يُحَاسَبُ بِهِ العَبْدُ يَوْمَ القِيَامَةِ مِنْ عَمَلِهِ صَلاَتُهُ ، فَإنْ صَلُحَتْ ، فَقَدْ أفْلَحَ وأَنْجَحَ ، وَإنْ فَسَدَتْ ، فَقَدْ خَابَ وَخَسِرَ ، فَإِنِ انْتَقَصَ مِنْ فَرِيضَتِهِ شَيْءٌ ، قَالَ الرَّبُ – عَزَّ وَجَلَّ – : اُنْظُرُوا هَلْ لِعَبْدِي مِنْ تَطَوُّعٍ ، فَيُكَمَّلُ مِنْهَا مَا انْتَقَصَ مِنَ الفَرِيضَةِ ؟ ثُمَّ تَكُونُ سَائِرُ أعْمَالِهِ عَلَى هَذَا )) رَوَاهُ التِّرمِذِيُّ ، وَقَالَ : (( حَدِيثٌ حَسَنٌ ))
Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya amal yang pertama kali dihisab pada seorang hamba pada hari kiamat adalah shalatnya. Maka, jika shalatnya baik, sungguh ia telah beruntung dan berhasil. Dan jika shalatnya rusak, sungguh ia telah gagal dan rugi. Jika berkurang sedikit dari shalat wajibnya, maka Allah Ta’ala berfirman, ‘Lihatlah apakah hamba-Ku memiliki shalat sunnah.’ Maka disempurnakanlah apa yang kurang dari shalat wajibnya. Kemudian begitu pula dengan seluruh amalnya.” (HR. Tirmidzi, ia mengatakan hadits tersebut hasan.) [HR. Tirmidzi, no. 413 dan An-Nasa’i, no. 466. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa hadits ini shahih.]
- Perkara yang pertama kali akan dihisab pada hamba dari perkara ibadah pada hari kiamat adalah shalat.
- Siapa yang mendirikan shalat, maka bagus amalnya. Siapa yang tidak bagus shalatnya, maka amalnya pasti rusak.
- Allah sangat penyayang pada hamba di mana Allah menyempurnakan amalan wajib yang ia lakukan dengan amalan sunnah sebagai penutup kekurangannya.
Sholat Sunnah Mengangkat Derajat di Surga.
Dari Rabiah bin Ka’ab Al-Aslami radhiyallahu ‘anhu, dia berkata,
كُنْتُ أَبِيتُ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَتَيْتُهُ بِوَضُوئِهِ وَحَاجَتِهِ فَقَالَ لِي سَلْ فَقُلْتُ أَسْأَلُكَ مُرَافَقَتَكَ فِي الْجَنَّةِ قَالَ أَوْ غَيْرَ ذَلِكَ قُلْتُ هُوَ ذَاكَ قَالَ فَأَعِنِّي عَلَى نَفْسِكَ بِكَثْرَةِ السُّجُودِ
“Saya pernah bermalam bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Lalu, aku membawakan air wudunya dan air untuk hajatnya. Maka, beliau berkata kepadaku, ‘Mintalah kepadaku.’ Maka aku berkata, ‘Aku hanya meminta agar aku bisa menjadi teman dekatmu di surga.’ Beliau bertanya lagi, ‘Adakah permintaan yang lain?’ Aku menjawab, ‘Tidak, itu saja.’ Maka, beliau menjawab, ‘Bantulah aku untuk mewujudkan keinginanmu dengan banyak melakukan sujud (memperbanyak salat)’” (HR. Muslim no. 489)
Begitu pula hadis dari Tsauban radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
عَلَيْكَ بِكَثْرَةِ السُّجُودِ لِلَّهِ فَإِنَّكَ لاَ تَسْجُدُ لِلَّهِ سَجْدَةً إِلاَّ رَفَعَكَ اللَّهُ بِهَا دَرَجَةً وَحَطَّ عَنْكَ بِهَا خَطِيئَةً
“Hendaklah Engkau memperbanyak sujud (perbanyak salat) kepada Allah. Karena tidaklah Engkau memperbanyak sujud karena Allah, melainkan Allah akan meninggikan derajatmu dan menghapuskan dosamu.” (HR. Muslim no. 488)
Shalat Sunnah Afdhal Dikerjakan di Rumah
عَنْ زَيْدٍ بْنِ ثَابِتٍ – رَضِيَ اللهُ عَنْهُ – : أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – ، قَالَ : (( صَلُّوا أَيُّهَا النَّاسُ فِي بُيُوتِكُمْ ، فَإنَّ أَفْضَلَ الصَّلاَةِ صَلاَةُ المَرْءِ في بَيْتِهِ إِلاَّ المَكْتُوبَةَ )) مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ.
Dari Zaid bin Tsabit radhiyallahu ‘anhu, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Shalatlah kalian, wahai manusia, di rumah-rumah kalian, karena sebaik-baiknya shalat adalah shalat seseorang di rumahnya, kecuali shalat wajib.” (Muttafaqun ‘alaih) [HR. Bukhari, no. 731 dan Muslim, no. 781]
وَعَنِ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا ، عَنِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – ، قَالَ : (( اِجْعَلُوا مِنْ صَلاَتِكُمْ فِي بُيُوتِكُمْ ، وَلاَ تَتَّخِذُوْهَا قُبُوْراً )) مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ
Dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jadikanlah shalat kalian di rumah kalian, dan janganlah kalian menjadikan rumah kalian seperti kuburan.” (Muttafaqun ‘alaih). [HR. Bukhari, no. 432 dan Muslim, no. 777]
Maksudnya: jangan kalian jadikan rumah-rumah kalian kosong dari dzikir dan ketaatan sehingga rumah-rumah itu seperti kuburan dan kalian menjadi seperti mayat yang tinggal di dalamnya. (Tuhfah al-Ahwadzi: 8/146)
Hadits ini menjadi motivasi untuk melaksanakan shalat sunnah di rumah dengan faedah:
- Lebih tersembunyi kemungkinan lebih ikhlas dan lebih jauh dari riya’. Demikian disampaikan Ibnu Qudamah dalam Al-Mughni.
- Supaya turun rahmat Allah ﷻ, rumah bertambah berkah, dan mengusir jauh dari syaitan. Demikian disampaikan Imam Nawawi 𝓡𝓪𝓱𝓲𝓶𝓪𝓱𝓾𝓵𝓵𝓪𝓱.
Melaksanakan shalat sunnah termasuk pendekatan diri kepada Allah yang terbaik setelah jihad di jalan Allah dan menuntut ilmu. Karena Nabi ﷺ senantiasa mendekatkan diri kepada Allah dengan melakukan shalat-shalat sunnah.
Nabi ﷺ bersabda:
اِسْتَقِيْمُوْا وَلَنْ تُحْصُوْا، وَاعْلَمُوْا أَنَّ خَيْرَ أَعْمَالِكُمُ الصَّلَاةُ،
Bersikaplah istiqaamah, dan kalian tidak akan pernah bisa menghitung nilainya. Dan ketahuilah, bahwa amalan kalian yang terbaik adalah shalat.
Shalat mencakup beragam jenis ibadah. Seperti bacaan (dzikir), ruku’, sujud, do’a, merendahkan diri (di hadapan Allah), tunduk, munajat kepada Allah ﷻ, takbir, tasbih dan shalawat kepada Nabi ﷺ.
Shalat sunnah ada dua macam:
- Pertama, shalat-shalat sunnah yang dibatasi dengan waktu-waktu tertentu. Dan disebut dengan Shalat Sunnah Muqayyadah.
Jenis shalat ini dibagi menjadi dua: Rawatib dan selain rawatib.
– Shalat Sunnah Rawatib:
1. Rawatib Muakaddah: Shalat rawatib muakkad, ada 10/12 rakaat dalam sehari:
– 2 rakaat qabliyah Shubuh
– 2 atau 4 rakaat qabliyah Zhuhur
– 2 rakaat bakdiyah Zhuhur
– 2 rakaat bakdiyah Magrib
– 2 rakaat bakdiyah Isya
Yang dimaksudkan dengan shalat sunnah dua belas rakaat dalam sehari dijelaskan dalam riwayat At-Tirmidzi, dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ ثَابَرَ عَلَى ثِنْتَىْ عَشْرَةَ رَكْعَةً مِنَ السُّنَّةِ بَنَى اللَّهُ لَهُ بَيْتًا فِى الْجَنَّةِ أَرْبَعِ رَكَعَاتٍ قَبْلَ الظُّهْرِ وَرَكْعَتَيْنِ بَعْدَهَا وَرَكْعَتَيْنِ بَعْدَ الْمَغْرِبِ وَرَكْعَتَيْنِ بَعْدَ الْعِشَاءِ وَرَكْعَتَيْنِ قَبْلَ الْفَجْرِ
“Barang siapa merutinkan shalat sunnah dua belas rakaat dalam sehari, maka Allah akan membangunkan bagi dia sebuah rumah di surga. Dua belas rakaat tersebut adalah empat rakaat sebelum Zhuhur, dua rakaat sesudah Zhuhur, dua rakaat sesudah Maghrib, dua rakaat sesudah ‘Isya, dan dua rakaat sebelum Shubuh.” (HR. Tirmidzi, no. 414. Syaikh Al-Albani mengatakan bahwa hadits ini sahih).
2. Rawatib Ghairu Muakkadah: Shalat rawatib ghairu muakkad, ada 10 rakaat dalam sehari:
– 4 rakaat bakdiyah Zhuhur
– 2 rakaat qabliyah Ashar
– 2 rakaat qabliyah Magrib
– 2 rakaat qabliyah Isya
Sebagaimana hadits berikut,
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مُغَفَّلٍ قَالَ قَالَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – « بَيْنَ كُلِّ أَذَانَيْنِ صَلاَةٌ بَيْنَ كُلِّ أَذَانَيْنِ صَلاَةٌ – ثُمَّ قَالَ فِى الثَّالِثَةِ – لِمَنْ شَاءَ»
Dari ‘Abdullah bin Mughaffal radhiyallahu ‘anhu, ia menyatakan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Antara dua azan (azan dan iqamah) ada shalat, antara dua azan ada shalat, -kemudian disebutkan yang ketiga kalinya-, bagi siapa yang mau.” (HR. Bukhari, no. 627 dan Muslim, no. 838).
- Shalat Sunnah selain Rawatib: Jenis pertama ini juga beragam. Sebagian di antaranya lebih ditekankan daripada sebagian yang lain. Dan yang paling ditekankan dari jenis pertama ini adalah shalat Kusuf (shalat gerhana), kemudian shalat Istisqa’ (minta hujan), lalu shalat Tarawih dan terakhir shalat witir. Masing-masing dari shalat tersebut akan diulas secara khusus, insya Allah.
– Kedua, shalat-shalat sunnah yang tidak dibatasi dengan waktu-waktu tertentu. Dan disebut dengan shalat Sunnah Muthlaqah.
SHALAT WITIR DAN HUKUM-HUKUMNYA
Kita mulai dengan membahas shalat witir, karena pentingnya shalat ini.
Ada yang berpendapat bahwa justru shalat witir inilah shalat sunnah yang paling ditekankan. Sebagian ulama bahkan berpendapat hukumnya adalah wajib. Sesuatu yang diperdebatkan soal wajib atau tidaknya, tentu lebih ditekankan hukumnya dibandingkan dengan sesuatu yang tidak diperdebatkan tentang ketidakwajibannya.
– Ulama yang mewajibkan: Abu Hanifah.
– Mayoritas Ulama: Sunnah Muakkad.
PARA ULAMA BERSEPAKAT TENTANG DISYARI’ATKANNYA SHALAT WITIR.
Shalat witir itu sunah muakkad (yang ditekankan) menurut jumhur Ulama. Dan diantara para ahli fikih ada yang mewajibkannya. Yang menunjukkan tidak wajibnya adalah apa yang diriwayatkan Bukhori, (1891) dan Muslim, (11) dari Tolhah bin Ubaidillah radhiallahu anhu berkata:
جَاءَ رَجُلٌ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، فَقَالَ : يَا رَسُولَ اللَّهِ ، أَخْبِرْنِي مَاذَا فَرَضَ اللَّهُ عَلَيَّ مِنْ الصَّلاةِ ؟ فَقَالَ ( الصَّلَوَاتِ الْخَمْسَ إِلا أَنْ تَطَّوَّعَ شَيْئًا ) ولفظ مسلم : ( خَمْسُ صَلَوَاتٍ فِي الْيَوْمِ وَاللَّيْلَةِ . فَقَالَ : هَلْ عَلَيَّ غَيْرُهَا ؟ قَالَ : لا ، إِلا أَنْ تَطَوَّعَ
Ada seseorang mendatangi Rasulullah sallallahu alaihi wa sallam dan bertanya,”Wahai Rasulullah, tolong saya diberitahu apa yang Allah wajibkan shalat atas diriku? Maka beliau menjawab, “Shalat lima waktu. Kecuali anda melakukan sesuatu yang sunah.” Dalam redaksi Muslim, “Lima shalat sehari semalam. Bertanya,”Apakah adalah selain itu untuku? Beliau menjawab, “Tidak, kecuali shalat sunah untukmu.
Nawawi rahimahullah mengatakan, “Di dalamnya menunjukkan bahwa shalat witir bukan wajib.”
Maka, tidak layak bila shalat ini tidak dilaksanakan. Orang yang terus-menerus meninggalkannya, tertolak kesaksiannya.
Imam Ahmad menegaskan: “Barangsiapa meninggalkan shalat witir secara sengaja, ia adalah orang fasik, tidak layak diterima persaksiannya.” (Lihat Majmu’ Fatawa Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah XXIII:127-283).
Syaikh bin Baz rahimahullahu berkata perlu diteliti ulang apa yang diriwayatkan dari Imam Ahmad 𝓡𝓪𝓱𝓲𝓶𝓪𝓱𝓾𝓵𝓵𝓪𝓱, jika seandainya benar datangnya dari imam Ahmad, maka tidak boleh diamalkan. Imam Ahmad adalah seorang alim, sebagaimana orang yang lainnya, dia bisa salah. Imam Ahmad bukan seorang rasul, tapi dia seorang ulama, sehingga apabila ada ulama yang mengatakan bahwa fulan tidak bisa diterima persaksiannya maka perlu diteliti ulang. Kalau apa yang dia ucapkan benar maka kita benarkan, maka jika hanya sangkaan maka tidak kita terima. Sementara shalat witir itu tidak wajib. Maka apabila seseorang itu makruf dikenal baik agamanya dan tidak fasik, tetapi kadang witir dan kadang tidak, maka dengan meninggalkan shalat witir itu, dia tidak menjadi fasik. Karena shalat witir hukumnya sunnah dan tidak wajib, maka persaksian orang yang meninggalkan witir itu tetap diterima apabila dia dikenal adil dan jujur. Maka persaksiannya diterima, meskipun meninggalkan shalat witir.
Imam Ahmad dan Abu Dawud meriwayatkan sebuah hadits secara marfu’:
الْوِتْرُ حَقٌّ فَمَنْ لَمْ يُوتِرْ فَلَيْسَ مِنَّا
“Shalat witir adalah sebuah hak, barang siapa yang tidak melakukan shalat witir maka ia bukan dari golongan kami”
Tapi haditsnya dhaif. Karena ada perawi yang lemah. Didha’ifkan oleh Syaikh al-Albani dalam lrwa’al-Ghalil (no. 417).
•┈┈┈┈┈┈•❀❁✿❁❀•┈┈┈┈┈•
اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ أَنْ أُشْرِكَ بِكَ وَأَنَا أَعْلَمُ ، وَأَسْتَغْفِرُكَ لِمَا لا أَعْلَمُ
“Ya Allah, aku meminta pada-Mu agar dilindungi dari perbuatan syirik yang kuketahui dan aku memohon ampun pada-Mu dari dosa syirik yang tidak kuketahui”.
وبالله التوفيق وصلى الله على نبينا محمد وعلى آله وصحبه وسلم