بِسْــــــــــــــــــمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ

Kajian Ahad – Doha
Membahas: Mulakhas Fiqhi – Syaikh Shalih bin Fauzan Al Fauzan 𝓱𝓪𝓯𝓲𝔃𝓱𝓪𝓱𝓾𝓵𝓵𝓪𝓱
Bersama Ustadz Hanafi Abu Arify, Lc 𝓱𝓪𝓯𝓲𝔃𝓱𝓪𝓱𝓾𝓵𝓵𝓪𝓱
Doha, 3 Rabi’ul Akhir 1446 / 6 Oktober 2024



KITAB SHALAT
Shalat Tathawwu’ (Shalat Sunnah)

Shalat Tarawih dan Hukum-hukumnya

Kebanyakan kaum muslimin jika menjumpai bulan Ramadhan, biasanya mengucapkan Ramadhan Karim, sebenarnya ini kurang tepat.

Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin ditanya:

سئل العلامة ابن عثيمين رحمه الله: ️عن حكم كلمة: رمضان كريم ؟

Mengenai hukum kalimat “Ramadhan Karim”?

Beliau menjawab:

حكم ذلك أن هذه الكلمة: (رمضان كريم) غير صحيحة،
وإنما يقال: (رمضان مبارك)، وما أشبه ذلك،
️لأن رمضان ليس هو الذي يعطي حتى يكون كريماً، وإنما الله تعالى هو الذي وضع فيه الفضل .

“Hukumnya adalah bawah kalimat ini “Ramadhan Karim” (terjemahnya: Ramadhan itu pemurah) adalah tidak benar. Yang benar adalah “Ramadhan Mubarak” (Ramadhan yang diberkahi) atau yang semisal, karena bukan Ramadhan yang memberi sehingga disebut pemurah, akan tetapi Allah Ta’ala yang memberikan keutamaan ini.” [Majmu’ Fatawa Syaikh Al-‘Ustaimin 20/254)

Catatan: Hendaknya kita mengikuti nash yang menyebut Ramadhan dengan sebutan “Ramadhan Mubarak” sebagaimana dalam hadits berikut:

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

ﻗَﺪْ ﺟَﺎﺀَﻛُﻢْ ﺭَﻣَﻀَﺎﻥُ، ﺷَﻬْﺮٌ ﻣُﺒَﺎﺭَﻙٌ، ﺍﻓْﺘَﺮَﺽَ ﺍﻟﻠﻪُ ﻋَﻠَﻴْﻜُﻢْ ﺻِﻴَﺎﻣَﻪُ، ﺗُﻔْﺘَﺢُ ﻓِﻴﻪِ ﺃَﺑْﻮَﺍﺏُ ﺍﻟْﺠَﻨَّﺔِ، ﻭَﺗُﻐْﻠَﻖُ ﻓِﻴﻪِ ﺃَﺑْﻮَﺍﺏُ ﺍﻟْﺠَﺤِﻴﻢِ، ﻭَﺗُﻐَﻞُّ ﻓِﻴﻪِ ﺍﻟﺸَّﻴَﺎﻃِﻴﻦُ، ﻓِﻴﻪِ ﻟَﻴْﻠَﺔٌ ﺧَﻴْﺮٌ ﻣِﻦْ ﺃَﻟْﻒِ ﺷَﻬْﺮٍ، ﻣَﻦْ ﺣُﺮِﻡَ ﺧَﻴْﺮَﻫَﺎ ﻓَﻘَﺪْ ﺣُﺮِﻡَ

“Telah datang kepada kalian Ramadhan, BULAN MUBARAK (bulan yang diberkahi). Allah mewajibkan atas kalian berpuasa padanya. Pintu-pintu surga dibuka padanya. Pintu-pintu Jahim (neraka) ditutup. Setan-setan dibelenggu. Di dalamnya terdapat sebuah malam yang lebih baik dibandingkan 1000 bulan. Siapa yang dihalangi dari kebaikannya, maka sungguh ia terhalangi.” (HR. Ahmad, shahih)

Hukum Shalat Tarawih

Tidak ada silang pendapat, hukumnya Sunnah Muakkadah. ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha mengabarkan,

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – خَرَجَ ذَاتَ لَيْلَةٍ مِنْ جَوْفِ اللَّيْلِ ، فَصَلَّى فِى الْمَسْجِدِ ، فَصَلَّى رِجَالٌ بِصَلاَتِهِ فَأَصْبَحَ النَّاسُ فَتَحَدَّثُوا ، فَاجْتَمَعَ أَكْثَرُ مِنْهُمْ فَصَلَّوْا مَعَهُ ، فَأَصْبَحَ النَّاسُ فَتَحَدَّثُوا فَكَثُرَ أَهْلُ الْمَسْجِدِ مِنَ اللَّيْلَةِ الثَّالِثَةِ ، فَخَرَجَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – فَصَلَّوْا بِصَلاَتِهِ ، فَلَمَّا كَانَتِ اللَّيْلَةُ الرَّابِعَةُ عَجَزَ الْمَسْجِدُ عَنْ أَهْلِهِ حَتَّى خَرَجَ لِصَلاَةِ الصُّبْحِ ، فَلَمَّا قَضَى الْفَجْرَ أَقْبَلَ عَلَى النَّاسِ ، فَتَشَهَّدَ ثُمَّ قَالَ « أَمَّا بَعْدُ فَإِنَّهُ لَمْ يَخْفَ عَلَىَّ مَكَانُكُمْ ، لَكِنِّى خَشِيتُ أَنْ تُفْرَضَ عَلَيْكُمْ فَتَعْجِزُوا عَنْهَا »

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pada suatu malam keluar di tengah malam untuk melaksanakan shalat di masjid, orang-orang kemudian mengikuti beliau dan shalat di belakangnya. Pada waktu paginya orang-orang membicarakan kejadian tersebut. Kemudian pada malam berikutnya orang-orang yang berkumpul bertambah banyak lalu ikut shalat dengan beliau. Dan pada waktu paginya orang-orang kembali membicarakan kejadian tersebut. Kemudian pada malam yang ketiga orang-orang yang hadir di masjid semakin bertambah banyak lagi, lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam keluar untuk shalat dan mereka shalat bersama beliau. Kemudian pada malam yang keempat, masjid sudah penuh dengan jama’ah hingga akhirnya beliau keluar hanya untuk shalat Shubuh. Setelah beliau selesai shalat Fajar, beliau menghadap kepada orang banyak membaca syahadat lalu bersabda: “Amma ba’du, sesungguhnya aku bukannya tidak tahu keberadaan kalian (semalam). Akan tetapi aku takut shalat tersebut akan diwajibkan atas kalian, sementara kalian tidak mampu.” [HR. Bukhari no. 924 dan Muslim no. 761 ].

Rasulullah ﷺ menganjurkan (untuk melaksanakan) Qiyam Ramadhan namun beliau tidak mewajibkan atas kaum Muslimin. Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ قَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ

“Barangsiapa melakukan qiyam Ramadhan karena iman dan mencari pahala, maka dosa-dosanya yang telah lalu akan diampuni.” (HR. Bukhari no. 37 dan Muslim no. 759). Yang dimaksud qiyam Ramadhan adalah shalat tarawih sebagaimana yang dituturkan oleh An Nawawi.

Berkata Al-Hafizh Ibnu Hajar At-Tarawih (تراويح) adalah bentuk jama’ dari Tarwihah (ترويحة) yang berarti istirahat yang satu kali. Dinamakan shalat malam dibulan Ramadhan dengan At-Tarawih karena ketika pertama kali shalat tersebut diadakan mereka beristirahat antara setiap dua salam. (Fathul Bari IV/294).

Sabda Nabi sallallahu ‘alaihi wa sallam:

صَلَاةُ اللَّيْلِ مَثْنَى مَثْنَى (متفق على صحته من حديث ابن عمر رضي الله عنهما)

“Shalat malam itu dua rakaat-dua rakaat”. (Disepakati keshahihannya; Bukhari dan Muslim, dari hadits Ibnu Umar radhiallahu ’anhuma)

Begitu juga terdapat riwayat dari Aisyah radhiallahu ’anha, beliau berkata:

كان النبي صلى الله عليه وسلم يصلي من الليل إحدى عشر ركعة ، يسلم من كل اثنتين ، ويوتر بواحدة (متفق على صحته)

“Biasanya Nabi sallallahu ‘alaihi wa sallam menunaikan shalat malam sebelas rakaat. (beliau) salam setiap dua (rakaat). Dan melaksanakan witir satu (rakaat).” (Muttafaq alaih)

Bagaimana jika empat raka’at?

Ulama Syafi’iyah berpendapat bahwa seandainya seseorang melaksanakan shalat tarawih empat raka’at dengan sekali salam, shalatnya tidak sah. Shalatnya batal jika sengaja melakukannya dan mengetahui hal ini. Jika tidak batal, minimal yang ia kerjakan hanyalah shalat sunnah mutlak. Bisa seperti ini karena shalat tarawih mirip dengan shalat fardhu karena sama-sama dilaksanakan secara berjama’ah. Maka seharusnya tidak diubah sesuai yang diajarkan. (Kifayatul Akhyar fii Halli Ghoyatil Ikhtishor, Taqiyuddin Abu Bakr Muhammad Al Husaini Al Hushni Ad Dimasyqi Asy Syafi’i, Darul Kutub Al ‘Ilmiyyah, cetakan tahun 1422 H, hal. 138).

Ulama besar Syafi’iyah, An Nawawi ketika menjelaskan hadits “shalat sunnah malam dan siang itu dua raka’at, dua raka’at”, beliau rahimahullah mengatakan, “Yang dimaksud hadits ini bahwa yang lebih afdhol adalah mengerjakan shalat dengan setiap dua raka’at salam baik dalam shalat sunnah di malam atau siang hari. Di sini disunnahkan untuk salam setiap dua raka’at. Namun jika menggabungkan seluruh raka’at yang ada dengan sekali salam atau mengerjakan shalat sunnah dengan satu raka’at saja, maka itu dibolehkan menurut kami.” [Al Minhaj Syarh Shahih Muslim bin Al Hajjaj, Yahya bin Syarf An Nawawi, Dar Ihya’ At Turots, cetakan ketiga, 1392, 6/30]

Shalat Tarawih lebih Afdhal Berjama’ah

Jumhur (mayoritas) fukaha menyatakan bahwa salat tarawih lebih afdal dikerjakan berjamaah. Namun demikian apabila dikerjakan secara munfarid (sendiri) tetap sah. Hanya saja berjamaah lebih afdal.

Ibnu Qudamah mengatakan:

وقال ابنُ قُدامةَ: (الجماعةُ في التراويح أفضلُ، وإنْ كان رجلٌ يُقتدَى به، فصلَّاها في بيته، خِفتُ أن يَقتديَ الناس به، وقد جاء عن النبيِّ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم: ((اقتدوا بالخُلفاء))، وقد جاء عن عُمرَ أنه كان يُصلِّي في الجماعة… ولنا: إجماعُ الصَّحابة على ذلك

“Berjamaah dalam mengerjakan shalat tarawih itu lebih utama. Andai ada seorang yang meniru Rasulullah dengan shalat di rumah, aku khawatir orang-orang lain akan mengikutinya. Padahal Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda: ‘ikutilah para khulafa (ar rasyidin)’. Dan terdapat riwayat bahwa Umar bin Khathab mengerjakan shalat tarawih secara berjamaah. Dan kami menegaskan bahwa para sahabat ijma akan hal ini” (Al Mughni, 2/124).

Dari Abu Dzar Radhiyallahu anhu,

مَنْ قَامَ مَعَ اْلإِمَامِ حَتَّى يَنْصَرِفَ كُتِبَ لَهُ قِيَامُ لَيْلَة

“Barang siapa qiyamul lail bersama imam sampai ia selesai, maka ditulis untuknya (pahala) qiyam satu malam (penuh).” (HR Ahmad, Abu Daud, Tirmidzi, Ibn Majah, Nasa’i, dan lain-lain, Hadits shahih. Lihat Al ljabat Al Bahiyyah, 7)

Dari Abu Hurairah radhiallahu’anhu, beliau berkata:

كان رسولُ اللهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم يُرغِّبُ في قيامِ رمضانَ من غير أنْ يأمرَهم فيه بعزيمةٍ، فيقولُ: مَن قامَ رمضانَ إيمانًا واحتسابًا غُفِرَ له ما تَقدَّمَ مِن ذَنبِه

Biasanya Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam memotivasi orang-orang untuk mengerjakan qiyam Ramadhan, walaupun beliau tidak memerintahkannya dengan tegas. Beliau bersabda: “Orang yang shalat tarawih karena iman dan mengharap pahala, akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu” (HR. Bukhari no. 2009, Muslim no. 759).

Bagi wanita sebaik-baik shalat di rumahnya

Dari Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

خَيْرُ مَسَاجِدِ النِّسَاءِ قَعْرُ بُيُوتِهِنَّ

“Sebaik-baik masjid bagi para wanita adalah di bagian dalam rumah mereka.” (HR. Ahmad, 6: 297. Syaikh Syu’aib Al-Arnauth mengatakan bahwa hadits ini hasan dengan berbagai penguatnya).

Namun jika wanita ingin melaksanakan shalat berjama’ah di masjid selama memperhatikan aturan seperti menutupi aurat dan tidak memakai harum-haruman, maka janganlah dilarang. Dari Salim bin ‘Abdullah bin ‘Umar bahwasanya ‘Abdullah bin ‘Umar berkata, “Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لاَ تَمْنَعُوا نِسَاءَكُمُ الْمَسَاجِدَ إِذَا اسْتَأْذَنَّكُمْ إِلَيْهَا

“Janganlah kalian menghalangi istri-istri kalian untuk ke masjid. Jika mereka meminta izin pada kalian maka izinkanlah dia.” (HR. Muslim, no. 442).

Ada tiga syarat yang mesti dipenuhi ketika seorang wanita ingin shalat berjamaah di masjid: (1) menutup aurat, (2) tidak memakai minyak wangi, (3) harus mendapatkan izin suami. Demikian dinyatakan oleh Syaikh Muhammad Shalih Al-Munajjid dalam Fatwa Al-Islam Sual wa Jawab, no. 3457.

Orang-orang yang meninggalkan shalat tarawih dengan sengaja, maka dia tidak berdosa karena hukumnya sunnah bukan wajib (Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullahu) hanya saja ia terluput dari banyak kebaikan.

Waktu Shalat Tarawih

Dilaksanakan setelah shalat Isya. Menurut Ibnu Taimiyah rahimahullahu afdhalnya dilakukan di waktu Isya terakhir. Tetapi jika seseorang melakukannya di masjid dan menjadi imam, maka hendaklah ia mengerjakan shalat tarawih tersebut setelah shalat Isya’. Janganlah ia akhirkan hingga pertengahan malam atau akhir malam supaya tidak menyulitkan para jama’ah. Karena dikhawatirkan jika dikerjakan di akhir malam, sebagian orang dapat luput karena ketiduran. Shalat tarawih di awal malam inilah yang biasa di lakukan kaum muslimin (dari masa ke masa). Kaum muslimin senatiasa mengerjakan shalat tarawih setelah shalat Isya’ dan tidak diakhirkan hingga akhir malam.

Ibnu Qudamah dalam Al Mughni menyebutkan, “Ada yang menanyakan pada Imam Ahmad: Bolehkah mengakhirkan shalat tarawih hingga akhir malam?”

لا , سُنَّةُ الْمُسْلِمِينَ أَحَبُّ إلَيَّ

“Tidak. Sunnah kaum muslimin (di masa ‘Umar) lebih aku sukai,” jawab Imam Ahmad. [Sejak masa ‘Umar shalat tarawih biasa dilaksanakan di awal malam. Inilah yang berlaku dari masa ke masa. -pen]

Jumlah Raka’at Tarawih

Tidak ada riwayat yang tetap sekian dan sekian. Maka masalah ini ada kelonggaran.

Syaikhul Islam Taqiyuddin Ibnu Taimiyah tidak mempersoalkan jumlah rakaat dalam sholat tarawih . Boleh sholat tarawih 20 rakaat sebagaimana yang mashur dalam madzhab Ahmad dan Syafi’i . Boleh sholat 36 rakaat sebagaimana yang ada dalam madzhab Malik. Boleh sholat 11 rakaat, 13 rakaat.

“Semuanya baik. Jadi banyaknya rakaat atau’ sedikitnya tergantung lamanya bacaan dan pendeknya,” ujar Ibnu Taimiyah dalam kitabnya “Majmu’ Al Fatawa”.

Batasan tertentu dalam jumlah raka’at tidak ada dalilnya. Oleh karena itu, barangsiapa yang menyangka bahwa shalat malam di bulan Ramadhan memiliki batasan bilangan tertentu dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sehingga tidak boleh lebih atau kurang dari 11 raka’at, maka sungguh dia telah keliru.” (Majmu’ Al Fatawa, 22/272).

Sabda Nabi sallallahu ‘alaihi wa sallam:

صَلَاةُ اللَّيْلِ مَثْنَى مَثْنَى (متفق على صحته من حديث ابن عمر رضي الله عنهما)

“Shalat malam itu dua rakaat-dua rakaat”. (Disepakati keshahihannya; Bukhari dan Muslim, dari hadits Ibnu Umar radhiallahu ’anhuma)

Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah menambah (baik dalam bulan Ramadhan dan tidak pula pada bulan Lainnya) dari sebelas rakaat. Beliau shalat empat rakaat, maka janganlah engkau tanyakan tentang bagus dan panjangnya rakaat tersebut. Kemudian beliau shalat empat rakaat, maka janganlah engkau tanyakan bagusnya dan panjangnya rakaat tersebut. Lalu beliau shalat tiga rakaat. Maka aku berkata, ‘Wahai Rasulullah, apakah engkau tidur sebelum engkau melakukan witir?’ Beliau menjawab, ‘Wahai Aisyah, sesungguhnnya mataku tidur tetapi hatiku tidak.’” (Muttafaqun ‘alaih. HR. Bukhari, no. 1147 dan Muslim, no. 738)

Syaikh bin Baz 𝓡𝓪𝓱𝓲𝓶𝓪𝓱𝓾𝓵𝓵𝓪𝓱 menjelaskan maksudnya adalah beliau salam setiap dua (rakaat), bukan menunaikan langsung empat rakaat dengan satu salam, berdasarkan hadits sebelumnya, dan sabda Beliau sallallahu ‘alaihi wa sallam: “Shalat malam itu dua rakaat-dua rakaat” yang telah disebutkan. Hadits-hadits itu satu sama lain saling membenarkan. Seharusnya seorang muslim mengambil semuanya, yang bersifat umum dijelaskan (tafsirkan) dengan yang teperinci. Wallahu waliyyu at-taufiq.

Setelah menjelaskan banyak bilangan hadits shalat tarawih, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullahu berkata : Semua jumlah raka’at di atas boleh dilakukan. Melaksanakan shalat malam di bulan Ramadhan dengan berbagai macam cara tadi itu sangat bagus. Dan memang lebih utama adalah melaksanakan shalat malam sesuai dengan kondisi para jama’ah. Kalau jama’ah kemungkinan senang dengan raka’at-raka’at yang panjang, maka lebih bagus melakukan shalat malam dengan 10 raka’at ditambah dengan witir 3 raka’at, sebagaimana hal ini dipraktekkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri di bulan Ramdhan dan bulan lainnya. Dalam kondisi seperti itu, demikianlah yang terbaik. (Majmu Fatawa).

Afdhalnya: dilakukan di masjid sebelas atau 13 dengan dua salam – dua salam sesuai fatwa Syaikh Ibnu Baaz 𝓡𝓪𝓱𝓲𝓶𝓪𝓱𝓾𝓵𝓵𝓪𝓱.


Kajian 10 Rabi’ul Akhir 1446 / 13 Oktober 2024


Shalat Tarawih dan Hukum-hukumnya – Bagian-2

Jumlah Raka’at Tarawih

Tidak didapatkan adanya riwayat dari Nabi ﷺ yang menyebutkan secara pasti tentang jumlah rakaat Tarawih. Pesoalannya sangatlah fleksibel.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah 𝓡𝓪𝓱𝓲𝓶𝓪𝓱𝓾𝓵𝓵𝓪𝓱 menjelaskan, “Seseorang boleh melakukan Tarawih dua puluh rakaat, sebagaimana hal tersebut merupakan pendapat yang populer dalam madzhab Ahmad dan Syafi’i. Ia juga boleh melakukannya 36 raka’at, sebagaimana hal itu populer di madzhab Maliki. Ia juga boleh melaksanakannya 11 atau 13 rakaat. Semua itu baik. Banyak atau sedikitnya rakaat, disesuaikan dengan panjang dan pendeknya masing-masing rakaat”. (Lihat al-Akhbar al-‘llmliyah min al-Ahadits al-Fiqhiyyah, oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah hal. 97, dengan sedikit perubahan redaksional. Cet. Dar al ‘Aashimah)

Saat Umar bin al-Khaththab mengumpulkan kaum muslimin untuk shalat bermakmum kepada Ubayy, beliau (Ubayy) shalat dua puluh rakaat. Di antara para Sahabat sendiri, ada yang shalat dalam bilangan rakaat yang banyak, ada pula yang sedikit. Adapun batasan jumlah rakaat tertentu, tidak diatur dalam nash syari’at.

Banyak para imam yang melaksanalan shalat Tarawih tanpa menyadarinya. Yakni, mereka shalat tanpa tumakninah dalam ruku’ dan sujud. Padahal tuma’ninah merupakan rukun shalat. Yang dituntut dalam shalat (sesorang) adalah hadirnya hati di hadapan Allah ﷻ, sehingga ia mampu menyerap nasihat dari firman-firman Allah yang dibaca dalam shalat.

Dan itu tak mungkin bisa dicapai bila shalat dilakukan dengan tergesa- gesa. Shalat sepuluh rakaat yang dilakukan dengan tuma’ninah dan bacaan panjang, lebih baik dari pada shalat 20 raka’at yang dilakukan dengan tergesa-gesa. Karena inti dan semangat shalat itu adalah hadirnya hati di hadapan Allah ﷻ boleh jadi sesuatu yang sedikit justru lebih baik dari yang banyak.

Al-Musii’ fii Shalatihi (Orang yang Jelek Shalatnya)

Dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika masuk masjid, maka masuklah seseorang lalu ia melaksanakan shalat. Setelah itu, ia datang dan memberi salam pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu beliau menjawab salamnya. Beliau berkata, “Ulangilah shalatmu karena sesungguhnya engkau tidaklah shalat.” Lalu ia pun shalat dan datang lalu memberi salam pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Beliau tetap berkata yang sama seperti sebelumnya, “Ulangilah shalatmu karena sesungguhnya engkau tidaklah shalat.” Sampai diulangi hingga tiga kali. Orang yang jelek shalatnya tersebut berkata, “Demi yang mengutusmu membawa kebenaran, aku tidak bisa melakukan shalat sebaik dari itu. Makanya ajarilah aku!”

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas mengajarinya dan bersabda, “Jika engkau hendak shalat, maka bertakbirlah. Kemudian bacalah ayat Alquran yang mudah bagimu. Lalu rukuklah dan sertai thumakninah ketika rukuk. Lalu bangkitlah dan beriktidallah sambil berdiri. Kemudian sujudlah sertai thumakninah ketika sujud. Kemudian bangkitlah dan duduk antara dua sujud sambil thumakninah. Kemudian sujud kembali sambil disertai thumakninah ketika sujud. Lakukan seperti itu dalam setiap shalatmu.” (HR. Bukhari, no. 793 dan Muslim, no. 397).

Dari Abu ‘Abdullah al-Asy’ari Radhiyallahu anhu, bahwa Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat seorang laki-laki tidak menyempurnakan ruku’nya dan mematuk di dalam sujudnya ketika ia sedang shalat, lalu Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jika orang ini mati dalam keadaannya ini, maka ia benar-benar mati tidak di atas agama Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam ,” lalu Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Perumpamaan orang yang tidak menyempurnakan ruku’nya dan mematuk di dalam sujudnya, (ialah) seperti orang lapar makan satu biji kurma, padahal dua biji kurma saja tidak bisa mencukupinya”.

Abu Shâlih (seorang perawi di dalam sanad hadits ini) berkata, “Aku bertanya kepada Abu Abdullâh, ‘Siapakah yang telah menceritakan hadits ini kepadamu dari Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam ?” Dia menjawab, “Para komandan tentara, ‘Amru bin al-‘Ash, Khalid bin Walid, dan Syurahbil bin Hasanah; mereka semua telah mendengarnya dari Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam ”.[HR Thabrani dalam Mu’jamul-Kabir, juz 4 hlm. 158, no. 3748. Dihasankan oleh Syaikh al-Albani dalam Shahîh al-Jami’, no. 5492 ].

Shalat 40 tahun tidak diterima!

Suatu kali, Hudzaifah bin al-Yaman radhiyallahu ‘anhu masuk masjid. Ternyata, disana ada seorang laki-laki yang sedang mengerjakan shalat di dekat Pintu Kindah, tetapi dia tidak sempurna ruku’ dan sujudnya.

Ketika orang itu telah menyelesaikan shalatnya, Hudzaifah bertanya kepadanya, “Sejak kapan shalatmu seperti ini?” Dia menjawab, “Sejak 40 tahun lalu.” Hudzaifah pun berkata, “Jadi, engkau tidak shalat selama 40 tahun! Seandainya engkau meninggal dan shalatmu seperti ini, sungguh engkau meninggal dalam keadaan tidak berada diatas fithrah yang dibangun oleh Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam.” Lalu, Hudzaifah pun mulai mengajari orang itu (bagaimana shalat yang sempurna).

Beliau kemudian berkata, “Sungguh, seseorang itu boleh saja meringankan shalatnya, namun sungguh dia tetap harus menyempurnakan ruku’ dan sujudnya.”

Riwayat an-Nasa’i, no. 1312; Ahmad, no. 23306; ‘Abdurrazzaq no. 3732-3733; ath-Thabrani dalam al-Ausath no. 1718; semuanya bersumber dari Zaid bin Wahb. Sanad riwayat an-Nasa’i dinyatakan shahih oleh Syaikh al-Albani, sedangkan sanad Ahmad dinilai shahih ‘ala syarthi asy-syaikhaini oleh Syaikh Syu’aib al-Arna’uth. Redaksi diatas diterjemahkan dari riwayat Ahmad.

Pencuri Shalat!

Dalam Musnad Imam Ahmad dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, bahwa beliau bersabda,

أَسْوَأُ النَّاسِ سَرِقَةً الَّذِي يَسْرِقُ مِنْ صَلاَتِهِ، قَالُوْا: يَا رَسُوْلَ اللهِ وَكَيْفَ يَسْرِقُ مِنْ صَلاَتِهِ؟ قَالَ: لاَ يُتِمُّ رُكُوْعُهَا وَلاَ سُجُوْدُهَا.

“Sejahat-jahat pencuri adalah yang mencuri dari shalatnya”. Para sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, bagaimana mencuri dari shalat?”. Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassallam berkata, “Dia tidak sempurnakan ruku dan sujudnya.” (HR: Ahmad no 11532)

Demikian pula bacaan tartil (dengan perlahan), itu lebih baik daripada bacaan cepat. Bacaan cepat yang masih ditolerir, adalah apabila tidak ada satu bacaan huruf pun yang tertinggal. Apabila ada sebagian huruf yang tertinggal karena cepatnya, maka itu tidak bolehkan, bahkan dilarang. Namun apabila imam membaca bacaan yang jelas dan bermanfaat bagi para makmum, maka itu sungguh bagus. Allah bahkan mencela orang-orang yang membaca Al-Qur’an tanpa memahami maknanya.

Allah ﷻ berfirman:

وَ مِنۡهُمۡ اُمِّيُّوۡنَ لَا يَعۡلَمُوۡنَ الۡكِتٰبَ اِلَّاۤ اَمَانِىَّ وَاِنۡ هُمۡ اِلَّا يَظُنُّوۡنَ‏ ٧٨

“Dan di antara mereka ada yang buta huruf, tidak memahami Kitab (Taurat), kecuali hanya berangan-angan dan mereka hanya menduga-duga.” (QS. Al-Baqarah : 78)

Tujuan diturunkannya al-Qur-an adalah untuk dipahami maknanya dan diamalkan, bukan sekadar dibaca saja.”

Demikian, ungkap beliau. Sebagian imam masjid tidak melaksanakan Tarawih dengan cara yang disyari’atkan. Karena mereka membaca bacaannya dengan sangat cepat, sehingga merusak bacaan Al-Qur’an secara benar. Mereka juga tidak tumakninah pada saat berdiri, ruku’, maupun sujud. Padahal tumakninah adalah salah satu rukun shalat. Di samping itu, mereka juga mengambil jumlah rakaat paling sedikit. Sehingga mereka mengombinasikan antara rakaat yang sedikit, gerakan yang cepat dan bacaan yang rusak. Itu sama saja dengan mempermainkan ibadah. Hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan melakukan shalat dengan baik. Jangan menghalangi diri mereka dan orang-orang yang bermakmum kepada mereka untuk melaksanakan shalat dengan cara yang dibenarkan dalam syari’at.

Larangan menggangu orang shalat

Sebagian dari mereka bahkan memperdengarkan suara bacaannya ke luar masjid dengan menggunakan loud speaker, pengeras suara, sehingga justru mengganggu orang-orang yang berada di masjid-masjid sekitarnya. Ini adalah hal yang tidak benarkan.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah menjelaskan, “Siapa pun yang membaca Al-Qur’an, saat orang-orang sedang melakukan shalat sunnah, haram hukumnya membaca dengan suara keras, sehingga membuat mereka terganggu. Karena suatu saat, Nabi ﷺ pernah keluar menemui para Sahabatnya, dan mendapatkan mereka sedang shalat di masjid. Sabda beliau, ‘Hai kaum muslimin! Masing-masing dari kalian sedang bermunajat kepada Rabb-nya. Maka janganlah ia mengeraskan suara dalam bacaannya, sehingga menganggu yang lain.” Demikian ungkap beliau. Lihat Majmuu’ Fataawaa (XXIII:61-64).

Mengkhatamkan Al-Qur’an Ketika Menjadi Imam

Sebagian imam masjid membaca bacaan panjang, namun sangat cepat sekali, dengan tujuan mengkhatamkan al-Qur’an di sepuluh malam terakhir atau pertengahannya.

Setelah selesai, ia akan pergi meninggalkan masjidnya untuk berumrah, dan yang menggantikannya adalah orang yang tidak layak menjadi imam. Ini merupakan kesalahan yang besar, keteledoran dan menyia-nyiakan amanah yang dibebankan kepadanya untuk menjadi imam jama’ah hingga akhir bulan. Itu merupakan hal yang wajib dia lakukan.

Adapun umrah, hukumnya adalah sunnah. Bagaimana mungkin ia meninggalkan sesuatu yang wajib untuk melaksanakan sunnah? Kalau saja ia tetap tinggal di masjidnya dan menyempurnakan tugasnya, tentu itu lebih baik daripada umrah. Sebagian lagi, setelah mengkhatamkan al-Qur’an, melakukan shalat dengan cepat dan hanya membaca sedikit bacaan pada sisa malam di bulan tersebut.

Padahal, itu adalah malam-malam dibebaskannya kaum muslimin dari Neraka. Seolah-olah mereka berpandangan, bahwa tujuan dari Tarawih dan tahajjud adalah mengkhatamkan al-Qur’an, bukan menghidupkan malam-malam yang penuh berkah itu dengan Qiyaamul Lail, mencontoh Nabi ﷺ, dan mengejar semua keutamaan di dalamnya.

Tidak diragukan lagi, ini karena ketidakmengertian mereka, dan sikap mempermainkan ibadah. Kita memohon kepada Allah agar mengembalikan mereka kepada kebenaran.

Semoga Allah ﷻ memberikan taufiq kepada kita semua, untuk menjadi orang-orang shalih dan memperoleh kemenangan.

•┈┈┈┈┈┈•❀❁✿❁❀•┈┈┈┈┈•

اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ أَنْ أُشْرِكَ بِكَ وَأَنَا أَعْلَمُ ، وَأَسْتَغْفِرُكَ لِمَا لا أَعْلَمُ

“Ya Allah, aku meminta pada-Mu agar dilindungi dari perbuatan syirik yang kuketahui dan aku memohon ampun pada-Mu dari dosa syirik yang tidak kuketahui”.

وبالله التوفيق وصلى الله على نبينا محمد وعلى آله وصحبه وسلم