بِسْــــــــــــــــــمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ

Kajian Ahad – Doha
Membahas: Mulakhas Fiqhi – Syaikh Shalih bin Fauzan Al Fauzan 𝓱𝓪𝓯𝓲𝔃𝓱𝓪𝓱𝓾𝓵𝓵𝓪𝓱
Bersama Ustadz Hanafi Abu Arify, Lc 𝓱𝓪𝓯𝓲𝔃𝓱𝓪𝓱𝓾𝓵𝓵𝓪𝓱
Doha, 17 Rabi’ul Akhir 1446 / 20 Oktober 2024



KITAB SHALAT
Shalat Sunnah Rawatib yang Mengiringi Shalat Fardhu

Shalat rawatib adalah shalat-shalat sunnah yang senantiasa dijaga dan dirawat atau dikerjakan oleh Rasulullah ﷺ baik sebelum atau sesudah shalat fardhu.

Ketahuilah, bahwa Sunnah-sunnah Rawatib sangat ditekankan untuk dikerjakan dan makruh bila ditinggalkan. Orang yang terus menerus tidak mengerjakannya, kredibelitasnya runtuh, menurut para ulama. Dan karena itu, ia berdosa. Sebab, meninggalkannya secara terus-menerus menunjukkan lemahnya agama orang tersebut, dan ketidakperduliannya terhadap agamanya.

Hukum meninggalkan shalat rawatib:
– Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan 𝓱𝓪𝓯𝓲𝔃𝓱𝓪𝓱𝓾𝓵𝓵𝓪𝓱 menjelaskan berdosa.
– Ulama lainnya menyatakan tidak berdosa karena hukumnya sunnah, tetapi dia terluput dari kebaikan yang banyak. Pendapat ini yang lebih kuat.

Demikian juga Rasulullah ﷺ tidak pernah meninggalkan shalat sunnah rawatib kecuali disaat safar beliau hanya mengerjakan sunnah witir dan qobliyah fajar.

Sebuah hadits yang patut jadi renungan bersama …

Dari Abu Hurairah, Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda,

…احْرِصْ عَلَى مَا يَنْفَعُكَ وَاسْتَعِنْ بِاللَّهِ وَلاَ تَعْجِزْ …

….Bersemangatlah atas hal-hal yang bermanfaat bagimu. Minta tolonglah pada Allah, jangan engkau lemah…. (HR. Muslim)

Keutamaan Shalat Sunnah Rawatib

عَنْ أُمِّ حَبِيبَةَ أُمِّ المُؤْمِنِينَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا قَالَتْ: سَمِعْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: «مَنْ صَلَّى اثْنَتَيْ عَشَرَةَ رَكْعَةً فِي يَومٍ وَلَيْلَةٍ بُنِيَ لَهُ بِهِنَّ بَيْتٌ فِي الْجَنَّةِ». رَوَاهُ مُسْلِمٌ. وَفِي رِوَايَةٍ: «تَطَوُّعاً».

Dari Ummu Habibah, Ummul Mukminin radhiyallahu ‘anha, ia berkata, “Aku mendengar Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Barang siapa melakukan shalat dua belas rakaat dalam sehari semalam niscaya dibangunkan sebuah rumah baginya di surga.” (HR. Muslim. Dalam suatu riwayat disebut, “Shalat tathawwu’, shalat sunnah”). [HR. Muslim, no. 728, 101]

وَلِلتِّرْمِذِي نَحْوُهُ، وَزَادَ: «أَربَعاً قَبلَ الظُّهْرِ، وَرَكْعَتَيْنِ بَعْدَهَا، وَرَكْعَتَيْنِ بَعْدَ المَغْرِبِ، وَرَكْعَتَيْنِ بَعْدَ العِشَاءِ، وَرَكْعَتَيْنِ قَبْلَ صَلاَةِ الْفَجْرِ».

Menurut riwayat At-Tirmidzi ada hadits yang semisal dengannya dengan tambahan, “Empat rakaat qabliyah Zhuhur, dua rakaat bakdiyah Zhuhur, dua rakaat bakdiyah Maghrib, dua rakaat bakdiyah Isyak, dan dua rakaat qabliyah Shubuh.” [HR. Tirmidzi, no. 415 dan An-Nasai, 3:262]

Hadits ini menunjukkan besarnya pahala bagi orang yang mengerjakan shalat sehari semalam sebanyak 12 rakaat. Amalan ini menjadi sebab masuk surga dan selamat dari neraka, tentu dengan mengerjakan yang wajib dan meninggalkan yang haram pula.

Rinciannya sebagai berikut:
– Dua rakaat sebelum Zhuhur. Menurut sekelompok Ulama jumlah Rawatib sebelum Zhuhur adalah empat rakaat. Dengan demikian, jumlah Sunnah Rawatib menurut mereka adalah 12 rakaat.
– Dua rakaat sesudah Zhuhur.
– Dua rakaat sesudah Maghrib.
– Dua rakaat sesudah ‘Isya’.
– Dua rakaat sebelum shalat Shubuh, setelah terbit fajar.

Dalil disyari’atkannya shalat Rawatib dengan rincian tersebut adalah hadits:

Dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma, beliau mengatakan,

حَفِظْتُ مِنَ النَّبِىِّ – صلى الله عليه وسلم – عَشْرَ رَكَعَاتٍ رَكْعَتَيْنِ قَبْلَ الظُّهْرِ ، وَرَكْعَتَيْنِ بَعْدَهَا ، وَرَكْعَتَيْنِ بَعْدَ الْمَغْرِبِ فِى بَيْتِهِ ، وَرَكْعَتَيْنِ بَعْدَ الْعِشَاءِ فِى بَيْتِهِ ، وَرَكْعَتَيْنِ قَبْلَ صَلاَةِ الصُّبْحِ

Aku menghafal dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sepuluh rakaat (sunnah rawatib), yaitu dua rakaat sebelum Zhuhur, dua rakaat sesudah Zhuhur, dua rakaat sesudah Maghrib di rumahnya, dua rakaat sesudah ‘Isya di rumahnya, dan dua rakaat sebelum Shubuh.” (HR. Bukhari, no. 1180)

Di antara petunjuk dan contoh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam melakukan dua rakaat shalat sunnah subuh adalah dengan meringankannya dan tidak memanjangkan bacaannya, dengan syarat tidak melanggar perkara-perkara yang wajib dalam shalat. Hal ini ditunjukkan oleh kisah berikut :

عَنْ ابْنِ عُمَرَ أَنَّ حَفْصَةَ أُمَّ الْمُؤْمِنِينَ أَخْبَرَتْهُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ إِذَا سَكَتَ الْمُؤَذِّنُ مِنْ الْأَذَانِ لِصَلَاةِ الصُّبْحِ وَبَدَا الصُّبْحُ رَكَعَ رَكْعَتَيْنِ خَفِيفَتَيْنِ قَبْلَ أَنْ تُقَامَ الصَّلَاةُ

Dari Ibnu Umar, beliau berkata bahwasanya Hafshah Ummul Mukminin telah menceritakan kepadanya bahwa dahulu bila muadzin selesai mengumandangkan adzan untuk shalat subuh dan telah masuk waktu subuh, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melaksanakan shalat sunnah dua rakaat dengan ringan sebelum melaksanakan shalat subuh. ( HR Bukhari 583).

Hadits ‘Abdullah bin Syaqîq Radhiyallahu anhu ketika bertanya kepada ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma tentang shalat sunnah yang dikerjakan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan beliau Radhiyallahu anhuma menjawab:

كَانَ يُصَلِّي فِي بَيْتِي قَبْلَ الظُّهْرِ أَرْبَعًا ثُمَّ يَخْرُجُ فَيُصَلِّي بِالنَّاسِ ثُمَّ يَدْخُلُ فَيُصَلِّي رَكْعَتَيْنِ

Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam dahulu, shalat di rumahnya sebelum Zhuhur empat rakaat, kemudian keluar dan shalat mengimami manusia. Kemudian masuk (rumah lagi) dan shalat dua rakaat. [HR Muslim]

Dari riwayat ini dapat ditarik kesimpulan bahwa shalat sunnah lebih baik dilakukan di rumah daripada di masjid.

Dan itu demi beberapa manfaat, di antaranya:
– Agar terhindar dari riya dan ujub. Dan agar amalan tersebut tidak dilihat oleh orang banyak.
– Hal ini dapat menjadi faktor sempurnanya kekhusyu’an dan keikhlasan.
– Untuk memakmurkan rumah dengan shalat dan dzikir. Di mana dengan itu semua rahmat Allah akan turun kepada para penghuni rumah, serta menjauhkan mereka dari syaitan.

Dari Abu Hurairah radhiallahu’anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

لَا تَجْعَلُوا بُيُوتَكُمْ قُبُورًا ، وَلَا تَجْعَلُوا قَبْرِي عِيدًا ، وَصَلُّوا عَلَيَّ ، فَإِنَّ صَلَاتَكُمْ تَبْلُغُنِي حَيْثُ كُنْتُمْ

jangan jadikan rumah kalian sebagai kuburan, dan jangan jadikan kuburanku sebagai Id, bershalawatlah kepadaku karena shalawat kalian akan sampai kepadaku dimanapun engkau berada

Hadits ini dikeluarkan oleh Abu Daud dalam Sunan-nya (2042), Imam Ahmad dalam Musnad-nya (8605), Ath Thabrani dalam Al Ausath (8/81), dan yang lainnya.

Di antara shalat-shalat rawatib ini yang paling ditekankan hukumnya adalah shalat sunnah dua rakaat sebelum Shubuh. Dasarnya adalah hadits Ummul Mukminîn, ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma menceritakan:

لَمْ يَكُنِ النَّبِيُّ عَلَى شَيْئٍ مِنَ النَّوَافِلِ أَشَدَّ تَعَاهُداً مِنْهُ عَلَى رَكْعَتَيْ الْفَجْرِ

Nabi tidak pernah menjaga shalat sunnat melebihi perhatian beliau terhadap dua rakaat sebelum Subuh [Muttaqa ‘alaih]

Hadits ini menunjukkan semangat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk memelihara dua rakaat ini daripada shalat sunnah yang lain.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam , bersabda:

رَكْعَتَا الْفَجْرِ خَيْرٌ مَنَ الدُّنْيَا وَمَا فِيْهَا

Dua rakaat (sebelum) Subuh lebih baik daripada dunia seisinya [HR. Muslim].

Oleh sebab itu, Nabi ﷺ melakukan kedua rakaat tersebut -di samping shalat Witir- secara rutin. Baik saat bepergian maupun saat di rumah.

Adapun selain shalat sunnah sebelum Shubuh dan Witir, tidak ada riwayat yang menyebutkan bahwa Nabi ﷺ melaksanakan shalat sunnah rawatib tertentu saat bepergian.

Ibnu Umar Radhiyallahu’anhu, pernah ditanya rentang shalat sunnah Zhuhur saat bepergian. Beliau menjawab, “Kalau aku melakukan shalat sunnah (Zhuhur) tentu tadi aku sudah shalat ranpa qashar.”

Hadits shahih. Diriwayatkan oleh Abu Dawud (1223)(ll:15), kitab Shalat as-Safar, bab 7. Dishahihkan oleh Syaikh al-Albani dalam Shabih Abu Daud (no. 1108). Hadits ini juga diriwayatkan oleh Imam Muslim dengan sanadnya (no. 689 (1579)) kirab Shalat al-Musafirin, bab 1.

Ibnul Qayyim rahimahullah menjelaskan, “Di antara petunjuk Nabi ﷺ, di saat bepergian adalah, beliau membatasi diri hanya dengan mengerjakan shalat wajib. Tidak ada riwayat yang menyebutkan bahwa beliau melakukan shalat Sunnah Rawatib, baik sebelum maupun sesudah shalat wajib (saat bepergian). Kecuali shalat witir dan Sunnah sebelum Shubuh.” (Lihat Zaad al-Ma’aad (I:81).

– Kecuali sholat berjama’ah dengan shalat orang-orang yang muqim (shalatnya sempurna). Sebagian ulama tidak menganjurkan shalat rawatib (Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin) dan sebagian tetap menganjurkan shalat rawatib (Fatwa Lajnah Daaimah dan Syaikh bin Baz).

Disunnahkan agar shalat sunnah dua rakaat sebelum Shubuh dilakukan secara ringkas.

Berdasarkan hadits dalam Shahih al-Bukhari, Shahih Muslim dan lainnya, dari ‘Aisyah 𝓡𝓪𝓭𝓱𝓲𝔂𝓪𝓵𝓵𝓪𝓱𝓾’𝓪𝓷𝓱𝓾, bahwasanya Nabi ﷺ – melakukan shalat sunnah dua rakaat sebelum Shubuh dengan ringkas. Pada rakaat pertama shalat sunnah Shubuh, sesudah Al-Fatihah, membaca surat “Al-Kafirun” dan pada rakaat kedua, surat “al-Ikhlash.”

Atau sesuai Hadits dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma yang berbunyi :

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَقْرَأُ فِي رَكْعَتَيْ الْفَجْرِ فِي الْأُولَى مِنْهُمَا قُولُوا آمَنَّا بِاللَّهِ وَمَا أُنْزِلَ إِلَيْنَا الْآيَةَ الَّتِي فِي الْبَقَرَةِ وَفِي الْآخِرَةِ مِنْهُمَا آمَنَّا بِاللَّهِ وَاشْهَدْ بِأَنَّا مُسْلِمُونَ

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam dua rakaat shalat sunnah subuh membaca ayat قُولُواْ آمَنَّا بِاللّهِ وَمَا أُنزِلَ إِلَيْنَا (Al Baqarah 136) pada rakaat pertama dan membaca آمَنَّا بِاللّهِ وَاشْهَدْ بِأَنَّا مُسْلِمُونَ (Ali Imran 52) pada rakaat kedua” ( HR. Muslim 727).

Hadits dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma yang berbunyi,

عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقْرَأُ فِي رَكْعَتَيْ الْفَجْرِ قُولُوا آمَنَّا بِاللَّهِ وَمَا أُنْزِلَ إِلَيْنَا وَالَّتِي فِي آلِ عِمْرَانَ تَعَالَوْا إِلَى كَلِمَةٍ سَوَاءٍ بَيْنَنَا وَبَيْنَكُمْ

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam dua rakaat shalat sunnah subuh membaca firman Allah قُولُواْ آمَنَّا بِاللّهِ وَمَا أُنزِلَ إِلَيْنَا (Al Baqarah 136) dan membaca تَعَالَوْا إِلَى كَلِمَةٍ سَوَاءٍ بَيْنَنَا وَبَيْنَكُمْ (Ali Imran 64)” (HR. Muslim 728).

Ringkasnya, ada tiga jenis variasai yang biasa dibaca Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam shalat sunnah subuh, yaitu :

1. Rakaat pertama membaca surat Al Kafirun dan rakaat kedua membaca surat Al Ikhlas
2. Rakaat pertama membaca ayat dalam surat Al Baqarah 136:

قُولُواْ آمَنَّا بِاللّهِ وَمَا أُنزِلَ إِلَيْنَا وَمَا أُنزِلَ إِلَى إِبْرَاهِيمَ وَإِسْمَاعِيلَ وَإِسْحَاقَ وَيَعْقُوبَ وَالأسْبَاطِ وَمَا أُوتِيَ مُوسَى وَعِيسَى وَمَا أُوتِيَ النَّبِيُّونَ مِن رَّبِّهِمْ لاَ نُفَرِّقُ بَيْنَ أَحَدٍ مِّنْهُمْ وَنَحْنُ لَهُ مُسْلِمُونَ

3. Rakaat kedua membaca ayat dalam surat Ali Imran 52 :

فَلَمَّا أَحَسَّ عِيسَى مِنْهُمُ الْكُفْرَ قَالَ مَنْ أَنصَارِي إِلَى اللّهِ قَالَ الْحَوَارِيُّونَ نَحْنُ أَنصَارُ اللّهِ آمَنَّا بِاللّهِ وَاشْهَدْ بِأَنَّا مُسْلِمُونَ

Rakaat pertama membaca ayat dalam surat Al Baqarah 136:

ُولُواْ آمَنَّا بِاللّهِ وَمَا أُنزِلَ إِلَيْنَا وَمَا أُنزِلَ إِلَى إِبْرَاهِيمَ وَإِسْمَاعِيلَ وَإِسْحَاقَ وَيَعْقُوبَ وَالأسْبَاطِ وَمَا أُوتِيَ مُوسَى وَعِيسَى وَمَا أُوتِيَ النَّبِيُّونَ مِن رَّبِّهِمْ لاَ نُفَرِّقُ بَيْنَ أَحَدٍ مِّنْهُمْ وَنَحْنُ لَهُ مُسْلِمُونَ

Rakaat kedua membaca ayat dalam surat Ali Imran ayat 64 :

قُلْ يَا أَهْلَ الْكِتَابِ تَعَالَوْاْ إِلَى كَلَمَةٍ سَوَاء بَيْنَنَا وَبَيْنَكُمْ أَلاَّ نَعْبُدَ إِلاَّ اللّهَ وَلاَ نُشْرِكَ بِهِ شَيْئاً وَلاَ يَتَّخِذَ بَعْضُنَا بَعْضاً أَرْبَاباً مِّن دُونِ اللّهِ فَإِن تَوَلَّوْاْ فَقُولُواْ اشْهَدُواْ بِأَنَّا مُسْلِمُونَ

Itulah beberapa ayat yang biasa dibaca Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam shalat sunnah subuh. Namun demikian tetap dibolehkan juga membaca selain ayat-ayat di atas.

Disunnahkan Mengqadha Shalat Sunnah

Dengan catatan atau syarat : Terbiasa shalat sunnah rawatib dan tidak sengaja untuk meninggalkannya (ada udzur syar’i).

Adapun Syaikh Utsaimin tidak menganjurkan bagi yang tidak terbiasa melakukannya.

Sebagian ulama Hanafiyah dan Malikiyah serta Syaikh bin Baaz tidak menganjurkan kecuali shalat qobliyah fajar.

Sebagian berpendapat disunnahkan, inilah pendapat Syaikh Fauzan dan para ulama Syafi’iyah.

Imam Nawawi rahimahullah berkata, “Pendapat terkuat menurut ulama Syafi’iyah adalah qodho dalam shalat sunnah rawatib tetap disunnahkan. Demikianlah yang menjadi pendapat Muhammad Al Muzani dan Ahmad dalam salah satu pendapat. Imam Abu Hanifah, Imam Malik, dan Abu Yusuf dalam salah satu pendapat mereka menyatakan bahwa shalat sunnah rawatib tersebut tidak perlu diqodho’. (Al Majmu’, 4/43)

Namun pendapat yang menyatakan boleh diqodho’ itulah yang lebih kuat (rojih). Alasannya adalah hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ لَمْ يُصَلِّ رَكْعَتَىِ الْفَجْرِ فَلْيُصَلِّهِمَا بَعْدَ مَا تَطْلُعُ الشَّمْسُ

Barangsiapa yang tidak shalat dua raka’at sebelum Shubuh, maka hendaklah ia shalat setelah terbitnya matahari.” (HR. Tirmidzi no. 423, kata Syaikh Al Albani hadits ini shahih)

Begitu pula hadits Ummu Salamah dalam Bukhari dan Muskim bahwa Nabi shallalahu ‘alaihi wa sallam mengqodho’ dua raka’at setelah Zhuhur dilakukan setelah ‘Ashar. Beliau melakukan demikian karena beliau sibuk mengurus urusan Bani ‘Abdil Qois.

Juga ada hadits dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia berkata,

أَنَّ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- كَانَ إِذَا لَمْ يُصَلِّ أَرْبَعًا قَبْلَ الظُّهْرِ صَلاَّهُنَّ بَعْدَهُ

Jika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mengerjakan shalat rawatib 4 raka’at sebelum Zhuhur, beliau melakukannya setelah shalat Zhuhur.” (HR. Tirmidzi no. 426. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan)

Juga Hadits dari Abu Sa’id Al Khudri radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ نَامَ عَنِ الْوِتْرِ أَوْ نَسِيَهُ فَلْيُصَلِّ إِذَا ذَكَرَ وَإِذَا اسْتَيْقَظَ

Barangsiapa yang ketiduran dan keluputan shalat witir atau lupa mengerjakannya, maka kerjakanlah shalat tersebut ketika ingat atau ketika terbangun.” (HR. Tirmidzi no. 465 dan Ibnu Majah no. 1188. Kata Syaikh Al Albani, hadits ini shahih)

Shalat Sunnah Rawatib bagi yang Menjamak Shalat Fardhu

Menjama’ shalat pada saat muqim (tidak safar, bisa karena hujan deras saat berjamaah di masjid atau selainnya), maka para ulama mengatakan pelaksanaannya adalah sesudah shalat jama’ tadi secara berurutan.

Imam Nawawi rahimahullah menjelaskan teknis jama’ dan shalat rawatib bagi orang yang mukim atau yang tinggal dan tidak sedang bepergian,

في جمع العشاء والمغرب يصلي الفريضتين ثم سنة المغرب ثم سنة العشاء ثم الوتر
وأما في الظهر : فالصواب الذي قاله المحققون أنه يصلي سنة الظهر التي قبلها ثم يصلي الظهر ثم العصر ثم سنة الظهر التي بعدها ثم سنة العصر

Untuk shalat jamak isya dan maghrib, yang dilakukan adalah mengerjakan kedua shalat wajib (maghrib dan isya) terlebih dahulu, kemudian sunah bakdiyah maghrib, kemudian sunah bakdiyah isya, kemudian witir.

Sementara untuk jamak shalat dzuhur, yang benar adalah keterangan para ulama peneliti (ahlu Tahqiq), yaitu dengan cara melaksanakan shalat sunah qabliyah dzuhur, kemudian shalat dzuhur, kemudian shalat asar, kemudian shalat bakdiyah dzuhur, kemudian sunah qabliyah asar.

(lihat Raudhah at-Thalibin, 1/402).

Menggabungkan niat shalat rawatib ba’da Isya dan Tarawih

Pendapat Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin Rahimahullah : boleh dan shalatnya sah.

Tetapi disarankan bagi imam untuk menunggu makmum menyelesaikan shalatnya. Tetapi jika waktu sempit dan imam terus lanjut, maka ada tiga keadaan:
1. Makmum terus isya dan tarawih, kemudian sholat ba’diyah isya setelahnya, sebelum pertengahan malam.
2. Makmum shalat ba’da isya disaat istirahat.
3. Shalat Tarawih dengan niat rawatib.

Wahai saudara seiman, jagalah sunnah-sunnah rawatib tersebut, karena dengan melakukannya berarti meneladani Nabi ﷺ (QS Al-Ahzab ayat 21)

Menjaga sunnah-sunnah rawatib ini merupakan penambal dari kekurangan dan kesalahan yang terjadi pada shalat fardhu. Manusia tidak akan luput dari dua hal tersebut, sehingga membutuhkan sesuatu yang dapat menambal kekurangannya. Karenanya, janganlah meremehkan sunnah-sunnah rawatib tersebut wahai saudara seiman, karena ia merupakan tambahan kebaikan yang akan anda jumpai balasannya di sisi Rabb-mu.

•┈┈┈┈┈┈•❀❁✿❁❀•┈┈┈┈┈•

اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ أَنْ أُشْرِكَ بِكَ وَأَنَا أَعْلَمُ ، وَأَسْتَغْفِرُكَ لِمَا لا أَعْلَمُ

“Ya Allah, aku meminta pada-Mu agar dilindungi dari perbuatan syirik yang kuketahui dan aku memohon ampun pada-Mu dari dosa syirik yang tidak kuketahui”.

وبالله التوفيق وصلى الله على نبينا محمد وعلى آله وصحبه وسلم