بِسْــــــــــــــــــمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ
Kajian Ahad – Doha
Membahas: Mulakhas Fiqhi – Syaikh Shalih bin Fauzan Al Fauzan 𝓱𝓪𝓯𝓲𝔃𝓱𝓪𝓱𝓾𝓵𝓵𝓪𝓱
Bersama Ustadz Hanafi Abu Arify 𝓱𝓪𝓯𝓲𝔃𝓱𝓪𝓱𝓾𝓵𝓵𝓪𝓱
Doha, 26 Jumadil Awwal 1445 / 10 Desember 2023
KITAB SHALAT
Bab Tentang Rukun-Rukun, Hal-hal yang Wajib & Hal-hal yang Disunnahkan dalam Shalat – Pertemuan 1
Saudara seiman,
Sesungguhnya shalat adalah ibadah yang agung, meliputi ucapan dan perbuatan yang disyari’atkan. Dari keduanya, terangkai tata caranya yang begitu sempurna. Shalat, sebagaimana didefinisikan oleh para ulama, adalah: Rangkaian ucapan dan perbuatan yang bersifat khusus, dimulai dengan takbir, dan ditutup dengan salam.
Rangkaian ucapan dan perbuatan tersebut diklasifikasikan menjadi tiga bagian: Rukun-rukun, hal-hal yang wajib, dan hal-hal yang disunnahkan.
Rukun-rukun shalat, adalah hal-hal dalam shalat yang apabila sebagian darinya ditinggalkan, maka shalat menjadi batal. Baik itu ditinggalkan secara sengaja atau karena lupa. Atau minimal rakaat di mana hal itu ditinggalkan menjadi tidak sah, sehingga digantikan dengan rakaat selanjutnya, seperti akan dijelaskan nanti.
Hal-hal yang wajib dalam shalat, adalah hal-hal yang apabila sebagian darinya ditinggalkan dengan sengaja, maka shalat menjadi batal. Dan apabila ditinggalkan karena lupa, maka shalat tidak batal, tapi harus diganti dengan sujud sahwi.
Hal-hal yang disunnahkan dalam shalat, adalah hal-hal yang apabila sebagian darinya ditinggalkan, tidak menyebabkan shalat batal, baik dengan sengaja atau karena lupa. Akan tetapi menyebabkan nilai shalat menjadi berkurang.
Nabi ﷺ, melaksanakan shalat dengan sempurna,lengkap dengan semua rukun, hal-hal yang wajib, serta hal-hal yang disunnahkan di dalamnya. Beliau bersabda: “Shalatlah kalian sebagaimana kalian melihatku shalar.” (HR Bukhori)
Bagian Pertama: RUKUN-RUKUN SHALAT
Rukun-rukun shalat ada empat belas, rinciannya adalah sebagai berikut:
Rukun Pertama: BERDIRI DALAM SHALAT FARDHU
Allâh ﷻ berfirman: “Berdirilah untuk Allah (dalam shalatmu) dengan khusyu…” (QS. Al-Baqarah: 238)
Dalam hadits ‘Imran secara marfu’ disebutkan:
“Shalatlah dengan berdiri. Jika kamu tidak sanggup, maka duduklah. Jika kamu tidak sanggup juga, maka berbaringlah ke samping.” (HR Bukhari).
Ayat dan hadits di atas menunjukkan bahwa berdiri tegak dalam shalat fardhu hukumnya adalah wajib, selama seseorang mampu melakukannya.
Jika ia tidak sanggup berdiri karena sakit, maka dibolehkan shalat sesuai dengan kondisinya, baik dengan duduk, atau berbaring kesamping. Dan yang dapat dianalogikan (dikiyaskan) dengan orang sakit adalah; orang yang mengkhawatirkan keselamatan dirinya, atau orang yang telanjang, atau orang yang perlu duduk atau berbaring kesamping dalam rangka terapi yang mengharuskannya untuk tidak berdiri. Demikian juga orang yang tidak bisa berdiri karena atap di atasnya terlalu rendah, sementara ia tidak bisa keluar rumah. Begitu pula halnya dengan orang yang shalat bermakmum kepada imam yang tidak sanggup shalat dengan berdiri. Jika imam shalat dengan duduk, maka orangyang bermakmum kepadanya harus shalat dengan duduk pula, mengikuti imam tersebut. Karena pada saat Nabi ﷺ sedang sakit, lalu beliau shalat sambil duduk, beliau memerintahkan para makmum untuk duduk.
Dari Imran bin Hushain –dia menderita sakit wasir-. Dia bercerita, aku pernah bertanya kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengenai shalat seseorang dengan duduk. Maka beliau menjawab :
إِنْ صَلِّى قَائِمًا، فَهُوَ أَفْضَلُ، وَمَنْ صَلَّى قَاعِدًا، فَلَهُ نِصْفُ أَجْرِالْقَائِمِ، وَمَنْ صَلِّى نَائِمًا، فَلَهُ نِصْفُ أَجْرِالْقَاعِدِ
“Jika dia shalat sambil berdiri maka yang demikian itu lebih baik. Dan barangsiapa mengerjakan shalat sambil duduk, maka baginya setengah pahala orang yang shalat sambil berdiri. Dan barangsiapa mengerjakan shalat sambil tidur maka baginya setengah pahala orang yang shalat sambil duduk” (Diriwayatkan oleh al-Bukhari).
Adapun shalat sunnah, boleh dilakukan dengan berdiri atau duduk. Berdiri dalam shalat sunnah tidaklah wajib, karena diriwayatkan dengan shahih, bahwa Nabi ﷺ , terkadang shalat sunnah dengan duduk, tanpa ada udzur sama sekali.
Ibnu Qudamah –rahimahullah- berkata:
“Orang yang sakit jika (shalat) dengan berdiri akan menjadikan penyakitnya tambah parah maka shalat dengan duduk. Sudah menjadi ijma’ para ulama bahwa bagi siapa saja yang tidak mampu berdiri maka dia boleh shalat dengan duduk. Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda kepada Imron bin Hushoin:
صل قائما ، فإن لم تستطع فقاعدا ، فإن لم تستطع فعلى جنب . رواه البخاري وأبو داود والنسائي
“Shalatlah dengan berdiri, jika kamu tidak bisa maka duduklah, dan jika tidak bisa maka shalat dengan berbaring”. (HR. Bukhori, Abu Daud dan Nasa’i)
An Nawawi –rahimahullah- berkata di dalam Syarah Muslim: “Artinya bahwa shalatnya seseorang dengan duduk pahalanya setengah dari shalat dengan berdiri, hal itu mencakup sah dan berkurangnya pahala. Hadits tersebut berlaku bagi shalat sunnah jika dilaksanakan dengan duduk padahal dia mampu berdiri, maka dia mendapatkan setengah pahala dari shalat berdiri. Adapun jika dia melaksanakan shalat sunnah dengan duduk karena ada alasan yang dibenarkan, maka pahalanya tidak berkurang tetap sama dengan pahala shalat dengan berdiri. Adapun shalat fardhu jika dia melaksanakannya dengan duduk padahal dia mampu berdiri, maka shalatnya tidak sah dan tidak berpahala bahkan dia berdosa.
Yang menjadi masalah adalah bagaimana cara duduknya ?
Duduk tarabbu’ (kedua telapak kakinya di bawah pahanya) semua betis dan paha kanan menjadi nampak, demikian juga betis dan paha kirinya (seperti duduk pada saat duduk tahiyyat awal); karena duduk iftirasy (seperti duduk pada saat tahiyyat akhir) betisnya tidak terlihat, adapun dinamakan tarabbu’; karena keempat anggota tubuh menjadi nampak.
Apakah duduk tarabbu’ itu wajib ?
Tidak, duduk tarabbu’ adalah sunnah, kalau misalnya dia melaksanakan shalat dengan duduk iftirasy maka tidak apa-apa, atau dengan duduk ihtiba’ (duduk bertumpu pada pantatnya, sedangkan betis dan pahanya ditekuk ke arah perut dengan bantuan kedua lengannya) juga tidak apa-apa; berdasarkan keumuman sabda Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- :
فإن لم تستطع فقاعدا
“Jika kamu tidak mampu maka (lakukanlah) dengan duduk”.
dan beliau tidak menjelaskan bagaimana cara duduknya. Jika ada seseorang yang berkata: “Apakah ada dalil bahwa beliau melaksanakan shalat dengan duduk tarabbu’ ?
Maka jawabannya adalah ada, ‘Aisyah berkata:
رأيت النبي صلى الله عليه وسلم يصلي متربعا
“Saya telah melihat Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- melaksanakan shalat dengan duduk tarabbu’”.
Karena dengan duduk tarabbu’ biasanya lebih tenang, lebih nyaman dari pada duduk iftirasy.
Jika dalam kondisi ruku’, sebagian ulama mengatakan: “Agar dengan duduk iftiradsy”. Yang benar adalah agar duduk dengan tarabbu’; karena orang yang sedang ruku’ dia bertumpu pada kedua betis dan pahanya, tidak ada perubahan kecuali dengan menekuk punggungnya saja, maka pendapat kami: “(Jika diganti dengan duduk) maka tetap dengan duduk tarabbu’ pada saat ruku’, inilah yang benar dalam masalah ini”. (Asy Syarhul Mumti’: 4/461)
▪️ Keadaan makmum terhadap Imam ada dua:
1. Jika dari awal imam duduk, maka makmumnya duduk.
Jika Imam shalat berdiri, maka shalatlah kalian dengan berdiri, dan jika imam shalat dengan duduk maka shalatlah kalian dengan duduk” (HR. Muslim).
2. Jika imam pada awal shalat berdiri, dipertengahan shalat imam duduk, maka makmum tetap shalat berdiri.
Rukun Kedua: TAKBIRATUL IHRAM DI AWAL SHALAT
Dasarnya adalah sabda Nabi ﷺ
“Kemudian, menghadaplah ke arah kiblat, dan bertakbirlah” (HR Bukhari)
Juga sabda beliau: “Dan tahrimnya (dimulainya shalat) adalah dengan takbir.” (HR Muslim).
Tidak pernah diriwayatkan dari Nabi ﷺ, bahwa beliau memulai shalat tanpa Takbiratul lhraam. Lafazh Takbiratul Ihram adalah, ‘Allaahu Akbar.”
Tidak dapat digantikan dengan lain. Karena memang demikianlah Lafazh yang diriwayatkan dari Rasulullah ﷺ.
Yang menjadi perhatian adalah lafadz takbiratul ihram (Allaahu Akbar) wajib diucapkan, sedangkan mengangkat tangan hukumnya sunnah.
Tidak ada anjuran Membaca Basmalah sebelum takbiratul ihram. Syariat telah menetapkan takbiratul ihram sebagai pembuka sholat, maka tidak disunahkan membaca bismillah sebelumnya.
Ibnul Qoyim dalam Zadul Ma’ad menegaskan,
كان صلى الله عليه و سلم إذا قام إلى الصلاة قال : [ الله أكبر ] ولم يقل شيئا قبلها
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam apabila memulai , beliau membaca ”Allahu akbar”, dan tidak membaca apapun sebelumnya. (Zadul Ma’ad, 1/194).
Jika sakit atau bisu, maka gugur kewajiban takbiratul ihram. Demikian disampaikan Ibnu Qudamah Rahimahullah.
Posisi Tangan Saat Takbiratul Ihram
Posisi telapak tangan saat takbiratul ihram dengan membantangkan tangan secara sempurna, jari tangan tidak terlalu lebar ataupun terlalu rapat membukanya. Telapak tangan dihadapkan ke arah kiblat dan diangkat setinggi pundak atau telinga.
Cara mengangkat tangan ketika takbir ada 3:
a. Mengangkat tangan sampai pundak lalu membaca takbir
Dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhumma,
كان رسول الله صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إذا قام إلى الصلاة؛ رفع يديه حتى تكونا حذو منكبيه، ثم كبَّر
Apabila Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memulai shalat, beliau mengangkat kedua tangannya hingga setinggi pundak, kemudian beliau bertakbir. (HR. Muslim 390).
b. Mengangkat tangan lalu sedekap bersamaan dengan takbir
Dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma,
رأيت النبي صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ افتتح التكبير في الصلاة، فرفع يديه حين يكبر
”Saya melihat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memulai takbiratul ihram ketika shalat, beliau mengangkat kedua tangannya ketika takbir. (HR. Bukhari 738)
c. Membaca takbir, lalu mengangkat tangan
Dari Malik bin al-Huwairits,
كان رسول الله صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إذا كبر؛ رفع يديه
”Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika usai takbir, beliau mengangkat tangan” (HR. Muslim 391).
Rukun Ketiga: MEMBACA AL-FAATIHAH
Dasarnya adalah hadits:
“Tidak (sah) shalat orang yang tidak membaca Faatihatul Kitaab (surat al-Faatihah).” (Muttafaqun alaih).
Membaca surat al-Faatihah termasuk rukun pada setiap rakaat. Diriwayatkan dengan shahih dari Nabi ﷺ, bahwa beliau membacanya setiap raka’at. Saat beliau mengajarkan tata cara shalat kepada orang yang beliau lihat tidak benar shalatnya, beliau memerintahkannya membaca al-Faatihah.
Tapi, apakah al-Faatihah wajib dibaca oleh setiap orang yang shalat, atau khusus bagi imam saja? Terdapat perbedaan pendapat di kalangan para ulama.
Yang paling aman, setiap makmum berupaya membacanyadalam shalat-shalat di mana bacaan imam adalah sir (pelan), sementara dalam shalat-shalat di mana bacaan imam jahr (keras), makmum membacanya saat imam diam sesaat.
•┈┈┈┈┈┈•❀❁✿❁❀•┈┈┈┈┈•
اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ أَنْ أُشْرِكَ بِكَ وَأَنَا أَعْلَمُ ، وَأَسْتَغْفِرُكَ لِمَا لا أَعْلَ
Ya Allah, aku meminta pada-Mu agar dilindungi dari perbuatan syirik yang kuketahui dan aku memohon ampun pada-Mu dari dosa syirik yang tidak kuketahui
وبالله التوفيق وصلى الله على نبينا محمد وعلى آله وصحبه وسلم