Allah subhanahu wata’aala berfirman:
وَلَا تَطْرُدِ الَّذِينَ يَدْعُونَ رَبَّهُمْ بِالْغَدَاةِ وَالْعَشِيِّ يُرِيدُونَ وَجْهَهُ ۖ
”Dan janganlah kamu mengusir orang-orang yang menyeru Rabbnya di pagi dan petang hari, sedang mereka menghendaki keridaan-Nya.” (Al-An’am: 52).
Umar bin Khaththab radhiyallahu mendengar Rasulullah ﷺ bersabda:
إِنَّمَا اْلأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى . فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى اللهِ وَرَسُوْلِهِ فَهِجْرَتُهُ إِلَى اللهِ وَرَسُوْلِهِ، وَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ لِدُنْيَا يُصِيْبُهَا أَوْ امْرَأَةٍ يَنْكِحُهَا فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ .
”Amal perbuatan itu tergantung pada niatnya dan setiap orang mendapat balasan amal sesuai dengan niatnya. Barang siapa yang berhijrah hanya karena Allah dan Rasul-Nya maka hijrahnya itu menuju Allah dan Rasul-Nya. Barang siapa hijrahnya karena dunia yang ia harapkan atau karena wanita yang ingin ia nikahi maka hijrahnya itu menuju yang ia inginkan.” [HR Bukhari: l/2, Muslim: Vl/48, dari hadits Umar bin Khatthab].
Abu Musa meriwayatkan bahwa seseorang datang kepada Nabi ﷺ lalu berkata, ”Wahai Rasulullah, apa pendapatmu tentang seseorang yang berperang hanya karena keberaniannya dan seseorang berperang karena fanatisme golongan, serta seseorang berperang karena riya’? Siapakah di antara mereka yang masuk kategori fi sabilillah? Rasulullah menjawab:
مَنْ قَاتَلَ لِتَكُوْنَ كَلِمَةَ اللهِ هِيَ الْعُلْيَا فَهُوَ فِيْ سَبِيْلِ اللهِ
”Barang siapa berperang dengan niat untuk menegakkan kalimat Alloh yang tinggi (Islam), itulah yang dinamakan fi sabilillah.” [HR Bukhari: I/43, IV/25, dan Muslim: VI/46] .
Jabir meriwayatkan bahwa Rasulullah ﷺ bersabda:
“Di Madinah, kalian meninggalkan beberapa orang lelaki yang tidaklah kalian menempuh perjalanan melintasi lembah dan jalan melainkan mereka juga mendapatkan pahala sama seperti kalian. Mereka terhalang oleh sakit.” [HR Muslim: VI/49 dari hadits Jabir, dan Bukhari: IV/3l dari hadits Anas].
Amal perbuatan terbagi menjadi tiga macam:
Pertama: Maksiat
Ia tidak bisa berubah statusnya lantaran niat. Misalnya, orang yang membangun masjid dengan uang haram dengan niatan baik. Sungguh, niat tersebut tidak berpengaruh sedikit pun karena tujuan yang baik dengan menggunakan sesuatu yang buruk membuahkan keburukan yang lain.
Kedua: Ketaatan
Dasar legalitas ketaatan dan pelipatgandaan pahalanya tergantung pada niat. Mengenai dasarnya, ia niat beribadah kepada Allah semata, tiada yang lain. Jika niatnya untuk riya’ maka ketaatan itu berubah menjadi maksiat. Sedangkan pelipatgandaan pahala itu disebabkan banyaknya niat yang baik. Pasalnya, satu amal ketaatan dapat dilakukan dengan banyak niat yang baik sehingga setiap niat mendapat pahala karena setiap pahala adalah kebaikan lalu setiap satu kebaikan dilipatgandakan sepuluh kali.
Misalnya, seseorang duduk di masjid. Itu adalah amal ketaatan. Dalam hal ini ia bisa melakukannya dengan beberapa niat, seperti niat masuk masjid untuk menunggu shalat, i’tikaf, dan mengekang anggota badan dari perbuatan maksiat karena i’tikaf itu sendiri bisa mencegah dari maksiat. Atau berniat menghindari
kesibukan yang memalingkan diri dari Allah menuju masjid, dzikir kepada Allah, dan sebagainya. Ini adalah cara memperbanyak niat. Semua itu dapat Anda terapkan dalam semua jenis ketaatan karena tidak ada ketaatan melainkan mengandung banyak niat.
Ketiga: Mubah
Amalan mubah bisa berubah menjadi qurubat (amalan yang mendekatkan diri kepada Allah) dan memperoleh derajat yang tinggi dengan satu niat atau banyak niat baik. Sungguh rugi orang yang melakukan amal mubah, tapi tidak meniatkan kebaikan!
Seorang hamba tidak seyogianya meremehkan waktu dan kata hati. Karena semua itu kelak di hari kiamat akan dipertanyakan; mengapa ia melakukannya? Apa tujuannya?
Contoh perkara mubah yang dilakukan dengan niat mendekatkan diri kepada Allah adalah memakai minyak wangi. Seseorang bisa melakukannya dengan niat mengikuti sunah, memuliakan masjid, dan menghilangkan bau tidak sedap yang dapat mengganggu orang-orang yang berinteraksi dengannya.
imam Asy-Syafi’i mengatakan, “Barang siapa wangi baunya maka bertambah akalnya.”
Demikian pula mengonsumsi suplemen otak dengan niat menambah kecerdasan, sehingga ia mudah mengetahui urusan-urusan agamanya.
Sebagian salaf mengatakan, ”Sungguh aku suka jika memiliki niat dalam segala hal, bahkan dalam hal makan, minum, tidur, dan masuk WC”. Semua itu bisa dilakukan dengan niat mendekatkan diri kepada Allah karena segala sesuatu yang membuat badan sehat dan hati longgar adalah bagian dari urgensi agama. Untuk itu, barang siapa makan dengan niat agar kuat ibadah kepada Allah, nikah dengan niat membentengi agamanya dan membersihkan hati, serta mendapat karunia anak yang sepeninggalnya nanti beribadah kepada Allah, semua itu mendapat balasan pahala. Janganlah meremehkan sedikit pun gerakan dan perkataan Anda. Adakanlah perhitungan pada diri Anda sebelum diadakan perhitungan pada amal Anda. Luruskanlah niat sebelum melakukan amal perbuatan, dan lihatlah apa yang ditinggalkan pada niat Anda.
Ingat, niat adalah pancaran jiwa dan kecenderungan pada hal-hal yang tampak maslahat baginya, untuk sekarang atau masa depan. Boleh jadi sebagian orang yang mendengar wasiat saya ini, lalu ketika makan ia berucap, “Aku niat makan karena Allah,” atau ketika membaca berucap, ”Aku niat membaca karena Allah.” Mereka mengira bahwa semua itu adalah niat, padahal tidak demikian karena niat adalah pancaran hati yang mengalir sesuai pertolongan Allah. Niat adakalanya mudah dan adakalanya sulit dilakukan. Namun, niat biasanya memang mudah dilakukan oleh orang yang hatinya cenderung pada agama, bukan dunia.
Pembagian manusia karena niat:
1. Melakukan ketaatan karena motif (baca: niat) takut kepada Allah.
2. Melakukan ketaatan karena motif (baca: niat) mengharap rahmat Allah.
3. Melakukan ketaatan dengan niat mengagungkan Allah karena hak-Nya untuk ditaati dan diibadahi. Tingkatan ini lebih tinggi dari dua tingkatan sebelumnya. Hal ini sulit dilakukan oleh orang yang cinta dunia. Inilah niat yang paling mulia dan tinggi. Sedikit sekali orang yang memahaminya, alih-alih mampu melakukannya. Pemilik tingkatan ini selalu berzikir kepada Allah dan merenungi keagungan-Nya karena cinta.
Ahmad bin Khadhrawaihin menceritakan bahwa ia pernah bermimpi melihat Rabbnya, lalu Dia berfirman, ”Semua orang meminta kepada-Ku dan Abu Zaid meminta kepadaKu.”
Maksud kami adalah bahwa tingkatan niat itu bermacam-macam. Barang siapa yang hatinya dikuasai oleh niat maka boleh jadi ia sulit berpaling pada lainnya. Barang siapa yang menghadirkan niat dalam amalan mubah dan tidak menghadirkan niat dalam amal keutamaan maka yang mubah lebih utama dan yang utama akan beralih menjadi mubah.
Misalnya, menghadirkan niat saat makan guna menguatkan tubuh untuk beribadah dan mengistirahatkan badan. Ketika itu dalam hatinya tidak terbersit niat untuk shalat dan puasa. Dalam kondisi seperti ini makan dan tidur lebih baik baginya. Bahkan, seandainya ia bosan beribadah karena sering sekali melakukannya dan ia tahu bahwa andaikan ia rehat sejenak dengan amalan mubah maka kondisi badannya akan kembali segar. Dalam kondisi seperti ini, rehat sejenak lebih baik daripada ibadah.
Ali radhiyallahu anhu berkata, “Rehatkanlah hati kalian dan carilah sisi-sisi hikmahnya karena ibadah dapat membuat bosan seperti halnya badan?”.
Dikutip dari: Intisari Minhajul Qashidin – Ibnu Qudamah, Halaman 15, Dar Al-Kitab wa Sunnah, 1st Edition 2011, Riyadh, KSA.