بِسْــــــــــــــــــمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ

Kajian Kitab: 𝕀𝕘𝕙𝕠𝕥𝕤𝕒𝕥𝕦𝕝 𝕃𝕒𝕙𝕗𝕒𝕟 𝕄𝕚𝕟 𝕄𝕒𝕤𝕙𝕠𝕪𝕚𝕕𝕚𝕤𝕪 𝕊𝕪𝕒𝕚𝕥𝕙𝕒𝕟
(Penolong Orang yang Terjepit – Dari Perangkap Syaitan)
Karya: Ibnul Qayyim al-Jauziyah 𝓡𝓪𝓱𝓲𝓶𝓪𝓱𝓾𝓵𝓵𝓪𝓱.
Pemateri: Ustadz Isnan Efendi, Lc. MA. 𝓱𝓪𝓯𝓲𝔃𝓱𝓪𝓱𝓾𝓵𝓵𝓪𝓱
Pertemuan: 8 Rabi’ul Akhir 1446 / 11 Oktober 2024.



Bab 13 – 29: TIPU DAYA SETAN: NYANYIAN DAN MUSIK

Nama-nama Nyanyian

Banyaknya nama menunjukkan dua kemungkinan:
– Jika nama itu baik, ini menunjukkan ketinggian sifatnya. Seperti Nabi ﷺ memiliki banyak nama dan gelaran, bahkan Allah ﷻ memiliki Dzat dan nama yang tidak terbatas, ini menunjukkan ketinggian Dzat dan sifat-sifat Allah ﷻ.
– Jika nama itu buruk, ini menunjukkan rendahnya nama yang disebut. Seperti musik ini memiliki beberapa nama dan semua mengarah ke makna negatif.

Nyanyian yang diperdengarkan oleh syetan yang bertentangan dengan bacaan dari Ar-Rahman ini, menurut syariat memiliki lebih dari sepuluh nama, di antaranya: Al-lahwu, al-laghwu, al-bathil, az-zuur, almuka’, at-tashdiyah, ruqyatuz zina, munbitun nifaqfil qalbi, ash-shautul ahmaq, ash-shautul fajir, shautush syaithan, mazmurusy syaithan dan assumud.

Dan seperti dikatakan penyair, “Nama-namanya menunjukkan pada sifat-sifatnya, maka sungguh celaka orang yang memiliki nama-nama dan sifat-sifat ini.”

Selanjutnya kita akan sebutkan kekejian masing-masing nama ini, juga cercaan kalam Allah dan Rasul-Nya, serta para sahabat beliau terhadapnya, agar para pelakunya mengetahui apa yang mereka dapatkan, dan kerugian macam apa dari keuntungan perdagangan yang mereka harapkan, “Tinggalkanlah pemain seruling, rebana dan nyanyian, ia tidak memilihnya sebagai jalan ketaatan kepada Allah, maka tinggalkanlah ia hidup dalam kekeliruan dan kesesatannya.”

Nama Pertama dan Kedua: Al-Lahwu dan Lahwul Hadits

Allah ﷻ befirman,

وَمِنَ ٱلنَّاسِ مَن يَشْتَرِى لَهْوَ ٱلْحَدِيثِ لِيُضِلَّ عَن سَبِيلِ ٱللَّهِ بِغَيْرِ عِلْمٍ وَيَتَّخِذَهَا هُزُوًا ۚ أُو۟لَٰٓئِكَ لَهُمْ عَذَابٌ مُّهِينٌ. وَإِذَا تُتْلَىٰ عَلَيْهِ ءَايَٰتُنَا وَلَّىٰ مُسْتَكْبِرًا كَأَن لَّمْ يَسْمَعْهَا كَأَنَّ فِىٓ أُذُنَيْهِ وَقْرًا ۖ فَبَشِّرْهُ بِعَذَابٍ أَلِيمٍ

Dan di antara manusia (ada) orang yang mempergunakan perkataan yang tidak berguna untuk menyesatkan (manusia) dari jalan Allah tanpa pengetahuan dan menjadikan jalan Allah itu olok-olokan. Mereka itu akan memperoleh azab yang menghinakan. Dan apabila dibacakan kepadanya ayat-ayat Kami dia berpaling dengan menyombongkan diri seolah-olah dia belum mendengarnya, seakan-akan ada sumbat di kedua telinganya; maka beri kabar gembiralah dia dengan azab yang pedih.

Seperti dunia ini disebut لعب ولهو Seperti dalam Surat Al-An’am ayat 32:

وَمَا الْحَيٰوةُ الدُّنْيَآ اِلَّا لَعِبٌ وَّلَهْوٌ ۗ

Dan kehidupan dunia ini hanyalah permainan dan senda gurau.

Yaitu setiap perbuatan yang melalaikan. Makna الهو adalah kelainan yang berasal dari hati. Makna لعب kelalain yang bersifat dzahir.

Al-Wahidi dan lainnya berkata, “Sebagian besar para ahli tafsir berpendapat, yang dimaksud dengan lahwul hadits (perkataan yang tidak berguna) adalah nyanyian, demikian seperti dikatakan oleh Ibnu Abbas menurut riwayat Sa’id bin Jubair dan Miqsam dari beliau, juga dikatakan oleh Abdullah bin Mas’ud yang diriwayatkan oleh Abi Ash-Shahba’ daripadanya. Dan ini pula pendapat Mujahid dan Ikrimah.

Al-Wahidi juga berkata, “Mayoritas dalam kitab-kitab tafsir disebutkan, makna lahwul hadits di sini adalah nyanyian, sebab ia melalaikan dari mengingat Allah.” Selanjutnya beliau berkata, “Para ahli ma’ani berkata, Termasuk dalam masalah ini adalah orang yang lebih memilih kesia-siaan, nyanyian, seruling dan musik daripada Al-Qur’an, meskipun lafazhnya diungkapkan dengan kata ‘syira’ (membeli) yang menunjukkan pertukaran (antara dua barang), hal seperti ini banyak dijumpai dalam Al-Qur’an. Dan makna lahwul hadits di atas dikuatkan lagi oleh ucapan Qatadah tentang ayat tersebut, ‘Mungkin yang demikian itu agar ia tidak menginfakkan hartanya’.” Beliau juga berkata, “Cukuplah seseorang itu sesat, jika ia memilih perkataan batil daripada perkataan yang haq.”

▪️ Allah ﷻ menggunakan istilah يَشْتَرِى (membeli) diartikan dalam terjemah ‘menggunakan’ karena orang yang berjual beli pasti ada unsur meraih keuntungan. Maka sudah jelas ruginya, tapi sebagian orang ada yang membeli karena hilang akalnya.

Al-Wahidi (Ulama tafsir) berkata, “Ayat ini dengan tafsiran seperti di atas, menunjukkan diharamkannya nyanyian.” Al-Hakim Abu Abdillah dalam bab tafsir dari kitab Al-Mustadrak berkata, “Agar para penuntut ilmu memahami bahwa tafsir para sahabat yang menyaksikan wahyu (Al-Qur’an) menurut Al-Bukhari dan Muslim adalah hadits musnad (yang disandarkan kepada Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam).”

Pendapat ini, meskipun masih perlu dikaji ulang, tidak diragukan lagi menunjukkan, tafsir para sahabat lebih berhak diterima daripada tafsir orang-orang sesudah mereka. Sebab mereka lebih mengetahui yang dimaksud oleh Allah dalam Kitab-Nya, karena ia turun kepada mereka, dan mereka adalah orang-orang yang pertama kali diseru oleh Al-Qur’an dari umat ini. Mereka menyaksikan tafsir Al-Qur’an itu langsung dari Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, baik secara ilmu maupun pengamalan, dan mereka adalah orang-orang Arab yang fasih bahasanya dalam arti yang sesungguhnya, maka tafsir mereka tidak bi-sa dibandingkan dengan tafsir siapa pun selama kita masih mendapati tafsir dari mereka.

Jika diketahui demikian, maka para pecandu nyanyian dan para pendengarnya akan mendapatkan bagian dari cercaan ini, sesuai dengan tingkat perhatian mereka terhadap nyanyian dan keberpalingan mereka dari Al-Qur’an, meskipun mereka tidak mendapatkan bagian itu seluruh-nya. Sebab ayat-ayat tersebut mengandung celaan kepada orang yang menggantikan Al-Qur’an dengan perkataan yang tidak berguna untuk menyesatkan manusia dari jalan Allah tanpa pengetahuan dan menjadi-kan jalan Allah itu sebagai bahan olokolokan. Lalu jika dibacakan Al-Qur’an kepadanya, ia akan berpaling dengan menyombongkan diri, se-akan-akan tidak mendengarnya, dan seakan terdapat sumbat di kedua telinganya (tuli), dan jika ia mengetahui sedikit daripadanya, maka dia mengolok-oloknya.

Yang jelas, hal semacam ini tidak akan terjadi kecuali dari orang yang paling besar kekufurannya, meskipun sebagiannya terjadi pada para penyanyi dan para pendengarnya, mereka juga memiliki bagian dari celaan ini. Lebih jelas lagi, engkau tidak akan mendapati orang yang getol dengan soal nyanyian dan mendengarkan musik kecuali ia adalah orang yang tersesat dari jalan petunjuk, baik secara ilmu maupun amalan. Ia akan membenci mendengarkan Al-Qur’an, sebaliknya mencintai nyanyian. Sehingga jika disodorkan padanya agar (memilih) mendengarkan nyanyian atau Al-Qur’an, maka ia akan memilih nyanyian dan berpaling dari Al-Qur’an. Baginya, mendengarkan Kitabullah itu tera-sa berat, bahkan mungkin membuatnya menghentikan pembaca Al-Qur’an atau menganggap bacaannya terlalu panjang. Sebaliknya, ia akan meminta nyanyiannya diperpanjang dan ia selalu merasa kurang dengannya. Jadi paling tidak, ia akan mendapatkan bagian yang banyak dari celaan ini, meskipun tidak semuanya.

Berbicara dalam masalah ini tentu harus dengan orang yang di dalam hatinya masih ada sedikit kehidupan. Adapun dengan orang yang hatinya telah mati, telah demikian besar fitnah yang menimpanya, maka hati seperti itu telah menghalangi dirinya dari jalan nasihat. Allah befirman dalam surat Al-Maidah ayat 41,

۞… ​ ؕ وَمَنۡ يُّرِدِ اللّٰهُ فِتۡنَـتَهٗ فَلَنۡ تَمۡلِكَ لَهٗ مِنَ اللّٰهِ شَيۡــًٔـا​ؕ اُولٰٓٮِٕكَ الَّذِيۡنَ لَمۡ يُرِدِ اللّٰهُ اَنۡ يُّطَهِّرَ قُلُوۡبَهُمۡ​ ؕ لَهُمۡ فِىۡ الدُّنۡيَا خِزۡىٌ ۚۖ وَّلَهُمۡ فِىۡ الۡاٰخِرَةِ عَذَابٌ عَظِيۡمٌ‏ ٤١

Barang siapa dikehendaki Allah untuk dibiarkan sesat, sedikit pun engkau tidak akan mampu menolak sesuatu pun dari Allah (untuk menolongnya). Mereka itu adalah orang-orang yang sudah tidak dikehendaki Allah untuk menyucikan hati mereka. Di dunia mereka mendapat kehinaan dan di akhirat akan mendapat azab yang besar.

Nama Ketiga dan Keempat: Az-Zur dan Al-Laghwu

Allah befirman,

وَالَّذِيۡنَ لَا يَشۡهَدُوۡنَ الزُّوۡرَۙ وَ اِذَا مَرُّوۡا بِاللَّغۡوِ مَرُّوۡا كِرَامًا‏ ٧٢

Dan orang-orang yang tidak memberikan kesaksian palsu, dan apabila mereka bertemu dengan (orang-orang) yang mengerjakan perbuatan-perbuatan yang tidak berguna, mereka berlalu dengan menjaga kehormatan dirinya,” (Al-Furqan: 72).

Muhammad bin Al-Hanafiah berkata, “Az-zur di sini berarti nyanyian.” Hal yang sama juga dikatakan oleh Laits dari Mujahid. Sedangkan laghwu secara bahasa adalah setiap yang dilupakan dan dibuang. Artinya, mereka tidak menghadiri majlis-majlis batil, dan bila mereka bertemu dengan orang-orang yang melakukan perbuatan atau perkataan sia-sia, mereka memuliakan diri mereka dengan berpaling daripadanya.

Termasuk dalam hal ini adalah hari raya-hari raya orang-orang musyrik, nyanyian dan berbagai macam kebatilan. Demikian menurut penafsiran salaf.

Az-Zajjaj berkata, “Mereka tidak bercengkerama dengan para ahli maksiat dan tidak berkomplot dengan mereka. Mereka lewat di hadapannya saja dalam keadaan mulia dan tidak rela dengan kesia-siaan, sebab mereka memuliakan diri untuk tidak masuk dalam hal tersebut, juga menjauhi dari berbaur dengan para ahlinya.”

Allah memuji orang yang berpaling dari kesia-siaan manakala ia mendengarnya. Allah befirman, “Dan bila mereka mendengar perkataan yang tidak bermanfaat, mereka berpaling daripadanya dan mereka berkata, ‘Bagi kami amal-amal kami dan bagimu amal-amal kamu‘.” (Al-Qashash: 55).

Ayat ini, meskipun sebab turunnya khusus, tetapi maknanya umum, meliputi setiap orang yang mendengar sesuatu kesia-siaan lalu ia berpaling daripadanya, dan ia berkata dengan lisan atau dengan hatinya kepada kawan-kawannya, “Bagi kami amal-amal kami dan bagimu amalamalmu.”


Pertemuan: 15 Rabi’ul Akhir 1446 / 18 Oktober 2024. 

Nama Kelima: Al-Batil

Al-batil adalah lawan al-haq, dan yang dimaksud adalah sesuatu yang tidak ada, juga sesuatu yang ada, tetapi madharat keberadaannya lebih banyak dari manfaatnya. (Ukuran wujudnya adalah manfaat, jika tidak ada manfaatnya maka tidak dianggap).

Termasuk hal yang pertama adalah ucapan Al-Muwahhid, “Setiap Tuhan selain Allah adalah batil.” Dan termasuk hal yang kedua adalah ucapannya, “Sihir adalah batil dan kekufuran adalah batil.” 

Allah befirman, Surat Al-Isra Ayat 81:

وَقُلْ جَآءَ ٱلْحَقُّ وَزَهَقَ ٱلْبَٰطِلُ ۚ إِنَّ ٱلْبَٰطِلَ كَانَ زَهُوقًا

Dan katakanlah: “Yang benar telah datang dan yang batil telah lenyap”. Sesungguhnya yang batil itu adalah sesuatu yang pasti lenyap.

 Jadi, al-batil itu bisa berupa sesuatu yang sama sekali tidak ada wujudnya, atau sesuatu yang ada wujudnya tetapi ia sama sekali tidak bermanfaat. Dan kekufuran, kefasikan, kemaksiatan, sihir, nyanyian dan mendengarkan nyanyian, semuanya termasuk jenis yang kedua.

Seseorang bertanya kepada Ibnu Abbas Radhiyallahu Anhuma, “Apa yang tuan katakan tentang nyanyian?”

Beliau menjawab, “Aku tidak mengatakan haram kecuali apa yang ada di dalam Kitabullah.”

Ia lalu berkata, “Jadi nyanyian halal?”

Ibnu Abbas menjawab, “Aku tidak mengatakannya demikian!”

Lalu Ibnu Abbas berkata, ‘Tahukah kamu jika kelak Hari Kiamat tiba, maka ada al-haq dan al-batil, lalu di tempat mana nyanyian?”

Laki-laki itu menjawab, “la bersama al-batil.”

Ibnu Abbas lalu berkata, “Pergilah! Engkau telah memberi fatwa kepada dirimu sendiri!”

Demikianlah jawaban Ibnu Abbas Radhiyallahu Anhuma tentang nyanyian orang-orang Arab yang di dalamnya tidak ada pujian kepada khamar, zina, homoseksual, sanjungan kepada para wanita bukan mahram, suara-suara alat musik dan menari. Sungguh, nyanyian mereka itu tidak ada hal-hal tersebut.

Lalu, seandainya mereka menyaksikan nyanyian pada masa sekarang, niscaya ia akan mengatakan sesuatu yang lebih berat dari itu, karena bahaya dan fitnahnya jauh lebih besar daripada bahaya dan fitnah minum khamar. Karena itu, adalah kebatilan di atas kebatilan jika syariat membolehkannya.

Lalu, siapa yang mengkiaskan antara nyanyian bangsa Arab waktu itu dengan nyanyian yang ada sekarang, maka ia adalah termasuk jenis kias (analogi) riba dengan jual-beli, bangkai dengan hewan yang disembelih, serta tahlil yang pelakunya dilaknat dengan nikah yang hal itu memang Sunnah Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, yang menikah itu lebih utama daripada mengasingkan diri untuk terus-menerus beribadah sunat. Dan seandainya nikah tahlil itu dibolehkan dalam syariat, tentu ia akan menjadi lebih utama daripada qiyamul tail, dan puasa sunat, serta pelakunya tidak mungkin dilaknat.

– Tahlil yaitu perbuatan seseorang untuk menghalalkan suami yang telah menthalak ba’in istrinya tiga kali, dengan jalan menikahi bekas istrinya itu lalu mencerainya, sehingga mantan suaminya bisa menikah dengannya lagi. Perbuatan ini dilaknat oleh Allah dan Rasul-Nya Shallallahu Alaihi wa Sallam (pen.), lihat pembahasan selanjutnya.

Nama Keenam dan Ketujuh: AI-Muka’ dan At-Tashdiyah

Allah befirman tentang orang-orang kafir,

وَمَا كَانَ صَلَاتُهُمْ عِنْدَ الْبَيْتِ اِلَّا مُكَاۤءً وَّتَصْدِيَةًۗ فَذُوْقُوا الْعَذَابَ بِمَا كُنْتُمْ تَكْفُرُوْنَ

Dan salat mereka di sekitar Baitullah itu, tidak lain hanyalah siulan dan tepuk tangan. Maka rasakanlah azab disebabkan kekafiranmu itu. (QS Al Anfal ayat 35).

Ibnu Abbas, Ibnu Umar, Mujahid, Adh-Dhahhak, Al-Hasan dan Qatadah berkata, “Al-muka’ adalah siulan dan at-tashdiyah adalah tepuk tangan.” Hal yang sama juga dikatakan oleh para ahli bahasa. Hassan bin Tsabit mencela siulan dan tepuk tangan yang dilakukan orang-orang musyrik dengan mengatakan,

Jika malaikat berdiri, kalian bangkit dan shalat kalian tak lain adalah siulan dan tepuk tangan belaka.”

Demikian itulah perumpamaan orang-orang musyrik. Jika orang-orang Islam melakukan shalat wajib dan sunat maka mereka melakukan siulan dan tepuk tangan.

Ibnu Abbas Radhiyallahu Anhuma berkata, “Dahulu, orang-orang Quraisy berthawaf di sekeliling Ka’bah dalam keadaan telanjang, dan itu mereka lakukan sambil bersiul dan bertepuk tangan.”

Ibnu Arafah dan Ibnul Anbari berkata, “Bersiul dan bertepuk tangan bukanlah shalat, tetapi Allah mengabarkan bahwa mereka menggantikan shalat yang mereka diperintahkan menegakkannya dengan bersiul dan bertepuk tangan, sehingga hal itu menyebabkan mereka mendapatkan dosa besar. Hal ini sama dengan orang yang mengatakan kepada Anda (sementara Anda dengan dia terlibat permusuhan), ‘Anda telah mengunjungiku.’ Jadi orang tersebut menjadikan kekasaran Anda sebagai bentuk menyambung silaturrahim.”

Maksudnya, orang-orang yang bertepuk tangan dan bersiul dengan klarinet, seruling atau sejenisnya adalah serupa dengan orang-orang tersebut, meskipun ia hanya dalam bentuk keserupaan lahiriah, karena itu ia mendapatkan aib dan cela, sesuai dengan seberapa ia menyerupai mereka, meski tidak menyerupai dalam semua siulan dan tepuk tangan mereka.

Dan Allah tidak mensyariatkan bertepuk tangan bagi laki-laki saat dibutuhkan (untuk mengingatkan imam yang lupa) ketika shalat, tetapi mereka diperintahkan agar bertasbih, supaya mereka tidak menyerupai perempuan. Lalu bagaimana jika mereka melakukan hal tersebut tanpa suatu keperluan, bahkan malahan mereka barengi dengan berbagai bentuk kemaksiatan, baik dalam ucapan maupun perbuatan?

– Syaikh Muhammad Hamid Al-Faqi dalam ta’liq-nya berkata, “Bersiul dan bertepuk tangan bukanlah shalat yang sesungguhnya, tetapi Allah menamakannya dengan shalat karena mereka melakukan keduanya dengan gerakan-gerakan yang disesuaikan dengan irama siulan dan tepuk tangan, dan mereka meniatkan hal itu untuk mendekatkan diri kepada Allah, maka Allah mencela dan mengolok-olok mereka dan menjelaskan bahwa Dia tidak suka dengan hal tersebut, dan bahwa mereka tidak akan dibalas kecuali dengan siksa yang pedih. Hal yang sama juga terjadi pada zaman sekarang seperti yang dilakukan oleh halaqah-halaqah sufi, mereka melakukan gerakan-gerakan dan tari-tarian yang disesuaikan dengan irama siulan dan tepuk tangan. Hawa nafsu, kebodohan dan syetan mereka dari kelompok jin dan manusia memperdaya mereka bahwa itulah dzikir dan ibadah. Mahasuci Allah dari hal-hal yang demikian!”

Nama Kedelapan: Ruqyatuz-Zina

Ia adalah nama yang sesuai dengan hakikatnya. Tidak ada ruqyah (mantera) bagi zina yang lebih hebat pengaruhnya daripada nyanyian dan lagu. Nama ini dikenal dari Al-Fudhail bin Iyadh, di mana beliau berkata, “Nyanyian adalah ruqyatuz-zina (manteranya zina).”

Yazid bin Al-Walid berkata, “Wahai Bani Umayyah! Waspadalah kalian dari nyanyian, karena ia bisa mengurangi rasa malu, menghancurkan kepribadian, dan ia adalah pengganti khamar, sehingga membuat orang berbuat seperti orang mabuk, jika engkau terpaksa harus melakukannya maka jauhilah wanita, karena nyanyian mendorong kepada zina.”

Muhammad bin Al-Fadhl Al-Azdi berkata, “Suatu kali Al-Huthai’ah bersama seorang puterinya menginap di suatu rumah orang Arab gunung. Ketika malam telah larut, ia mendengar suara nyanyian, maka ia pun berkata kepada pemilik rumah, ‘Hentikan nyanyian itu!‘ Pemilik rumah pun terperanjat, ‘Kenapa engkau membenci nyanyian?‘ Al-Huthai’ah menjawab, ‘Nyanyian adalah pendorong kepada perbuatan keji, dan aku tidak suka jika puteriku mendengarnya. Hentikan nyanyian itu, jika tidak aku akan keluar dari rumahmu sekarang juga!

Jika seorang penyair yang lisannya terkenal di seantero Arab sering mengeluarkan olok-olokan takut dari akibat nyanyian dan takut kalau-kalau mantera itu mengenai puterinya, maka bagaimana pula halnya dengan yang lain?

Tidak syak lagi, setiap orang yang memiliki ghirah agama akan menjauhkan keluarganya dari mendengarkan nyanyian, sebagaimana ia menjauhkan mereka dari sebab-sebab keraguan, dan barangsiapa memberi kelonggaran kepada keluarganya untuk mendengarkan nyanyian, maka dia lebih mengetahui tentang dosa apa yang bakal dipikulnya.

Demi Allah, berapa banyak remaja-remaja puteri polos yang karena nyanyian kemudian menjadi para pelacur? Berapa banyak orang-orang merdeka karena nyanyian lalu menjadi hamba bagi nafsu anak-anak? Berapa banyak orang-orang yang memiliki ghirah agama tinggi, lalu ia mengganti namanya dengan nama jelek dari nama-nama yang telanjang? Berapa banyak orang-orang kaya karena nyanyian menjadi orang-orang jelata? Berapa banyak orang yang dimaklumi kesalahannya, lalu dia bergumul dengan nyanyian, maka ia terkena berbagai macam fitnah? Dan berapa banyak nyanyian menjadikan orang yang mencintainya bersimbah kesedihan dan derita? Berapa banyak nyanyian membuat kerongkongan tersendat, menyebabkan terbuangnya nikmat dan hadirnya siksa? Berapa banyak nyanyian menyembunyikan kepada pelakunya berbagai kepedihan yang menanti, serta kesedihan dan kepiluan yang akan datang?

Nama Kesembilan: Munbitun Nifaq

Ibnu Mas’ud Radhiyallahu Anhu berkata, “Nyanyian bisa menumbuhkan nifaq di hati sebagaimana air bisa menumbuhkan tumbuh-tumbuhan.

Syu’bah berkata, “Al-Hakam berkata dari Hammad dari Ibrahim, ‘Abdullah bin Mas’ud berkata, ‘Nyanyian itu menumbuhkan nifaq di dalam hati‘.” Ucapan ini adalah benar dari Ibnu Mas’ud, dan telah diriwayatkan pula dari Ibnu Mas’ud secara marfu’ (kepada Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam). Tetapi tentang marfu-nya perlu diadakan kajian ulang, bahkan yang benar adalah mauquf (tidak sampai kepada Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam).

Jika ditanyakan, “Bagaimana nyanyian bisa menumbuhkan nifaq dalam had, di antara maksiat-maksiat yang lain?” Jawabnya adalah ini menunjukkan pemahaman para sahabat tentang keadaan dan perbuatan hati, juga pengetahuan mereka tentang penyakit dan obat hati, dan bahwa mereka adalah para dokter hati, bukan orang-orang yang mengobati hati dengan sesuatu yang justru memperparah penyakitnya. Orangorang semacam itu adalah seperti orang yang mengobati sakit dengan racun yang mematikan.

Demikianlah, mereka meracik obat-obatan, dan sebagian dokter menyepakatinya, tetapi yang terjadi orang-orang sakit semakin banyak, timbul penyakit kronis dan menahun yang tidak pernah terjadi di kalangan kaum salaf. Orang tak mau lagi berobat dengan obat yang bermanfaat, yang dibuatkan syariat, sebaliknya mereka berobat dengan sesuatu yang justru memperparah sakitnya, sehingga ujian semakin berat dan menumpuk, rumah-rumah, jalan-jalan dan pasar-pasar penuh dengan orang-orang sakit, dan orang-orang bodoh berusaha mengobati para pasien.

Ketahuilah, nyanyian memiliki kekhususan yang mempengaruhi celupan had dengan nifaq dan menumbuhkannya sebagaimana tumbuhtumbuhan tumbuh dengan air.

Di antara kekhususan nyanyian itu adalah ia melengahkan hati dan memalingkannya dari memahami, merenungkan dan mengamalkan ayat-ayat Al-Qur’an. Al-Qur’an dan nyanyian tak akan pernah bisa bersatu selamanya dalam sebuah hati, keduanya selalu kontradiksi. Sebab AlQur’an melarang dari mengikuti hawa nafsu, memerintahkan ‘iffah, menjauhi syahwat dan sebab-sebab kesesatan serta melarang dari mengikuti langkah-langkah syetan. Sebaliknya nyanyian memerintahkan lawan dari semua itu, menganggapnya baik, membakar nafsu untuk menikmati syahwat kesesatan sehingga menggerakkan hatinya agar melakukan berbagai bentuk keburukan dan mendorongnya berbuat segala yang dirasa manis dan nikmat.

Jika engkau melihat seorang yang memiliki kepribadian luhur dan akal yang cerdas, memiliki kecemerlangan iman, kewibawaan Islam serta manisnya Al-Qur’an, manakala ia mendengarkan nyanyian dan hatinya condong kepadanya maka yang terjadi adalah akalnya menjadi pandir, malunya berkurang, kepribadiannya hilang, dan ia pun ditinggalkan kecerdasannya, kewibawaannya dan syetan menjadi bergembira karenanya. Sehingga imannya mengadu kepada Allah Ta’ala, Al-Qur’an menjadi berat baginya, Al-Qur’an itu pun mengadu, “Wahai Tuhanku! Jangan Engkau satukan antara aku dengan qur’an musuhmu dalam satu had.” Lalu ia menganggap baik apa yang sebelum dia mendengarkan nyanyian ia anggap buruk, ia mengeluarkan rahasia yang dulunya ia sembunyikan, kemudian berubah dari seorang yang berwibawa dan tenang menjadi orang yang banyak bicara dan dusta, banyak tingkah dan senantiasa memainkan jari-jemarinya, ia bergoyang dengan kepalanya, menggerakkan kedua pundaknya dan menghentak-hentak bumi dengan kedua kakinya, mengetuk-ngetuk apa yang di hadapannya dengan tangannya, ia pun meloncat seperti loncatan binatang, dan berkeliling seperti berkelilingnya keledai sekitar penggilingan, ia bertepuk tangan seperti perempuan, terkadang ia sempoyongan, berteriak histeris seperti orang gila atau mengeluh karena diliputi kesedihan yang mendalam.

Sebagian orang-orang yang mengetahui berkata, “Bagi suatu kaum, mendengarkan nyanyian bisa melahirkan nifaq, kedurhakaan, kedustaan, kemungkaran serta toleransi tanpa batas.”

Dan yang paling banyak yaitu melahirkan kecintaan pada gambar-gambar, menganggap baik yang buruk dan keji, dan kecanduan kepadanya menjadikan hati terasa berat terhadap Al-Qur’an, dan benci untuk mendengarkannya. Lalu jika hal ini tidak disebut sebagai nifaq, maka tidak ada lagi hakikat sebenarnya dari nifaq!

Jadi, nyanyian bisa merusak hati, dan jika hati telah rusak maka nifaq merajalela di dalamnya. Pada kesimpulannya, jika orang yang berakal merenungkan keadaan orang-orang yang menyukai nyanyian dan keadaan orang-orang yang ahli dzikir dan Al-Qur’an, niscaya dia mengetahui kecerdasan dan kedalaman pemahaman para sahabat tentang penyakit dan obat hati. Wabillahit-taufiq.


Pertemuan: 22 Rabi’ul Akhir 1446 / 25 Oktober 2024. 

Nama Kesepuluh dan Kesebelas: Ash-Shautul Ahmaq dan Ash-Shautul Fajir (Suara Pandir dan Keji)

Nama ini diberikan oleh seorang yang terpercaya, yang tidak berbicara berdasarkan hawa nafsunya, yakni Muhammad Shallallahu Alaihi wa Sallam. Tirmidzi meriwayatkan dari Ibnu Abi Laila dari Atha’ dari Jabir Radhiyallahu Anhu ia berkata,

“Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam keluar bersama Abdurrahman bin Auf ke suatu kebun, tiba-tiba putera beliau Ibrahim menghembuskan napas yang penghabisan, lalu beliau meletakkannya dipangkuannya, tiba-tiba airmatanya mengalir, sehingga Abdurrahman berkata, Apakah engkau menangis sedang engkau melarang manusia (daripadanya)?’ Beliau menjawab, ‘Sesungguhnya aku tidak melarang menangis, tetapi aku melarang dua suara yang pandir dan keji, yaitu: Suara ketika mendendangkan kesia-siaan, permainan dan seruling syetan, serta suara ketika musibah, mencakar muka, merobek-robek baju dan lonceng. (Sedangkan) ini (melelehnya air mataku) adalah (ungkapan) kasih sayang. Dan siapa yang tidak mengasihi maka dia tidak dikasihi. Duhai seandainya ia bukan perkara yang benar dan janji yang sesungguhnya. Dan bahwa orang-orang yang kemudian di antara kita akan menyusul orang-orang yang terdahulu, tentu kami akan bersedih atas (kematian)-mu lebih dari yang (sekarang) yang kami rasakan. Sungguh kami bersedih atas kematianmu. Mata kami menangis dan hati kami bersedih , tetapi kami tidak mengatakan sesuatu yang membuat murka Tuhan’.”

HR Tirmidzi nomor (1005), dan ia adalah hadits hasan, lihat takhrij dan syahid-nya secara luas dalam ta’liq saya terhadap kitab Arba’i Ajurri, (no. 36).

Lihatlah larangan tegas beliau Shallallahu Alaihi wa Sallam yang menamakan suara nyanyian dengan ash shautul ahmaq (suara pandir), tidak cukup dengan itu saja, beliau juga menyifatinya sebagai suara keji, bahkan masih juga tidak cukup demikian, beliau menamainya dengan seruling syetan.

Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam juga menetapkan dan mengakui penamaan Abu Bakar Ash-Shiddiq terhadap nyanyian sebagai seruling syetan dalam suatu hadits shahih sebagaimana akan kita sebutkan kemudian. Jika dari pernyataan ini tidak kita ambil hukum pengharaman atas nyanyian, niscaya kita tidak bisa mengambil pelarangan terhadapnya selamanya.

Lalu para ulama berbeda pendapat tentang ungkapan dari sabda beliau “la tafal” (jangan kamu kerjakan) dengan ungkapan “nuhitu ‘an kadza” (aku dilarang dari ini); manakah yang lebih kuat pengharamannya? Tetapi yang benar, tak diragukan lagi adalah ungkapan “nuhitu” (aku dilarang) lebih kuat pengharamannya, sebab ungkapan “la tafal” (jangan kamu kerjakan) mengandung makna pelarangan dan lainnya, berbeda halnya dengan suatu perbuatan yang sudah kongkrit dan nyata.

Bagaimana mungkin orang yang mengetahui membolehkan apa yang dilarang oleh Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, bahkan beliau menamainya dengan suara pandir dan keji, juga seruling syetan, lalu beliau menjadikan nyanyian tersebut dengan niyahah (meratapi si mayit) yang beliau laknat pelakunya sebagai dua bersaudara? Bahkan beliau mengeluarkan pelarangan tersebut dalam satu paket, dan beliau menyifati keduanya dengan kepandiran, serta kekejian dengan sifat yang sama.

Nama Kedua Belas: Shautusy Syaithan (Suara Syetan)

Allah befirman kepada syetan dan bala tentaranya,

قَالَ اذْهَبْ فَمَنْ تَبِعَكَ مِنْهُمْ فَاِنَّ جَهَنَّمَ جَزَاۤؤُكُمْ جَزَاۤءً مَّوْفُوْرًا

63. Dia (Allah) berfirman, “Pergilah, tetapi barang siapa di antara mereka yang mengikuti kamu, maka sungguh, neraka Jahanamlah balasanmu semua, sebagai pembalasan yang cukup.

وَاسْتَفْزِزْ مَنِ اسْتَطَعْتَ مِنْهُمْ بِصَوْتِكَ وَاَجْلِبْ عَلَيْهِمْ بِخَيْلِكَ وَرَجِلِكَ وَشَارِكْهُمْ فِى الْاَمْوَالِ وَالْاَوْلَادِ وَعِدْهُمْۗ وَمَا يَعِدُهُمُ الشَّيْطٰنُ اِلَّا غُرُوْرًا

64. Dan perdayakanlah siapa saja di antara mereka yang engkau (Iblis) sanggup dengan suaramu (yang memukau), kerahkanlah pasukanmu terhadap mereka, yang berkuda dan yang berjalan kaki, dan bersekutulah dengan mereka pada harta dan anak-anak lalu beri janjilah kepada mereka.” Padahal setan itu hanya menjanjikan tipuan belaka kepada mereka.

Ibnu Abbas berkata, “Maksud dari firman-Nya, Dan hasunglah siapa yang kamu sanggupi di antara mereka dengan ajakanmu’, adalah segala sesuatu yang mengajak kepada kemaksiatan. Dan semua tahu, nyanyian adalah salah satu faktor paling besar yang mengajak pada kemaksiatan, karena itu suara syetan ditafsirkan dengan nyanyian.”

Mujahid berkata ‘Maksud dari firman-Nya, “Dan hasunglah siapa yang kamu sanggupi di antara mereka dengan ajakanmu’, adalah gelincirkanlah siapa yang kamu sanggupi dari mereka.” Beliau juga berkata, “Sedangkan suara syetan adalah nyanyian dan kebatilan.”

Dan dari Al-Hasan Al-Bashri dikatakan, “Suara syetan maksudnya adalah rebana.”

Nama Ketiga Belas: Mazmurusy Syaithan (Seruling Syetan)

Dalam Shahihain disebutkan, dari Aisyah Radhiyallahu Anha, ia berkata,

“Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam masuk kepadaku, sedang di sisiku ada dua hamba sahaya perempuan yang sedang menyanyikan lagu pembangkit (semangat)’ lalu beliau bertelentang di atas kasur dan membalikkan wajahnya. Kemudian Abu Bakar Radhiyallahu Anhu datang dan ia menghardikku, lalu beliau berkata, Ada seruling syetan di rumah Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam?’ Lantas Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam menemuinya dan berkata, ‘Biarkanlah keduanya!” Dan ketika beliau lengah aku mengerling keduanya sehingga keduanya keluar.”

Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam tidak mengingkari terhadap Abu Bakar Radhiyallahu Anhu tentang penamaannya nyanyian dengan seruling syetan.

Adapun beliau membiarkan keduanya karena mereka adalah dua hamba sahaya wanita yang masih belum baligh dan menyanyikan lagu bangsa Arab, yang pada saat peperangan disebut dengan lagu pembangkit semangat (perjuangan), sedangkan hari itu adalah hari raya.

Lalu, para laskar syetan mengembangkan hal di atas dengan nyanyian wanita cantik yang bukan mahram atau anak kecil tampan dengan suara dan penampilannya yang membangkitkan fitnah. Ia menyanyi dengan nyanyian yang mendorong kepada zina, kekejian dan minumminuman keras, diiringi dengan alat-alat musik yang diharamkan Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam dalam banyak haditsnya, tak ketinggalan pula siulan dan tepuk tangan. Kemungkaran seperti itu sungguh tidak dihalalkan oleh seorang pun yang mengaku beragama, apatah lagi oleh ahli ilmu dan iman.

Lantas, mereka berdalih dengan nyanyian dua anak hamba sahaya wanita yang belum baligh yang menyanyikan lagu-lagu bangsa Arab, baik lagu penyemangat perjuangan atau sejenisnya, pada hari raya, dengan tanpa seruling juga tanpa rebana, juga tanpa siulan dan tepuk tangan. Mereka meninggalkan hukum yang sudah begitu jelas, lalu berdalih dengan sesuatu yang mutasyabih (yang masih samar kedudukan hukumnya), dan memang itulah keadaan para ahli kebatilan.

Benar, kita tidak mengharamkan dan membenci seperti apa yang terdapat di rumah Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam dalam keadaan yang sama’, tetapi kita dan para ahli ilmu serta iman mengharamkan nyanyian yang menyelisihinya. Wabillahit-taufik.

Nama Keempat Belas: As-Sumud (Lengah)

Allah ﷻ berfirman dalam Al-Qur’an Surat An-Najm ayat 59 – 61:

أَفَمِنْ هَٰذَا ٱلْحَدِيثِ تَعْجَبُونَ. وَتَضْحَكُونَ وَلَا تَبْكُونَ. وَأَنتُمْ سَٰمِدُونَ

Maka apakah kamu merasa heran terhadap pemberitaan ini?. Dan kamu mentertawakan dan tidak menangis?. Sedang kamu melengahkan(nya)?

Ikrimah berkata dari Ibnu Abbas Radhiyallahu Anhu, “Dalam bahasa Himyar, as-sumud berarti nyanyian.” Jika dikatakan, “Usmudi lana’ berarti menyanyilah untuk kami.”

Abu Ubaidah berkata, “Al-masmud’ berarti sesuatu yang dinyanyikan.”

Ikrimah berkata, “Jika mendengarkan Al-Qur’an mereka menyanyi, lalu turunlah ayat ini.”

Dan hal tersebut tentu tidak bertentangan dengan apa yang dikatakan dalam ayat yang dimaksud, yakni makna as-sumud adalah melengahkan dan melupakan sesuatu.

Al-Mubarrid berkata, “la berarti meninggalkan sesuatu karena sedih atau gembira, atau ia berpura-pura sibuk dengannya.”

Ibnul Anbari berkata, “As-samid berarti orang yang lengah, berarti pula orang yang lupa, orang yang sombong dan juga berarti orang yang berdiri.

Tentang ayat di atas Ibnu Abbas berkata, “Dan kalian menyombongkan diri.”

Mujahid berkata, “Kalian marah dan congkak.”

Yang lainnya berkata, “Kalian melengahkan diri dan berpaling. Dan nyanyian menghimpun hal-hal tersebut semuanya.”

Demikianlah empat belas nama lain dari nyanyian.

•┈┈┈┈┈┈•❀❁✿❁❀•┈┈┈┈┈•

اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ أَنْ أُشْرِكَ بِكَ وَأَنَا أَعْلَمُ ، وَأَسْتَغْفِرُكَ لِمَا لا أَعْلَمُ

“Ya Allah, aku meminta pada-Mu agar dilindungi dari perbuatan syirik yang kuketahui dan aku memohon ampun pada-Mu dari dosa syirik yang tidak kuketahui”.

وبالله التوفيق وصلى الله على نبينا محمد وعلى آله وصحبه وسلم