بِسْــــــــــــــــــمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ
Kajian Ahad – Doha
Membahas: Mulakhas Fiqhi – Syaikh Shalih bin Fauzan Al Fauzan 𝓱𝓪𝓯𝓲𝔃𝓱𝓪𝓱𝓾𝓵𝓵𝓪𝓱
Bersama Ustadz Hanafi Abu Arify, Lc 𝓱𝓪𝓯𝓲𝔃𝓱𝓪𝓱𝓾𝓵𝓵𝓪𝓱
Doha, 12 Rajab 1446 / 12 Januari 2025
KITAB SHALAT
Kewajiban dan Keutamaan Shalat Berjama’ah – Bagian 3
Hukum Shalat Berjamaah
Shalat berjama’ah hukumnya adalah fardhu ‘ain bagi kaum laki-laki. Baik saat sedang di rumah, maupun saat bepergian. Baik dalam kondisi aman, maupun dalam suasana perang.
Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin Rahimahullah berkata: Yang benar bahwa sholat jamaah hukumnya wajib dan bukan menjadi syarat sahnya sholat, tetapi siapa yang meninggalkannya, dia berdosa kecuali orang yang mempunyai udzur syar’i.
Dalil yang menunjukkan bahwa jamaah bukan merupakan syarat sahnya sholat adalah bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutamakan sholat jamaah atas sholat sendirian. Pengutamaan sholat jamaah atas sholat sendirian menunjukkan bahwa shalat sendirian juga memiliki keutamaan, dan keutamaan itu tidak terjadi kecuali jika sah hukumnya.
Maka, shalat sendirian di rumah adalah sah hukumnya, tetapi dia berdosa karena meninggalkan berjama’ah.
Ibnu Mas’ud mengatakan, “Kami memandang orang yang enggan shalat berjamaah adalah orang munafik yang jelas kemunafikannya. (Ash-Shalah wa Hukmu Tarikiha, hlm. 124).
Ibnu Mas’ud, juga dari Abu Musa Al-Asy’ari dan Ibnu ‘Abbas menyatakan hal yang sama, “Siapa yang mendengar seruan azan lantas ia tidak mendatanginya padahal tidak ada uzur, maka tidak ada shalat untuknya.” (Ash-Shalah wa Hukmu Tarikiha, hlm. 124-125).
Dalilnya adalah al-Qur-an dan Hadits, serta amalan kaum muslimin dari generasi ke generasi, sejak dari dulu hingga kini.
Karena alasan itulah, masjid-masjid dimakmurkan, imam dan muadzin ditugaskan secara tertib dan disyari’atkan adzan dengan suara keras, “Hayya ‘ala shalaah, hayya ‘alal falaah…”
Tujuan dihidupkan masjid adalah untuk dimakmurkan dalam rangka menuntut ilmu, ibadah dan pengamalan sunnah-sunnah Rasulullah ﷺ.
Dalam Surat At-Taubah Ayat 18 Allah ﷻ berfirman:
إِنَّمَا يَعْمُرُ مَسَٰجِدَ ٱللَّهِ مَنْ ءَامَنَ بِٱللَّهِ وَٱلْيَوْمِ ٱلْءَاخِرِ وَأَقَامَ ٱلصَّلَوٰةَ وَءَاتَى ٱلزَّكَوٰةَ وَلَمْ يَخْشَ إِلَّا ٱللَّهَ ۖ فَعَسَىٰٓ أُو۟لَٰٓئِكَ أَن يَكُونُوا۟ مِنَ ٱلْمُهْتَدِينَ
Hanya yang memakmurkan masjid-masjid Allah ialah orang-orang yang beriman kepada Allah dan Hari kemudian, serta tetap mendirikan shalat, menunaikan zakat dan tidak takut (kepada siapapun) selain kepada Allah, maka merekalah orang-orang yang diharapkan termasuk golongan orang-orang yang mendapat petunjuk.
Demikian juga mencontoh Rasulullah ﷺ dalam berdakwah, beliau membangun masjid dahulu sebagai pusat keagamaan.
Allah ﷻ berfirman tentang kondisi ketakutan:
وَإِذَا كُنتَ فِيهِمْ فَأَقَمْتَ لَهُمُ ٱلصَّلَوٰةَ فَلْتَقُمْ طَآئِفَةٌ مِّنْهُم مَّعَكَ…
“Dan apabila kamu berada di tengah-tengah mereka (sahabatmu) lalu kamw hendak mendirikan shalat bersama-sama mereka, Maka hendaklab segolongan dari mereka berdiri (shalat) besertamu…” (QS. An-Nisaa’: 102)
Ayat yang mulia ini menunjukkan ditekankannya kewajiban shalat berjama’ah. Di mana Allah tidak memberikan keringanan kepada kaum muslimin untuk meninggalkan shalat berjama’ah tersebut, meskipun dalam suasana peperangan. Andaikata hukumnya tidak wajib, tentu kondisi perang akan menjadi alasan yang paling kuat untuk menggugurkan shalat berjama’ah. Karena shalat berjama’ah dalam kondisi perang seperti itu, menyebabkan ditinggalkannya sebagian besar hal-hal yang bersifat wajib dalam shalat. Kalau saja bukan karena hukumnya yang sangat wajib, tentu tidak mungkin untuk tujuan berjama’ah, banyak hal yang bersifat wajib dalam shalat itu harus meninggalkan. Sungguh, demi shalat berjama’ah itu, banyak dari hal-hal wajib yang digugurkan dalam shalat khauf.
Dalam hadits Muttafaqun ‘alaih dari Abu Huratah Radhiyallahu’anhu, dari Nabi ﷺ bahwasanya beliau bersabda:
“Shalat terberat bagi orang-orang munafik adalah shalat ‘Isya’ dan shalat Shubuh. Seandainya mereka mengetahui pahala pada kedua shalat rersebut, tentu mereka akan mendatanginya, meskipun harus merangkak. Sungguh, aku telah berniat untuk memerintahkan agar iqamat dikumandangkan. Kemudian aku perintahkan kepada seseorang mengimami jama’ah. Lalu aku pergi ditemani beberapa orang lelaki yang membawa setumpuk kayu bakar, menuju kediaman mereka yang tidak menjalantan shalat berjama’ah, kemudian aku bakar rumah mereka dengan ‘ api.’
Mutafaqun’alaih. Diriwayatkan oleh al-Bukhari(657) [II:184], kitab al-Adzan, bab 34, dan Muslim (no. 1482) [III:156], kitab al-Masajid,bab 42,dan ini adalah lafazh Muslim.
Dasar pendalilan dari hadits rersebut, atas wajibnya shalat berjama’ah, dapat diambil dari dua sisi:
– Pertama, bahwa Nabi ﷺ menggambarkan mereka yang enggan shalat berjama’ah sebagai munafik. Orang yang mengabaikan hal yang disunnahkan, tidak mungkin disebut munafik. Dengan demikian, ini menunjukkan bahwa mereka mengabaikan sesuatu yang wajib.
– Kedua, beliau telah bertekat untuk menghukum mereka, karena mereka meninggalkan shalat berjama’ah. Dan hukuman itu hanya berlaku bagi mereka yang meninggalkan kewajiban. Yang menghalangi beliau untuk menerapkan hukuman tersebut adalah karena di dalam rumah-rumah itu ada kaum wanita, anak-anak gadis dan orang-orang yang tidak wajib mengerjakan shalat berjama’ah.
Udzur Syar’i yang Membolehkan Meninggalkan Shalat Berjama’ah
– Takut dan Sakit
Nabi Shallallahu alaihi wa sallam.
مَنْ سَمِعَ النِّدَاءَ فَلَمْ يَأْتِ فَلاَ صَلاَةَ لَهُ إِلاَّمِنْ عُذْرٍ
“Barangsiapa mendengar seruan adzan tapi tidak memenuhinya, maka tidak ada shalat baginya kecuali karena udzur”. [Hadits Riwayat Ibnu Majah 793, Ad-Daru Quthni 1/421,422, Ibnu Hibban 2064, Al-Hakim 1/246]
Pernah ditanyakan kepada Ibnu Abbas, ‘Apa yang dimaksud dengan udzur tersebut?’ ia menjawab, ‘Rasa takut (tidak aman) dan sakit”.
Sakit yang dimaksud adalah sakit yang memberatkan yang menghalanginya sholat berjama’ah, dikiaskan seperti kesulitan berjalan dibawah guyuran hujan. Seperti disampaikan para ulama Syafi’iyah. Tapi jika sakit ringan, bukan termasuk udzur.
Firman Allah ﷻ :
لا يكلف الله نفساً إلا وسعها
Allah tidak membebani seseorang diluar kemampuannya (Al-Baqarah: 286)
– Dingin dan Hujan
Imam Asusyuti dalam Al-Asbah Wan nadzair menjelaskan Ada sekitar 40 udzur yang boleh meninggalkan shalat berjama’ah ada 40 alasan seperti hujan secara umum, salju yang membasahi pakaian, angin kencang di malam hari meskipun tidak gelap, lumpur yang gelap, gempa, panas yang menyengat dan lainnya.
Dari Nafi’, “Pada suatu malam yang dingin dan berhembus kencang, Ibnu ‘Umar Radhiyallahu anhuma mengumandangkan adzan shalat. Dia mengucapkan, “Hai manusia, shalatlah kalian dalam rumah-rumah kalian!” Setelah itu dia berkata, “Sesungguhnya jika malam dingin dan hujan, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyuruh mu’adzin mengucapkan, “Hai manusia, shalatlah kalian dalam di rumah-rumah kalian!” [Shahih Bukhari Muslim]
Imam Syafii rahimahullah mengingatkan,
وَ أَمَّا الجَمَاعَةُ فَلاَ أُرَخِّصُ فِي تَرْكِهَا إِلَّا مِنْ عُذْرٍ
“Adapun shalat berjamaah, aku tidaklah memberikan keringanan untuk meninggalkannya kecuali jika ada uzur.” (Ash-Shalah wa Hukmu Taarikihaa, hlm. 107).
Bukti bahwa shalat berjamaah itu wajib bahkan sampai pada orang buta sekalipun.
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ – رَضِيَ اللهُ عَنْهُ – ، قَالَ : أَتَى النبيَّ – صلى الله عليه وسلم – رَجُلٌ أعْمَى ، فقَالَ : يا رَسُولَ اللهِ ، لَيسَ لِي قَائِدٌ يَقُودُنِي إلى الْمَسْجِدِ ، فَسَأَلَ رَسُولَ اللهِ – صلى الله عليه وسلم – أنْ يُرَخِّصَ لَهُ فَيُصَلِّي فِي بَيْتِهِ ، فَرَخَّصَ لَهُ ، فَلَّمَا وَلَّى دَعَاهُ ، فَقَالَ لَهُ : (( هَلْ تَسْمَعُ النِّدَاءَ بِالصَّلاَةِ ؟ )) قَالَ : نَعَمْ . قَالَ : (( فَأجِبْ ))
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kedatangan seorang lelaki yang buta. Ia berkata, ‘Wahai Rasulullah, aku tidak memiliki seorang penuntun yang menuntunku ke masjid.’ Maka ia meminta kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk memberinya keringanan sehingga dapat shalat di rumahnya. Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memberinya keringanan tersebut. Namun ketika orang itu berbalik, beliau memanggilnya, lalu berkata kepadanya, ‘Apakah engkau mendengar panggilan shalat?’ Ia menjawab, ‘Ya.’ Beliau bersabda, ‘Maka penuhilah panggilan azan tersebut.’ (HR. Muslim, no. 503)
Nabi ﷺ, memerintahkan pria itu menghadiri shalat berjama’ah di masjid dan menyambut seruan adzan, meskipun harus dengan menanggung segala kesulitan. Ini menunjukkan bahwa shalat berjama’ah adalah wajib.
Batasan yang Wajib Berjama’ah tatkala Mendengar Adzan
Syaikh Ibnu Baz Rahimahullahu menjelaskan diantara syarat wajibnya seorang muslim untuk mendatangi masjid untuk shalat berjamaah adalah mendengar suara adzan tanpa mikropon. Apabila ia tidak mendengar adzan karena jarak rumahnya yang jauh dari masjid maka ia tidak wajib untuk shalat berjamaah di masjid.
•┈┈┈┈┈┈•❀❁✿❁❀•┈┈┈┈┈•
اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ أَنْ أُشْرِكَ بِكَ وَأَنَا أَعْلَمُ ، وَأَسْتَغْفِرُكَ لِمَا لا أَعْلَمُ
“Ya Allah, aku meminta pada-Mu agar dilindungi dari perbuatan syirik yang kuketahui dan aku memohon ampun pada-Mu dari dosa syirik yang tidak kuketahui”.
وبالله التوفيق وصلى الله على نبينا محمد وعلى آله وصحبه وسلم