بِسْــــــــــــــــــمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ

Kajian Kitab At-Tibyan fi Adab Hamalat Al-Quran
Karya Imam An-Nawawi 𝓡𝓪𝓱𝓲𝓶𝓪𝓱𝓾𝓵𝓵𝓪𝓱
Bersama Ustadz Nefri Abu Abdillah, Lc 𝓱𝓪𝓯𝓲𝔃𝓱𝓪𝓱𝓾𝓵𝓵𝓪𝓱
Al-Khor, 25 Jumadil Awwal 1446 / 27 November 2024.


🎞️ Facebook Video Assunnah Qatar


Kajian Ke-17 | Bab 4: Panduan Mengajar dan Belajar Al-Qur’an.

Merintis dengan Standar Minimalis

– Imam An-Nawawi 𝓡𝓪𝓱𝓲𝓶𝓪𝓱𝓾𝓵𝓵𝓪𝓱 berkata:

Pasal: Apabila muridnya penuh, ia dahulukan yang pertama, lalu yang pertama ketika mengajar mereka. Jika yang pertama rela bila dia mendahulukan yang lain, ia pun mendahulukannya.

Patutlah guru menampakkan wajah gembira dan berseri-seri kepada mereka, memeriksa keadaan mereka dan menanyakan siapa yang tidak hadir di antara mereka.

Penjelasan:

Dalam Islam, menampakkan wajah ceria atau tersenyum merupakan ibadah dan sedekah yang dianjurkan, karena memiliki banyak manfaat dan keutamaan:
– Menebarkan kebaikan
– Menghibur hati yang sedih
– Memberikan harapan kepada yang putus asa
– Mengubah perasaan sedih menjadi bahagia
– Membuat penampilan lebih menarik
– Mengurangi stress dan mengubah perasaan
– Menjaga kesehatan
– Menghilangkan sifat takabbur
– Menjalin sifat kasih sayang

Kisah Abdullah bin Ummi Maktum

Abdullah bin Ummi Maktum adalah salah satu sahabat Nabi Muhammad ﷺ yang buta sejak kecil. Dalam Islam, Abdullah bin Ummi Maktum dikenal karena pernah membuat Nabi Muhammad ﷺ bermuka masam:

Saat itu, Nabi Muhammad ﷺ sedang sibuk berdiplomasi dengan para tokoh Quraisy untuk mengajak mereka masuk Islam. Abdullah bin Ummi Maktum datang kepada Nabi Muhammad ﷺ dan meminta untuk diajarkan tentang agama. Nabi Muhammad ﷺ bermuka masam dan memalingkan wajah dari Abdullah bin Ummi Maktum.

Teguran: Sikap Nabi Muhammad ﷺ ini ditegur oleh Allah ﷻ dalam Surat Abasa ayat 1-10. Surat Abasa diturunkan sebagai teguran atas sikap Nabi Muhammad ﷺ.

Reaksi Abdullah bin Ummi Maktum: Abdullah bin Ummi Maktum tidak kecil hati, melainkan merasa bangga karena ditegur oleh tuhannya.

Allah ﷻ berfirman dalam Al-Qur’an Surat Ali Imran ayat 159:

فَبِمَا رَحْمَةٍ مِّنَ ٱللَّهِ لِنتَ لَهُمْ ۖ وَلَوْ كُنتَ فَظًّا غَلِيظَ ٱلْقَلْبِ لَٱنفَضُّوا۟ مِنْ حَوْلِكَ ۖ فَٱعْفُ عَنْهُمْ وَٱسْتَغْفِرْ لَهُمْ وَشَاوِرْهُمْ فِى ٱلْأَمْرِ ۖ فَإِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى ٱللَّهِ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ يُحِبُّ ٱلْمُتَوَكِّلِينَ

Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya.

Surat Ali Imran ayat 159 menjelaskan tentang anjuran untuk bersikap lemah lembut, memaafkan, dan bermusyawarah. Ayat ini juga berisi perintah untuk bertawakkal kepada Allah setelah membulatkan tekad.

Berikut ini adalah beberapa hal yang dijelaskan dalam Surat Ali Imran ayat 159:
– Anjuran untuk bersikap lemah lembut dan sabar seperti yang dimiliki Nabi Muhammad ﷺ
– Anjuran untuk bermusyawarah sebelum mengambil keputusan
– Anjuran untuk memaafkan dan memohonkan ampun kepada peserta musyawarah
– Anjuran untuk bertawakkal kepada Allah setelah musyawarah

Sabda Rasulullah ﷺ :

«تَبَسُّمُكَ فِي وَجْهِ أَخِيكَ لَكَ صَدَقَةٌ»

Senyummu di depan saudaramu adalah sedekah bagimu” (Sahih, HR Tirmidzi no 1956).

Menanyakan siapa yang tidak hadir di antara mereka: Suatu kebahagiaan bila seorang muslim pada saat itu jika ia dapat mengarahkan lisannya untuk melakukan sesuatu yang bermanfaat semisal mengajak manusia lain dalam kebenaran, atau mencegah orang lain dari keburukan. Menanyakan kabar adalah sunnah. Sekalipun ia kelihatannya remeh, tapi sangat penting. Sebab jika engkau menanyakannya, maka engkau membuat ia memuji Allah Azza wa Jalla.

– Imam An-Nawawi 𝓡𝓪𝓱𝓲𝓶𝓪𝓱𝓾𝓵𝓵𝓪𝓱 berkata:

Pasal: Berkata para ulama’ radhiyallahu’anhu: Janganlah guru menolak mengajari seseorang karena tidak mempunyai niat yang benar.

Sufyan dan lainnya berkata: Belajar ilmu oleh mereka adalah niat.

Para ulama berkata: Kami mencari ilmu untuk selain Allah Ta’ala, tetapi ilmu menolak, kecuali untuk Allah.

Artinya ilmu itu akhirnya menjadi untuk Allah Ta’ala.

Penjelasan:

Banyak motivasi dalam menuntut ilmu, dan tidak ada manusia yang sempurna, maka guru jangan menolaknya meskipun niatnya belum lurus. Dengan penjelasan yang baik, InshaAllah niatnya akan menjadi benar.

Orang yang belajar agama hanya untuk mencari dunia, tujuannya belajar bertahun-tahun adalah hanya untuk meraih gelar, juga orang yang memiliki ilmu agama yang jelas dan menyembunyikannya, merupakan perbuatan yang tercela.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

Barangsiapa yang mempelajari suatu ilmu (belajar agama) yang seharusnya diharap adalah wajah Allah, tetapi ia mempelajarinya hanyalah untuk mencari harta benda dunia, maka dia tidak akan mendapatkan wangi surga di hari kiamat.” (HR. Abu Daud).

Hadits yang Patut Menjadi Renungan

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya Allah memiliki malaikat yang berkeliling jalan-jalan mencari ahli dzikir. Jika mereka menemukan satu kaum yang sedang mengingat Allah, mereka berseru, ‘Marilah kalian menuju kebutuhan kalian.’ Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Lalu para malaikat itu mengelilingi mereka dengan sayap-sayapnya sampai langit dunia.”

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melanjutkan, “Kemudian Rabb mereka bertanya kepada mereka,–dan Dia lebih tahu dari mereka–, ‘Apa yang dikatakan hamba-hamba-Ku?’ Mereka berkata, ‘Mereka bertasbih memahasucikan-Mu, bertakbir mengagungkan-Mu, bertahmid memuji-Mu, dan memuliakan-Mu.’ Lalu Allah berkata, ‘Apakah mereka melihat-Ku?’ Mereka menjawab, ‘Tidak, demi Allah, mereka tidak melihat-Mu.’ Allah berkata, ‘Bagaimana seandainya mereka melihat-Ku?’ Mereka menjawab, ‘Seandainya mereka melihat-Mu, pasti mereka sangat bersungguh-sungguh beribadah kepada-Mu, sangat bersungguh-sungguh memuliakan-Mu, dan lebih banyak bertasbih kepada-Mu.’”

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melanjutkan, “Allah berkata, ‘Lalu apa yang mereka minta kepada-Ku?’ Mereka menjawab, ‘Mereka meminta surga kepada-Mu.’ Allah berkata, ‘Apakah mereka melihat surga?’ Mereka menjawab, “Tidak, demi Allah, wahai Rabb, mereka tidak melihatnya.’ Allah berkata, ‘Bagaimana seandainya mereka melihatnya?’ Mereka menjawab, ‘Seandainya mereka melihatnya, mereka pasti sangat bersungguh-sungguh untuk mendapatkannya, sangat bersungguh-sungguh untuk memintanya, dan sangat menginginkannya.’”

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Allah berkata, ‘Lalu dari apa mereka meminta perlindungan?’ Mereka menjawab, ‘Dari api neraka.’ Allah berkata, ‘Apakah mereka melihatnya?’ Mereka menjawab, ‘Tidak, demi Allah, mereka tidak melihatnya.’ Allah berkata, ‘Bagaimana seandainya mereka melihatnya?’ Mereka menjawab, ‘Seandainya mereka melihatnya, pasti mereka sangat bersungguh-sungguh lari darinya dan sangat takut kepadanya.’”

Beliau melanjutkan, “Allah berkata, ‘Maka Aku persaksikan kepada kalian sesungguhnya Aku telah mengampuni mereka.’ Salah satu malaikat pun berkata, ‘Namun, di antara mereka ada si fulan dan ia bukan bagian dari mereka. Ia datang hanya karena ada keperluan.’ Allah menjawab, ‘Mereka semua adalah teman duduk, dan tidak ada sengsara orang yang duduk bermajelis bersama dengan mereka.’” (Muttafaqun ‘alaih) (HR. Bukhari, no. 6408 dan Muslim, no. 2689).

Standar minimal dan Standar Ideal

Tidak ada seorang pun yang sempurna di dunia, maka jika kita mampu memahami keterbatasan manusia, maka kita tidak akan masuk ke dalam paham yang menyimpang.

Kesalahan kaum Khawarij karena memandang setiap manusia harus sempurna, maka aliran Khawarij menganggap pelaku dosa besar sebagai kafir atau musyrik. Paham ini menimbulakan reaksi dari kaum Murji’ah yang berpendapat sebaliknya. Menurut mereka, yang menentukan iman atau tidaknya seseorang adalah imannya dan bukan perbuatannya. Maka kedua-duanya gagal dalam memahami hakikat standar keimanan dan perbuatan.

Penghuni surga bukanlah orang yang tidak pernah berbuat dosa, tetapi pendosa yang bertaubat dan kembali kepada Allah ﷻ. Itulah Ibadurrahman…

Menjadi hamba pilihan adalah dambaan setiap orang. Disamping beriman dan berilmu, ia juga memiliki akhlak yang baik. Bila kita memahami dan merenungi firman Allah subhanahu wa Ta’ala, sifat-sifat ‘Ibadurrahman ini telah tercantum di dalam Al Qur’an surat Al Furqan: 63 – 74 yang sering kita baca.

Maka setiap amalan meskipun diawali dengan standar minimal, hendaknya kita dorong agar keburukan dan dosa dirubah menjadi kebaikan dan pahala atas rahmat Allah ﷻ.

•┈┈┈┈┈┈•❀❁✿❁❀•┈┈┈┈┈•

اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ أَنْ أُشْرِكَ بِكَ وَأَنَا أَعْلَمُ ، وَأَسْتَغْفِرُكَ لِمَا لا أَعْلَمُ

“Ya Allah, aku meminta pada-Mu agar dilindungi dari perbuatan syirik yang kuketahui dan aku memohon ampun pada-Mu dari dosa syirik yang tidak kuketahui”.

وبالله التوفيق وصلى الله على نبينا محمد وعلى آله وصحبه وسلم