بِسْــــــــــــــــــمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ

Daurah Qatar Ke-24
Bersama: Ustadz Ammi Nur Baits ST. BA. 𝓱𝓪𝓯𝓲𝔃𝓱𝓪𝓱𝓾𝓵𝓵𝓪𝓱
🕌 Masjid Jami’ Dukhan
🗓️ Jum’at, 12 Rabi’ul Akhir 1445 / 27 Oktober 2023



Menyikapi Kegagalan Usaha sesama Muslim

Memahami prinsip muamalah kesadaran yang kita bangun adalah semua akan dihisab disisi Allâh ﷻ. Dari Abu Barzah Al-Aslami, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لاَ تَزُولُ قَدَمَا عَبْدٍ يَوْمَ الْقِيَامَةِ حَتَّى يُسْأَلَ عَنْ عُمْرِهِ فِيمَا أَفْنَاهُ وَعَنْ عِلْمِهِ فِيمَا فَعَلَ وَعَنْ مَالِهِ مِنْ أَيْنَ اكْتَسَبَهُ وَفِيمَا أَنْفَقَهُ وَعَنْ جِسْمِهِ فِيمَا أَبْلاَهُ

“Kedua kaki seorang hamba tidaklah beranjak pada hari kiamat hingga ia ditanya mengenai: (1) umurnya di manakah ia habiskan, (2) ilmunya di manakah ia amalkan, (3) hartanya bagaimana ia peroleh dan (4) di mana ia infakkan dan (5) mengenai tubuhnya di manakah usangnya.” (HR. Tirmidzi no. 2417, dari Abi Barzah Al Aslami. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih)

Dengan modal inilah, seseorang akan berhati-hati jika bermuamalah dengan harta, jangan sampai ini menjadi musibah di sisi Allâh ﷻ.

Hal inilah yang diperhatikan sahabat Nabi ﷺ. Umar bin Khathab Radhiyallahu’anhu berkata, kami dahulu meninggalkan sembilan dari sepuluh peluang bisnis yang halal karena takut terjerumus kepada sesuatu yang haram.

Maka, jangan mencari yang khilaf dan abu-abu… Karena khilaf bukan dalil tetapi butuh dalil. Maka jangan mencari syubhat.

Rasulullah Muhammad Shallallahu alahi wasallam pernah berpesan tentang akan datang zaman ketika manusia tak peduli halal atau haram.

عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ رَضِىَ اللهُ عَنْهُ عَنِ النَّبِىِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ يَأْتِى عَلَى النَّاسِ زَمَانٌ، لاَ يُبَالِى الْمَرْءُ مَا أَخَذَ مِنْهُ أَمِنَ الْحَلاَلِ أَمْ مِنَ الْحَرَامِ

Dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu dari Nabi ﷺ bersabda : Akan datang suatu zaman pada manusia yang ketika itu seseorang tidak peduli lagi tentang apa yang didapatnya apakah dari barang halal ataukah haram. (H. R. Bukhari no . 2059)

Sungguh telah banyak nikmat yang telah Allah anugerahkan. Dan semua kelak akan ditanya, benarkah kita telah memanfaatkan nikmat tersebut dengan benar.

Allah Ta’ala berfirman,

ثُمَّ لَتُسْأَلُنَّ يَوْمَئِذٍ عَنِ النَّعِيمِ

“Kemudian kamu pasti akan ditanyai pada hari itu tentang kenikmatan (yang kamu megah-megahkan di dunia itu)” (QS. At Takatsur: 8).

Setiap bermuamalah, hendaknya dihindari gesekan. Karena muamalah adalah mubah tetapi berimbas kepada sesuatu yang haram (gesekan sesama muslim). Maka hindari kemungkinan sengketa… Caranya:

1. Tanamkan niat memberikan yang terbaik kepada sesama muslim.

Karena ciri mukmin adalah memberikan yang terbaik kepada sesama muslim. Dari ‘Abdullah bin ‘Umar radhiallahu ‘anhuma, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Yang disebut dengan muslim sejati adalah orang yang selamat orang muslim lainnya dari lisan dan tangannya. Dan orang yang berhijrah adalah orang yang berhijrah dari perkara yang dilarang oleh Allah .” (HR. Bukhari no. 10 dan Muslim no. 40).

Dari Abu Hamzah Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, pembantu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Salah seorang di antara kalian tidaklah beriman (dengan iman sempurna) sampai ia mencintai saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri.” [HR. Bukhari, no. 13 dan Muslim, no. 45]

Dari hadits di atas diambil benang merah, jika kita tidak ingin ditipu orang lain, jangan menipu, kalau tidak ingin didzolimi orang lain, jangan mendzolimi dan seterusnya…

Demikian juga jika kita ingin dipercaya orang lain, percayalah kepada mereka, jika kita ingin dihormati orang lain, maka hormatilah mereka, dan seterusnya…

Kisah Pembeli dengan Harga yang Lebih Mahal

Umumnya, seorang pembeli akan menawar harga agar mendapatkan nilai yang murah. Bahkan tidak jarang pembeli melakukan perkara yang tidak baik misalnya mencela barang agar harganya turun. Kisah berikut ini sangat menakjubkan lantaran ada seorang pembeli yang menawar lebih tinggi.

Berikut ini kisah yang penuh hikmah dari sahabat Jabir bin Abdillah, seorang sahabat yang mulia.

Suatu hari ia perintahkan kepada budaknya untuk membeli kuda seharga 300 dirham. Lalu sang budak mencarinya di pasar dan berhasil mendapatkan penjual dan kudanya yang cocok dengan harga itu. Kemudian mereka datang menghadap sahabat Jarir. Sang penjual sudah setuju kudanya dibeli dengan harga 300 dirham.

Ketika ditunjukkan pemilik kuda dan kudanya itu, kemudian Jarir memperhatikan bahwa sebenarnya kuda itu sangat bagus. Beliau kemudian mengatakan, “Wahai saudaraku, kudamu lebih tinggi harganya dari 300 dirham, apakah kau mau aku beli dengan harga 400 dirham.” Penjualnya mengatakan, “Terserah engkau wahai Abu Abdillah (julukan Jarir).” Jarir berpikir ulang dan menimbang, kemudian berkata lagi, “kudamu lebih baik dari 400 dirham, bagaimana kalau aku beli dengan harga 500 dirham.” Pemilik kuda berkata lagi, “Terserah engkau wahai Abu Abdillah.”

Demikian seterusnya, Jarir menambah seratus-seratus dirham, hingga mencapai 800 dirham. Setelah selesai transaksi, ada orang keheranan dengan sikap Jarir tersebut menanyakan mengapa Jarir berbuat demikian.

Akhirnya Jarir mengatakan, “Sesungguhnya aku telah berbaiat kepada Rasulullah shollallaahu ‘alaihi wasallam untuk memberikan nasehat kepada setiap muslim”. (HR. Thabrani).

Sebagai seorang muslim tentu saja hendaknya menjadikan orang-orang sholeh terdahulu sebagai panutan dalam menjalani kehidupan termasuk diantaranya para sahabat Nabi, kisah teladan islami penuh hikmah dari para sahabat Nabi hendaknya kita jadikan ibrah atau pelajaran, selain juga kisah yang penuh hikmah.

Kisah di atas adalah Nasihat yang maknanya iradatul khair lil ghair, menginginkan kebaikan untuk orang lain.

2. Kunci keberkahan adalah Kejujuran dan Keterbukaan.

Dari sahabat Hakim bin Hizam, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

الْبَيِّعَانِ بِالْخِيَارِ مَا لَمْ يَتَفَرَّقَا – أَوْ قَالَ حَتَّى يَتَفَرَّقَا – فَإِنْ صَدَقَا وَبَيَّنَا بُورِكَ لَهُمَا فِى بَيْعِهِمَا ، وَإِنْ كَتَمَا وَكَذَبَا مُحِقَتْ بَرَكَةُ بَيْعِهِمَا

“Kedua orang penjual dan pembeli masing-masing memiliki hak pilih (khiyar) selama keduanya belum berpisah. Bila keduanya berlaku jujur dan saling terus terang, maka keduanya akan memperoleh keberkahan dalam transaksi tersebut. Sebaliknya, bila mereka berlaku dusta dan saling menutup-nutupi, niscaya akan hilanglah keberkahan bagi mereka pada transaksi itu” (Muttafaqun ‘alaih. HR. Bukhari no. 2079 dan Muslim no. 1532).

Khiyar adalah antara meneruskan atau membatalkan suatu akad.

Sikap terbuka dan jujur tentu menjadi modal utama dalam bertransaksi.

3. Prinsip: Menang bersama bukan menang sendiri.

Dari Abu Hurairah, Nabi Muhammad ﷺ bersabda: “Sesungguhnya Allah berfirman: “Aku adalah pihak ketiga dari dua orang yang bersekutu, selama salah seorang di antaranya tidak mengkhianati temannya. Jika dia mengkhianati temannya, maka Aku keluar dari keduanya,” (HR Abu Dawud & Daaruquthni – sebagian ulama menilai dhaif).

💡 Pelajaran dari Syaikh al-Walid Saifun Nashr– hafidzahullah:

Ada seorang ulama yang menawarkan suatu perlombaan kepada anak-anak dari salah satu suku badui Afrika. Ia meletakkan sekeranjang buah-buahan lezat di bawah pohon, lalu berkata kepada anak-anak tersebut: “Siapa yang pertama kali mencapai pohon ini akan mendapatkan keranjang yang penuh buah ini!”

Lalu begitu ia memberi isyarat dimulainya lomba, ia kaget bukan kepalang… ternyata semua anak-anak bergandengan tangan dan berjalan sama-sama hingga sampai ke pohon, lalu mereka berbagi buah-buahan yang lezat tadi…!! Saat ditanya mengapa mereka berbuat demikian, padahal masing-masing punya kesempatan untuk menguasai sekeranjang buah tadi sendirian ?!!

Mereka menjawab dengan keheranan: Ubuntu ! Mana mungkin salah seorang dari kami bahagia sedangkan yang lain menderita ?! Ubuntu menurut tradisi Suku Xhosa artinya, “Aku jadi karena kami jadi” Inilah suku badui yang paham betul rahasia kebahagiaan, yang telah tersingkir dari orang-orang yang menganggap diri mereka diatas yang lain… inilah rahasia yang tak lagi dijumpai dalam hampir seluruh bangsa sombong yang menganggap dirinya ‘berperadaban maju’…!! Kebahagiaan adalah rahasia yang hanya dikenal oleh jiwa-jiwa toleran nan tawadhu’… yang selalu mengatakan ‘kami!’ dan bukan ‘saya!’

4. Selalu bangun kepercayaan dengan orang lain.

Bentuknya bisa:

1. Jangan pernah tidak jujur dengan orang lain.

Utsman bercerita, Saya penjual kurma di pasar. Lalu aku sampaikan ke pembeli: ‘Timbanganku untuk kurma ini sekian’ Lalu aku serahkan takaran kurma sesuai takaran penjual sebelumnya. Dan saya mengambil keuntungan. Namun saya merasa tidak nyaman. Lalu aku tanyakan hal ini kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam. Beliau bersabda, ‘Kalau kamu sudah menyebut angka takaran, maka takarlah’. (HR. Ibnu Majah dan dishahihkan al-Albani)

Maksudnya, takar ulang kurma itu agar sesuai dengan apa yang kamu sebutkan kepada konsumenmu.

2. Ketika bertransaksi pastikan meyakinkan, karena menenangkan.

Contoh, kita membeli barang 147 membayar dengan uang 500 real, kembaliannya biasanya tidak dihitung dan masuk kantong. Yang benar dan sesuai sunnah adalah menghitung bersama-sama.

Imam al-Bukhari dalam Adabul Mufrad menyebutkan judul Bab, Bab tentang orang yang menghitung jumlah kiriman yang dibawa pembantunya, karena khawatir ada sangkaan yang tidak diinginkan.

Kemudianbeliau membawakan riwayat dari Salman al-Farisi radhiyallahu ‘anhu, Saya menghitung jumlah tulang kering (al-Urraq) yang dikirim oleh pembantuku, karena khawatir muncul sangkaan yang tidak diinginkan. (Al Adab al-Mufrad, no. 168 dan dishahihkan al-Albani).

Al-Urraq adalah tulang yang sudah dibersihkan dagingnya, dan masih tersisa sedikit daging yang menempel. Di masa silam, ini laku dan dijual bijian. Salman memiliki pembantu yang bertugas sebagai kurir antar-jemput tulang ini. Ketika beliau mengirim dan menerima, selalu dihitung terlebih dahulu. Alasan Salman adalah karena itu lebih menenangkan bagi hati.

💡 Meyakinkan tujuannya untuk menghindari beban pikiran dan timbulnya su’udzon. Maka bicara detail masalah akad sangat penting untuk menghindari potensi sengketa.

Contoh lain, ibu A dan B transaksi 200 real. Suami menjadi kurir transaksi. Dan jumlah uang dan barang tidak dihitung dahulu, ini kesalahan! Jika tidak dihitung, maka akan kepikiran jika timbul masalah.

Inilah budaya yang hilang di kalangan kaum muslimin.

Rasulullah ﷺ melarang menjual makanan sampai dipenuhi dua takaran untuk menghindari potensi syubhat.

Ketika terjadi Sengketa

Prinsip yang perlu dikedepankan:

1. Bereskan urusan dunia di dunia

Karena ada sebagian orang yang sifatnya suka merajuk. Suka bilang ‘Nanti kita selesaikan di akhirat!’. Padahal hanya urusan sepele.

Setiap sengketa yang pernah kita lakukan, jika belum selesai di dunia akan diulang di akhirat.

Allâh ﷻ berfirman dalam Al-Qur’an Surat Az-Zumar ayat 30-31:

اِنَّكَ مَيِّتٌ وَّاِنَّهُمْ مَّيِّتُوْنَ ۖ

30. Sesungguhnya engkau (Muhammad) akan mati dan mereka akan mati (pula).

ثُمَّ اِنَّكُمْ يَوْمَ الْقِيٰمَةِ عِنْدَ رَبِّكُمْ تَخْتَصِمُوْنَ

31. Kemudian sesungguhnya kamu pada hari Kiamat akan berbantah-bantahan di hadapan Tuhanmu.

Ketika menafsirkan ayat ini, Ibnu Katsir mengatakan, “Ayat ini, meskipun konteksnya tentang orang mukmin dan orang kafir serta mengingatkan tentang perdebatan antara mereka di hari kiamat, namunjuga mencakup semua pelaku sengketa ketika di dunia. Perdebatan antara mereka ini akan diulangi lagi di akhirat.” (Tafsir Ibnu Katsir, 7/96)

Ibnu Katsir membawakan sebuah riwayat, yang disebutkan oleh Ibnu Abi Hatim, bahwa ketika ayat ini turun, sahabat Az-Zubair bin Awam bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah sengketa yang terjadi di antara kita akan diulangi lagi (di akhirat) setelah terjadi di dunia ini, selain beban dosa yang kita tanggung?”

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Betul! Sungguh, perselisihan kalian akan diulangi, sampai semua hak dikembalikan kepada pemiliknya.”

Setelah itu, Zubair berkomentar, “Jika demikian, berarti peristiwanya sangat mengerikan ….” (HR. Ahmad dan Turmudzi; dan dinilai sahih oleh Al-Albani; lihat juga Tafsir Ibnu Katsir, 7/96)

Karena itu, wajar jika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebut salah satu orang yang jelek di sisi Allah adalah orang yang hobi berkonflik dan paling alot ketika bersengketa. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Orang yang paling Allah benci adalah orang yang sulit ketika bersengketa.” (HR. Muslim)

Sengketa itu melelahkan, maka akan capek kalau selalu sengketa. Itulah yang dikatakan Zubair bin Awwam.

2. Ukhuwah lebih Berharga

Ukhuwah lebih berharga dari pada harus rebutan dunia. Karena persaudaraan itu anugrah yang tidak bisa terbayarkan dengan dunia seisinya. Allâh ﷻ berfirman dalam Al-Qur’an Surat Al-Anfal ayat 63:

وَاَلَّفَ بَيْنَ قُلُوْبِهِمْۗ لَوْاَنْفَقْتَ مَا فِى الْاَرْضِ جَمِيْعًا مَّآ اَلَّفْتَ بَيْنَ قُلُوْبِهِمْ وَلٰكِنَّ اللّٰهَ اَلَّفَ بَيْنَهُمْۗ اِنَّهٗ عَزِيْزٌ حَكِيْمٌ

dan Dia (Allah) yang mempersatukan hati mereka (orang yang beriman). Walaupun kamu menginfakkan semua (kekayaan) yang berada di bumi, niscaya kamu tidak dapat mempersatukan hati mereka, tetapi Allah telah mempersatukan hati mereka. Sungguh, Dia Mahaperkasa, Mahabijaksana.

Tafsir Ibnu Katsir, terdapat kisah murid Ibnu Abbas Mujahid:

Abu Amr Al-Auza’i mengatakan, telah menceritakan kepadaku Abdah ibnu Abu Lubabah, dari Mujahid yang ia jumpai, lalu Mujahid memegang tangannya dan berkata, “Apabila dua orang yang saling menyukai karena Allah bersua, lalu salah seorang di antaranya memegang tangan sahabatnya dan tersenyum kepadanya, maka berguguranlah semua dosanya sebagaimana daun-daun kering ber¬guguran.”

Abdah berkata, “Sesungguhnya hal itu mudah.” Ibnu Abbas menjawab, “Jangan kamu katakan demikian, karena sesungguhnya Allah telah berfirman: ‘Walaupun kamu membelanjakan semua (kekayaan) yang berada di bumi, niscaya kamu tidak dapat mempersatukan hati mereka -(Al-Anfal: 63).”

Abdah mengatakan bahwa setelah itu dia mengakui Ibnu Abbas lebih mendalam ilmunya daripada dirinya.

Dikisahkan ada anak yatim, yang dihalaman rumahnya terdapat 1 pohon kurma milik tetangga. Karena ada suatu keperluan, maka si anak yatim meminta keikhlasan si pemilik pohon kurma untuk memberikan 1 pohon tersebut kepadanya.

Anak yatim itu berkata, “kau punya banyak pohon kurma, kehilangan 1 pohon tidak akan merugikanmu sama sekali. Jadi saya mohon keikhlasannya”. Tapi si tetangga menolak.

Anak ini mengadu kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam mengenai permasalahannya tersebut. Kemudian rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam berkata kepada tetangga anak tersebut, “berikan kepadanya, engkau akan mendapatkan 1 pohon kurma di surga”. Sayangnya, tetangga anak yatim tersebut tetap tidak mau memberikannya.

Dengan cepat kemudian Abu dahdah radhiallahu ‘anhu berkata kepada tetangga si anak yatim, “Engkau tahu kebun kurma milikku?”

“Apakah ada seseorang di Madinah yang tidak mengetahui kebun tersebut?”,jawab si tetangga anak yatim (hal ini menunjukkan bahwa kebun milik abu dahdah populer di kalangan warga Madinah).

“Aku beli 1 pohon kurmamu dengan kebunku tersebut”, kata abu dahdah dengan mantap.

Satu-satunya harta milik abu dahdah ketika itu, kebun kurma yang berisi 500-600 pohon, akhirnya dijual dengan 1 pohon kurma milik tetangga anak yatim tersebut.

Kemudian abu dahdah pun pergi menemui rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam dan berkata, “Wahai rasulullah, aku telah membeli pohon kurma tersebut, aku bayar dengan kebunku. Sekarang aku berikan pohon kurma itu kepadamu”.

“Alangkah banyaknya tandan kurma yang harum baunya milik abu dahdah di syurga kelak”, Jawab rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam kepada abu dahdah.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam mengucapkan kalimat tersebut tidak hanya 1 atau 2 kali. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam mengucapkan kalimat tersebut berulang-ulang hingga abu dahdah pun pergi untuk menemui keluarganya.

“wahai ummu dahdah, keluarlah engkau dari situ, aku telah menjualnya dengan 1 pohon di syurga”, kata abu dahdah kepada istrinya.

Ummu dahdah (istri abu dahdah) pun menjawab, “Alangkah beruntungnya jual beli (perniagaan) yang telah kau lakukan itu”.

“Betapa banyak pohon kurma yang merunduk karena lebat buahnya, akar-akarnya dari mutiara dan Yaqut, bagi Abu Dahdah di surga.”(Tafsir Ibnu Abi Hatim, 12/286 dan Tafsir Ibnu Katsir, 8/14)

Kisah Sa’ad dan Utang

Dikisahkan: Qais bin Sa’d bin ‘Ubadah jatuh sakit. Teman-temannya lambat (atau tidak ada yang menjenguknya). Qais bin Sa’d menanyakan mereka, dan dijawab: “Sesungguhnya mereka malu (menjenguk)mu karena masih memiliki utang padamu.” Qais bin Sa’d berkata: “Allah akan menghinakan harta yang menghalangi saudara-saudaranya untuk berkunjung.” Kemudian Qais memerintahkan seseorang untuk mengumumkan bahwa barangsiapa yang berutang pada Qais, maka ia telah membebaskannya. Lalu di sore harinya, ambang pintu (rumah)nya rusak karena terlalu banyaknya orang yang (datang) menjenguknya. (Imam Abu al-Qasim Abdul Karim, al-Risâlah al-Qusyairiyyah)

Gagal bisnis bukan segala-galanya

Abu Said al-Khudri bercerita, Ada seorang sahabat yang mangalami musibah karena buah yang dia beli mengalami kerusakan, sehingga utangnya banyak. Lalu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam perintahkan, “Beri sedekah untuk orang ini.”

Para sahabat-pun bersedekah untuk beliau, namun belum mencukupi untuk menutupi utangnya. Akhirnya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam meminta para pemilik utang, Silahkan ambil apa yang kalian jumpai. Dan kalian tidak memiliki hak selain itu. (HR. Muslim 1556)

Utang Mu’adz bin Jabal Radhiyallahu’anhu

Ka’ab bin Malik bercerita, Bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam memboikot Mu’adz, tidak boleh mentransaksikan hartanya. Lalu beliau menjual harta Mu’adz untuk dipakai melunasi utangnya. (HR. ad-Daruquthni)

Kisah Ibnu Sirin Rahimahullah

Muhammad bin Sirin adalah seorang ulama besar yang berprofesi sebagai seorang saudagarakan tetapi pada akhir hayatnya, beliau ditimpa pailit dan terlilit hutang sebesar 30 ribu dirham, sehingga beliau dipenjara. Beliau baru terbebas dari penjara setelah salah seorang putranya yang bernama Abdullah melunasi piutangnya. Lantas apa pengakuan beliau dengan musibah yang menimpanya, apakah beliau serta merta menyalahkan orang lain, berdalih dengan keadaan atau situasi yang tidak menguntungkan? Ternyata beliau sungguh berjiwa besar dan merupakan figur pengusaha sejati.

Beliau berkata, “Sesungguhnya aku tahu penyebab aku dililit piutang yaitu ucapanku kepada seseorang 40 tahun silam, “wahai orang pailit”. Tatkala kisah pengalaman ini sampai ketelinga Abu Sulaiman Ad Darani ia berkata :” Dosa-dosa mereka itu begitu sedikit, sehingga mereka mengetahui dari mana mereka ditimpa petaka, sedangkan kita dosa begitu banyak, maka tidak heran bila kita tidak tahu dosa manakah yang menyebabkan kita ditimpa musibah.” (Hilyatul Auliya‘ oleh Abu Nu’aim Al Ashbahani 2/271).

Jika ada semangat untuk memperbaiki maka Allâh ﷻ akan membantu.

Allâh ﷻ berfirman dalam Al-Qur’an:

اِنْ يُّرِيْدَآ اِصْلَاحًا يُّوَفِّقِ اللّٰهُ بَيْنَهُمَا ۗ اِنَّ اللّٰهَ كَانَ عَلِيْمًا خَبِيْرًا

Jika keduanya (juru damai itu) bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami-istri itu. Sungguh, Allah Mahateliti, Maha Mengenal. ( QS An-Nisa ayat 35).

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Siapa saja yang meminjam harta orang lain dengan niat mengembalikannya, niscaya Allah akan melunasi utangnya. Siapa yang meminjam harta orang lain untuk dia habiskan maka Allah akan memusnahkannya.” (HR. Bukhari & Ibn Majah).

Dalam riwayat lain, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Tidaklah ada seorang muslim yang berutang dan Allah mengetahui bahwa ia berniat melunasi utangnya, melainkan Allah akan melunasinya di dunia.” (HR. Ibnu Majah)


اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ أَنْ أُشْرِكَ بِكَ وَأَنَا أَعْلَمُ ، وَأَسْتَغْفِرُكَ لِمَا لا أَعْلَمُ

“Ya Allah, aku meminta pada-Mu agar dilindungi dari perbuatan syirik yang kuketahui dan aku memohon ampun pada-Mu dari dosa syirik yang tidak kuketahui”.

وبالله التوفيق وصلى الله على نبينا محمد وعلى آله وصحبه وسلم