بِسْــــــــــــــــــمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ

Daurah Al-Khor Sabtu Pagi – Masjid At-Tauhid
Syarah Riyadhus Shalihin Bab 49-4
Ustadz Abu Hazim Syamsuril Wa’di, SH, M.Pd, PhD. 𝓱𝓪𝓯𝓲𝔃𝓱𝓪𝓱𝓾𝓵𝓵𝓪𝓱.
Al-khor, 11 Rabi’ul Awal 1446 / 14 September 2024


Video kajian Via Assunnah Qatar Facebook 


49 – باب إجراء أحكام الناس عَلَى الظاهر وسرائرهم إِلَى الله تَعَالَى

Bab 49. Menjalankan Hukum-hukum Terhadap Manusia Menurut Lahirnya, Sedang Keadaan Hati Mereka Terserah Allah Ta’ala

Hadits ke-5:

394 – وعن جندب بن عبد الله – رضي الله عنه: أنَّ رَسُول الله – صلى الله عليه وسلم – بَعَثَ بَعْثًا مِنَ المُسْلِمينَ إِلَى قَومٍ مِنَ المُشرِكينَ، وَأنَّهُمْ التَقَوْا، فَكَانَ رَجُلٌ مِنَ المُشْركينَ إِذَا شَاءَ أَنْ يَقْصِدَ إِلَى رَجُل مِنَ المُسْلِمينَ قَصَدَ لَهُ فَقَتَلَهُ، وَأنَّ رَجُلًا مِنَ المُسْلِمِينَ قَصَدَ غَفْلَتَهُ. وَكُنَّا نتحَدَّثُ أنَّهُ أُسَامَةُ بْنُ زَيْدٍ، فَلَمَّا رَفَعَ عَلَيهِ السَّيفَ، قَالَ: لاَ إلهَ إلاَّ اللهُ، فَقَتَلهُ، فَجَاءَ البَشيرُ إِلَى رَسُول الله – صلى الله عليه وسلم – فَسَألَهُ وَأخبَرَهُ، حَتَّى أخْبَرَهُ خَبَرَ الرَّجُلِ كَيْفَ صَنَعَ، فَدَعَاهُ فَسَألَهُ، فَقَالَ: «لِمَ قَتَلْتَهُ؟» فَقَالَ: يَا رَسُول اللهِ، أوْجَعَ في المُسلِمِينَ، وَقَتَلَ فُلانًا وفلانًا، وسمى لَهُ نَفرًا، وَإنِّي حَمَلْتُ عَلَيهِ، فَلَمَّا رَأى السَّيفَ، قَالَ: لاَ إلهَ إلاَّ اللهُ. قَالَ رَسُول الله – صلى الله عليه وسلم: «أَقَتَلْتَهُ؟» قَالَ: نَعَمْ. قَالَ: «فَكَيفَ تَصْنَعُ بلاَ إلهَ إلاَّ اللهُ، إِذَا جَاءَتْ يَوْمَ القِيَامَةِ؟» قَالَ: يَا رَسُول الله، اسْتَغْفِرْ لِي. قَالَ: «وكَيفَ تَصْنَعُ بِلا إلهَ إلاَّ الله إِذَا جَاءتْ يَوْمَ القِيَامَةِ؟» فَجَعَلَ لاَ يَزِيدُ عَلَى أَنْ يَقُولَ: «كَيفَ تَصْنَعُ بِلاَ إلهَ إلاَّ الله إِذَا جَاءَتْ يَوْمَ القِيَامَةِ». رواه مسلم.

Dari Jundub bin Abdullah 𝓡𝓪𝓭𝓱𝓲𝔂𝓪𝓵𝓵𝓪𝓱𝓾’𝓪𝓷𝓱𝓾 bahwasanya Rasulullah ﷺ mengirimkan sepasukan dari kaum Muslimin kepada suatu golongan dari kaum musyrikin dan bahwa mereka itu telah bertemu -berhadap-hadapan. Kemudian ada seorang lelaki dari kaum musyrikin menghendaki menuju kepada seorang dari kaum Muslimin lalu ditujulah tempatnya lalu dibunuhnya. Lalu ada seorang dari kaum Muslimin menuju orang itu di waktu lengahnya. Kita semua memperbincangkan bahwa orang itu adalah Usamah bin Zaid. Setelah orang Islam itu mengangkat pedangnya, tiba-tiba orang musyrik tadi mengucapkan: “La ilaha illallah.” Tetapi ia terus dibunuh olehnya. Selanjutnya datanglah seorang pembawa berita gembira kepada Rasulullah ﷺ -memberitahukan kemenangan-, beliau ﷺ bertanya kepadanya -perihal jalannya peperangan- dan orang itu memberitahukannya, sehingga akhirnya orang itu memberitahukan pula perihal orang yang membunuh di atas, apa-apa yang dilakukan olehnya. Orang itu dipanggil oleh beliau ﷺ dan menanyakan padanya, lalu sabdanya: “Mengapa engkau membunuh orang itu?” Orang tadi menjawab: “Ya Rasulullah, orang itu telah banyak menyakiti di kalangan kaum Muslimin dan telah membunuh si Fulan dan si Fulan.” Orang itu menyebutkan nama beberapa orang yang dibunuhnya. Ia melanjutkan: “Saya menyerangnya, tetapi setelah melihat pedang, ia mengucapkan: “La ilaha illallah.” Rasulullah ﷺ bertanya: “Apakah ia sampai kau bunuh?” Ia menjawab: “Ya.” Kemudian beliau bersabda: “Bagaimana yang hendak kau perbuat dengan La ilaha illallah, jikalau ia telah tiba pada hari kiamat?” Orang itu berkata: “Ya Rasulullah, mohonkanlah pengampunan -kepada Allah- untukku.” Rasulullah ﷺ bersabda: “Bagaimana yang hendak kau perbuat dengan La ilaha illallah, jikalau ia telah tiba pada hari kiamat?” Beliau ﷺ tidak menambahkan sabdanya lebih dari kata-kata: “Bagaimanakah yang hendak kau perbuat dengan La ilaha illallah, jikalau ia telah tiba pada hari kiamat?” (Riwayat Muslim)

Penjelasan Hadits:

Sebagian ahli hadits menilai bahwa hadits ini sama dengan hadits sebelumnya (no. 393 – Pertemuan yang lalu), karena tidak masuk akal Usamah bin Zaid melakukan hal yang sama sementara dia sangat menyesal, dan sebagian lain berpendapat haditsnya berbeda dengan menyebut bertempat di Yaman, dengan pemimpin pasukannya Abdullah bin Ghaits.

Dalam hadits ini kita menjumpai, apa yang dilakukan seseorang, sama halnya hadits sebelumnya, hukum yang berlaku hanya pada urusan yang nampak. Urusan hati adalah urusan Allah ﷻ.

Maka, sungguh berat urusan nyawa kaum muslimin hanya karena praduga urusan hati. Bagaimana kaum muslimin saling membunuh hanya urusan kecil… Bagaimanakah yang hendak mereka perbuat dengan alasan yang syar’i, jika mereka telah tiba pada hari kiamat?

Telah berlalu pembahasan, tanda-tanda hari kiamat adalah banyaknya pembunuhan, hingga pelaku pembunuhan dan yang dibunuh tidak tahu apa alasan pembunuhan tersebut.

Diriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu’anhu, dia berkata, “Rasulullah ﷺ bersabda, “Demi Dzat yang jiwaku ini berada dalam genggaman-Nya, dunia ini tidak akan musnah sehingga orang-orang saling bunuh satu sama lain tanpa mengetahui apa penyebabnya. Demikian juga orang yang dibunuh, dia tidak tahu apa penyebabnya sehingga dia harus dibunuh.” Maka, ditanyakanlah kepada beliau, “Bagaimana mungkin hal itu bisa terjadi?” Beliau menjawab, “Itulah al-harj, yang membunuh dan yang dibunuh sama-sama di neraka.” (HR Muslim 2908)

Oleh karena itu kita serahkan urusan hati kepada Allah ﷻ, dalam menilai seseorang hanya urusan yang nampak.

Faedah-faedah Hadits:

1. Bolehnya memberitahu kabar gembira kepada pemimpin atas kemenangan kaum muslimin dan menceritakan apa yang terjadi.
2. Bolehnya mencela ketika terjadi sesuatu yang bertentangan dengan syariat.

Hadits ke-6:

395 – وعن عبد الله بن عتبة بن مسعود، قَالَ: سَمِعْتُ عمر بن الخطاب – رضي الله عنه – يقولُ: إنَّ نَاسًا كَانُوا يُؤْخَذُونَ بِالوَحْيِ في عَهْدِ رَسُول الله – صلى الله عليه وسلم – وَإنَّ الوَحْيَ قَدِ انْقَطَعَ، وإِنَّمَا نَأخُذُكُمُ الآن بما ظَهَرَ لَنَا مِنْ أعمَالِكُمْ، فَمَنْ أظْهَرَ لَنَا خَيْرًا أَمَّنَّاهُ وَقَرَّبْنَاهُ، وَلَيْسَ لَنَا مِنْ سَرِيرَتِهِ شَيْءٌ، اللهُ يُحَاسِبُهُ فِي سَرِيرَتِهِ، وَمَنْ أَظْهَرَ لَنَا سُوءًا لَمْ نَأْمَنْهُ وَلَمْ نُصَدِّقْهُ وَإنْ قَالَ: إنَّ سَرِيرَتَهُ حَسَنَةٌ. رواه البخاري.

Dari Abdullah bin Utbah bin Mas’ud, katanya: “Saya mendengar Umar bin Alkhaththab Radhiyallahu’anhu bersabda: “Sesungguhnya sekalian manusia itu dahulu diterapi dengan hukum sesuai dengan adanya wahyu yakni di zaman Rasulullah ﷺ, dan sesungguhnya wahyu itu kini telah terputus -tidak datang lagi-, sebab Nabi ﷺ telah wafat. Maka sesungguhnya kami -Umar radhiyallahu’anhu- menuntut engkau semua dengan dasar apa yang tampak pada kami yaitu mengenai perbuatan-perbuatan yang engkau semua lakukan. Jadi barangsiapa yang menampakkan perbuatan baik pada kami, maka kami berikan keamanan dan kami dekatkan kedudukannya pada kami, sedang urusan apa yang dalam hatinya tidak sedikitpun kami persoalkan, karena Allah akan menghisabnya dalam hal isi hatinya itu. Tetapi barangsiapa yang menampakkan kelakuan buruk pada kami, maka kami tidak akan memberikan keamanan padanya dan tidak akan percaya ucapannya, sekalipun ia mengatakan bahwasanya niat hatinya adalah baik.” (Riwayat Bukhari)

Penjelasan Hadits:

Pada masa Rasulullah ﷺ masih hidup, setiap ada suatu masalah, maka segalanya diputuskan Rasulullah ﷺ baik melalui fatwa beliau ﷺ ataupun turunnya wahyu. Seperti halnya kisah taubatnya Ka’ab Ibnu Malik 𝓡𝓪𝓱𝓲𝓶𝓪𝓱𝓾𝓵𝓵𝓪𝓱. Kisah taubat Ka’ab bin Malik atas kesalahan beliau tidak ikut dalam perang Tabuk memberikan banyak pelajaran berharga bagi kaum muslimin. Bagi yang membaca dengan seksama, bercampur aduk perasaan yang timbul: keharuan, perasaan iba, dan juga turut berbahagia di akhirnya. Teladan mulia dari bimbingan Nabi dan para Sahabatnya.

Sementara setalah Rasulullah ﷺ wafat, maka dalam menghukumi seseorang dilihat dari amalan-amalan dzahirnya. Inilah yang dilakukan Umar bin Khathab Radhiyallahu’anhu dalam hadits ini.

Ada seseorang yang tidak nampak kebaikan pada dirinya seperti tidak shalat jama’ah dan tidak shalat Jum’at. Maka, bagaimana mungkin seseorang akan melihat kebaikan pada dirinya, hendaknya dia melihat kepada dirinya sendiri. Sebagian mengatakan akhlaknya baik dan tidak menyakiti orang lain, kita katakan, bagaimana dikatakan baik, sementara syari’at Allah ﷻ dia langgar?

Demikian juga tatkala seorang alim, berjalan ke tempat-tempat maksiat, maka jangan salahkan seseorang menuduh hal yang tidak baik kecuali diri sendiri, karena orang melihat dari sisi lahiriah. Dan boleh bagi seorang tertuduh untuk menjelaskannya.

Diriwayatkan dari Ali ibnu Al-Husain—Semoga Allah meridhainya—ia berkata, “Suatu ketika Nabi—Shallallâhu `alaihi wa Sallam—berada di mesjid bersama istri-istri beliau. Kemudian mereka semua beranjak pergi. Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wa Sallam—kemudian bersabda kepada Shafiyyah bintu Huyaiy, ‘Jangan terburu-buru supaya aku bisa keluar bersamamu’—tempat tinggal Shafiyyah adalah di rumah Usâmah. Lalu Nabi—Shallallâhu `alaihi wa Sallam—keluar bersamanya, dan ketika itu ada dua orang dari kaum Anshâr berpapasan dengan beliau. Mereka memandang kepada Nabi—Shallallâhu `alaihi wa Sallam—lalu mempercepat langkah. Nabi—Shallallâhu `alaihi wa Sallam—bersabda kepada mereka, ‘Kemarilah kalian, sesungguhnya ia (perempuan yang bersamaku) adalah Shafiyyah bintu Huyaiy’. Mereka menjawab, ‘Subhânallah, wahai Rasulullah (kami tidak mungkin berburuk sangka)’. Beliau bersabda, ‘Sesungguhnya Syetan mengalir dalam diri manusia melalui aliran darah, dan aku khawatir ia membisikkan sesuatu ke dalam hati kalian.” [HR. Al-Bukhâri dan Muslim]

Wajib bagi setiap muslim untuk menjaga dirinya dari tempat-tempat yang berpotensi mendatangkan tuduhan buruk serta lokasi-lokasi yang meragukan. Jika ia khawatir akan ada prasangka buruk dari orang lain, hendaklah ia memberi penjelasan yang dapat menghilangkan prasangka itu. Terutama bagi para ulama dan orang-orang shalih yang menjadi teladan banyak orang. Mereka tidak boleh melakukan perbuatan yang dapat menimbulkan prasangka buruk terhadap diri mereka, walaupun mereka memiliki alasan untuk itu. Karena hal itu dapat menjadi sebab orang-orang tidak mau mengambil manfaat dari ilmu mereka.

Faedah-faedah Hadits:

1. Pemberitahuan Umar bin Khathab Radhiyallahu’anhu pada apa yang terjadi pada masa Nabi ﷺ dan masa sesudahnya.
2. Menjalankan hukum Islam sesuai dengan apa yang dzahir pada seseorang, dan menilai pada apa yang nampak pada perbuatan mereka.
3. Tidaklah niat yang baik itu akan mempengaruhi perbuatan maksiat dan tidaklah hukum haad dan qishash.
4. Sepatutnya bagi pemimpin untuk adil dalam kepemimpinannya dan menetapkan hukum Allah ﷻ bagi semua golongan dengan batasan yang sama.
5. Diterima udzur dari orang yang diketahui keadaannya dan diyakini ucapannya.
6. Penghisaban itu pada hari kiamat dan disebutkan pada apa yang disembunyikan di hatinya apakah baik atau buruk dan dibalas sesuai dengan keadaannya.

•┈┈┈┈┈┈•❀❁✿❁❀•┈┈┈┈┈•

اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ أَنْ أُشْرِكَ بِكَ وَأَنَا أَعْلَمُ ، وَأَسْتَغْفِرُكَ لِمَا لا أَعْلَمُ

“Ya Allah, aku meminta pada-Mu agar dilindungi dari perbuatan syirik yang kuketahui dan aku memohon ampun pada-Mu dari dosa syirik yang tidak kuketahui”.

وبالله التوفيق وصلى الله على نبينا محمد وعلى آله وصحبه وسلم