بِسْــــــــــــــــــمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ

Kajian Kitab At-Tibyan fi Adab Hamalat Al-Quran
Karya Imam An-Nawawi 𝓡𝓪𝓱𝓲𝓶𝓪𝓱𝓾𝓵𝓵𝓪𝓱
Bersama Ustadz Nefri Abu Abdillah, Lc 𝓱𝓪𝓯𝓲𝔃𝓱𝓪𝓱𝓾𝓵𝓵𝓪𝓱
Al-Khor, 8 Rabi’ul Awal 1446/ 11 September 2024.



Kajian 7 | Bab 3: Menghormati Ahlul Qur’an dan Larangan Menyakiti Mereka.

Hadits Ke-3:

Diriwayatkan dari Aisyah radhiyallohu ‘anha , katanya:

أمرنا رسول الله صلى الله عليه وسلم: أن ننزل الناس منازلهم (رواه أبو داود في سننه والبزار في مسنده قال الحاكم أبو عبد الله في علوم الحديث هو حديث صحيح)

“Rasulullah Shallallohu ‘alaihi wa sallam menyuruh kami menempatkan orang-orang sesuai dengan kedudukan mereka.”

(Riwayat Abu Dawud dalam Sunnannya dan Al-Bazzar dalam Musnadnya. Abu Abdillah Al-Hakim berkata dalam Ulumul hadits, derajat hadits sahih).

Sunan Abu Dawud no. 4842, Bab “Menempatkan Orang Sesuai Dengan Kedudukannya”. Diriwayatkan pula secara ‘mu’allaq’ oleh Imam Muslim dalam Muqaddimah kitab Sahihnya.  Dalam sanadnya ada ‘inqitha’’ (terputus) dan dinilai dha’if oleh al-Albani dalam Tahqiq Riyadhus Shalihin.

Dalam hadits di atas Rasulullah ﷺ menempatkan para sahabat sesuai dengan ilmu dan kondisi setiap individu. Akan tetapi dalam hal dosa dan pelanggaran, beliau bersikap tegas. Seperti tatkala Sahabat Usamah bin Zaid 𝓡𝓪𝓭𝓱𝓲𝔂𝓪𝓵𝓵𝓪𝓱𝓾’𝓪𝓷𝓱𝓾 yang membunuh ssseorang yang telah mengucapkan kalimat tauhid dengan tuduhan hanya berpura-pura, sementara Rasulullah ﷺ menegaskan bahwa urusan hati adalah urusan Allah ﷻ sementara manusia hanya melihat dari sisi lahiriah saja. (Lihat hadits Muttafaqun alaihi).

Bahkan kepada orang kafir. Rasulullah ﷺ menyebutkan posisi sesuai dengan kedudukannya, seperti saat mengirim surat kepada para pembesar Romawi.

Demikian juga terhadap isteri-isteri beliau, selalu menempatkan mereka di atas akhlak yang baik.

Hadits ke-4:

Diriwayatkan dari Jabir Bin Abdillah Radhiyallohu ‘anhu,

أن النبي: كان يجمع بين الرجلين من قتلى أحد ثم يقول أيهما أكثر أخذا للقرآن فإن أشير إلى أحدهما قدمه في اللحد )رواه البخاري(

“Nabi Shallallohu ‘alaihi wa sallam mengumpulkan antara dua orang korban perang Uhud, kemudian berkata, ‘Siapa yang lebih banyak hafal Al-Qur’an di antara keduanya? Begitu diberi tahu salah satunya, beliau mendahulukannya masuk ke liang lahat.”

– Perawi: Beliau adalah Jabir bin Abdullah bin ‘Amr bin Harom al-Anshori, salah seorang sahabat yang banyak meriwayatkan hadist, mengikuti 18 peperangan bersama Nabi. Beliau meninggal di Madinah pada tahun 74 H di usia 94 tahun.

Shahih Bukhari no. 1343, Bab Menshalati Jenazah Syahid; no. 1345 Bab Mengubur Dua atau Tiga Orang dalam Satu Liang; Sunan Abu Dawud no. 3138, Bab Memandikan Jenazah Syahid; Sunan At-Tirmidzi no. 1036, Bab Jenazah Syahid Tidak Perlu Dishalati.

Hadits ke-5:

Diriwayatkan dari Abu Hurairah radhiyallohu ‘anhu :

عن النبي ص: إن الله عز وجل قال من آذى لي وليا فقد آذنته بالحرب (رواه البخاري)

“Diriwayatkan dari Nabi Shallallohu ‘alaihi wa sallam: Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla berfirman, ’Siapa yang yang mengganggu wali-Ku, maka Aku telah menyatakan perang kepadanya.” (Shahih Bukhari no. 6502, Bab Tawadhu’.)

Dalam kitab al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah, al-Wali (الْوَلْيِ) dari sudut bahasa maksudnya “dekat atau hampir” (الْقُرْبُ). Maka Wali Allah ﷻ adalah orang yang dekat dan dicintai Allah ﷻ. Dalam Al-Qur’an Firman Allah ﷻ :

أَلَا إِنَّ أَوْلِيَاءَ اللَّـهِ لَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ ﴿٦٢﴾ الَّذِينَ آمَنُوا وَكَانُوا يَتَّقُونَ

“Ingatlah wali-wali Allah itu, tidak ada rasa takut pada mereka dan mereka tidak bersedih hati. (Yaitu) orang-orang yang beriman dan senantiasa bertakwa.” (Surah Yunus: 62-63).

Ibnu Katsir mentafsirkan ayat di atas menyatakan, Allah ﷻ memberitahu bahawa wali Allah mereka adalah golongan yang beriman dan bertakwa. Dan bagi setiap orang yang bertakwa termasuk di dalam golongan yang digelari sebagai wali Allah, dan mereka tidak akan berdukacita yaitu dengan ganjaran pada hari akhirat dan mereka juga tidak bersedih dengan keadaan di dunia. (Lihat Tafsir Ibnu Kathir, 4/242).

Dalam ayat di atas, Allah ﷻ menyebut para Walinya adalah orang yang beriman dan bertakwa. Dan Allah ﷻ menggunakan fi’il Mudhari’ يَتَّقُونَ yang maknanya takwa yang terus menerus. Maka derajat kewalian akan diraih dengan semakin istiqomah dalam beriman dan bertakwa.

  • Bukan syarat seorang wali memiliki karomah, karena para sahabat sebagai orang-orang yang paling bertakwa, ada yang tidak memiliki karomah, hanya sebagian saja.
  • Wali Allah dilihat dari amalan-amalan yang benar dan kedekatanya dengan Allah ﷻ.

Maka Imam Syafi’i 𝓡𝓪𝓱𝓲𝓶𝓪𝓱𝓾𝓵𝓵𝓪𝓱 berkata Jika engkau melihat seseorang berjalan di atas air dan bisa terbang di udara, maka janganlah kehebatan itu menjadikan engkau lengah dan terheran-heran kepadanya, sampai engkau mengetahui secara persis atas apa yang di kerjakannya itu berlandaskan pada Al-Qur’an dan As-Sunnah.

Hadits ke-6:

Diriwayatkan dalam Shahihain (Bukhari dan Muslim) dari Nabi Shallallohu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau bersabda:

من صلى الصبح فهو في ذمة الله تعالى فلا يطلبنكم الله بشئ من ذمته

“Barangsiapa shalat Subuh, maka dia berada dalam jaminan Allah Ta’ala. Oleh sebab itu jangan sampai kamu dituntut oleh Allah Ta’ala atas sesuatu dari jaminan-Nya.”

Shahih Muslim no. 657 Bab Keutamaan Shalat ‘Isya dan Shubuh Berjamaah; Musnad Ahmad no. 4/312-313; Sunan At-Tirmidzi no. 222 Bab Keutamaan Shalat ‘Isya dan Shubuh Berjamaah dari haditsnya Jundub bin Abdillah. Bukhari tidak meriwayatkan hadits ini, bukan seperti yang dinyatakan oleh penulis.

  • Hadits ini merupakan penjelasan dari hadits sebelumnya yaitu salah satu ciri wali Allah ﷻ adalah menjaga shalat subuh yang merupakan wujud dari ketakwaan.

Allah Ta’ala berfirman,

حَافِظُوا عَلَى الصَّلَوَاتِ وَالصَّلَاةِ الْوُسْطَى وَقُومُوا لِلَّهِ قَانِتِينَ

“Peliharalah semua shalat(mu), dan (peliharalah) shalat wusthaa. Berdirilah untuk Allah (dalam shalatmu) dengan khusyu’.” (QS. Al-Baqarah: 238)

Allah memerintahkan untuk menjaga shalat pada waktunya. Allah memerintahkan untuk menjaga shalat wustha. Yang dimaksud menjaga shalat wustha adalah menjaga shalat Ashar, menurut pendapat yang paling kuat. Dan sebagian berpendapat sebagai shalat subuh, seperti pendapat Imam Asy-Syafi’i.

Jarīr bin Abdullah -raḍiyallāhu ‘anhu- meriwayatkan: Kami pernah bersama Nabi ﷺ, lalu beliau memandang bulan di malam purnama sembari bersabda, “Sesungguhnya kalian akan melihat Tuhan kalian sebagaimana kalian memandang bulan purnama ini; kalian tidak akan saling berdesakan dalam memandang-Nya. Jika kalian mampu untuk tidak ketinggalan salat sebelum terbit matahari dan sebelum terbenamnya, maka lakukanlah!” Kemudian beliau membaca (ayat): ‘Bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu sebelum matahari terbit dan sebelum terbenam’.”   [Sahih] – [Muttafaq ‘alaihi] – [Sahih Ibnu Hibban – 554]

Hadits ini juga menjadi dalil keutamaan shalat subuh dan ashar. Dengan perintah: Bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu sebelum matahari terbit dan sebelum terbenam.

Dari Jundab bin ‘Abdillah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ صَلَّى الصُّبْحَ فَهُوَ فِى ذِمَّةِ اللَّهِ فَلاَ يَطْلُبَنَّكُمُ اللَّهُ مِنْ ذِمَّتِهِ بِشَىْءٍ فَيُدْرِكَهُ فَيَكُبَّهُ فِى نَارِ جَهَنَّمَ

“Barangsiapa yang shalat subuh, maka ia berada dalam jaminan Allah. Oleh karena itu, janganlah menyakiti orang yang shalat Shubuh tanpa jalan yang benar.  Jika tidak, Allah akan menyiksanya dengan menelungkupkannya di atas wajahnya dalam neraka jahannam.” (HR. Muslim no. 657)

Hajjaj bin Yusuf ketika yang terkenal kejam, selalu menanyakan orang yang dihukum dengan menanyakan apakah shalat subuh berjamaah, jika jawabannya iya, maka dia akan dilepaskan karena memahami hadits ini.

Sedangkan jamak dari orang alim adalah ulama. Allah Ta’ala berfirman:

( إِنَّمَا يَخْشَى اللَّهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاءُ إِنَّ اللَّهَ عَزِيزٌ غَفُورٌ )

“Sesungguhnya di antara hamba-hamba Allah yang takut kepada-Nya hanyalah para Ulama, sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Pengampun.” (QS Surat Fathir: 28)

Atas dasar inilah Syekhul Islam berkomentar tentang ayat: “Hal ini menunjukkan bahwa setiap yang takut kepada Allah maka dialah orang yang Alim, dan ini adalah haq. Dan bukan berarti setiap yang alim akan takut kepada Allah” (Dari kitab “Majmu Al Fatawa”,  7/539. Lihat “Tafsir Al Baidhawi”, 4/418, Fathul Qadir, 4/494).

Al-Hafidz Abul Qasim Ibnu ‘Asakir Rahimahullah  -ulama besar adab 6 Hijriyah- menyatakan,

أن لحوم العلماء مسمومة

“Bahwasanya daging para ulama itu beracun.” (Tabyin Kadzbil Muftari: 29)

Beliau menyebutkan kebiasaan yang sering terjadi dan sudah maklum bahwa orang-orang yang merendahkan (menghinakan) ulama maka Allah akan bongkar boroknya. Dan sesungguhnya siapa yang gemar menfitnah ulama dengan lisannya maka Allah menghukumnya sebelum kematiannya dengan kematian hati.

Kemudian pengarang kitab tarikh “Tarikh Dimzyaq” itu menyitir firman Allah Subahanahu wa Ta’ala,

فَلْيَحْذَرِ الَّذِينَ يُخَالِفُونَ عَنْ أَمْرِهِ أَنْ تُصِيبَهُمْ فِتْنَةٌ أَوْ يُصِيبَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ

“Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah Rasul takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa azab yang pedih.” (QS. Al-Nuur: 63).

Tetapi ulama yang dimaksud dalam perkataan beliau adalah ulama Rabbani, bukan ulama Suu’… Ulama yang berpikiran sekuler dan lainnya.

Suatu ketika Umar bin Khattab berjalan dan bertemu dengan seorang pendeta di tempat pertapaannya. Umar berhenti dan pendeta itu dipanggil oleh orang tua yang bersamanya.

Lalu, dikenalkan kepada pendeta itu. “Tuan ini adalah Amirul Mukminin.”

Si pendeta datang menghampiri Umar. Tubuhnya kurus, kering, dan lemah.

Tampak dari perawakannya dia sudah meninggalkan kehidupan duniawi. Umar tak tega melihatnya.

Dia menangis melihat kondisi pendeta itu. Orang yang bersama Umar lalu bertanya kepada Umar mengapa menangisi pendeta yang bukan beragama Islam itu.

Umar bin Khattab berkata, “Ya, saya teringat dengan firman Allah, ‘Bekerja keras lagi kepayahan, memasuki api yang sangat panas (neraka) / QS: Al Ghasyiyah ayat 3-4).

  • ┈┈┈┈┈┈•❀❁✿❁❀•┈┈┈┈┈•

اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ أَنْ أُشْرِكَ بِكَ وَأَنَا أَعْلَمُ ، وَأَسْتَغْفِرُكَ لِمَا لا أَعْلَمُ

 

“Ya Allah, aku meminta pada-Mu agar dilindungi dari perbuatan syirik yang kuketahui dan aku memohon ampun pada-Mu dari dosa syirik yang tidak kuketahui”.

 

وبالله التوفيق وصلى الله على نبينا محمد وعلى آله وصحبه وسلم