بِسْــــــــــــــــــمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ

𝕂𝕒𝕛𝕚𝕒𝕟 ℝ𝕒𝕓𝕦 𝕄𝕒𝕝𝕒𝕞
Penceramah: Abu Abdillah Nefri bin ‘Ali bin Muhammad Sa’id, Lc. 𝓱𝓪𝓯𝓲𝔃𝓱𝓪𝓱𝓾𝓵𝓵𝓪𝓱
Edisi: Rabu, 19 Rajab 1445 / 31 Januari 2023M


🎞️ Lihat di Facebook


Mengenal Bid’ah dan Kaidahnya

Setiap hal ada pasangannya, ada kebenaran ada kebatilan, ada malam ada siang, demikian juga ada sunnah, ada lawannya yaitu bid’ah.

Untuk mengetahui tentang bid’ah, tentu harus mempelajarinya. Lihatlah seorang sahabat yang mulia yaitu Hudzaifah Ibnul Yaman, begitu semangat mengenali kejelekan, di samping ia juga paham amalan baik. Hudzaifah berkata, “Manusia dahulu biasa bertanya pada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengenai kebaikan. Aku sendiri sering bertanya mengenai kejelekan supaya aku tidak terjerumus di dalamnya.” ( HR. Bukhari no. 3411 dan Muslim no. 1847)

Bid’ah bertingkat-tingkat, dan Hukumannya juga bertingkat. Sebagainya masih disebut Ahlussunnah, meskipun terjerumus ke dlm perbuatan bid’ah.

Kata bid’ah salah satu istilah dalam syariat Islam. Kalimat ini tentunya tidak asing ditengah kaum muslimin secara umum, para penggiat dakwah yang memiliki perhatian lebih terhadap ilmu dan agama, para pencinta kebenaran yang masih memiliki ghirah kecemburuan untuk menjaga kemurnian Islam, juga tidak asing bagi kalangan yang sensitif terhadap dengan istilah ini, untuk membela ritual adat yang disematkan atas nama agama. Sejatinya Bid’ah adalah pandemi dan musuh kita bersama.

Bahasan bid’ah dalam Islam yang dibahas oleh para ulama dalam kitab-kitab mereka, adalah bid’ah yang dibenci oleh Allâh ﷻ dan Rasul-Nya. Dimana keyakinan dan perbuatan bid’ah sangat buruk pengaruhnya dalam bermasyarakat, membuat kehidupan beragama simpang siur, jumud tak karuan. Bahkan pengaruh buruknya tidak hanya bagi pelaku secara khusus, namun efek negatifnya membuat perpecahan dalam kerukunan Umat Islam. Oleh karenanya, sangat perlu kiranya bahasan ini kita sering ulang, dengan tujuan untuk membersihkan ‘Aqidah dan amalan kita dari Bid’ah.

Hal ini sebagaimana yang pernah disinggung oleh buya HAMKA rahimahullah, didalam pidatonya pada acara penganugerahan gelar Doktor Honoris Causa dari Universitas AlAzhar Mesir 21 Januari 1958, beliau rahimahullah berkata: “Daripada gambaran yang saya kemukakan selayang pandang itu, dapatlah kita memahamkan bagaimana sangat perlunya pembersihan ‘Aqidah daripada syirik dan bid’ah dan ajaran tasawuf yang salah, yang telah menimpa negeri kami sejak beberapa zaman, dan perlunya kepada kemerdekaan pikiran, dan memperbaharui paham tentang ajaran Islam sejati”. (Sejarah Perkembangan Pemurnian Ajaran Islam di Indonesia, penerbit Tintamas Djakarta, hlm. 6-7).

Sebagian orang ada yang terlalu luas dalam memahami konsep bid’ah, sehingga perkara yang tidak bid’ah di katakan bid’ah. Seperti mikrophon bid’ah, pesawat, mobil, sendok juga bid’ah, “bahkan wajah ente juga bid’ah”, karena tidak ada di zaman Nabi”.

Disaat yang sama juga ada yang teramat sempit dalam memahami konsep bid’ah, sehingga aqidah dan ritual agama yang jelas-jelas tidak ada sandaran dalam Islam, justru bertentangan dengan syariat, malahan diyakini sebagai kebenaran. (Lihat Muqaddimah kitab “Qowa’id Ma’rifat Al-Bid’ah 1/5 karya Syaikh Muhammad Husain Al-Jiizani. Dengan sedikit penyesuaian).

Dibela dengan cara apapun. Bahkan mereka tidak jarang membuli yang anti bid’ah dengan label “Wahhabi, merasa benar sendiri, suka menyalahkan amalan umat, kavling surga di tangan anda” dan sebagainya.

Faidah: Bagi sebagian kalangan yang masih memahami bid’ah dengan konsep yang luas, sampai memasukkan perkara dunia, seperti pesawat, mikrophon sebagai bid’ah. Maka perlu diketahui konsep sederhana, bahwa untuk mengenal sesuatu itu bid’ah atau tidak, dilihat dari fungsi dan tujuannya. Jika suatu ibadah bisa terlaksana tanpa sesuatu itu maka dia bukanlah bid’ah.

Contoh: Azan adalah Ibadah, microfon adalah alat untuk penyambung suara, tanpa microfon azan pun masih bisa terlaksana, maka microfon hanya sebagai sarana, dan tidak bisa dihukumi bid’ah.

A. PENGERTIAN BID’AH

Bid’ah secara bahasa (etimologi umum) memiliki dua makna:

Makna Pertama : Bid’ah yaitu, “Sesuatu yang baru tanpa ada contoh sebelumnya”.

Hal ini sebagaimana firman Allâh ﷻ: “Allah Pencipta langit dan bumi”. (QS. Al-Baqarah: 117)

Allâh ﷻ menyebut diri-Nya sebagai Badi’, Pencipta langit dan bumi, karena penciptaan keduanya tanpa ada contoh sebelumnya.

Demikian juga firman Allâh ﷻ “Katakanlah: “Aku bukanlah rasul yang pertama di antara rasul-rasul”. (QS. AlAhqaf: 9)

Nabi Muhammad ﷺ bukan rasul pertama, karena telah berlalu sebelum beliau para Nabi dan Rasul r yang sangat banyak.

Makna kedua: Bid’ah yaitu, “Keletihan dan Kesuraman” (Qowa’id Ma’rifat Al-Bid’ah 1/5, Syaikh Muhammad Husain Al-Jiizani).

Seakan dari defenisi ini bahwa perbuatan bid’ah itu melelahkan pelakunya, membuat lesu, mencapekkan badan dan berakhir kemuraman.

Pengertian secara umum maka, akan banyak masuk didalamnya sesuatu atau perkara yang ada disekeliling kita. Baik itu hal-hal yang terpuji dalam urusan dan fasilitas dunia, seperti mobil, pesawat, handphone, live streaming dan lainnya, ataupun yang tercela, seperti rokok, ganja, dan seterusnya.

Oleh sebab itu, jika kita temukan ucapan para salaf tentang istilah Bid’ah yang dianggap baik, maka itu dari sisi bahasa (bid’ah wasilah), bukan sisi syari’at (bid’ah ghayah). Seperti perkataan Umar bin Khattab Radhiyallahu’anhu tentang shalat tarwih berjamaah, beliau berkata: “Sebaik-baik bid’ah adalah ini”.

Atau seperti perkataan Al-Imam As-Syafi’i Rahimahullah (150-204 H): “Bid’ah itu terbagi dua. Bid’ah yang terpuji dan bid’ah yang tercela. Setiap perkara yang sesuai dengan sunnah maka itu bid’ah terpuji, jika menyelisihi sunnah maka itu bid’ah tercela. (Hilyatu Al-Auliya 9/113, Imam Abu Nu’aim Al-Asbahani).

Berkata Al-Imam Ibnu Rajab Al-Hambali Rahimahullah (w. 795 H): “Apabila terdapan ucapan para ulama salaf yang memandang bid’ah itu baik, maka itu dari sisi bahasa (makna umum), bukan dari sudut syariat”. (Lihat kitab Jaami’ Al-‘Ulum wa Al-Hikam 1/129).

Bid’ah dari sisi syari’at, dan ini yang tercela sebagaimana dalam Hadits dari ‘Aisyah, Rasulullah ﷺ bersabda: “Siapa saja yang membuat perkara baru, dalam urusan agama kami, maka itu tertolak”. (HR. Muslim (no. 1718) Ibnu Majah (no. 14).

Syaikh Muhammad Husain menyebutkan bahwa dalam Hadits yang mulia ini, Rasulullah ﷺ memberi tiga isyarat tentang perkara itu disebut bid’ah;
▪️Pertama: Perkara itu baru, dan tidak terdapat di zaman Rasulullah masih hidup. (Bid’ah tidak ada di zaman Nabi ﷺ , namun ada setelah Nabi ﷺ wafat).
▪️Kedua : Dalam perkara agama, dikeluarkan dari nya urusan dunia dan perkara mubah.
▪️Ketiga : Tanpa pada tuntunan dari syariat, tidak contoh dari Al-Quran dan Sunnah, terperinci ataupun umum.

Syaikh Muhammad Husain Al-Jizani menyebutkan sebuah defenisi sederhana tentang bid’ah yaitu: “Setiap hal baru dalam urusan agama tanpa ada dalil syariat”. (Qawa’id Ma’rifati Al-Bida’ 1/8).

Inilah perkara bid’ah yang di maksudkan dalam Islam yang tercela dan di benci Allâh ﷻ dan Rasul-Nya. Sebagaimana terdapat banyak nash dalam Al-Quran dan Hadits-Hadits yang shahih. Seperti firman Allâh ﷻ

Pada hari yang di waktu itu ada muka yang putih berseri, dan ada pula muka yang hitam muram”. (QS. Ali-Imran: 106)

Diriwayatkan dari Sa’id bin Jubair, dari Abdullah bin Abbas Radhiyallahu’anhuma dia berkata: “Wajah ahlu Sunnah akan bercahaya, dan wajah ahlu bid’ah akan hitam muram”. (Tafsir al-Baghawi).

B. MACAM-MACAM BID’AH

Para Ulama membagi Bid’ah secara umum kepada dua bagian:

Pertama: Bid’ah Haqiqiyyah (Asli, Tulen)

Yaitu perkara baru yang datang setelah Rasulullah wafat, baik dalam hal keyakinan, perbuatan, ucapan yang tidak ada sumber nash dari Al-Quran dan As-Sunnah, secara umum, ataupun secara terperinci.

Contoh:

Bid’ah dalam hal keyakinan: Seperti keyakinan ruh orang yang sudah mati pulang kembali ke dunia, mampir ke rumah, dan menjelma dalam bentuk binatang. Juga keyakinan wali bisa mengatur bagian alam semesta, keyakinan pawang hujan yang mampu menahan dan mengalihkan hujan. Semua keyakinan ini adalah bid’ah tulen yang murni, karena tidak didasari oleh dalil syar’i sedikitpun, dan tidak pula dari ucapan para ulama salaf. Justru bertentangan dengan syariat Islam.

Bid’ah dalam hal ucapan: Seperti ucapan “Khalqu Al-Quran” yang pernah muncul di zaman Imam Ahmad, di lariskan kaum Mu’tazilah dan ahlu kalam.

Bid’ah dalam Perbuatan: Seperti orang-orang Syi’ah yang melakukan perayaan hari karbala, pada tanggal 10 Muharram, dengan ritual meratap, memukul dan melukai diri sampai ada yang mati, bahkan mereka tega untuk melukai kepala anak-anak mereka yang masih balita, walaupun teriak menangis namun disikapi dengan tidak peduli.

Keyakinan ritual itu dilakukan sebagai bentuk mendekatkan diri kepada Allâh ﷻ dengan mengenang terbunuhnya Husain di tanah karbala. Ritual ini tidak ada asal usulnya dalam Islam, justru perbuatan itu dilarang oleh Allâh ﷻ dan Rasul-Nya.

Kedua: Bid’ah Idhafiyyah

Yaitu perbuatan Bid’ah yang memiliki sandaran secara umum dalam islam, namun ditambahkan dengan metode, cara, lafazh yang baru tanpa ada dalil yang menjelaskan perbuatan itu secara terperinci.

Contoh: Seseorang melakukan ibadah zikir dengan menetapkan cara dan jumlah tertentu yang tidak ditetapkan oleh syariat islam. Berzikir selesai shalat dengan cara satu suara berjamaah, dijadikan rutinitas, ritual Tahlilan “Laa ilaaha illallahu” 100 kali dengan gerakan tertentu, dengan angguk dan geleng kepala, ada yang sambil bersoraksorak, bahkan goyang dan teriak histeris.

Maka ini perbuatan keliru dan bid’ah. Yang menjadi masalah, bukan pada kalimat Tahlil-nya, tapi dalam tata cara dan aturan yang tidak ada nash dari Nabi n tentang tata cara yang dilakukan umumnya manusia. Secara umum, memang ada dasar dalam syariat baca Tahlil dan anjuran berzikir.

Sebagaimana firman Allâh ﷻ:“Hai orang-orang yang beriman, berzdikirlah (dengan menyebut nama) Allah, zikir yang sebanyak-banyaknya. (QS. Al-Ahzab: 41)

Namun perintah berzikir mengingat Allâh ﷻ dalam ayat yang mulia ini masih bersifat umum tanpa ada rincian pembatasan dari sisi cara, jumlah, tempat dan waktu. Karena Ibadah, tata cara dan rinciannya dibangun diatas perintah nash dan dalil, tidak boleh ngarang dan menurut pendapat ustaz fulan.

Bahkan penulis pernah suatu kali mendengar seorang da’i yang menganjurkan berzikir berjamaah selesai shalat dengan satu suara, alasannya bahwa perintah pada ayat itu dan yang semisalnya merupakan kata kerja perintah (fi’il amar) “Berzikirlah kalian” yang khitabnya dalam bentuk jama’ (plural). Artinya seakan perintah dalam ayat itu “Zikir secara barengan, bersama-sama alias gotong-royong”.

•┈┈┈┈┈┈•❀❁✿❁❀•┈┈┈┈┈•

اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ أَنْ أُشْرِكَ بِكَ وَأَنَا أَعْلَمُ ، وَأَسْتَغْفِرُكَ لِمَا لا أَعْلَ

“Ya Allah, aku meminta pada-Mu agar dilindungi dari perbuatan syirik yang kuketahui dan aku memohon ampun pada-Mu dari dosa syirik yang tidak kuketahui.

وبالله التوفيق وصلى الله على نبينا محمد وعلى آله وصحبه وسلم.