بِسْــــــــــــــــــمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ

Kajian Online 25 – Daurah Ramadhan 1445H
Al-Khor, 25 Ramadhan 1445 / 4 April 2024
Bersama Ustadz Nefri Abu Abdillah, Lc 𝓱𝓪𝓯𝓲𝔃𝓱𝓪𝓱𝓾𝓵𝓵𝓪𝓱


Lihat video kajian di Facebook


Membenahi Aqidah, Merajut Ukhuwah [Bag-2]

Melanjutkan pembahasan sebelumnya di link berikut : Mukadimah

Peranan Akidah bagi Kehidupan seorang Muslim

1. Mereka adalah para ahli tauhid yang murni yang Allah telah menjanjikan atas mereka keamanan.

Hal ini berdasarkan firman Allah ta’ala:

الَّذِينَ آمَنُوا وَلَمْ يَلْبِسُوا إِيمَانَهُمْ بِظُلْمٍ أُولَئِكَ لَهُمُ الْأَمْنُ

“Orang-orang yang BERIMAN dan tidak mengotori imannya dengan kezaliman (kesyirikan), mereka itulah orang-orang yang mendapatkan KEAMANAN..” [Al-An’am: 82].

2. Mendatangkan Keamanan bagi Negara

Ahli Tauhid akan menjadi sebab kemenangan negeri kaum muslimin. Imam Ad-Dhahni dalam kitab As-Siyam menukil pernyataan Umar bin Khathab Radhiyallahu’anhu: kita adalah kaum yang Allah ﷻ muliakan dengan Islam maka siapa saja yang mencari kemuliaan selain dari Islam, maka Allah ﷻ akan hinakan mereka.

Imam Malik yang mengatakan :

لن يصلح آخر هذه الأمة إلا بما صلح به أولها…

Tidaklah akan baik generasi akhir umat ini kecuali dengan apa yang telah membuat baik generasi awalnya…”

Perkara Aqidah adalah perkara yang paling penting dan harus tetap dijaga selama hidup kita. Karena inilah yang menjadi titik sengketa antara muslim dan kafir.

Mereka mengajak orang-orang yang beriman agar masuk ke dalam agama mereka, tapi orang-orang beriman tidak mau. Kemudian orang-orang kafir membuat parit di tanah. Mereka menyalakan api di parit itu. Mereka duduk di sekeliling parit itu. Mereka menguji orang-orang yang beriman dan mendekatkan mereka ke parit. Yang menerima ajakan mereka akan dilepaskan, sedangkan yang terus beriman dilemparkan ke dalam api. Ini adalah puncak perang melawan Allah dan golonganNya, orang-orang yang beriman.

Allah ﷻ berfirman dalam Al-Qur’an Surat Al-Buruj Ayat 8:

وَمَا نَقَمُوا۟ مِنْهُمْ إِلَّآ أَن يُؤْمِنُوا۟ بِٱللَّهِ ٱلْعَزِيزِ ٱلْحَمِيدِ

Dan mereka tidak menyiksa orang-orang mukmin itu melainkan karena orang-orang mukmin itu beriman kepada Allah Yang Maha Perkasa lagi Maha Terpuji,

Gencarnya mereka merusak aqidah kaum muslimin tentu bukan dengan cara peperangan langsung, akan tetapi melalui media yang sangat mudah menyebar. Seperti misi dalam perfilman, perdukunan yang berkedok kiyai, dan lainnya.

3. Kunci aqidah yang shahih adalah kembali kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah sesuai dengan pemahaman para sahabat (salafush shalih).

Allah ﷻ berfirman dalam Al-Qur’an Surat Surat An-Nisa Ayat 115:

وَمَن يُشَاقِقِ ٱلرَّسُولَ مِنۢ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ ٱلْهُدَىٰ وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ ٱلْمُؤْمِنِينَ نُوَلِّهِۦ مَا تَوَلَّىٰ وَنُصْلِهِۦ جَهَنَّمَ ۖ وَسَآءَتْ مَصِيرًا

Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.

Inilah dalil wajibnya mengikuti pemahaman para shahabat.

Imam Asy-Syafi’i dalam tafsirnya mengatakan: tidaklah mungkin Allah ﷻ mengancam derajat seseorang masuk ke Jahanam bagi yang menyelisihi para sahabat, karena mengikuti mereka adalah kewajiban. Merekalah yang paling paham kebenaran agama ini. Karena mengambil ilmunya langsung dari Rasulullah ﷺ.

Sesungguhnya para sahabat lebih mulia daripada kita dari sisi ilmu, agama, keutamaan dan petunjuk. (Perkataan Imam Asy-Syafi’i yang dikutip dari Majmu Fatawa Ibnu Taimiyah rahimahullahu).

Ada satu atsar dari Abu Ubaid al-Qasim bin Salam 𝓡𝓪𝓱𝓲𝓶𝓪𝓱𝓾𝓵𝓵𝓪𝓱 dalam kitab beliau Fadhail Qur’an, dan juga disebut oleh As-Syathibi dalam Al-I’tishom, Al-Baihaqi dan lainnya, dari seseorang bernama Ibrahim At-Taimy 𝓡𝓪𝓱𝓲𝓶𝓪𝓱𝓾𝓵𝓵𝓪𝓱 beliau berkata, Umar bin Khathab Radhiyallahu’anhu pernah termenung memikirkan umat dan bertanya kepada Abdullah Ibnu Abbas dengan berkata kenapa umat ini berpecah belah padahal nabi mereka satu, kitab mereka satu dan kiblat mereka satu. Jawaban beliau:Ya Amirul Mukminin, sesungguhnya kitab ini diturunkan kepada para sahabat dan membaca serta mempelajarinya dengan baik, kita mengetahui kenapa ayat itu diturunkan. Namun akan ada setelah generasi para sahabat yang membaca Al-Qur’an tetapi tidak memahami kenapa ayat itu diturunkan. Kemudian mereka mengambil tafsiran sendiri yang tidak diketahui yang mengakibatkan perpecahan yang banyak.

Maka, orang-orang yang berakidah yang lurus inilah yang seharusnya kita bangun loyalitas dan Ukhuwah yang akan bersatu hingga akhirat.

Allah ﷻ berfirman dalam Al-Qur’an Surat Az-Zukhruf Ayat 67:

ٱلْأَخِلَّآءُ يَوْمَئِذٍۭ بَعْضُهُمْ لِبَعْضٍ عَدُوٌّ إِلَّا ٱلْمُتَّقِينَ

Teman-teman akrab pada hari itu sebagiannya menjadi musuh bagi sebagian yang lain kecuali orang-orang yang bertakwa.

Oleh karena itu penting membahas akidah yang benar dan membangun persaudaraan di atas Aqidah yang shahih.

Allah ﷻ telah menjelaskan di dalam Q.S Al-Hujurat : 10, Allah ﷻ berfirman:

إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌ فَأَصْلِحُوا بَيْنَ أَخَوَيْكُمْ ۚ وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ

’’Orang-orang beriman itu sesungguhnya bersaudara. Sebab itu damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu itu dan takutlah terhadap Allah, supaya kamu mendapat rahmat”.

Dari keterangan di atas menunjukan dan menjelaskan kepada kita agar selalu menjalin hubungan dengan semua umat Islam.

Contoh para salaf dalam menjaga persaudaraan sesama muslim

Dahulu Rasulullah ﷺ sempat membangun persaudaraan sesama kaum Mukminin di Mekah dan Madinah (Al-Muakhakh). Rasulullah ﷺ mempersaudarakan Muslim yang satu dengan yang lain dua kali di fase Mekah dan Madinah.

Imam Ibnu Hisyam menjelaskan di sirah beliau, hendaklah kalian bersaudara dua orang dua orang. Umat Islam itu sedikit, dan Ahlussunnah lebih sedikit lagi.

Kita lihat Syiah Rafhidah yang merupakan kaum munafik dan meyakini Abu Bakar dan Umar di neraka.

Maka Nabi ﷺ mempersaudarkan kaum muslimin baik di Mekah maupun Madinah seakan-akan itu merupakan Ukhuwah nasab. Sampai satu dengan yang lain saling mewarisi, meskipun akhirnya dihapus hukum tersebut.

Di fase Madinah, Nabi ﷺ mempersaudarkan Harizah bin Zaid dengan Umar bin Khathab Radhiyallahu’anhu, Musab bin Umair dengan Abu Ayyub Al-Anshar, Thalhah bin Ubaidillah dipersaudarakan Ka’ab Ibnu Malik…

Kisah Panglima Khalid Ibnu Walid diganti Abu Ubaidah Ibnu Jarrah.

ABU Ubaidah bin Jarrah telah mendapatkan amanah berupa menjadi panglima perang menggantikan Khalid bin Walid oleh Umar bin Khathab Radhiyallahu’anhu sepeninggal Abu Bakar Radhiyallahu’anhu. Namun, itulah Abu Ubaidah, sikapnya yang lembut membuatnya tak memberi tahu Khalid bin Walid bahwa ia telah mendapatkan amanah dengan menggantikan Khalid sebagai panglima.

Tak lama Khalid mengetahui amanah tersebut. Ia bertanya kepada Abu Ubaidah, “Semoga Allah megampunimu, engkau tidak memberitahuku jika telah mendapat amanah dari Amirul Mukminin untuk mejabat panglima, sementara engkau shalat di belakangku. Mengapa demikian?”

“Semoga Allah juga mengampunimu. Aku tidak akan memberi tahu kepadamu kecuali setelah engkau mendengar dari selainku. Aku tidak akan menyakitimu dengan perkataanku. Bukanlah dunia dan isinya yang aku inginkan. Bukan pula karena dunia aku beramal. Sebab dunia ini dan setiap yang engkau lihat akan lenyap,” jawab Abu Ubaidah.

Sesungguhnya kita adalah bersaudara. Penegak perintah Allah tidak akan menyusahkan saudaranya, baik dalam urusan dunia maupun agama.

Kisah Muawiyah dengan Ali bin Abi Thalib

Perseteruan politik antara Ali bin Abi Thalib dan Muawiyah bin Abi Sufyan pada pengujung periode pemerintahan Khulafa Rasyidun menimbulkan sejumlah perang saudara.

Akan tetapi sikap keduanya sebenarnya terikat dengan persaudaraan di atas Ukhuwah Islamiyah.

Pemimpin Romawi yang masih dibawah kepemimpinan Muawiyah bin Abi Sufyan melihat celah dan menulis surat kepada Muawiyah untuk bisa membantu memerangi Ali bin Abi Thalib. Tetapi jawaban Muawiyah: Wallahi, kalau engkau tidak berhenti dengan siasat burukmu untuk kembali ke negaramu wahai orang-orang yang dilaknati, saya akan berbaikan dengan anak pamanku dan kami akan perangi kalian.

Inilah akhlak Muawiyah yang lebih mementingkan persaudaraan dalam Islam.

Di sisi lain, seseorang mendatangi Sa’ad bin Abi Waqash dan bertanya, tidaklah kamu ikut berperang diantara dua kubu Ali maupun Muawiyah sementara kamu adalah salah satu dewan syura? Beliau menjawab: Aku tidak akan berperang sampai kamu memberikan pedang yang memiliki dua mata, satu lidah dan dua bibir. Yang dimana pedang itu tahu yang mana mukmin dan mana kafir. Dan aku berpengalaman dalam jihad!

Lihatlah Sa’ad yang memegang prinsip tidak mau menumpahkan darah kaum muslimin. Berbanding terbalik dengan saudara kita di Sudan sekarang yang terjadi perang saudara.

Teladan Imam Asy-Syafi’i 𝓡𝓪𝓱𝓲𝓶𝓪𝓱𝓾𝓵𝓵𝓪𝓱 

Berkaitan dengan masalah hukum (fikih). Imam Asy-Syafi’i pernah berselisih dengan Abu Musa.

Sungguh mengagumkan apa yang dikatakan oleh ulama besar semacam Imam Syafi’i kepada Yunus Ash Shadafiy -nama kunyahnya Abu Musa-. Imam Syafi’i berkata padanya,

يَا أَبَا مُوْسَى، أَلاَ يَسْتَقِيْمُ أَنْ نَكُوْنَ إِخْوَانًا وَإِنْ لَمْ نَتَّفِقْ فِيْ مَسْأَلَةٍ

Wahai Abu Musa, bukankah kita tetap bersaudara (bersahabat) meskipun kita tidak bersepakat dalam suatu masalah?” (Siyar A’lamin Nubala’, 10: 16).

Setelah membawakan perkataan Imam Asy Syafi’i di atas, Imam Adz Dzahabi berkata, “Hal ini menunjukkan kecerdasan dan kepahaman Imam Syafi’i walau mereka -para ulama- terus ada beda pendapat.” (Majmu Fatawa – Ibnu Taimiyah)

Semoga Allah Ta’ala mengokohkan kita semua dalam barisan yang kuat dengan sesama Ahlussunnah hingga akhirat kelak. Aamiin.

•┈┈┈┈┈┈•❀❁✿❁❀•┈┈┈┈┈•

اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ أَنْ أُشْرِكَ بِكَ وَأَنَا أَعْلَمُ ، وَأَسْتَغْفِرُكَ لِمَا لا أَعْلَمُ

“Ya Allah, aku meminta pada-Mu agar dilindungi dari perbuatan syirik yang kuketahui dan aku memohon ampun pada-Mu dari dosa syirik yang tidak kuketahui”.

وبالله التوفيق وصلى الله على نبينا محمد وعلى آله وصحبه وسلم