بِسْــــــــــــــــــمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ

Kajian Ahad – Doha
Membahas: Mulakhas Fiqhi – Syaikh Shalih bin Fauzan Al Fauzan 𝓱𝓪𝓯𝓲𝔃𝓱𝓪𝓱𝓾𝓵𝓵𝓪𝓱
Bersama Ustadz Hanafi Abu Arify, Lc 𝓱𝓪𝓯𝓲𝔃𝓱𝓪𝓱𝓾𝓵𝓵𝓪𝓱
Doha, 17 Sya’ban 1446 / 16 Februari 2025



KITAB SHALAT
Kewajiban dan Keutamaan Shalat Berjama’ah – Bagian 7

LARANGAN MENJADI IMAM DI SUATU MASJID BAGI SELAIN IMAM RESMI

Di antara hukum-hukum yang terkait dengan shalat berjama’ah adalah, bahwasanya haram hukumnya bagi orang yang bukan imam resmi di sebuah masjid, mengimami jama’ah di masjid tersebut, kecuali atas seizin imam sesungguhnya, atau karena imam yang bersangkutan berhalangan.

Dalam Sbahiih Muslim dan yang lainnya disebutkan: dan seorang tidak boleh mengimani orang lain dalam wilayah kekuasaannya… Kecuali atas seizinnya.

(HR. Muslim dari Abu Mas’ud al-Anshari (no.673 (1532)) Il:77 kitab al-Masajid, bab 53).

Imam an-Nawawi Rahimahullah menjelaskan, “Maksudnya: Pemilik rumah, pemilik sebuah majelis dan imam masjid, lebih berhak (menjadi imam) daripada orang lain. (Dengan merebutnya), dapat menyakiti pihak imam resmi, dan menimbulkan kebencian padanya, juga perpecahan di kalangan kaum muslimin.

Bahkan sebagian ulama berpendapat bahwa apabila ada seseorang yang mengimani jama’ah, sementara ia bukan imam resmi di jama’ah tersebut tanpa seijin imam sesungguhnya atau bukan karena imam sesungguhnya sedang berhalangan, maka shalat mereka tidak sah. Ini menunjukkan bahwa persoalan ini sangatlah penting, sehingga tidak selayaknya dianggap remeh.

Jama’ah kaum muslimin juga harus memperhatikan apa yang menjadi wewenang imam mereka, tidak boleh dilanggar begitu saja. Demikian pula halnya dengan imam, ia juga harus menghormati hak para makmum, dan tidak menyusahkan mereka.

Demikianlah, masing-masing harus berusaha memelihara hak yang lain, sehingga terciptalah persatuan dan kesatuan antara imam dengan para makmum.

Apabila imam rawatib terlambat hadir, sementara waktu shalat sudah sempit, mereka bisa memulai shalat, berdasarkan apa yang pernah dilakukan oleh Abu Bakar ash-Shiddiq dan ‘Abdurrahman bin ‘Auf Radhiyallahu’anhu, saat Nabi ﷺ tidak hadir karena pergi menemui Bani Amr bin ‘Auf untuk mendamaikan mereka. Saat itu, Abu Bakar Radhiyallahu’anhu shalat mengimami jama’ah.

Dan dalam kejadian lain, ‘Abdurrahman bin ‘Auf pernah shalat mengimami jama’ah, karena Nabi ﷺ, tidak hadir. Namun Nabi ﷺ bermakmum kepadanya, pada rakaat terakhir, lalu beliau melanjutkan shalat dan bersabda, “Bagus.”

💡 Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah berkata bahwa Imam masjid yang tetap adalah yang paling berhak menjadi imam, meskipun ada yang lebih baik dan fasih. Jika digantikan, maka dapat terjadi kekacauan. Karena setiap shalat ditegakkan maka akan ada imam yang berbeda-beda. (Syahrul Mumthi’ 4/211).

Demikian juga imam shalat jenazah, dalam kitab Fathul Qadir karya Imam Syaukani disebutkan urutan yang berhak menjadi imam:
1. Sultan (pemimpin) jika hadir. Jika tidak, maka termasuk meremehkan pemimpin.
2. Hakim (qadhi) sebagai pemilik otoritas.
3. Imam masjid tetap sebagai imam yang diridhai si mayit selama dia hidup.
4. Kerabat terdekat.

Syaikh bin Baaz rahimahullahu menjelaskan bahwa yang berhak mengimani jenazah adalah imam tetap masjid meskipun ada wasiat dari si mayit. Hal ini sesuai dengan sabda Rasulullah ﷺ :

وَلا يَؤُمَّنَّ الرَّجُلُ الرَّجُلَ فِي سُلْطَانِهِ , وَلا يَقْعُدْ فِي بَيْتِهِ عَلَى تَكْرِمَتِهِ إِلا بِإِذْنِهِ

Janganlah seorang maju menjadi imam shalat di tempat kekuasaan orang lain, dan janganlah duduk di rumah orang lain di kursi khusus milik orang tersebut, kecuali diizinkan olehnya” (HR. Muslim no. 673).

Sementara imam masjid memiliki wewenang di masjid tersebut.

ANJURAN BAGI ORANG YANG BERADA DI MASJID UNTUK IKUT SHALAT BERJAMA’AH MESKIPUN TELAH SHALAT

Hukum lain terkait dengan shalat berjama’ah, yaitu apabila seseorang telah shalat, namun saat dikumandangkan iqamah ia berada di masjid, maka disunnahkan baginya untuk ikut shalat berjama’ah di masjid tersebut, berdasarkan hadits Abu Dzarr:

Shalatlah pada waktunya. Namun apabila iqamah dikumandangkan, sementara engkau berada di dalam masjid, maka shalatlah, dan jangan katakan, “Aku sudah shalat, maka tidak perlu shalat lagi.” Diriwayatkan oleh Muslim no. 1469) [III:151], kitab al-Masajid, bab 4I.

Shalat berjama’ah itu terhitung sebagai shalat sunnah baginya, sebagaimana disebutkan dalam hadits lain, ketika Nabi ﷺ, bersabda kepada dua orang pria (Yang sudah shalat di rumah) untuk mengulangi shalatnya secara berjama’ah:

Itu menjadi shalat sunnah buat kalian berdua.” Hadits shahih. Diriwayatkan dari Yazid bin al-Aswad oleh Abu Dawud (575) (l:274), Kitab ash-Shalaab,bab 56, dan lainnya.

Tujuannya, agar jangan sampai ia hanya duduk-duduk saja, sementara orang-orang sedang shalat, sehingga menjadi celah untuk berburuk sangka kepadanya, bahwasanya ia bukan orang yang terbiasa shalat.

💡 Dalam madzhab Imam Asy-Syafi’i ada 4 perbedaan pendapat dalam masalah ini, dan Imam An-Nawawi rahimahullah berpendapat yang paling rajih adalah dianjurkan untuk ikut shalat bersama Jama’ah dan ini pendapat mayoritas Syafi’iyah.

💡Imam Ibnu Qudamah rahimahullah juga berpendapat yang sama, yaitu ikutlah shalat kembali, syaratnya orang itu berada di masjid atau ia masuk masjid sedang jamaah sedang shalat.

LARANGAN MELAKSANAKAN SHALAT SUNNAH SETELAH IQAMAH

Apabila muadzin sudah mengumandangkan Iqamah maka tidak boleh melakukan shalat sunnah baik shalat tahiyatul masjid atau shalat nafilah lainnya.

Sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

إِذَا أُقِيمَتْ الصَّلَاةُ فَلَا صَلَاةَ إِلَّا الْمَكْتُوبَةُ

Jika telah (dikumandangkan) iqamat untuk shalat, maka tidak ada shalat, kecuali wajib”. HR Muslim.

Pada hadits ini فَلَا صَلَاةَ terdapat لا Laa an Nafiyah lil Jinsi (menafikan semua jenis) shalat kecuali shalat wajib. Maka tidak sah hukumnya shalat sunnah yang dilakukan setelah dikumandangkannya iqamah untuk shalat wajib, yang akan dilakukan oleh seorang hamba bersama imam, di mana iqamah itu dikumandangkan karena kehadirannya.

Imam an-Nawawi Rahimahullah menjelaskan, “Hikmah dari syari’at itu adalah agar seorang muslim dapat berkonsentrasi untuk melaksanakan shalat wajib sejak dari awalnya, sehingga ia dapat segera memulainya begitu imam memulai. Menjaga kesempurnaan shalat wajib lebih baik daripada menyibukkan diri dengan shalat sunnah. Di samping itu Nabi ﷺ, melarang menyelisihi imam. Juga demi mendapatkan Takbiratul Ihram. Sementara keutamaan Takbiratul lhraam baru bisa didapatkan dengan kondisi siap saat Imam bertakbir.

Apabila iqamah dikumandangkan, sementara seseorang sedang melaksanakan shalat sunnah, maka hendaknya ia menyelesaikan shalatnya dengan ringkas saja, tanpa harus menghentikannya. Kecuali apabila ia khawatir akan ketinggalan shalat berjama’ah.

Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah merinci: jika berada di raka’at kedua maka dilanjutkan, tetapi jika di raka’at kedua maka silakan lanjut dengan diringankan).

Dasarnya adalah firman Allah ﷻ,

Dan janganlah kalian membatalkan amalan-amalan kalian.” (QS. Muhammad:33)

Namun, apabila ia khawatir ketinggalan shalat berjama’ah, ia bisa membatalkan shalatnya. Karena shalat wajib itu lebih penting. Wallohu’alam.

•┈┈┈┈┈┈•❀❁✿❁❀•┈┈┈┈┈•

اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ أَنْ أُشْرِكَ بِكَ وَأَنَا أَعْلَمُ ، وَأَسْتَغْفِرُكَ لِمَا لا أَعْلَمُ

“Ya Allah, aku meminta pada-Mu agar dilindungi dari perbuatan syirik yang kuketahui dan aku memohon ampun pada-Mu dari dosa syirik yang tidak kuketahui”.

وبالله التوفيق وصلى الله على نبينا محمد وعلى آله وصحبه وسلم