بِسْــــــــــــــــــمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ
Kajian Kitab At-Tibyan fi Adab Hamalat Al-Quran
Karya Imam An-Nawawi 𝓡𝓪𝓱𝓲𝓶𝓪𝓱𝓾𝓵𝓵𝓪𝓱
Bersama Ustadz Nefri Abu Abdillah, Lc 𝓱𝓪𝓯𝓲𝔃𝓱𝓪𝓱𝓾𝓵𝓵𝓪𝓱
Al-Khor, 18 Syawal 1446 / 16 April 2025.
Kajian Ke-29 | Bab 5: Adab-Adab Pembawa Al-Qur’an.
Tamasya Bersama Al-Qur’an
Tamsya menurut KBBI adalah perjalanan untuk menikmati pemandangan, keindahan alam, dan sebagainya.
Tamasya bersama Al-Qur’an maknanya menikmati keindahan Al-Qur’an dengan membaca dan mentadaburinya.
Bab ini melanjutkan pembahasan sebelumnya, berupa keutamaan shalat malam dan membaca Al-Qur’an di dalamnya.
- Imam An-Nawawi 𝓡𝓪𝓱𝓲𝓶𝓪𝓱𝓾𝓵𝓵𝓪𝓱 berkata:
Ketahuilah bahwa keutamaan shalat malam dan bacaan di dalamnya tercapai dengan jumlah sedikit dan banyak. Semakin banyak, maka lebih banyak keutamaannya. Kecuali apabila menghabiskan seluruh malam, maka tidak disukai bila terus mengerjakannya. Karena hal itu akan membahayakan dirinya.
📃 Penjelasan:
Ibadah di malam hari, mengandung nilai lebih dibanding di siang hari. Terutama amalan-amalan di bulan Ramadhan, seperti shalat tarawih atau qiyamul lail. Dan hendaklah setiap muslim, melanggengkan kebiasaannya di luar bulan Ramadhan.
Seharusnya amal seorang mukmin barulah berakhir ketika ajal datang menjemput. Al Hasan Al Bashri rahimahullah mengatakan, ”Sesungguhnya Allah Ta’ala tidaklah menjadikan ajal (waktu akhir) untuk amalan seorang mukmin selain kematiannya.” Lalu Al Hasan membaca firman Allah,
وَاعْبُدْ رَبَّكَ حَتَّى يَأْتِيَكَ الْيَقِينُ
“Dan sembahlah Rabbmu sampai datang kepadamu al yaqin (yakni ajal).” (QS. Al Hijr: 99). (Latha’iful Ma’arif hal. 392).
Waktu malam adalah waktu yang tenang untuk beribadah, karena siang hari manusia disibukkan dengan aktivitas hidupnya. Maka, Allah ﷻ menyediakan waktu khusus pada malam hari untuk beribadah dengan khusyu dan tenang.
Di dalam ash-Shahihain dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
يَنْزِلُ رَبُّنَا تَبَارَكَ وَتَعَالَى كُلَّ لَيْلَةٍ إِلَى السَّمَاءِ الدُّنْيَا حِينَ يَبْقَى ثُلُثُ اللَّيْلِ اْلآخِرُ، يَقُولُ: مَنْ يَدْعُونِي فَأَسْتَجِيبَ لَهُ، مَنْ يَسْأَلُنِي فَأُعْطِيَهُ، مَنْ يَسْتَغْفِرُنِي فَأَغْفِرُ لَهُ
“Rabb kami Tabaaraka wa Ta’aalaa turun ke langit dunia pada setiap malam ketika tinggal sepertiga malam terakhir, lalu berfirman: ‘Barangsiapa yang berdo’a kepada-Ku, niscaya akan Aku kabulkan do’anya, barangsiapa yang meminta kepada-Ku, niscaya Aku akan penuhi permintaannya, dan barangsiapa yang memohon ampunan kepada-Ku, maka Aku akan mengampuninya.’” [HR Bukhari VIII/197]
Pada awalnya, shalat malam (tahajud) diwajibkan bagi Nabi Muhammad ﷺ dan para pengikutnya, kemudian setelah turunnya surah Al-Muzammil ayat ke-20, shalat malam yang awalnya wajib menjadi sunah.
Dan hendaknya tidak melakukannya semalam suntuk, karena sunnah Rasulullah adalah tidur di waktu malam, hikmahnya agar badan diberikan hak untuk beristirahat. Bahkan dalam suatu hadits, Rasulullah melarang shalat malam semalam suntuk, terus menerus berpuasa dan tidak menikah. Maka, barangsiapa tidak mengikuti sunnah Rasulullah, bukan termasuk golongan Rasul. Kecuali pada 10 malam terakhir di bulan Ramadhan, karena Nabi ﷺ mencontohkannya.
- Imam An-Nawawi 𝓡𝓪𝓱𝓲𝓶𝓪𝓱𝓾𝓵𝓵𝓪𝓱 berkata:
Yang menunjukkan bahwa keutamaannya tercapai dengan amalan yang sedikit ialah hadits Abdullah bin Amru ibnul Ash, ia berkata: Rasulullah bersabda:
مَنْ قَامَ بِعَشْرِ آيَاتٍ لَمْ يُكْتَبْ مِنْ الْغَافِلِينَ ، وَمَنْ قَامَ بِمِائَةِ آيَةٍ كُتِبَ مِنْ الْقَانِتِينَ ، وَمَنْ قَامَ بِأَلْفِ آيَةٍ كُتِبَ مِنْ الْمُقَنْطِرِينَ (صححه الألباني في صحيح أبي داود، رقم 1264)
“Barangsiapa mengerjakan shalat malam dengan membaca sepuluh ayat, ia pun tidak ditulis dalam golongan orang-orang yang lalai. Dan siapa yang mengerjakan shalat malam dengan membaca seratus ayat, ia pun ditulis dalam golongan orang yang taat. Dan siapa yang mengerjakan shalat dengan membaca seribu ayat, ia pun ditulis dalam golongan orang yang berbuat adil.” Hadits riwayat Abu Dawud no. 1264 dan lainnya.
Muqanthirin yang dimaksud disini adalah orang yang mendapat limpahan pahala yang sangat banyak.
Diceritakan oleh Ats-Tsa’labah dari Ibnu Abbas, ia berkata:
“Barangsiapa mengerjakan shalat di waktu malam, ia dianggap telah bermalam dalam keadaan sujud dan berdiri menghadap Allah.”
Imam Al-Qurthubi Rahimahullah menyebutkan bahwa hal ini adalah salah satu sifat dari ibadurrahman. Allah Ta’ala berfirman,
وَالَّذِينَ يَبِيتُونَ لِرَبِّهِمْ سُجَّدًا وَقِيَامًا
“Dan (mereka ibadurrahman adalah) orang yang melalui malam hari dengan bersujud dan berdiri untuk Rabb mereka.” (QS. Al Furqan: 64).
Jumhur ulama mengatakan, bahkan meskipun hanya dua raka’at, sudah masuk dalam kriteria ayat ini.
Kata “sujjada” adalah bentuk jamak dari kata “saajid” (ساجد ). Sedangkan “qiyama” (قياما), maksudnya adalah mereka (rajin) shalat lail (shalat malam). (Tafsir Al Jalalain, 365)
Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As Sa’di rahimahullah menjelaskan, “Mereka banyak mengerjakan shalat malam dengan ikhlas kepada Allah dalam keadaan tunduk pada-Nya.” (Taisir Al Karimir Rahman, 586)
Allah Ta’ala berfirman dalam Al-Qur’an surah Al-Muzzammil ayat 2-3:
قُمِ ٱلَّیۡلَ إِلَّا قَلِیلࣰا (2) نِّصۡفَهُۥۤ أَوِ ٱنقُصۡ مِنۡهُ قَلِیلًا
“Bangunlah (shalat lah) pada waktu malam, kecuali sebagian kecil (2) (yaitu) separuhnya atau kurangi sedikit dari itu” [Q.S. Al-Muzzammil (73): 2-3]
Ayat ini adalah ayat suplemen bagi para dai, sang penyeru kebaikan, karena dengan bangun malam dan bertaqarub kepada Allâh Ta’ala menjadikan hatinya menjadi tenang setelah dakwahnya ditentang masyarakat, seperti halnya yang dialami Rasulullah ﷺ.
- Imam An-Nawawi 𝓡𝓪𝓱𝓲𝓶𝓪𝓱𝓾𝓵𝓵𝓪𝓱 berkata:
– Pasal: Perintah untuk memelihara Al-Qur’an dan peringatan untuk tidak melupakannya.
عن أَبي موسى – رضي الله عنه -، عن النبيِّ – صلى الله عليه وسلم – ، قَالَ : (( تعاهدوا هَذَا القُرْآنَ ، فَوَالَّذِي نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ لَهُوَ أشَدُّ تَفَلُّتاً مِنَ الإبلِ فِي عُقُلِهَا )) متفقٌ عَلَيْهِ .
Dari Abu Musa radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda, “Hafalkanlah (dan rutinkanlah) membaca Al-Qur’an. Demi yang jiwa Muhammad berada di tangan-Nya, Al-Qur’an itu lebih mudah lepas daripada unta yang lepas dari ikatannya.” (Muttafaqun ‘alaih) [HR. Bukhari, 9:79 dan Muslim, no. 791]
وَعَنِ ابْنَ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا : أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ – صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – ، قَالَ : (( إنَّمَامَثَلُ صَاحبِ الْقُرْآنِ كَمَثَلِ الإِبِلِ المُعَقَّلَةِ ، إنْ عَاهَدَ عَلَيْهَا أمْسَكَهَا ، وَإنْ أطْلَقَهَا ذَهَبَتْ )) متفقٌ عَلَيْهِ .
Dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Permisalan orang yang menghafal Al-Qur’an adalah seperti unta yang diikat dengan tali. Jika dijaga, maka tidak akan lari. Jika dibiarkan tanpa diikat, maka akan lepas.” (Muttafaqun ‘alaih) [HR. Bukhari no. 5031 dan Muslim no. 789]
وَعَنْ أَنَسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «عُرِضَتْ عَلَيَّ أُجُورُ أُمَّتِي، حَتَّى الْقَذَاةُ يُخْرِجُهَاالرَّجُلُ مِنَ المَسْجِدِ». رَوَاهُ أَبُو دَاوُدَ، والتِّرْمِذيُّ وَاسْتَغْرَبَهُ، وَصَحَّحَهُ ابْنُ خُزَيْمَةَ.
Dari Anas radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
( عُرِضَتْ عَلَيَّ أُجُورُ أُمَّتِي حَتَّى الْقَذَاةُ يُخْرِجُهُ الرَّجُلُ مِنَ الْمَسْجِدِ ، وَعُرِضَتْ عَلَيَّ ذُنُوبُ أُمَّتِي فَلَمْ أَرَ ذَنْبًا أَعْظَمَ مِنْ سُورَةٍ مِنَ الْقُرْآنِ أَوْ آيَةٍ أُوتِيهَا رَجُلٌ ثُمَّ نَسِيَهُ )
“Ditampakkan padaku pahala umatku, hingga sampah yang dikeluarkan seseorang dari masjid. Dan ditampakkan kepadaku dosa umatku. Aku tidak melihat dosa yang lebih besar dibandingkan seseorang yang telah diberi (hafalan) surat Al-Qur’an atau ayat, kemudian dia melupakannya.” (HR. Tirmizi, 2916 dan lainnya. Sanad hadits ini dha’if).
An-Nawawi rahimahullah mengatakan, “Dalam sanadnya ada yang lemah.” (Al-Khulashah, 1/306). Dilemahkan juga oleh Ibnu Hajar di Fathul Bari, 9/70. Dan Al-Albany dalam Dhaif Abu Daud, 1/164-167.
عَنْ سَعْدِ بْنِ عُبَادَةَ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «مَا مِنَ امْرِئٍ يَقْرَأُ الْقُرْآنَ، ثُمَّ يَنْسَاهُ، إِلَّا لَقِيَ اللهَ عَزَّ وَجَلَّ يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَجْذَمَ»
Dari Sa’ad bin ‘Ubadah radhiyallaahu ‘anhu dia berkata: Rasulullah ﷺ bersabda: “Tidaklah seseorang membaca (menghafal) Al-Qur’an, kemudian dia melupakannya, melainkan dia akan bertemu Allah ﷻ pada hari Kiamat dalam keadaan berpenyakit judzam (kusta)”.
Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Dawud, no. 1474, dari jalur Yazid bin Abi Ziyad, dari ‘Isa bin Faaid, dari Sa’ad bin ‘Ubadah dengan sanad yang dha’if. Hadits ini dilemahkan oleh Syaikh Al-Albani rahimahullaah di dalam Dho’if At-Targhib, no. 873; dan oleh Syaikh Syu’aib Al-Arnauth di dalam Takhrij Musnad Ahmad, no. 22456, 22463, 22758, 22781.
– Pasal: Siapa yang tidur hingga meninggalkan wiridnya
Diriwayatkan dari Umar ibnul Khattab, ia berkata: Rasulullah bersabda:
مَنْ نَامَ عَنْ حِزْبِهِ أَوْ عَنْ شَيْءٍ مِنْهُ فَقَرَأَهُ مَا بَيْنَ صَلَاةِ الْفَجْرِ وَصَلَاةِ الظُّهْرِ كُتِبَ لَهُ كَأَنَّمَا قَرَأَهُ مِنْ اللَّيْلِ
“Barangsiapa tidur dan belum membaca hizibnya di waktu malam atau sebagian darinya, lalu ia membacanya antara shalat Subuh dan shalat Dhuhur, ditulis baginya sepeti membacanya di waktu malam.” Hadits riwayat Muslim.
📃 Penjelasan:
Hadits ini menunjukkan besarnya rahmat Allah ﷻ kepada hamba-Nya yang terlewatkan amalan karena udzur.
Allah ﷻ berfirman dalam Al-Qur’an Surat Al-Furqan Ayat 62:
وَهُوَ ٱلَّذِى جَعَلَ ٱلَّيْلَ وَٱلنَّهَارَ خِلْفَةً لِّمَنْ أَرَادَ أَن يَذَّكَّرَ أَوْ أَرَادَ شُكُورًا
Dan Dia (pula) yang menjadikan malam dan siang silih berganti bagi orang yang ingin mengambil pelajaran atau orang yang ingin bersyukur.
Ali bin Abi Thalhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas tentang ayat ini, bahwa barangsiapa yang meninggalkan amalan di malam hari, maka boleh mengerjakannya di siang hari, atau barangsiapa yang meninggalkan amalan di siang hari, maka dia dapat mengerjakannya di malam hari. Demikian juga dikatakan Ikrimah, Sa’id bin Jubair, dan Al-Hasan. (Lihat Tafsir Ibnu Katsir rahimahullah).
Seandainya pun seseorang yang terluput dari shalat sunnah yang biasa ia lakukan karena ‘udzur dan kemudian ia tidak sempat mengqadlanya, ia tetap mendapatkan pahala yang semisal berdasarkan sabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam:
مَنْ أَتَى فِرَاشَهُ وَهُوَ يَنْوِي أَنْ يَقُومَ يُصَلِّي مِنَ اللَّيْلِ فَغَلَبَتْهُ عَيْنَاهُ حَتَّى أَصْبَحَ كُتِبَ لَهُ مَا نَوَى وَكَانَ نَوْمُهُ صَدَقَةً عَلَيْهِ مِنْ رَبِّهِ عَزَّ وَجَلَّ “
“Barangsiapa yang naik ke atas ranjangnya sedang ia telah berniat untuk bangun melakukan shalat di malam hari, namun ia tertidur hingga waktu Shubuh, maka ditulis baginya pahala apa yang ia niatkan dan tidurnya itu adalah sedekah dari Rabb-nya” [Diriwayatkan oleh An-Nasaa’iy no. 1787, Ibnu Maajah no. 1344, dan Ibnu Khuzaimah no. 1172; dishahihkan oleh Al-Albaaniy dalam Shahiih Sunan An-Nasaa’iy 1/567].
- Imam An-Nawawi 𝓡𝓪𝓱𝓲𝓶𝓪𝓱𝓾𝓵𝓵𝓪𝓱 berkata:
Diriwayatkan dari Sulaiman bin Yasar, ia berkata: Abu Usaid berkata: Tadi malam aku tidur dan belum membaca wiridku hingga memasuki waktu pagi. Ketika tiba waktu pagi aku mengucapkan kalimat istirja’ (Innaa lillahi wa innaa ilaihi raaji’un). Wiridku adalah surah Al-Baqarah. Kemudian aku bermimpi seekor sapi menandukku.
Hadits riwayat Ibnu Abi Dawud.
Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Dunya dari seorang penghafal Al-Qur’an bahwa ia tertidur pada suatu malam dan belum membaca hizibnya. Kemudian ia bermimpi seakan-akan ada orang berkata kepadanya:
Aku heran dengan tubuh yang sehat
dan pemuda yang tidur hingga subuh
sedangkan kematian tidak bisa dihindari serangannya
di kegelapan malam bila ia datang
📃 Penjelasan:
Sabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam:
مَنْ نَامَ عَنْ صَلاةٍ فَلْيُصَلِّ إِذَا اسْتَيْقَظَ، وَمَنْ نَسِيَ صَلاةً فَلْيُصَلِّ إِذَا ذَكَرَ
“Barangsiapa yang tertidur dari shalat, hendaklah ia shalat ketika ia bangun. Dan barangsiapa yang lupa shalat, hendaklah ia shalat ketika ia ingat” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 597, Muslim no. 684, Abu Daawud no. 442, At-Tirmidziy no. 178, An-Nasaa’iy no. 613-614, Ibnu Maajah no. 695-696, dan Abu ‘Awaanah dalam Al-Mustakhraj no. 1144 – dan ini adalah lafadh Abu ‘Awaanah].
Imam Ahmad rahimahullah meskipun tidak memandang witir hukumnya wajib, namun beliau berkata:
مَنْ تَرَكَ الْوِتْرَ عَمْداً فَهُوَ رَجُلُ سُوءٍ وَلاَ يَنْبَغِيْ أَنْ تُقْبَلَ لَهُ شَهَادَتُهُ
Siapa yang sengaja meninggalkan shalat witir, ia adalah orang jelek dan persaksiannya tidak diterima. (Dikutip dari al-Murûah wa Khawârimuha, Masyhûr Hasan Salmân hlm. 88).
Sebab Rasulullah ﷺ tidak pernah meninggalkannya, walaupun beliau sedang dalam safar (bepergian). Berbeda dengan shalat-shalat sunnat lainnya (selain 2 rakaat sebelum shalat Subuh), beliau tidak mengerjakannya di kala safar.
Ibnul Qayyim رحمه الله berkata: “Saat safar, beliau sangat memelihara pelaksanaan shalat sunnat Fajar dan witir melebihi seluruh shalat sunnat lainnya. Dalam riwayat safar Nabi ﷺ , tidak ada yang menyebutkan beliau mengerjakan shalat sunnat rawatib..” (Zâdul Ma’âd,1/315)
Maka, marilah kita hidupkan petunjuk Nabi ﷺ dengan selalu menghiasi awal aktifitas kita sehari-hari dengan shalat witir, walau hanya mengerjakan rakaat yang paling sedikit, satu rakaat saja.
Bertamasya dengan Al-Qur’an yang terbaik adalah saat hening di waktu malam, inilah healing terbaik. Dan ending terbaik adalah milik orang-orang yang beriman.
•┈┈┈┈┈┈•❀❁✿❁❀•┈┈┈┈┈•
اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ أَنْ أُشْرِكَ بِكَ وَأَنَا أَعْلَمُ ، وَأَسْتَغْفِرُكَ لِمَا لا أَعْلَمُ
“Ya Allah, aku meminta pada-Mu agar dilindungi dari perbuatan syirik yang kuketahui dan aku memohon ampun pada-Mu dari dosa syirik yang tidak kuketahui”.
وبالله التوفيق وصلى الله على نبينا محمد وعلى آله وصحبه وسلم