بِسْــــــــــــــــــمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ
Kajian Senin – Kitab Ad Daa’ wa Ad Dawaa’
Karya: Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah Rahimahullah
Bersama: Ustadz Abu Hazim Syamsuril Wa’di, SH, M.Pd Hafidzahullah
Al Khor, 22 Rabi’ul Akhir 1445 / 6 November 2023
BAB VIII: MENJAGA KESUCIAN DIRI
Pasal: Haramnya Zina dan Menjaga Kemaluan – Lanjutan
Kisah-kisah Su’ul Khotimah
Ustadz mengawali kajian dengan nasehat untuk selalu bersyukur,terutama bagi yang dilapangkan dadanya untuk dapat menghadiri majelis ilmu.
Syaikh Masyhur bin Hasan bin Mahmud Ali Salman Hafidzahullah: Bagi siapa yang dilapangkan dadanya untuk dapat menghadiri majelis-majelis ilmu hendaknya banyak bersyukur, agar nikmat tersebut semakin sempurna dan tidak hilang, dan segala sesuatu yang diinfakkan oleh seseorang akan berkurang kecuali ilmu, sesungguhnya ilmu itu, apabila kamu mengajarkannya atau mempelajarinya, dia akan bertambah, semakin kokoh dan diberkahi Allâh ﷻ padanya. (Kitab At-Ta’liqat Al-Atsariyyah ‘Ala Manzhumah Qowaid Dzakiyyah hal. 21)
Pada pertemuan sebelumnya, penyebab su’ul khotimah:
- Hanyut pada dunia dan berangan-angan dengannya.
- Berpaling dari akhirat.
- Dia lancang dan berani melakukan maksiat kepada Allâh ﷻ.
Mungkin saja kematian mendatanginya sementara kondisinya masih demikian, sehingga ia mendengar (talqin seolah-olah) panggilan dari tempat yang jauh. “Ia tidak mengerti maksudnya meskipun hal itu diulang berkali-kali.”
Beliau menerangkan: “Ucapan terakhir tersebut mempunyai kisah tersendiri. Ada seorang pria yang berdiri di depan rumahnya, Pintu rumahnya mirip dengan pintu pemandian umum Minjab. Tidak lama kemudian, lewatlah di hadapannya seorang wanita cantik, lalu dia bertanya kepadanya: “Manakah jalan menuju pemandian umum Minjab?” “Di sinilah pemandian umum Minjab,” jawab pria tadi.
Kemudian, masuklah wanita tersebut ke dalam rumah dengan diikuti olehnya. Setelah memasuki rumah, wanita itu sadar bahwa ia telah ditipu. Meskipun demikian, dia tetap menampakkan kegembiraan karena pertemuan ini. Ia lalu berkata kepada pria itu: “Ada baiknya jika bersama kita terdapat sesuatu yang baik dan menyenangkan.” “Tunggu sebentar, aku akan kembali dengan membawa semua yang kau inginkan,” sahut pria tadi dengan segera.
Pria itu pun keluar tanpa mengunci pintu rumahnya. Ia mengambil segala sesuatu yang dibutuhkan dan bergegas kembali. Namun, ternyata wanita itu telah pergi meninggalkannya, tanpa mengambil sesuatu pun dari rumahnya. Pria tadi lantas frustrasi dan sering menyebut-nyebut wanita cantik tersebut. Ia mondar-mandir di jalan-jalan dan di gang-gang sambil berkata:
Di manakah perempuan yang bertanya suatu hari dalam keadaan lelah. Manakah jalan menuju pemandian umum Minjab?
Suatu hari, tatkala dia bersenandung dengan sya’irnya tersebut, tiba-tiba seorang wanita menyahut dari sebuah bangunan: “Dasar dayyuts “
Mengapa tidak segera engkau tutup rumah ketika mendapatkannya atau memasang gembok pada pintunya.
Pria tersebut bertambah frustrasi. Kondisinya tetap seperti itu, sampai akhirnya bait sya’ir tersebut merupakan akhir ucapannya di dunia.”
(Lihat kitab Mu’jamul Buldaan (11/298).
Sufyan ats-Tsauri pernah menangis semalam suntuk sampai subuh. Pada pagi harinya, ada yang bertanya: “Apakah semua ini disebabkan rasa takut terhadap dosa?”
Sufyan pun mengambil segenggam tanah, seraya berkata: “Dosa itu lebih ringan daripada ini. Sesungguhnya aku takut terhadap su’ul khatimah.”
Demikianlah para Salaf rahimahullah, mereka dahulu sangat takut dengan yang telah lalu. Dimana mereka khawatir akhirnya mati dalam keadaan amalan buruk, meskipun sebelumnya selalu beramal shalih (As-Sawaabik). Dimana hamba mati dan ditutup dengannya (Al-Khowatim).
Mereka takut buruknya akhir kehidupan mereka, mereka melakukan amalan-amalan yang menjadikannya husnul khâtimah. Dan mereka menjauhi hal-hal yang menjadi sebab su’ul khotimah. Seperti halnya sahabat yang mati bunuh diri (karena terluka) padahal sahabat yang lain menilainya sebagai pahlawan dalam jihad. Sebaliknya ada sahabat yang baru masuk Islam, belum sempat beramal dan langsung berperang hingga mati syahid.
Demikianlah keadaan orang yang memiliki pemahaman (ilmu) yang tinggi. Dengan pengetahuan tersebut, seseorang khawatir jika dosa-dosa akan menghinakannya pada saat kematian, bahkan akan menghalanginya dari husnul khatimah.
Imam Ahmad meriwayatkan dari Abu Darda’ Radhiyallahu’anhu (Dalam kitabnya, Az-Zuhd (1/65) bahwasanya beliau sempat pingsan menjelang kematiannya. Setelah sadar, dia pun membaca firman Allâh ﷻ:
وَنُقَلِّبُ اَفْـِٕدَتَهُمْ وَاَبْصَارَهُمْ كَمَا لَمْ يُؤْمِنُوْا بِهٖٓ اَوَّلَ مَرَّةٍ وَّنَذَرُهُمْ فِيْ طُغْيَانِهِمْ يَعْمَهُوْنَ ࣖ
Dan (begitu pula) Kami memalingkan hati dan penglihatan mereka seperti pertama kali mereka tidak beriman kepadanya (Al-Qur’an), dan Kami biarkan mereka bingung dalam kesesatan. (QS. Al-An’aam: 110)
Inilah yang menjadi penyebab mengapa para Salaf takut terhadap dosa. Para ulama tersebut khawatir apabila dosa tersebut menjadi Penghalang antara mereka dan husnul khatimah.
“Abdul Haqq berkata: “Ketahuilah bahwasanya su’ul khatimah (semoga Allah melindungi kita darinya) tidak akan menimpa orang yang Istiqamah secara lahir dan batin. Alhamdulillah, hal ini tidak pernah terdengar atau diketahui. Sesungguhnya su’ul khatimah hanya terjadi pada orang yang rusak aqidahnya atau terus-menerus melakukan dosa-dosa besar. Tidak menutup kemungkinan seseorang tetap dikalahkan oleh maksiat tersebut hingga ajal menjemputnya, sementara dia belum sempat bertaubat dan memperbaiki diri, sehingga syaitan berhasil merebut dan menyambarnya pada peristiwa sakaratul maut yang dahsyat. Semoga Allah melindungi kita dari hal ini.”
Ini adalah ucapan yang besar: Ketahuilah bahwasanya su’ul khatimah (semoga Allah melindungi kita darinya) tidak akan menimpa orang yang Istiqamah secara lahir dan batin. Alhamdulillah, hal ini tidak pernah terdengar atau diketahui.
Tetapi jika amalan-amalan yang baik hanya untuk dilihat, inilah yang menjadi penyebab su’ul khotimah. Aqidahnya rusak dan terus menerus bermaksiat (dosa-dosa besar).
Pada suatu hari ia naik ke menara masjid untuk mengumandangkan adzan seperti biasanya. Di bawah menara tersebut terdapat rumah seorang Nashrani. Entah mengapa ketika itu pria ini menengok ke dalam rumah tersebut sehingga tanpa sengaja melihat seorang gadis pemilik rumah, lantas dia terfitnah dengan kecantikannya. Ia pun turun menemui gadis tersebut dan meninggalkan adzan.
Sesampainya di dalam rumah tersebut, dia pun ditanya oleh wanita Nashrani itu: “Apa keperluanmu dan apa yang kau inginkan?” “Aku menginginkanmu,’ jawab pria tadi. “Mengapa? tanya si wanita. “Karena engkau telah menawan akal pikiranku dan mengambil seluruh isi hatiku,” jawab si pria. Gadis itu berseru: “Aku tidak akan pernah tertipu dengan rayuanmu.’ Pria itu pun berseru pula: “Aku ingin menikah denganmu!” “Engkau Muslim, sedangkan aku adalah Nashrani, ayahku tidak akan pernah mau menikahkan aku denganmu, sanggah wanita tadi. Muadzin ini menegaskan: “Kalau begitu, aku akan pindah ke agama Nashrani.’ Jika engkau benar-benar melakukannya, maka aku pun mau menikah denganmu, tegas wanita itu.
Kemudian, pria tersebut langsung memeluk agama Nashrani demi menikahi gadis tersebut, lalu dia pun tinggal di rumahnya. Masih pada hari yang sama, ketika siang harinya, pria tadi naik ke atap rumah untuk suatu keperluan. Tiba-tiba, dia terjatuh dari atap rumah dan akhirnya meninggal. Ironisnya, pria ini belum sempat menggauli gadis tersebut, padahal dia telah mengorbankan agamanya!”
Tatkala pria tersebut menunggu saat yang dijanjikan, datanglah seorang perantara yang lalu bercerita: “Awalnya, pemuda itu telah berjalan kemari bersamaku. Namun, begitu sampai di tengah perjalanan, dia justru pulang ke rumahnya. Aku berusaha mendorong dan membujuknya untuk tetap kemari, tetapi ia menjawab: “Orang itu senantiasa mengingatku dan tergila-gila denganku. Sungguh, aku tidak akan memasuki tempat yang meragukan dan tidak akan membiarkan diriku terkena fitnah.” Aku kembali membujuknya, tetapi pemuda ini tetap menolak. Oleh karena itu, dia pun kembali lagi ke tempat tinggalnya.”
Mendengar hal itu, si pria terjatuh lemas. Kondisinya memburuk seperti sebelumnya, sampai tampak tanda-tanda kematiannya. Dalam keadaan demikian, ia melantunkan sya’ir:
Duhai Salmu, duhai pelipur lara orang yang sakit, duhai obat bagi orang yang kurus kering lagi sekarat.
Keridhaanmu lebih diinginkan oleh hatiku dibandingkan Rahmat Sang Pencipta yang mulia.
Aku segera menyanggah ucapannya: “Wahai Fulan, bertakwalah kepada Allah.” Namun, dia menjawab: “Semua sudah terjadi.” Maka dari itu, aku meninggalkannya sendirian. Tidaklah aku melewati pintu rumahnya, melainkan pria ini telah menghembuskan napasnya yang terakhir. Kita berlindung kepada Allah dari akhir hidup yang buruk.
•┈┈┈┈┈┈•❀❁✿❁❀•┈┈┈┈┈•
اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ أَنْ أُشْرِكَ بِكَ وَأَنَا أَعْلَمُ ، وَأَسْتَغْفِرُكَ لِمَا لا أَعْلَمُ
“Ya Allah, aku meminta pada-Mu agar dilindungi dari perbuatan syirik yang kuketahui dan aku memohon ampun pada-Mu dari dosa syirik yang tidak kuketahui”.
وبالله التوفيق وصلى الله على نبينا محمد وعلى آله وصحبه وسلم