بِسْــــــــــــــــــمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ
Daurah Qatar Ke-22 Pertemuan 1
Bersama: Ustadz Mubarak Bamualim, Lc, M.H.I 𝓱𝓪𝓯𝓲𝔃𝓱𝓪𝓱𝓾𝓵𝓵𝓪𝓱
Messaied, 9 Mei 2023 / 19 Syawal 1444H
Ustadz mengawali kajian dengan syukur atas nikmat dan karunia Allâh ﷻ bagi kaum muslimin, segala puji bagi Allâh ﷻ dari yang awal hingga yang akhir.
Nikmat yang utama adalah nikmat hidayah dan amalan-amalan shalih pada agama yang haq.
Allâh ﷻ berfirman dalam Al-Qur’an Surat as-Shaf ayat 9 dan At-Taubah ayat 33 dengan redaksi yang sama:
هُوَ الَّذِيْٓ اَرْسَلَ رَسُوْلَهٗ بِالْهُدٰى وَدِيْنِ الْحَقِّ لِيُظْهِرَهٗ عَلَى الدِّيْنِ كُلِّهٖۙ وَلَوْ كَرِهَ الْمُشْرِكُوْنَ
Dialah yang mengutus Rasul-Nya dengan membawa petunjuk dan agama yang benar, untuk memenangkannya di atas segala agama meskipun orang-orang musyrik membencinya.
Nikmat terbesar kepada jin dan manusia adalah diutusnya Rasul yang terakhir, Muhammad ﷺ. Sebagai rahmat bagi semesta alam.
Allâh ﷻ berfirman pada surat Al-Anbiya’ ayat 107, yang artinya ”Dan tiadalah kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam (rahmatan lil alamin)”. Ayat tersebut menegaskan bahwa Nabi Muhammad ﷺ diutus untuk menyebarkan rahmat ke seluruh alam semesta.
Rasulullah ﷺ datang membawa dua misi:
- Al-Huda (Petunjuk) artinya ilmu yang bermanfaat.
- Agama yang haq yaitu amal yang shalih.
Untuk dia menangkan atas agama yang lain yang dengannya muncul generasi terbaik, yaitu para sahabat bagi seluruh umat, baik dahulu maupun sekarang.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
خَيْرُ النَّاسِ قَرْنِي ثُمَّ الَّذِيْنَ يَلُوْنَهُمْ ثُمَّ الَّذِيْنَ يَلُوْنَهُمْ
“Sebaik-baik manusia ialah pada generasiku, kemudian generasi berikutnya, kemudian generasi berikutnya.” (Hadits shohih. Diriwayatkan oleh al-Bukhari, no. 3651, dan Muslim, no. 2533)
Kemudian Allâh ﷻ mengkhususkan karunia yang terbesar bagi orang yang beriman.
لَقَدْ مَنَّ اللّٰهُ عَلَى الْمُؤْمِنِيْنَ اِذْ بَعَثَ فِيْهِمْ رَسُوْلًا مِّنْ اَنْفُسِهِمْ يَتْلُوْا عَلَيْهِمْ اٰيٰتِهٖ وَيُزَكِّيْهِمْ وَيُعَلِّمُهُمُ الْكِتٰبَ وَالْحِكْمَةَۚ وَاِنْ كَانُوْا مِنْ قَبْلُ لَفِيْ ضَلٰلٍ مُّبِيْنٍ
Sungguh, Allah telah memberi karunia kepada orang-orang beriman ketika (Allah) mengutus seorang Rasul (Muhammad) di tengah-tengah mereka dari kalangan mereka sendiri, yang membacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya, menyucikan (jiwa) mereka, dan mengajarkan kepada mereka Kitab (Al-Qur’an) dan Hikmah (Sunnah), meskipun sebelumnya, mereka benar-benar dalam kesesatan yang nyata.
Allâh ﷻ berfirman dalam Al-Qur’an Surat Ali Imran ayat 102:
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوا اتَّقُوا اللّٰهَ حَقَّ تُقٰىتِهٖ وَلَا تَمُوْتُنَّ اِلَّا وَاَنْتُمْ مُّسْلِمُوْنَ
Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kepada Allah sebenar-benar takwa kepada-Nya dan janganlah kamu mati kecuali dalam keadaan Muslim.
Bagaimana kiat agar amal ibadah kita meningkat?
Ada beberapa poin yang perlu kita ketahui :
- Allâh ﷻ menciptakan jin dan manusia untuk beribadah.
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْاِنْسَ اِلَّا لِيَعْبُدُوْنِ
Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepada-Ku.
Kemudian Allâh perintahkan manusia:
يٰٓاَيُّهَا النَّاسُ اعْبُدُوْا رَبَّكُمُ الَّذِيْ خَلَقَكُمْ وَالَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُوْنَۙ
Wahai manusia! Sembahlah Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dan orang-orang yang sebelum kamu, agar kamu bertakwa. (QS Al-Baqarah ayat 21).
Maka orang yang mulia adalah orang yang bertakwa.
إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ
“Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling taqwa di antara kamu.” (QS. Al Hujurat: 13)
Kita membutuhkan ibadah kepada Allâh ﷻ untuk ruh kita melebihi kebutuhan fisik makan dan minum.
Karena makan dan minum ada batasnya, tetapi ibadah tidak. Setiap saat kita memerlukannya. Maka jiwa yang lalai akan seperti tanah yang kering dan tandus.
Sebaliknya hati yang tenang akan subur dan sehat. Sesungguhnya dengan mengingat Allâh ﷻ hati menjadi tenang.
Dalam semua sisi kita membutuhkan Allâh ﷻ. Allâh ﷻ berfirman dalam Al-Qur’an Surat Fathir ayat 15-16:
۞ يٰٓاَيُّهَا النَّاسُ اَنْتُمُ الْفُقَرَاۤءُ اِلَى اللّٰهِ ۚوَاللّٰهُ هُوَ الْغَنِيُّ الْحَمِيْدُ
Wahai manusia! Kamulah yang memerlukan Allah; dan Allah Dialah Yang Mahakaya (tidak memerlukan sesuatu), Maha Terpuji.
اِنْ يَّشَأْ يُذْهِبْكُمْ وَيَأْتِ بِخَلْقٍ جَدِيْدٍۚ
Jika Dia menghendaki, niscaya Dia membinasakan kamu dan mendatangkan makhluk yang baru (untuk menggantikan kamu).
Allâh ﷻ tidak membutuhkan ibadah kita kepadaNya. Setelah Allâh ﷻ memerintahkan kita untuk beribadah, Allâh ﷻ melanjutkan ayatNya:
مَآ اُرِيْدُ مِنْهُمْ مِّنْ رِّزْقٍ وَّمَآ اُرِيْدُ اَنْ يُّطْعِمُوْنِ
QS Adzariyat ayat 57. Aku tidak menghendaki rezeki sedikit pun dari mereka dan Aku tidak menghendaki agar mereka memberi makan kepada-Ku.
Maka, seluruh ibadah hakekatnya untuk manusia itu sendiri, untuk menguji ketakwaan kita. Allah Ta’ala berfirman,
لَنْ يَنَالَ اللَّهَ لُحُومُهَا وَلَا دِمَاؤُهَا وَلَكِنْ يَنَالُهُ التَّقْوَى مِنْكُمْ
“Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridhaan) Allah, tetapi ketakwaan dari kamulah yang dapat mencapainya.” (QS. Al Hajj: 37)
Sama halnya Allâh ﷻ menciptakan Arsy-Nya bukan berarti Allâh ﷻ butuh arsy, tetapi sebaliknya Arsy butuh Allâh ﷻ.
Dalam hadits qudsi, Allah Ta’ala berfirman,
يَا عِبَادِى لَوْ أَنَّ أَوَّلَكُمْ وَآخِرَكُمْ وَإِنْسَكُمْ وَجِنَّكُمْ كَانُوا عَلَى أَتْقَى قَلْبِ رَجُلٍ وَاحِدٍ مِنْكُمْ مَا زَادَ ذَلِكَ فِى مُلْكِى شَيْئًا يَا عِبَادِى لَوْ أَنَّ أَوَّلَكُمْ وَآخِرَكُمْ وَإِنْسَكُمْ وَجِنَّكُمْ كَانُوا عَلَى أَفْجَرِ قَلْبِ رَجُلٍ وَاحِدٍ مَا نَقَصَ ذَلِكَ مِنْ مُلْكِى شَيْئًا
“Wahai hamba-Ku, kalau orang-orang terdahulu dan yang terakhir di antara kalian, sekalian manusia dan jin, mereka itu bertaqwa seperti orang yang paling bertaqwa di antara kalian, tidak akan menambah kekuasaan-Ku sedikit pun. Jika orang-orang yang terdahulu dan yang terakhir di antara kalian, sekalian manusia dan jin, mereka itu berhati jahat seperti orang yang paling jahat di antara kalian, tidak akan mengurangi kekuasaan-Ku sedikit pun juga.” (HR. Muslim no. 2577)
Allâh ﷻ berfirman
مَنْ عَمِلَ صَالِحًا فَلِنَفْسِهٖ ۙوَمَنْ اَسَاۤءَ فَعَلَيْهَا ۗوَمَا رَبُّكَ بِظَلَّامٍ لِّلْعَبِيْدِ ۔
Barangsiapa mengerjakan kebajikan maka (pahalanya) untuk dirinya sendiri dan barangsiapa berbuat jahat maka (dosanya) menjadi tanggungan dirinya sendiri. Dan Tuhanmu sama sekali tidak menzalimi hamba-hamba(-Nya). (QS Fushshilat ayat 46)
Dalam ayat lainnya:
مَنْ عَمِلَ صَالِحًا فَلِنَفْسِهٖۚ وَمَنْ اَسَاۤءَ فَعَلَيْهَا ۖ ثُمَّ اِلٰى رَبِّكُمْ تُرْجَعُوْنَ
Barangsiapa mengerjakan kebajikan maka itu adalah untuk dirinya sendiri, dan barangsiapa mengerjakan kejahatan, maka itu akan menimpa dirinya sendiri, kemudian kepada Tuhanmu kamu dikembalikan. (QS Jasiyah ayat 15)
Dalam Al-Ankabut ayat 6:
وَمَنْ جَاهَدَ فَاِنَّمَا يُجَاهِدُ لِنَفْسِهٖ ۗاِنَّ اللّٰهَ لَغَنِيٌّ عَنِ الْعٰلَمِيْنَ
Dan barangsiapa berjihad, maka sesungguhnya jihadnya itu untuk dirinya sendiri. Sungguh, Allah Mahakaya (tidak memerlukan sesuatu) dari seluruh alam.
Maka seluruh amal ibadah yang kaum muslimin lakukan, hakikatnya kembali kepada diri mereka sendiri.
Dalam Surat Al-Isra ayat 7 Allâh ﷻ berfirman :
اِنْ اَحْسَنْتُمْ اَحْسَنْتُمْ لِاَنْفُسِكُمْ ۗوَاِنْ اَسَأْتُمْ فَلَهَاۗ
Jika kamu berbuat baik (berarti) kamu berbuat baik untuk dirimu sendiri. Dan jika kamu berbuat jahat, maka (kerugian kejahatan) itu untuk dirimu sendiri.
Ibadah sifatnya Taukifiyah, artinya berlandaskan perintah dari Allâh ﷻ melalui firman-Nya dan contoh Rasulullah ﷺ.
Maka, Rasulullah selalu memerintahkan para sahabat untuk mencontoh ibadah Rasulullah ﷺ seperti :
صَلُّوا كَمَا رَأَيْتُمُونِى أُصَلِّى “
“Sholatlah kalian sebagaimana kalian melihat aku sholat.” (HR. Bukhari).
Khusus di dalam pelaksanaan ibadah haji Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
يَا أَيُّهَا النَّاسُ خُذُوا مَنَاسِكَكُمْ فَإِنِّى لاَ أَدْرِى لَعَلِّى لاَ أَحُجُّ بَعْدَ عَامِى هَذَا
“Wahai manusia, ambilah manasik kalian (dariku), karena sesungguhnya aku tidak mengetahui mungkin saja aku tidak berhaji setelah tahun ini”. (HR. Muslim dan lafazh ini dari riwayat An Nasai).
Dengan kedatangan Rasulullah ﷺ, maka ibadah Rasul-rasul sebelumnya dimansukh, dihapus dan diganti dengan syariat Rasulullah ﷺ.
- Agar ibadah diterima di sisi Allah, haruslah terpenuhi dua syarat, yaitu:
▪️ Ikhlas karena Allah.
Semua perbuatan yang dilakukan semata-mata hanya karena Allah ta’ala, sebagaimana firman-Nya:
وَمَآ أُمِرُوٓا۟ إِلَّا لِيَعْبُدُوا۟ ٱللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ ٱلدِّينَ حُنَفَآءَ وَيُقِيمُوا۟ ٱلصَّلَوٰةَ وَيُؤْتُوا۟ ٱلزَّكَوٰةَ ۚ وَذَٰلِكَ دِينُ ٱلْقَيِّمَةِ
“Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus.” (QS. Al Bayyinah : 5)
قُلْ إِنَّ صَلَاتِي وَنُسُكِي وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِي لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ
“Katakanlah sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku, dan matiku hanyalah untuk Allah Rabb semesta alam” (Q.S al-An’ām : 162)
Dalam ayat tersebut Allah mengkhususkan dua ibadah (shalat dan berkurban) karena kemuliaan dan keutamaan keduanya dan penunjukkan keduanya terhadap kecintaan kepada Allah. Keikhlasan agamanya hanya untuk Allah semata dan dalam rangka taqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah ta’ālā dengan hati, lisan serta amalan dzahir dan berkorban dengan memberikan harta yang disenangi oleh jiwa kepada Dzat yang lebih dicintainya, yaitu Allah ta’ālā.
Seperti halnya sholat, apakah ibadah kita memang ikhlas karena Allâh ﷻ atau ada niat lainnya? Seperti agar dimudahkan rezekinya? Ini merupakan sarana introspeksi bagi kita semuanya.
▪️ Mengikuti tuntunan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam (ittiba’).
Allâh ﷻ berfirman dalam Al Quran Surat Ali Imran ayat 31 yang berbunyi:
قُلْ إِن كُنتُمْ تُحِبُّونَ ٱللَّهَ فَٱتَّبِعُونِى يُحْبِبْكُمُ ٱللَّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ ۗ وَٱللَّهُ غَفُورٌ رَّحِيمٌ
Katakanlah: “Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu”. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
Dalam ayat lain:
وَمَآ اٰتٰىكُمُ الرَّسُوْلُ فَخُذُوْهُ وَمَا نَهٰىكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوْاۚ وَاتَّقُوا اللّٰهَ ۗاِنَّ اللّٰهَ شَدِيْدُ الْعِقَابِۘ
Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah. Dan bertakwalah kepada Allah. Sungguh, Allah sangat keras hukuman-Nya. (QS Al-Hasyr ayat 7)
Rasulullah ﷺ pun bersabda, “Barangsiapa mengerjakan suatu amalan yang tidak pernah kami perintahkan, maka amalan itu tertolak.” (HR. Muslim)
Jika salah satu syarat saja yang terpenuhi, maka amalan ibadah menjadi tertolak.
Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata,
اتَّبِعُوا، وَلا تَبْتَدِعُوا فَقَدْ كُفِيتُمْ، كُلُّ بِدْعَةٍ ضَلالَةٌ
“Ikutilah (petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, pen), janganlah membuat bid’ah. Karena (sunnah) itu sudah cukup bagi kalian. Semua bid’ah adalah sesat.” (Diriwayatkan oleh Ath Thobroniy dalam Al Mu’jam Al Kabir no. 8770. Al Haytsamiy mengatakan dalam Majma’ Zawa’id bahwa para perowinya adalah perawi yang dipakai dalam kitab shohih)
Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma berkata,
كُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ ، وَإِنْ رَآهَا النَّاسُ حَسَنَةً
“Setiap bid’ah adalah sesat, walaupun manusia menganggapnya baik.” (Lihat Al Ibanah Al Kubro li Ibni Baththoh, 1/219, Asy Syamilah)
- Hendaknya dalam beribadah menghadirkan tiga perkara: (Tiga unsur inilah yang disebut arkaanul ibadah atau rukun-rukun ibadah: cinta, harapan dan takut).
▪️ Kamaalul hubbi lillah: Menghadirkan rasa cinta kepada Allâh ﷻ
Kecintaan yang paling agung dan mulia di dalam kehidupan kita ini adalah kecintaan kita kepada Alloh. Dimana jika seorang hamba mencintai Alloh, maka dia akan rela untuk melakukan seluruh hal yang diperintahkan dan menjauhi seluruh hal yang dilarang oleh yang dicintainya tersebut.
Cinta kepada Alloh juga mengharuskan membenci segala sesuatu yang dibenci oleh Alloh.
▪️ Kamaalul Roja’ illallah : Mengharapkan rahmat Allâh ﷻ
Rasa harap yang dimaksud adalah antara lain harapan akan diterimanya amal kita, harapan akan dimasukkan surga, harapan untuk berjumpa dengan Alloh, harapan akan diampuni dosa, harapan untuk dijauhkan dari neraka, harapan diberikan kehidupan yang bahagia di dunia dan akhirat dan lain sebagainya.
Allâh ﷻ berfirman dalam Al-Qur’an Surat Kahfi ayat 110:
فَمَنْ كَانَ يَرْجُوْا لِقَاۤءَ رَبِّهٖ فَلْيَعْمَلْ عَمَلًا صَالِحًا وَّلَا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهٖٓ اَحَدًا
“Maka barangsiapa mengharap pertemuan dengan Tuhannya maka hendaklah dia mengerjakan kebajikan dan janganlah dia mempersekutukan dengan sesuatu pun dalam beribadah kepada Tuhannya.”
▪️ Kamaalul khauf minallah: Menghadirkan rasa takut kepada Allâh ﷻ.
Pilar lainnya yang mesti ada dalam ibadah seorang muslim adalah rasa takut. Dimana dengan adanya rasa takut, seorang hamba akan termotivasi untuk rajin mencari ilmu dan beribadah kepada Alloh semata agar bebas dari murka dan adzab-Nya. Selain itu, rasa takut inilah yang juga dapat mencegah keinginan seseorang untuk berbuat maksiat. Alloh berfirman, “(Yaitu) orang-orang yang takut akan (azab) Tuhan mereka, sedang mereka tidak melihat-Nya, dan mereka merasa takut akan (tibanya) hari kiamat.” (Al Anbiya: 49)
- Hendaknya menganggap ibadahnya tidak ada apa-apanya dihadapan Allâh ﷻ
Ini dilakukan agar tidak ada rasa ujub, amalnya tidak ada apa-apanya. Yakinkan bahwa banyak orang lain yang lebih dari dirinya. Ujub inilah yang menggugurkan amalan. Hingga timbul sifat tawadhu.
Abu Ishaq al-Huwainy menceritakan perkataan Syekh Al-Albany rahimahullah tatkala beliau mencium tangan Syaikh Al-Albani.
Beliau berkata; “Aku hanyalah Tuwailibul ilmi (penuntut ilmu kecil), aku dan kamu hanya semisal perkataan seseorang “sesungguhnya burung gagak itu di tanah kami berubah warna”.
Maksudnya sanjungan berlebihan dari orang mulia kepada orang rendahan, Subhanallah. Padahal Syaikh Al-Albani adalah muhadits abad ini dan telah menulis 217 kitab.
Dari Fudholah bin ‘Ubaid, beliau mengatakan, “Seandainya aku mengetahui bahwa Allah menerima dariku satu amalan kebaikan sebesar biji saja, maka itu lebih kusukai daripada dunia dan seisinya, karena Allah Ta’ala berfirman,
إِنَّمَا يَتَقَبَّلُ اللَّهُ مِنَ الْمُتَّقِينَ
“Sesungguhnya Allah hanya menerima (amalan) dari orang-orang yang bertakwa.” (QS. Al Ma-idah: 27)”
Maka bersyukurlah kepada Allâh dan jangan bangga dengan amal-amal kita. Tawadhu’lah.
- Selalu ada rasa khawatir, seandainya amalan kita ditolak Allâh ﷻ
Maknanya bukan putus asa, akan tetapi khawatir jika amalan kita tertolak dan agar semakin meningkatkan amal ibadah kita. Allah menyebutkan sifat-sifat orang yang selalu menjaga amalannya dan takut jika tidak diterima. Allah berfirman:
وَالَّذِينَ يُؤْتُونَ مَا آتَوْا وَقُلُوبُهُمْ وَجِلَةٌ
“Dan orang-orang yang memberikan apa yang telah mereka berikan, dengan hati yang takut.” (Surah Al-Mu’minun: 60)
Ummum Mukminin ‘Aisyah mengatakan:
يَا رَسُولَ اللَّهِ (وَالَّذِينَ يُؤْتُونَ مَا آتَوْا وَقُلُوبُهُمْ وَجِلَةٌ) أَهُوَ الرَّجُلُ الَّذِى يَزْنِى وَيَسْرِقُ وَيَشْرَبُ الْخَمْرَ قَالَ : لاَ يَا بِنْتَ أَبِى بَكْرٍ – أَوْ يَا بِنْتَ الصِّدِّيقِ – وَلَكِنَّهُ الرَّجُلُ يَصُومُ وَيَتَصَدَّقُ وَيُصَلِّى وَهُوَ يَخَافُ أَنْ لاَ يُتَقَبَّلَ مِنْهُ.
“Wahai Rasulullah! Apakah yang dimaksudkan dalam ayat ‘Dan orang-orang yang memberikan apa yang telah mereka berikan, dengan hati yang takut’, adalah orang yang berzina, mencuri dan meminum khomr?”
Rasulullah ﷺ lantas menjawab, “Wahai putri Ash-Shidiq! Yang dimaksud dalam ayat tersebut bukanlah seperti itu. Bahkan yang dimaksudkan dalam ayat tersebut adalah orang yang yang berpuasa, yang bersedekah dan yang salat, namun ia khawatir amalannya tidak diterima.” (HR At-Turmidzi No 3175 dan Ibnu Majah No 4198)
Ibnu Diinar berkata: “Tidak diterimanya amalan lebih kukhawatirkan daripada banyak beramal.”
Ali bin Abi Thalib mengatakan, “Mereka para salaf begitu berharap agar amalan-amalan mereka diterima daripada banyak beramal. Bukankah engkau mendengar firman Allah Ta’ala,
إِنَّمَا يَتَقَبَّلُ اللَّهُ مِنَ الْمُتَّقِينَ
“Sesungguhnya Allah hanya menerima (amalan) dari orang-orang yang bertakwa.” (QS. Al Ma-idah: 27)”
- Memperbanyak Do’a
Agar Allâh ﷻ menerima amal ibadah kita. Karena kita manusia biasa.
Allâh ﷻ berfirman dalam Al-Qur’an QS. Al-Baqarah Ayat 127:
وَاِذْ يَرْفَعُ اِبْرٰهٖمُ الْقَوَاعِدَ مِنَ الْبَيْتِ وَاِسْمٰعِيْلُۗ رَبَّنَا تَقَبَّلْ مِنَّا ۗ اِنَّكَ اَنْتَ السَّمِيْعُ الْعَلِيْمُ
Dan (ingatlah) ketika Ibrahim meninggikan pondasi Baitullah bersama Ismail, (seraya berdoa), “Ya Tuhan kami, terimalah (amal) dari kami. Sungguh, Engkaulah Yang Maha Mendengar, Maha Mengetahui.
- Memperbanyak Istighfar
Kalau kita cermati, ibadah yang kita lakukan selalu diakhiri dengan istighfar.
Mengapa kita harus beristighfar setelah shalat. Bukankah shalat itu ibadah? Mengapa kita istighfar sesuai ibadah?
Karena kita sangat yakin, dalam ibadah shalat yang kita lakukan sangat rentan dengan kekurangan. Dan kita mohon ampun atas semua kekurangan yang kita lakukan ketika shalat. Hadirkan perasaan semacam ini ketika anda membaca istighfar setelah shalat. Agar ucapan istighfar kita lebih berarti.
Demikian juga seusai haji, Allah perintahkan agar di penghujung pelaksanaan haji, kaum muslimin banyak beristighfar,
فَإِذَا أَفَضْتُمْ مِنْ عَرَفَاتٍ فَاذْكُرُوا اللَّهَ عِنْدَ الْمَشْعَرِ الْحَرَامِ وَاذْكُرُوهُ كَمَا هَدَاكُمْ وَإِنْ كُنْتُمْ مِنْ قَبْلِهِ لَمِنَ الضَّالِّينَ (198) ثُمَّ أَفِيضُوا مِنْ حَيْثُ أَفَاضَ النَّاسُ وَاسْتَغْفِرُوا…
Apabila kamu telah bertolak dari ‘Arafat, berdzikirlah kepada Allah di Masy’aril-haram. Dan berdzikirlah (dengan menyebut) Allah sebagaimana yang ditunjukkan-Nya kepadamu; dan sesungguhnya kamu sebelum itu benar-benar termasuk orang-orang yang sesat. Kemudian bertolaklah kamu dari tempat bertolaknya orang-orang banyak (‘Arafah) dan mohonlah ampun kepada Allah; (QS. al-Baqarah: 198 – 199)
- Memperbanyak amalan-amalan shalih
Diantara keluasan Allâh ﷻ adalah menciptakan amalan-amalan sunnah selain yang wajib, agar kita bisa masuk ke dalam setiap pintu amalan tersebut. Baik sholat, puasa, dzikir atau amalan-amalan lainnya.
Seperti kisah pelacur yang mengampuni dosanya karena memberi minum anjing yang kehausan.
Demikian juga memperbaiki dzikir dalam setiap keadaan. Hal yang kecil bisa jadi menjadi amalan yang diterima dan menjadi sebab kita masuk surga. Aamiin.
•┈┈┈┈┈┈•❀❁✿❁❀•┈┈┈┈┈•
اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ أَنْ أُشْرِكَ بِكَ وَأَنَا أَعْلَمُ ، وَأَسْتَغْفِرُكَ لِمَا لا أَعْلَمُ
“Ya Allah, aku meminta pada-Mu agar dilindungi dari perbuatan syirik yang kuketahui dan aku memohon ampun pada-Mu dari dosa syirik yang tidak kuketahui”.
وبالله التوفيق وصلى الله على نبينا محمد وعلى آله وصحبه وسلم