بِسْــــــــــــــــــمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ
Kajian Senin – Kitab Ad Daa’ wa Ad Dawaa’
Karya: Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah Rahimahullah
Bersama: Ustadz Abu Hazim Syamsuril Wa’di, SH, M.Pd Hafidzahullah
Al Khor, 29 Rabi’ul Akhir 1445 / 13 November 2023
BAB VIII: MENJAGA KESUCIAN DIRI
Pasal: Kerusakan Homoseksual dan Hukumannya
Pada pertemuan sebelumnya, penyebab su’ul khotimah:
1. Hanyut pada dunia dan berangan-angan dengannya.
2. berpaling dari akhirat.
3. Dia lancang dan berani melakukan maksiat kepada Allâh ﷻ.
▪️ Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah Rahimahullah berkata:
Mengingat kerusakan homoseks merupakan salah satu kerusakan terbesar, maka hukumannya di dunia dan di akhirat juga merupakan hukuman terberat. Terdapat perbedaan pendapat tentang hukuman
homoseks, apakah lebih berat daripada zina, lebih ringan, ataukah sama saja? Ada tiga pendapat dalam masalah ini:
1. Abu Bakar ash-Shiddiq, ‘Ali bin Abi Thalib, Khalid bin al-Walid, Abdullah bin az-Zubair, ‘Abdullah bin ‘ Abbas, Jabir bin Zaid, ‘Abdullah bin Ma’mar, az-Zuhri, Rabi’ah bin Abdurrahman, Malik, Ishaq bin Rahawaih, Imam Ahmad (berdasarkan riwayat yang paling shahih dari dua riwayat yang datang dari beliau) dan asy-Syafi’i – dalam salah satu pendapatnya- berpendapat bahwa hukuman homoseks lebih berat daripada hukuman zina. Pendapat ini menyatakan bahwa hukuman homoseks adalah dibunuh, bagaimanapun keadaan pelakunya, baik muhshan (sudah menikah) maupun bukan.
2. Atha bin Abi Rabah, al-Hasan al-Bashri, Sa’id bin al-Musayib, Ibrahim an-Nakha’i, Qatadah, al-Auza’i, Asy-Syafi’i -berdasarkan zhahir madzhabnya -Imam Ahmad – berdasarkan riwayat kedua dari beliau–Abu Yusuf, dan Muhammad berpendapat bahwa hukuman homoseks sama dengan hukuman zina.
3. Al-Hakam dan Abu Hanifah berpendapat bahwa hukuman homoseks lebih ringan daripada hukuman zina, yaitu ta`zir (hukuman lain yang tidak ditetapkan syari’at).
Orang-orang yang menganut pendapat ketiga ini beralasan bahwa Allah dan Rasul-Nya belum menetapkan hukuman hadd tertentu dalam maksiat ini sehingga hukumannya adalah ta`zir, seperti orang yang makan bangkai, darah, atau daging babi.
Alasan lainnya, homoseks merupakan persetubuhan yang berseberangan dengan tabiat manusia, sampai-sampai Allâh ﷻ menjadikan binatang saja menjauhinya. Oleh sebab itu, maksiat ini tidak terkena hukuman hadd, seperti halnya menyetubuhi keledai dan semisalnya.
Alasan berikutnya, pelaku homoseks tidak dinamakan sebagai pezina, baik secara etimologi, terminologi, maupun adat yang berlaku, sehingga ia tidak termasuk dalam nash-nash yang menerangkan hukuman atas pezina.
Selanjutnya, mereka berkata: “Setelah mencermati Kaidah-kaidah syari’at, kami mendapati bahwa jika pelaksanaan suatu maksiat terhalangi oleh tabiat, maka maksiat itu tidak terkena hukuman hadd karena ia telah dicukupkan dengan adanya penghalang tersebut. Namun apabila maksiat itu diinginkan oleh tabiat maka terdapat hukuman hadd yang sesuai tingkat keinginan tabiat tersebut. Karena itulah hukuman yang sesuai hadd itu dijatuhkan atas perbuatan zina, pencurian, dan minum khamr, tetapi tidak dijatuhkan atas makan bangkai, darah, dan daging babi.
Analogi yang baku dalam hal ini adalah tidak adanya badd dalam masalah menyetubuhi hewan atau mayat.
Allah telah menjadikan tabiat seorang pria benar-benar jijik dari perbuatan menyetubuhi sesama jenisnya, begitu juga mengajak pria iain untuk menyetubuhinya. Berbeda dengan zina, yang faktor pendorongnya terdapat pada kedua belah pihak, Lebih lanjut, mereka berkata: “Jika seseorang merasakan kenikmatan dengan menyetubuhi sesama jenisnya, maka dia tidak terkena hadd, seperti halnya seorang wanita yang melakukan lesbi dengan wanita lainnya, yang keduanya sama-sama merasakan kenikmatan.”
Golongan pendapat pertama, yaitu mayoritas ummat ini, bahkan lebih dari seorang ulama menyatakan pendapat ini sebagai ijma’ atau kesepakatan Sahabat, mengatakan bahwa tidak ada satu maksiat pun yang tingkat kerusakannya lebih besar daripada homoseks, kecuali kekufuran. Bahkan, bisa jadi tingkat kerusakan homoseks lebih besar daripada pembunuhan, sebagaimana yang akan kami jelaskan.
Para ulama tersebut berkata: “Allâh ﷻ belum pernah menimpakan cobaan dosa besar ini kepada seorang pun sebelum kaum Luth. Allâh ﷻ juga tidak pernah menimpakan suatu hukuman seperti halnya hukuman yang dijatuhkan kepada kaum ini, yaitu Allah menggabungkan berbagai macam hukuman dan kebinasaan untuk mereka. Tempat tinggal kaum Luth dijungkirbalikkan bersama mereka, lalu mereka dirajam dengan batu-batu dari langit. Allah mengadzab kaum Luth dengan adzab yang belum ditimpakan kepada satu ummat pun sebelum mereka.
Hal ini tentu saja disebabkan besarnya kerusakan yang timbul dari kejahatan ini, sampai-sampai hampir segala sisi bumi itu bergoncang ketika maksiat ini dilakukan di atas permukaannya. Malaikat-Malaikat dari segenap penjuru langit dan bumi lari ketika menyaksikannya karena takut jika adzab yang turun kepada para pelakunya juga mengenai mereka, bumi berteriak memohon kepada Rabbnya yang Mahasuci lagi Mahatinggi, dan hampir-hampir pegunungan itu sirna dari tempatnya.
Membunuh objek maksiat ini masih lebih baik dibandingkan menyetubuhinya. Sebab, jika pelaku homoseks menyetubuhinya maka ia telah membunuhnya dengan suatu “pembunuhan” yang tidak dapat diharapkan lagi kehidupannya. Berbeda dengan membunuhnya. Dengan pembunuhan yang hakiki, objek tadi menjadi orang yang dizhalimi dan mati syahid, sehingga dia mendapatkan manfaat dari pembunuhan tersebut untuk akhiratnya”.
Mereka melanjutkan: “Dalilnya, Allah menjadikan hukuman hadd atas pembunuh tergantung pada pilihan wali pihak yang terbunuh. Maksudnya, wali tersebut boleh memaafkannya atau membunuhnya, sesuai dengan kehendaknya. Namun, Allâh ﷻ menetapkan pelaku homoseks itu dibunuh, sebagaimana kesepakatan para Sahabat Rasul seperti juga yang ditunjukkan oleh sunnah Rasulullah ﷺ yang shahih jelas, dan tidak ada yang menentangnya, bahkan telah diamalkan oleh Khulafaur Rasyidin”.
Telah ditetapkan dari Khalid bin al-Walid, bahwasanya dia pernah menemui, di salah satu daerah pinggiran Arab, seorang pria yang dinikahi (disetubuhi) sebagaimana halnya wanita. Ia pun menulis surat kepada Abu Bakar ash-Shiddiq Radhiyallahu’anhu tentang peristiwa ini. Abu Bakar lalu bermusyawarah dengan para Sahabat. Ketika itu, pendapat yang paling dominan dalam masalah ini adalah pendapat ‘Ali bin Abi Thalib. Ia berkata: “Tidak ada yang melakukan hal ini, kecuali satu ummat saya, dan kalian telah mengetahui apa yang Allah perbuat terhadap mereka.
Oleh karena itu, “aku berpendapat bahwa dia harus dibakar.” Lantas, Abu Bakar menuliskan hal tersebut kepada Khalid, hingga kemudian Khalid pun membakar pelaku homoseks tadi.
Diriwayatkan oleh al-Ajurri dalam Tabrimul Liwaath (no. 29), al-Baihaqi dalam as-Sunan
(VIII/232), dan Ibnu Hazm dalam al-Muhalla (XI/380).
Abdullah bin Abbas berkata: “Dicari bangunan yang paling tinggi di daerah tersebut, lalu pelaku homoseks dilemparkan dari atasnya dalam kondisi terbalik (kepala di bawah dan kaki di atas), sambil dilempari dengan batu.”
Diriwayatkan oleh ad-Duri dalam Dzammul al Liwaath (48), al-Ajjuri dalam Tahrimul Liwaath (hlm. 30), Ibnu Abi Syaibah dalam Mushannaf (no. (IX/529), dan al-Baihaqi dalam (VII/232).
Ibnu “Abbas mengambil hukuman hadd tersebut dari hukuman Allah kepada kaum Luth. Sahabat ini meriwayatkan dari Nabi ﷺ bahwasanya beliau bersabda: “Barang Siapa yang mendapati orang yang melakukan perbuatan kaum Luth maka bunuhlah pelaku dan objeknya.”
Hadits ini diriwayatkan oleh para penyusun kitab Sunan, serta dishahihkan oleh Ibnu Hibban dan selainnya. Imam Ahmad berhujjah dengan hadits ini. Sanadnya sesuai dengan syarat al-Bukhari.
Mereka melanjutkan: “Telah ditetapkan hadits dari Nabi ﷺ beliau bersabda: “Allah melaknat orang yang melakukan perbuatan kaum Luth. Allah melaknat orang yang melakukan perbuatan kaum Luth. Allah melaknat orang yang melakukan perbuatan kaum Luth.”
HR. Ahmad (1/309), Abu Ya’la (no. 2539), Ibnu Hibban (no. 4417), al-Hakim (IV/356), ath-Thabrani (11546), dan al-Baihaqi (VIII/231), dari Ibnu Abbas dengan sanad shahih.
Laknat sebanyak tiga kali dalam satu hadits tidaklah terdapat untuk pelaku zina. Nabi ﷺ juga melaknat sejumlah pelaku dosa besar, tetapi udak pernah mengucapkan laknat lebih dari sekali. Namun, beliau melaknat pelaku homoseks dan menegaskannya sebanyak tiga kali.
Para Sahabat Nabi ﷺ sepakat bahwa hukuman pelaku homoseks adalah dibunuh. Tidak ada Sahabat yang berselisih dalam hal ini. Mereka hanya berselisih dalam tata cara membunuhnya.
▪️ Syarah oleh Syeikh Abdurrazaq Al-Badr Hafidzahullah:
Pendapat terkuat pada hukuman liwaath adalah Pendapat pertama, yang menyatakan bahwa hukuman homoseks adalah dibunuh, bagaimanapun keadaan pelakunya, baik muhshan (sudah menikah) maupun bukan. Ini menunjukkan beratnya pelaku dosa besar ini.
▪️ Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah Rahimahullah berkata:
Dan barangsiapa yang memperhatikan firman Allâh ﷻ dalam Al-Qur’an:
وَلَا تَقْرَبُوا الزِّنَا ۖ إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَسَاءَ سَبِيلًا
“Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. Dan suatu jalan yang buruk.” (Qs al-Isra’: 32).
وَلُوطًا إِذْ قَالَ لِقَوْمِهِ إِنَّكُمْ لَتَأْتُونَ الْفَاحِشَةَ مَا سَبَقَكُمْ بِهَا مِنْ أَحَدٍ مِنَ الْعَالَمِينَ
“Dan (ingatlah) ketika Luth berkata pepada kaumnya: “Sesungguhnya kamu benar-benar mengerjakan perbuatan yang amat keji yang belum pernah dikerjakan oleh seorangpun dari umat-umat sebelum kamu”. (Qs al-‘Ankabut: 28)
💡 Perbedaan pada makna keduanya:
Kata فَاحِشَةً dibuat nakirah maksudnya perbuatan keji (zina) masuk di dalam salah satu dari banyaknya perbuatan keji. Sedangkan pada perbuatan liwath dibuat kata ma’rifah الْفَاحِشَةَ menunjukkan seluruh perbuatan keji masuk pada perbuatan homoseksual ini.
Ini menunjukkan pendapat homoseksual lebih berat daripada perbuatan zina. Na’udzubillahi.
•┈┈┈┈┈┈•❀❁✿❁❀•┈┈┈┈┈•
اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ أَنْ أُشْرِكَ بِكَ وَأَنَا أَعْلَمُ ، وَأَسْتَغْفِرُكَ لِمَا لا أَعْلَمُ
“Ya Allah, aku meminta pada-Mu agar dilindungi dari perbuatan syirik yang kuketahui dan aku memohon ampun pada-Mu dari dosa syirik yang tidak kuketahui”.
وبالله التوفيق وصلى الله على نبينا محمد وعلى آله وصحبه وسلم