بِسْــــــــــــــــــمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ

Kajian Ahad – Doha
Membahas: Mulakhas Fiqhi – Syaikh Shalih bin Fauzan Al Fauzan 𝓱𝓪𝓯𝓲𝔃𝓱𝓪𝓱𝓾𝓵𝓵𝓪𝓱
Bersama Ustadz Hanafi Abu Arify, Lc 𝓱𝓪𝓯𝓲𝔃𝓱𝓪𝓱𝓾𝓵𝓵𝓪𝓱
Doha, 3 Sya’ban 1446 / 2 Februari 2025



KITAB SHALAT
Kewajiban dan Keutamaan Shalat Berjama’ah – Bagian 5

Jumlah minimal yang sah shalat berjama’ah adalah dua orang : imam dan makmum.

Sedikitnya, shalat Jama’ah dapat dilakukan oleh dua orang. Karena kata jama’ah itu sendiri diambil dari akar kata ijtimaa’ (berkumpul). Dua adalah jumlah terkecil yang bisa merealisasikan ‘berkumpul’.

Juga berdasarkan hadits Abu Musa secara marfu’:

Dua orang atau lebih adalah jama’ah.”

Hadits dha’if. Diriwayatkan oleh Ibnu Majah (972) (I:517)kitab lqamat ash’ Shalawat, bab 44. Didha’ifkan oleh Syaikh al-Albani dalam lrwaa’ al-Ghalil (no. 489). Perawi Ar-Rabi bin Badr adalah lemah.

Dari Abu Sa’id Al Khudri –radhiyallahu ‘anhu- bahwa Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- telah melihat seseorang shalat sendirian dan bersabda:

أَلا رَجُلٌ يَتَصَدَّقُ عَلَى هَذَا ، فَيُصَلِّيَ مَعَهُ صححه الألباني في صحيح الجامع (2652) .

Tidakkah ada seseorang yang mau bersedekah kepada orang ini ?, lalu ia shalat bersamanya”. (Telah dinyatakan shahih oleh Albani di dalam Shahih Al Jami’: 2652)

Telah disebutkan di dalam kitab Aunul Ma’bud: “Untuk mendapatkan pahala berjama’ah, maka seakan ia telah diberikan sedekah kepadanya”.

Ibnu Qudamah rahimahullah : shalat berjama’ah sah dengan dua orang atau lebih. Kami tidak mendapatkan silang pendapat dalam masalah ini (Al Mughni).

Posisi makmum Jika shalat berjama’ah hanya dua orang

Jika keduanya laki-laki maka posisinya sejajar dan makmum terletak di samping kanan imam.

Sebagaimana hadits dari Ibnu ‘Abbas radhiallahu’ahuma, ia berkata:

بِتُّ فِي بَيْتِ خَالَتِي مَيْمُونَةَ فَصَلَّى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ العِشَاءَ، ثُمَّ جَاءَ، فَصَلَّى أَرْبَعَ رَكَعَاتٍ، ثُمَّ نَامَ، ثُمَّ قَامَ، فَجِئْتُ، فَقُمْتُ عَنْ يَسَارِهِ فَجَعَلَنِي عَنْ يَمِينِهِ، فَصَلَّى خَمْسَ رَكَعَاتٍ، ثُمَّ صَلَّى رَكْعَتَيْنِ، ثُمَّ نَامَ

Saya pernah menginap di rumah bibiku, Maimunah (binti Al Harits, istri Rasulullah). Aku melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat isya (di masjid), kemudian beliau pulang, dan shalat 4 rakaat. Lalu beliau tidur. Kemudian beliau bangun malam. Akupun datang dan berdiri di sebelah kiri beliau. Lalu beliau memindahkanku ke sebelah kanannya. Beliau shalat 5 rakaat, kemudian shalat dua rakaat, lalu tidur kembali” (HR. Bukhari no. 117, 697).

Dalam riwayat lain:

أتيتُ رسول الله – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – من آخر الليل فصلّيتُ خلفه، فأخَذ بيدي فجرّني فجعلني حذاءه

Aku (Ibnu Abbas) mendatangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika sedang shalat di akhir malam. Maka aku pun shalat di belakang beliau. Lalu beliau mengambil tanganku dan menarikku hingga sejajar dengan beliau” (HR. Ahmad 1/330, dan dishahihkan oleh Syuaib Al-Arnauth dalam Takhrij Musnad Ahmad).

Madzhab Hanabilah dan Syafiiah berpendapat: makmum agak mundur karena kedudukan imam mengharuskan keberadaan imam harus ada di depan makmum.

Hanabilah dalam kitab Al-Mubdi’ Sharh al-Muqni’ – “Tidak masalah bila makmum tidak sejajar dengan imam dengan mundur sedikit, sekira menjadi jelas bagi orang yang melihat bahwa dia adalah makmum.”

Al Hafizh Ibnu Hajar berkata dalam Fathul Bari:

وَقَدْ قَالَ أَصْحَابُنَا : يُسْتَحَبُّ أَنْ يَقِفَ الْمَأْمُومُ دُونَهُ قَلِيلًا

Para sahabat kami (Syafi’iyyah) mengatakan: disunnahkan posisi makmum adalah dibelakang sedikit (dari imam).”

Beliau berkata lagi:

وَفِي الْمُوَطَّأِ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُتْبَةَ بْنِ مَسْعُودٍ قَالَ : دَخَلْتُ عَلَى عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ بِالْهَاجِرَةِ فَوَجَدْتُهُ يُسَبِّحُ فَقُمْتُ وَرَاءَهُ فَقَرَّبَنِي حَتَّى جَعَلَنِي حِذَاءَهُ عَنْ يَمِينِهِ

Dalam Al Muwaththa’, dari Abdullah bin ‘Utbah bin Mas’ud, dia berkata: “Aku masuk menemui Umar bin Al Khathab di siang hari, aku temui Beliau sedang bertasbih, lalu aku berdiri di belakangnya, dia menarik aku untuk MENDEKAT sampai berada di samping kanannya.” (Fathul Bari, 3/38)

Yang kuat adalah sejajar imam, Keterangan ini juga dikuatkan oleh riwayat dari Nafi (menantu Ibnu Umar). Beliau menceritakan,

قُمْتُ وَرَاءَ عَبْدِ اللهِ بْنِ عُمَرَ فِي صَلاَةٍ مِنَ الصَّلَوَاتِ، وَلَيْسَ مَعَهُ أَحَدٌ غَيْرِي. فَخَالَفَ عَبْدُ اللهِ بِيَدِهِ، فَجَعَلَنِي حِذَاءَهُ عَنْ يَمِينِهِ

Saya berdiri di belakang Abdullah bin Umar ketika melaksanakan satu shalat tertentu. Dan tidak ada seorang pun bersama Ibnu Umar selain aku. Kemudian tangan Abdullah bin Umar menggayuh ke belakang, dan menarikku sejajar beliau di sebelah kanan beliau. (HR. Malik dalam Al-Muwatha’, 443)

Posisi Jama’ah perempuan

Posisinya berada dibelakang imam. Sebagaimana hadits:

عَنْ أَنَسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: صَلَّى رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقُمْتُ وَيَتِيمٌ خَلْفَهُ، وَأُمُّ سُلَيْمٍ خَلْفَنَا. مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ، وَاللَّفْظُ لِلْبُخَارِيِّ.

Dari Anas radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat lalu aku dan seorang anak yatim berdiri di belakangnya, sedang Ummu Sulaim berdiri di belakang kami.” (Muttafaqun ‘alaih. Lafaz hadits ini menurut riwayat Al-Bukhari). [HR. Bukhari, no. 727, 870 dan Muslim, no. 658]

Mengimami seorang wanita sendirian

Kalau seorang wanita bermakmum di belakang suami atau yang masih mahrom dengannya, ini dibolehkan karena tidak ada ikhtilath yaitu campur baur yang terlarang di antara pria dan wanita karena masih mahrom.

Namun jika wanita tersebut bermakmum sendirian di belakang imam yang bukan mahrom tanpa ada jama’ah wanita atau pria lainnya, maka ini terlarang. Dalilnya adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

أَلاَ لاَ يَخْلُوَنَّ رَجُلٌ بِامْرَأَةٍ لاَ تَحِلُّ لَهُ ، فَإِنَّ ثَالِثَهُمَا الشَّيْطَانُ ، إِلاَّ مَحْرَمٍ

Janganlah seorang laki-laki berduaan dengan seorang wanita yang tidak halal baginya karena sesungguhnya syaithan adalah orang ketiga di antara mereka berdua kecuali apabila bersama mahromnya. (HR. Ahmad no. 15734. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan hadits ini shohih ligoirihi)

Namun boleh jika ada wanita yang lain, sedangkan imamnya sendiri tanpa ada jama’ah pria karena pada saat ini sudah tidak ada fitnah (godaan dari wanita). Akan tetapi, jika masih ada fitnah, tetap hal ini tidak dibolehkan. (Lihat Shahih Fiqih Sunnah, Abu Malik, 510)

Demikian juga pendapat Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah, karena semua wasilah yang menuju hal yang haram adalah diharamkan. Kecuali jika ada wanita lainya, namun jika takut terjadi fitnah, maka hukumnya menjadi haram (Syarah Al-mumthi’)

HUKUM SHALAT BERJAMA’AH BAGI WANITA

Kaum wanita juga diperbolehkan mengikuti shalat berjama’ah di masjid, dengan ijin suami mereka, tanpa mengenakan wewangian dan tanpa berdandan ala jahiliyah. Di samping juga harus berhijab secara sempurna dan menghindari bercampur baur dengan kaum pria. Hendaknya mereka memilih shaff di belakang kaum pria. Hal ini dikarenakan kaum wanita di jaman Nabi ﷺ juga mengikuti shalat berjama’ah.

Kebolehan hadir di masjid bagi wanita itu diikat dengan 2 (dua) syarat.

  • Pertama, ada izin dari suami atau wali (jika belum nikah). Dalilnya sabda Nabi ﷺ : “Jika isteri-isterimu meminta izin ke masjid-masjid, maka izinkanlah mereka.” (HR Muslim, Bukhari, Ahmad, dan Ibn Hibban).
  • Kedua, tak memakai wangi-wangian, atau semisalnya yang dapat menimbulkan mafsadat bagi wanita. Sabda Nabi ﷺ : “Janganlah kamu melarang wanita-wanita hamba Allah pergi ke masjid-masjid Allah, tapi hendaklah mereka keluar tanpa wangi-wangian.” (HR Abu Dawud, Ahmad, Ibn Khuzaimah, Darimi, dan Baihaqi).

Jadi, jika wanita keluar tanpa izin suami/wali, hukumnya haram. (As-Sayyid Al-Bakri, I’anah Ath-Thalibin, 2/5). Namun disunnahkan suami/wali memberikan izin. (Imam Nawawi, Al-Majmu’, 4/199).

Disunnahkan juga bagi mereka untuk menghadiri majlis-majlis nasihat dan ta’lim secara terpisah dari kaum laki-laki.

Disunnahkan bagi kaum wanita untuk shalat berjama’ah bersama sesama wanita, secara terpisah dari kaum pria. Baik diimami oleh sesama wanita, atau diimami seorang pria. Karena Nabi ﷺ , pernah memerintahkan ummu Waraqah untuk mengangkat seorang muadzin, lalu memerintahkan wanita tersebut untuk menjadi imam bagi kaum wanita di rumahnya.” Diriwayatkan oleh Ahmad dan Ahlus Sunan.

Selain Ummu Waraqah, hal tersebut juga dilakukan oleh para Sahabat wanita lainnya.

Namun shalat terbaik bagi wanita adalah di rumah masing-masing. Dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

صَلاَةُ الْمَرْأَةِ فِى بَيْتِهَا أَفْضَلُ مِنْ صَلاَتِهَا فِى حُجْرَتِهَا وَصَلاَتُهَا فِى مَخْدَعِهَا أَفْضَلُ مِنْ صَلاَتِهَا فِى بَيْتِهَا

Shalat seorang wanita di kamar khusus untuknya lebih afdhal daripada shalatnya di ruang tengah rumahnya. Shalat wanita di kamar kecilnya (tempat simpanan barang berharganya, pen.) lebih utama dari shalatnya di kamarnya.” (HR. Abu Daud, no. 570. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa sanad hadits ini dha’if. Syaikh Al-Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih. Lihat pengertian hadits ini dalam ‘Aun Al-Ma’bud, 2: 225).

Posisi Imam Perempuan dalam Shalat Berjama’ah

Untuk imam jamaah wanita, berada di tengah shaf paling depan, sejajar tetapi lebih maju sedikit. Bukan berada sendirian paling depan seperti imam laki-laki dalam shalat.

Pendapat ini sebagaimana bersumber dari hadits yang diriwayatkan dari Aisyah Binti Abu Bakar Radhiyallahu’anhu dan Ummu Salamah Radhiyallahu’anhu. Dari Ibnu Abbas radhiyallahuanhu bahwa seorang wanita mengimami jamaah shalat dari kaum wanita, dan ia (imam) berdiri di tengah-tengah mereka (yang ada di barisan paling depan).”

•┈┈┈┈┈┈•❀❁✿❁❀•┈┈┈┈┈•

اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ أَنْ أُشْرِكَ بِكَ وَأَنَا أَعْلَمُ ، وَأَسْتَغْفِرُكَ لِمَا لا أَعْلَمُ

“Ya Allah, aku meminta pada-Mu agar dilindungi dari perbuatan syirik yang kuketahui dan aku memohon ampun pada-Mu dari dosa syirik yang tidak kuketahui”.

وبالله التوفيق وصلى الله على نبينا محمد وعلى آله وصحبه وسلم