بِسْــــــــــــــــــمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ

Kajian Senin – Kitab Ad Daa’ wa Ad Dawaa’
Karya: Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah Rahimahullah
Bersama: Ustadz Abu Hazim Syamsuril Wa’di, SH, M.Pd, Ph.D Hafidzahullah
Al Khor, 13 Rabi’ul Awal 1446 / 16 September 2024.



Jalan untuk Meraih Kebahagian

Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah Rahimahullah berkata:

Manusia yang paling berakal adalah orang yang mengedepankan kelezatan dan kesenangan yang abadi dibandingkan kesenangan yang singkat, fana, dan terputus.

Sebaliknya, orang yang paling bodoh adalah orang yang menjual kenikmatan yang abadi, kehidupan yang kekal, dan kelezatan yang agung, yang sama sekali tidak ada suatu kekurangan pun di dalamnya, dengan suatu kelezatan yang terputus, singkat, fana, dan tercemari oleh kepedihan serta kekhawatiran.

Sebagian ulama berkata: “Aku memikirkan tindakan orang-orang berakal. Aku pun mendapati bahwa seluruhnya berusaha menggapai satu tujuan meskipun cara mereka untuk mendapatkannya berbeda-beda. Aku melihat semuanya berusaha mengusir kegundahan dan kegelisahan dari diri mereka. Ada yang dengan cara makan dan minum, ada yang dengan berdagang dan bekerja, ada yang dengan menikah, ada yang dengan mendengarkan musik dan nyanyian, serta ada yang dengan permainan dan perkara yang sia-sia.

Atas dasar itu, aku menyimpulkan bahwa tujuan mereka itu sesuai dengan tuntutan orang-orang yang berakal. Hanya saja, semua jalan itu tidak akan mengantarkan mereka untuk meraihnya, bahkan mayoritas justru membawa mereka sampai kepada lawan dari tuntutan tersebut.

Syarah oleh Syeikh Abdurrazaq Al-Badr Hafidzahullah :

Ini adalah ungkapan yang sangat bagus yang disampaikan ahli ilmu. Dimana apa yang dipikirkan oleh orang yang berakal untuk menghindarkan dari kegundahan dan kesedihan dari mereka. Maksudnya adalah mencari kebahagian, inilah tujuan semua orang.

Dan jalan yang mereka tempuh untuk mendapatkan kebahagian itu berbeda-beda. Karena ada yang mencari kebahagiaan dari jalan yang salah, mengorbankan kebahagian yang fana dengan kebahagian yang semu. Ada yang mencari kebahagiaan dengan makan dan minum, ada yang dengan bekerja keras, ada yang dengan bermain musik. Dan ini tidak menghantarkan mereka pada kebahagian akan tetapi mendapat lawannya.

Sebagian ada yang mencari kebahagiaan dengan membaca Al-Qur’an, ada yang dengan menuntut ilmu syar’i bahkan ada yang dengan bertani dan menghadiri konser. Karenanya, ada yang menjadi binasa dunia dan akhiratnya.

Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah Rahimahullah berkata:

Aku tidak melihat satu jalan pun dari jalan-jalan tadi yang mengantarkan kepada tujuan, kecuali dengan jalan menghadap Allah, bermuamalah dengan-Nya, dan mendahulukan ridha-Nya atas segala sesuatu.

Syarah oleh Syeikh Abdurrazaq Al-Badr Hafidzahullah :

Allah ﷻ berfirman dalam Al-Qur’an Surat Thaha ayat 123:

فَإِمَّا يَأْتِيَنَّكُم مِّنِّى هُدًى فَمَنِ ٱتَّبَعَ هُدَاىَ فَلَا يَضِلُّ وَلَا يَشْقَىٰ

Maka jika datang kepadamu petunjuk daripada-Ku, lalu barangsiapa yang mengikut petunjuk-Ku, ia tidak akan sesat dan tidak akan celaka.

Inilah kebahagiaan sejati. Allah ﷻ berfirman dalam Surat An-Nahl Ayat 97:

مَنْ عَمِلَ صَٰلِحًا مِّن ذَكَرٍ أَوْ أُنثَىٰ وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهُۥ حَيَوٰةً طَيِّبَةً ۖ وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ أَجْرَهُم بِأَحْسَنِ مَا كَانُوا۟ يَعْمَلُونَ

Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.

Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah Rahimahullah berkata:

Orang yang menempuh jalan tersebut, meskipun kehilangan bagiannya di dunia, niscaya akan mendapatkan bagian yang tinggi dan tidak akan pernah hilang.

Syarah oleh Syeikh Abdurrazaq Al-Badr Hafidzahullah :

Ini adalah peringatan yang penting sekali. Bisa jadi orang yang menempuh jalan ini terkadang kehilangan bagian di dunia. Jangan bersedih, jangan kau pedulikan urusan dunia, selama kamu memikirkan tempat yang tinggi maka tidak akan memudharatkan bagian dunia tersebut. Karena tujuannya adalah mencari keridhaan Allah ﷻ dengan mengerjakan apa yang diridhai Allah ﷻ.

Ketika mengerjakan sesuatu maka akan ada sesuatu yang ditinggalkannya. Dia tidak akan tamak dalam mencari kebahagiaan dunia. Sebagian tamak dan tertipu ujian ini, dimana dia mendapatkan urusan duniawi dan dia menyisihkan agamanya. Maka, ada yang bisnisnya lancar, kemudian kewajiban utamanya ditinggalkan. Inilah yang dinamakan jatuh dalam ujian. Orang seperti ini adalah orang-orang yang merugi.

Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah Rahimahullah berkata:

Apabila seorang hamba benar-benar mendapatkannya, berarti dia telah mendapatkan segala sesuatu. Begitu juga sebaliknya, jika hamba itu kehilangannya (tersesat), berarti dia telah kehilangan segala sesuatu. Dengan kata lain, orang yang mendapatkan bagiannya di dunia saja tadi telah mendapatkan bagian yang paling buruk. Sungguh, tidak ada jalan lain yang lebih bermanfaat bagi seorang hamba selain jalan ini. Tidak ada pula alternatif lain yang dapat membuatnya sampai kepada kelezatan, kesenangan, serta kebahagiaan. Wabillaabit taufiq.

Syarah oleh Syeikh Abdurrazaq Al-Badr Hafidzahullah :

Maka, jika seorang hamba yang berorientasi akhirat untuk mendapatkan tempat yang tinggi, maka Allah ﷻ akan berikan rezeki dari arah yang tidak terduga.

Firman Allah Ta’ala,

{ وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مَخْرَجًا } { وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُ }

“Barangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar. Dan memberinya rezki dari arah yang tiada disangka-sangkanya.” (QS. Ath Tholaq: 2-3).

Dalam ayat ini diterangkan bahwa Allah akan menghilangkan bahaya dan memberikan jalan keluar bagi orang yang benar-benar bertakwa pada-Nya. Allah akan mendatangkan padanya berbagai manfaat berupa dimudahkannya rizki. Rizki adalah segala sesuatu yang dapat dinikmati oleh manusia. Rizki yang dimaksud di sini adalah rizki dunia dan rizki akhirat.


Pasal: Macam-macam yang Dicintai

Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah Rahimahullah berkata:

Dua Perkara yang Dicintai

Perkara yang dicintai terdiri dari dua bagian:
1. Perkara yang dicintai karena dirinya (mahbub li nafsihí).
2. Perkara yang dicintai karena yang lain (mahbub li ghairibi).

Perkara yang dicintai karena yang lain pasti berakhir pada perkara yang dicintai karena dirinya (mahbub li nafsihi). Hal ini untuk mencegah terjadinya lingkaran setan. Segala sesuatu yang dicintai selain dari Allah merupakan sesuatu yang dicintai karena yang lain (mahbub li ghairibi). Tidak ada sesuatu yang dicintai karena dirinya (dzatnya), melainkan Allah semata. Segala sesuatu yang dicintai selain Allah hanyalah mengikuti kecintaan kepada Allah, seperti kecintaan terhadap para Malaikat Nabi, dan wali-Nya, maka kecintaan tersebut mengikuti kecintaannya kepada Allah ﷻ dan itu termasuk syarat mencintai-Nya. Sebab, mencintai Allah mewajibkan mencintai juga apa yang dicintai-Nya. Perkara ini wajib diperhatikan karena merupakan pembeda antara kecintaan yang bermanfaat dan yang tidak bermanfaat, bahkan terkadang membahayakan.

Ketahuilah, bahwasanya tidak ada yang dicintai karena dzatnya selain yang kesempurnaan, uluhiyyah, rububiyyah, dan kekayaan-Nya merupakan ciri dari dzat-Nya. Adapun selain-Nya, maka ia dibenci dan tidak disukai karena meniadakan dan bertentangan dengan hal-hal yang dicintai-Nya. Kebencian tersebut sangat bergantung pada kuat dan lemahnya ketiadaan tadi. Apa saja yang meniadakan hal-hal yang dicintai-Nya akan sangat dibenci, baik berupa benda, sifat, perbuatan, keinginan, dan semisalnya.

Inilah neraca yang adil untuk menimbang kesesuaian, penyelisihan, loyalitas, dan permusuhan terhadap Allah. Jika kita melihat seseorang mencintai perkara yang Allah benci, serta membenci perkara yang Allah cintai, maka kita mengetahui bahwa dalam diri orang tersebut terdapat pertentangan terhadap-Nya, sesuai dengan tingkatan perbuatannya tadi.

Sebaliknya, jika kita melihat seseorang yang mencintai apa yang Allah cintai, serta membenci apa yang Allah benci; bahkan untuk segala sesuatu yang lebih dicintai oleh Allah, dia lebih mencintai dan mengedepankannya. Begitu pula sebaliknya, segala sesuatu yang lebih dibenci oleh Allah, dia lebih membencinya dan menjauhinya.

Dengan demikian, kita mengetahui bahwa dalam diri orang tersebut terdapat loyalitas kepada-Nya, sesuai dengan tingkatan perbuatannya tadi.

Berpegang teguhlah pada pokok ini, baik untukmu maupun untuk orang lain. Berdasarkan penjelasan tersebut, dapat ditarik kesimpulan bahwa wilayah (perwalian, loyalitas) adalah kesesuaian seorang hamba dengan Allah, Yang Maha Memelihara lagi Maha Terpuji, dalam perkara-perkara yang Dia cintai dan Dia benci. Bukan dengan banyaknya puasa, shalat, atau memaksakan diri melaksanakan banyak ibadah.

•┈┈┈┈┈┈•❀❁✿❁❀•┈┈┈┈┈•

اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ أَنْ أُشْرِكَ بِكَ وَأَنَا أَعْلَمُ ، وَأَسْتَغْفِرُكَ لِمَا لا أَعْلَمُ

“Ya Allah, aku meminta pada-Mu agar dilindungi dari perbuatan syirik yang kuketahui dan aku memohon ampun pada-Mu dari dosa syirik yang tidak kuketahui”.

وبالله التوفيق وصلى الله على نبينا محمد وعلى آله وصحبه وسلم