بِسْــــــــــــــــــمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ

Kajian Ahad – Doha
Membahas: Mulakhas Fiqhi – Syaikh Shalih bin Fauzan Al Fauzan 𝓱𝓪𝓯𝓲𝔃𝓱𝓪𝓱𝓾𝓵𝓵𝓪𝓱
Bersama Ustadz Hanafi Abu Arify 𝓱𝓪𝓯𝓲𝔃𝓱𝓪𝓱𝓾𝓵𝓵𝓪𝓱
Doha, 7 Safar 1446 / 11 Agustus 2024



KITAB SHALAT

BAB: HAL YANG DISUNNAHKAN DAN DIPERBOLEHKAN DALAM SHALAT

1. ORANG YANG SHALAT DISUNNAHKAN MENCEGAH SIAPA PUN YANG LEWAT DEKAT DI DEPANNYA.

Ulama berbeda pendapat tentang hukum melakukannya:
1. Wajib. Dasarnya adalah sabda Nabi ﷺ:

إذا صلَّى أحدُكُم إلى شيءٍ يستُرُهُ من الناسِ،فأرادَ أحَدٌ أنْ يَجتازَ بين يديْهِ، فليدفَعْهُ، فإنْ أبى فَليُقاتِلهُ، فإنما هو شيطانٌ

Jika salah seorang dari kalian shalat menghadap sesuatu yang ia jadikan sutrah terhadap orang lain, kemudian ada seseorang yang mencoba lewat di antara ia dengan sutrah, maka cegahlah. jika ia enggan dicegah maka tolaklah ia dengan keras, karena sesungguhnya ia adalah setan” (HR. Al Bukhari 509, Muslim 505).

Dalam hadits ini Nabi ﷺ menggunakan kata perintah (فليدفَع), dan terdapat sebuah kaidah:

الأصل في الأمر للوجوب إلا مادل الدليل على خلافه

Hukum dasar dalam ‘perintah’ itu wajib kecuali terdapat dalil yang menjelaskan tentang perbedaannya.

Pendapat ini disampaikan oleh ulama dzahiriyah.

2. Sunnah Muakadah. Ini merupakan pendapat jumhur ulama, seperti pendapat Imam Nawawi 𝓡𝓪𝓱𝓲𝓶𝓪𝓱𝓾𝓵𝓵𝓪𝓱. Hukum sunnah ini menjadi pendapat Imam Nawawi dalam Syarh Shahih Muslim, 3:446: aku tidak mengetahui seorang pun dari kalangan para ulama yang mewajibkan.

🏷️ Pendapat yang kuat: ada perinciannya. Hal ini disampaikan oleh Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin 𝓡𝓪𝓱𝓲𝓶𝓪𝓱𝓾𝓵𝓵𝓪𝓱 :
1. Jika yang lewat bakal membatalkan sholat kita seperti : perempuan yang baligh, anjing hitam dan khimar. Maka wajib dicegah.

Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

يَقْطَعُ الصَّلَاةَ، الْمَرْأَةُ، وَالْحِمَارُ، وَالْكَلْبُ، وَيَقِي ذَلِكَ مِثْلُ مُؤْخِرَةِ الرَّحْلِ

Lewatnya wanita, keledai dan anjing membatalkan shalat. Itu dapat dicegah dengan menghadap pada benda yang setinggi mu’khiratur rahl” (HR. Muslim 511)

Makna hadits di atas adalah :
– Sholatnya batal
– atau berkurang pahalanya.

2. Jika yang lewat selain yang tiga, hukumnya sunnah.

Namun apabila ada sutrah (sesuatu yang tinggi sebagai penghalang, seperti tembok dan sejenisnya) di hadapannya, maka boleh saja orang lain lewat di baliknya. Demikian pula halnya apabila orang tersebut memang terpaksa lewat di hadapannya, karena tempat yang sempit,, sehingga harus lewat di hadapannya.

Orang yang lewat di depan orang shalat, ada dua keadaan:
1. Orang yang shalat menghadap sutrah. Maka tidak mengapa orang lewat dibelakang sutrah.
2. Orang yang shalat tidak menghadap sutrah. Maka tidak ada hak orang lain lewat didepannya setelah tempat sujud. Karena larangan yang ada adalah di depan tempat sujudnya. Maka setelah tempat sujud diperbolehkan.

Berapa jarak setelah tempat sujud?

Ukurannya adalah 3 hasta. Jika tempat sempit maka dibolehkan dan tidak boleh orang yang shalat mencegahnya. Seperti di Masjidil Haram dan Nabawi. (Sebagian ulama tetap melarang).

Perlu dicatat bahwa rincian ini berlaku dalam keadaan tempat shalat yang ramai orang berlalu-lalang dan banyak orang melakukan shalat semisal Masjidil Haram. Adapun di tempat biasa yang tidak terlalu banyak orang lalu-lalang, maka tidak ada alasan untuk melewati orang yang shalat walaupun andaikan tidak ada celah dan ia ada keperluan untuk melewatinya.

Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin mengatakan: “Tidak ada perbedaan antara orang yang punya keperluan untuk lewat atau pun tidak punya keperluan. Karena ia tidak punya hak untuk lewat di depan orang yang shalat. Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda

لَوْ يَعْلَمُ الْمَارُّ بَيْنَ يَدَيِ الْمُصَلِّي مَاذَا عَلَيْهِ مِنَ الإِْثْمِ لَكَانَ أَنْ يَقِفَ أَرْبَعِينَ خَيْرًا لَهُ مِنْ أَنْ يَمُرَّ بَيْنَ يَدَيْهِ

Andaikan seseorang yang lewat di depan orang yang shalat itu mengetahui dosanya perbuatan itu, niscaya diam berdiri selama 40 tahun itu lebih baik baginya dari pada lewat”

arba’in di sini artinya 40 tahun (Syarhul Mumthi’, 3/247). Maka yang patut dilakukan adalah menunggu orang yang shalat selesai.

Hukum membuat Sutrah

Sebagian mewajibkan dan sebagian berpendapat hukumnya sunnah. Ini adalah pendapat jumhur ulama.

Hadits Ibnu ‘Abbas radhiallahu’anhuma:

أنَّ رسولَ اللَّهِ صلَّى اللَّهُ عليهِ وسلَّمَ صلَّى في فضاءٍ ليسَ بينَ يدَيهِ شيءٌ

Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam pernah shalat di lapangan terbuka sedangkan di hadapan beliau tidak terdapat apa-apa” (HR. Ahmad 3/297, Al Baihaqi dalam Al Kubra 2/273)

Tidak wajibnya sutrah adalah pendapat jumhur ulama, bahkan sebagian ulama menukil ijma’ akan hal ini.

Ibnu Qudamah dalam Al Mughni mengatakan:

وَلَا نَعْلَمُ فِي اسْتِحْبَابِ ذَلِكَ خِلَافًا

kami tidak mengetahui adanya khilaf tentang hukum mustahab (sunnah) mengenai penggunaan sutrah dalam shalat” (Al Mughni, 2/174).

Ukuran Sutrah

Yang sesuai sunah, seseorang yang shalat itu membuat sutrah dengan sesuatu yang berdiri. Dan yang paling utama kadarnya seperti pelana onta atau lebih besar dari itu. Sebagaimana diriwayatkan Muslim, (771) dari Aisyah radhiallahu anha berkata:

سُئِلَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ سُتْرَةِ الْمُصَلِّي ، فَقَالَ : مِثْلُ مُؤْخِرَةِ الرَّحْلِ رواه مسلم (771) .

Rasulullah sallallahu alaihi wa sallam ditanya tentang sutrah orang yang shalat. Maka beliau menjawab, ‘Seperti pelana unta.” (HR. Muslim, no. 771)

An-Nawawi rahimahullah berkata, “Dalam hadits terdapat anjuran untuk membuat sutrah di depan orang yang shalat dan penjelasan bahwa minimal sutrah itu seukuran pelana onta, yaitu setinggi tulang tangan atau sekitar dua pertiga hasta. Hal tersebut dapat terwujud dengan sesuatu yang dapat ditegakkan di hadapannya.” (Syarah Muslim, An-Nawawi , 4/216).

Ibnu Qudamah rahimahullah berkata, “Ukuran sutrah panjangnya adalah sehasta atau semisal itu.” Al-Atsram berkata, “Abu Abdillah ditanya tentang pelana onta, berapakah tingginya?” Beliau menjawab, ‘Sehasta.”

Begitu juga apa yang dikatakan oleh ‘Atha’, “Satu hasta.” Juga dikatakan oleh At-Tsauri, ashaburra’yi, dan diriwayatkan dari Ahmad, bahwa ukurannya setinggi tulang tangan. Ini adalah pendapat Malik dan Syafi’i.

Akan tetapi boleh kurang dari satu hasta seperti 1/3nya dan seterusnya.

Ukuran berdiri dengan tempat sujud

Tiga hasta dan dengan sutrah sejauh domba yang lewat.

Berdasarkan hadits:

أن النبي صلى الله عليه وسلم صلى في الكعبة وبينه وبين الجدار ثلاثة أذرع

Sesungguhnya Nabi sallallahu alaihi wa sallam ketika shalat di dalam Ka’bah, antara beliau dengan tembok sekitar tiga hasta.”

Diriwayatkan oleh Bukhari, (474) dan Muslim, (508) dari Sahl bin Sa’d radhiallahu anhu berkata:

كَانَ بَيْنَ مُصَلَّى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَبَيْنَ الْجِدَارِ مَمَرُّ الشَّاةِ

Jarak antara tempat shalat Rasulullah sallallahu alaihi wa salam dengan dinding adalah seukuran tempat lewatnya kambing.”

An-Nawawi rahimahullah berkata, “Sabdanya Beliau ‘Dahulu jarak antara tempat shalat Rasulullah sallallahu alaihi wa salam dengan dinding itu seukuran tempat berlalunya kambing. Maksudnya dengan musholla adalah tempat sujudnya. Terkandung di dalamnya bahwa yang sesuai sunah adalah orang yang shalat mendekat dengan sutrahnya.”

Hikmah Syari’at Sutrah

Hikmah menggunakan sutrab adalah untuk mencegah orang lain lewat di hadapan orang yang sedang shalat, sehingga orang yang sedang shalat tidak terganggu oleh apapun yangterjadi di balik sutrabnya. Namun jika seseorang shalat di tengah padang pasir, ia dibolehkan shalat menghadap suatu sosok, seperti pohon, batu atau tongkat yang ditegakkan. Apabila tongkat tidak dapat ditancapkan ke tanah, ia boleh meletakkannya melintang di hadapannya.

2. Apabila imam salah dalam membaca Al-Qur’an, maka makmum wajib mengingatkan bacaan yang benar kepada imam.

Dari ‘Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu anhu, “Bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengerjakan shalat dan membaca (beberapa ayat al-Quran) dalam shalatnya, dan beliau terbalik-balik dalam bacaannya, seusai shalat beliau bersabda kepada Ubay: Apakah kamu tadi ikut shalat bersama kami? Ubay menjawab; Ya. Beliau berkata: Apa yang mencegahmu (untuk tidak membenarkan tentang ayat tadi)? (HR. Abu Dawud no. 773).

Dari hadits tersebut, dapat disimpulkan bahwasanya makmum bisa mengoreksi bacaan imam yang salah.

Demikian juga bagi wanita, diperbolehkan memperbaiki bacaan imam.

•┈┈┈┈┈┈•❀❁✿❁❀•┈┈┈┈┈•

اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ أَنْ أُشْرِكَ بِكَ وَأَنَا أَعْلَمُ ، وَأَسْتَغْفِرُكَ لِمَا لا أَعْلَمُ

“Ya Allah, aku meminta pada-Mu agar dilindungi dari perbuatan syirik yang kuketahui dan aku memohon ampun pada-Mu dari dosa syirik yang tidak kuketahui”.

وبالله التوفيق وصلى الله على نبينا محمد وعلى آله وصحبه وسلم