بِسْــــــــــــــــــمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ

Kajian Ummahat Doha – Senin Pagi
Membahas: Kitab Minhajul Muslim karya Syeikh Abu Bakar Jabir al-Jazairi Rahimahullah
Bersama Ustadz Isnan Efendi, Lc. MA. Hafidzahullah
Ain Khalid – Doha, 23 Syawal 1446 / 21 April 2025



Bagian Kelima: Muamalat | Pasal: Beberapa Akad

Materi Kedua: Mudharabah

1. Definisinya

Mudharabah (pinjaman) adalah si A memberikan sejumlah uang kepada si B untuk modal usahanya dan keuntungan dibagi diantara keduanya sesuai yang yang telah disyaratkan kepadanya. Adapun jika ada kerugian maka ditanggung oleh pemilik modal saja. Sedangkan kerugian yang ditanggung pekerja hanyalah usaha berpikir dan fisik saja dan dia tidak dibebankan oleh kerugian dalam bentuk lain.

2. Legalitasnya

Mudharabah disyariatkan berdasarkan ijma’ para sahabat Rasulullah dan para imam madzhab. Mengenai kebolehan Mudhaarabah ini adalah karcna Rasulullah membiarkan praktek Mudhaarabah di masanya.

Hal itu sebagairana diriwayatkan oleh Imam Malik dalam Al Muwatha’ bahwasanya Ibnu Umar, Abdullah dan Ubaidillah mampir ke rumah Abu Musa Al Asyari di Bashrah. Dia memberikan sejumlah uang kepada mereka berdua untuk disampaikan kepada Umar Radhiyallahu’anhu. Kemudian Abu Musa mengisyaratkan kepada mereka berdua agar uang itu digunakan sebagai modal untuk membeli barang dagangan. Jika barang dagangan itu sudah laku terjual maka modal diserahkan kepada Umar. Mereka berdua melakukan hal itu.

Namun Umar melarang mereka berdua untuk mengambil keuntungan dari penjualan barang dagangan. Ubaidillah berkata kepadanya, “Seandainya saja engkau menjadikannya sebagai pinjaman kepada kami” Ubaidillah sebelumnya mengatakan, “Jika jumlah harta itu berkurang atau hilang, kami memberikan jaminan terhadap hal itu. Umar lalu mengambil modal itu dan setengah keuntungan dari penjualan. Sedangkan setengah keuntungan sisanya, diberikan Umar kepada mereka berdua dalam bentuk pinjaman. (Hadits Shahih: Imam Ahmad, Imam Malik dan Abu Hanifah mengamalkan hadits ini).

3. Hukum-hukum Mudharabah

3.1. Boleh dilakukan sesama Muslim. Tidak menjadi masalah bila mudharabah dilakukan antara seorang muslim dengan orang kafir akan tetapi modalnya dari orang kafir dan yang bekerja adalah orar Muslim. Jika kondisinya seperti ini, seorang Muslim tidak perlu takut ada riba barang yang haram.

3.2. Modalnya harus di ketahui.

3.3. Bagian pekerja yang berasal dari keuntungan harus ditentukan. Jika tidak maka pekerja mendapat upah dari pekerjaannya. Jika pekerja menerima upah dari kerjanya maka keuntungan dari mudhaarabah ini seluruhnya untuk pemilik modal. (Hal ini bisa ditentukan kedua belah pihak disesuaikan dengan kesepakatan).

3.4. Jika keduanya berselisih paham mengenai bagian yang disyaratkan, apakah 1/4 atau 1/2 misalnya maka terimalah ucapan pemilik modal yang disertai dengan sumpahnya.

3.5. Pekerja tidak boleh melakukan mudharabah dengan pemilik modal lainnya. Karena hal itu akan merugikan harta dari pemilik modal partama. Kecuali jika pemilik modal pertama mengiziakannya. Larangan ini karena kita dilarang merugikan sesama Muslim.

3.6. Keuntungan tidak boleh dibagi dulu, ketika akad masih berlangsung kecuali jika kedua belah pihak rela dan sepakat atas pembagian itu.

3.7. Modal selamanya diambilkan dari keuntungan. Jadi pekerja tidak berhak mengambil keuntungan sedikitpun, kecuali setelah modal diambil dari keuntungan. Hal ini dilakukan bila keuntungan belum dilakukan. Jika kedua arang memutar uangnya kembali dengan melakukan jual beli binatang (kambing) dan transaksi ini mengalami keuntungan maka masing masing mengambil bagian keuntungannya. Kemudian uang itu diputar lagi untuk transaksi benih tanaman atau pohon rami, namun kali ini mereka merugi. Maka, kerugian diambil dari modal dan bukan dari pekerja yang telah mengambil keuntungan dari perdagangan sebelumnya.

3.8. Jika mudharabah telah selesai sedangkan sebagian harta masih berbentuk barang atau utang pada orang maka pemilik modal meminta untuk menjual barang tersebut agar menjadi uang kontan atau dia meminta agar utang dikembalikan. Sedangkan kewajiban pekerja menjalankan tugas pemilik modal ini (menjualkan barang dan menagih utang).

3.9. Ucapan pekerja yang menyatakan bahwa uang hilang atau mengalami kerugian dapat diterima, jika tidak ada bukti kedustaan dari pengaduannya ini. Jika dia mengadu bahwa uang hilang dan terlihat ada tanda-tanda kedustaan maka hendaknya dia bersumpah. Jika sudah bersumpah maka pengaduannya diterima. (Hendaklah tetap dilakukan penulisan hitam di atas putih, agar terhindar dari konflik di kemudian hari).

•┈┈┈┈┈┈•❀❁✿❁❀•┈┈┈┈┈•

Materi Ketiga: Musaqah dan Muzara’ah

A. Musaqah

1. Definisinya

Musaqah adalah seseorang memberikan pohon korma atau pohon yang lain atau kedua duanya kepada orang lain untuk mengairinya dan mengerjakan apa saja yang dibutuhkan dengan upah tertentu dalam bentuk buah atau hasil dari pohon itu.

2. Hukumnya

Musaqah termasuk perbuatan yang dibolehkan. Dasar legalitasnya adalah Rasulullah dan para Khulafaur rasyidin melakukannya. Imam Al-Bukhari meriwayatkan dari Ibnu Umar Radhiyallahu’anhuma bahwa Nabi ﷺ mempekerjakan penduduk Khaibar dengan upah membagi dua hasil pertanian dan buah-buahan yang digarapnya. Hal ini terus berlangsung di masa Abu Bakar, Umar, Utsman, dan Ali

3. Hukum-hukum Terkait

3.1. Pohon kurma atau pohon apapun yang akan diairi haruslah diketahui ketika terjadi akad. Musagah tidak boleh dilakukan pada pohon yang tidak diketahui, karena khawatir jatuh pada perbuatan gharar dan perbuatan gharar merupakan perbuatan yang diharamkan.

3.2. Bagian yang akan diberikan kepada penggarap harus diketahui, seperti 1/4 atau 1/5 misalnya dan berlaku untuk seluruh pohon korma atau pohon buah lainnya. Sebab, bila dibatasi hanya untuk pohon korma saja atau pohon buah lainnya maka terkadang pohon itu berbuah, namun terkadang pula tidak. Jika demikian, dikhawatirkan jatuh pada perbuatan gharar dan hal ini diharamkan dalam Islam.

3.3. Penggarap harus mengerjakan apa saja untuk kesuburan pohon korma atau pohon buah lainnya. Pendek kata, melakukan apa saja yang biasa menjadi tugas menyiram tanaman.

3.4. Jika tanah itu harus membayar pajak maka yang membayar pajak adalah pemilik tanah itu, bukan pekerja. Sebab, pajak berkaitan dengan dalil yang menyatakan bahwa pajak harus dibayarkan. Bagaimana pun kondisi tanahnya, apakah sudah ditanami atau belum. Sedangkan zakat wajib dikeluarkan setelah hasil pertanian telah mencapai nishabnya, wajib dikeluarkan baik oleh pekerja maupun pemilik tanah. Sebab, zakat berkaitan dengan hasil.

3.5. Musaqah boleh dilakukan pada pokok harta. Misalnya seseorang menyerahkan sebidang tanah pada seseorang (pekerja) untuk ditanami pohon korma atau sebuah pohon lainnya. Pekerja itu bertugas menyirami dan mengurus pohon korma atau pohon yang ditanam. Sedangkan buah hasil dari pohon itu, boleh diambil oleh pekerja sebanyak seperempat atau sepertiganya, misalnya. Dengan syarat tidak dibatasi waktu berbuahnya, misalnya. Pekerja boleh mengambil hasil dari tanah itu dan juga dari pohon.

3.6. Jika pekerja tidak bisa menggarap tanah maka dia bisa menunjuk orang lain dan dia berhak atas buah sesuai dengan kesepakatan,

3.7. Jika pekerja kabur sebelum berbuah maka pemilik berhak membatalkan akad. Namun jika sudah berbuah maka pemilik menunjuk orang lain melanjutkan dengan upah yang diambil dari bagian pekerja yang kabur tersebut.

3.8. Jika pekerja meninggal dunia maka ahli warisnya berhak menunjuk orang lain dari pihaknya untuk melanjutkannya. Namun bisa juga kedua belah pihak membatalkan akad yang sudah berjalan.

•┈┈┈┈┈┈•❀❁✿❁❀•┈┈┈┈┈•

B. Muzaara’ah

1. Definisinya

Muzara’ah adalah seseorang memberikan tanahnya kepada seorang pekerja untuk ditanami dengan upah bagian tertentu yang diambil dari hasil tanah tersebut.

2. Hukumnya

Mayoritas para sahabat, tabi’in dan imam-imam madzhab membolehkan aktivitas Muzara’ah. Sementara yang lain melarangnya. Dalil yang membolehkannya adalah Rasulullah pernah bermuamalah dengan mempekerjakan penduduk Khaibar, dengan upah separuh dari hasil pertanian dan buah-buahan. Imam Al-Bukhari meriwayatkan dari Ibnu Umar Radhiyallahu’anhuma bahwasanya beliau mempekerjakan penduduk Khaibar dengan upah separuh dari hasil pertanian dan buah-buahan. Pada saat itu, Rasulullah memberikan istri-istrinya sebanyak 100 Wasyaq (30 wasyaq korma dan 20 wasyaq gandum).

Adapun yang berpendapat bahwa Muzara’ah itu dilarang adalah karena ada sesuatu yang tidak jelas, Mereka berdalil dengan hadits yang diriwayatkan dari Raai’ bin Khudaij, “Kami adalah orang Anshar yang paling banyak memiliki kebun dan kanu memperkerjakan orang untuk menggarap ladang. Apabila ada hasilnya penggarapnya mendapatkan bagian dan bila tidak maka tidak dapat bagian. Kemudian kami dilarang mempraktikkan ini”. (HR. Al Bukhari , Kitab Asy Syuruth, 7, dan Muslim, Kitab Al Buyu’, 99).

Atau pengertian larangan ini adalah makruh (al karahah at tanzihiyyah) dalilnya adalah Ibnu Abbas Radhiyallahu’anhuma berkata, “Nabi ﷺ tidak melarang hal itu. Namun beliau bersabda, Perbuatan salah seorang di antara kalian yang memberikan kepada saudaranya itu lebih baik daripada dia mengambil hasil yang ditentukan”. (HR Al-Bukhari dalam Shahihnya).

•┈┈┈┈┈┈•❀❁✿❁❀•┈┈┈┈┈•

اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ أَنْ أُشْرِكَ بِكَ وَأَنَا أَعْلَمُ ، وَأَسْتَغْفِرُكَ لِمَا لا أَعْلَمُ

“Ya Allah, aku meminta pada-Mu agar dilindungi dari perbuatan syirik yang kuketahui dan aku memohon ampun pada-Mu dari dosa syirik yang tidak kuketahui”.

وبالله التوفيق وصلى الله على نبينا محمد وعلى آله وصحبه وسلم