بِسْــــــــــــــــــمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ

Kajian Ahad – Doha
Membahas: Mulakhas Fiqhi – Syaikh Shalih bin Fauzan Al Fauzan 𝓱𝓪𝓯𝓲𝔃𝓱𝓪𝓱𝓾𝓵𝓵𝓪𝓱
Bersama: Ustadz Hanafi Abu Arify 𝓱𝓪𝓯𝓲𝔃𝓱𝓪𝓱𝓾𝓵𝓵𝓪𝓱
Doha, 16 Rabi’ul Awal 1445 / 1 Oktober 2023



KITAB SHALAT
Bab Tentang Hukum-hukum Adzan dan Iqamah – Bagian 2

Tidak boleh menambahkan lafadz-Iafadz dzikir lain dalam adzan. Baik sebelum atau sesudahnya, dengan suara keras. Karena itu termasuk bid’ah yang diada-adakan. Setiap lafadz yang dikumandangkan, selain dari lafadz-lafadz adzan yang diriwayatkan dari Rasulullah ﷺ, termasuk bid’ah yang diharamkan. Seperti tasbih, nasyid, do’a dan shalawat kepada Nabi yang diucapkan secara keras sebelum atau sesudah adzan. Semua itu termasuk bid’ah yang diada-adakan dan haram dilakukan. Siapapun yang melakukannya harus dilarang.

Al-Baihaqi dalam Sunan Alkubro: menambah lafadz selain lafadz adzan (hayya ala khoiril amal) maka tidak ada contohnya dari Rasulullah seperti yang diajarkan kepada bilal.

Demikian juga membaca taawudz dan basmalah sebelum adzan, tidak ada anjuran akan hal ini (Fatwa Lajnah Daaimah)

Iqamah terdiri dari sebelas kalimat, dibaca agak cepat. Disunnahkan yang Iqamah adalah yang adzan. Dan tidak boleh qomat sebelum adanya izin imam dan dilakukan oleh muadzin.

  • Muazin berhak mengumandangkan azan, karena ia adalah orang yang dibebani menjalani tugas.
  • Iqamah tidaklah dikumandangkan sampai imam memberi isyarat.

Adzan yang dikumandangkan sebelum waktunya, tidaklah sah. Karena adzan disyari’atkan untuk mengumumkan masuknya waktu shalat. Sehingga bila tidak, tujuan syari’at tersebut tidaklah tercapai. Juga dapat mempedaya orangyang mendengarnya.

Kecuali adzan Shubuh, boleh dilakukan sebelum fajar, agar kaum muslimin bersiap-siap untuk shalat Shubuh. Tapi tetap harus dikumandangkan adzan lain, saat terbitnya fajar. Agar kaum muslimin mengetahui masuknya waktu shalat, dan mulainya waktu berpuasa.

Waktu adzan pertama sebelum fajar: Ketika waktu sahur antara fajar sadiq dan fajar kadzib. Faedahnya adalah untuk membangunkan orang-orang yang sedang tidur, agar mereka menutup shalat malam dengan witir dan mengingatkan orang yang berpuasa agar segera makan sahur. (Syaikh Utsaimin dalam Syarhul Mumti’).

Hukum Menjawab Adzan

Bagi orang yang mendengar adzan disunnahkan untuk menjawabnya. Yaitu dengan mengucapkan apa yang diucapkan oleh mu’adzin. Kecuali saat mua’dzin mengucapkan hayya’alash shalaah dan hayya ‘alal falaah, ia menjawab dengan laa haula wa laa quwwata illa billaah.

Diantara dalilnya adalah riwayat dari Tsa’labah bin AbdulMalik al-Quradzi, beliau menceritakan,

أنهم كانوا في زمان عمر بن الخطاب يُصَلُّون يوم الجمعة حتى يخرج عمر ، فإذا خرج عمر وجلس على المنبر وأذن المؤذنون؛ جلسنا نتحدث . فإذا سكت المؤذنون وقام عمر يخطب أنصتنا فلم يتكلم منا أحد

Di zaman Umar bin Khatab, mereka (sahabat dan tabiin) mengerjakan shalat sunah di hari jumat sampai Umar keluar. Ketika Umar keluar dan duduk di mimbar, dan muadzin mengumandangkan adzan, kami duduk sambil ngobrol. Ketika muadzin telah berhenti, Umar berdiri menyampaikan khutbah dan kami diam, tidak ada satupun yang berbicara di antara kami. (al-Muwatha’, 1/103).

Apakah muadzin menjawab adzan yang dia ucapkan? Sebagian berpendapat disyariatkan dan sebagian berpendapat tidak ada syari’at nya (inilah yang rajih).

Tidak disyariatkan menjawab Iqamah menurut jumhur ulama.

Do’a setelah adzan

Disunnahkan untuk membaca doa setelah adzan yang dikumandangkan muazin. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

مَنْ قَالَ حِينَ يَسْمَعُ النِّدَاءَ: اللَّهُمَّ رَبَّ هَذِهِ الدَّعْوَةِ التَّامَّةِ، وَالصَّلَاةِ الْقَائِمَةِ، آتِ مُحَمَّدًا الْوَسِيلَةَ وَالْفَضِيلَةَ، وَابْعَثْهُ مَقَامًا مَحْمُودًا الَّذِي وَعَدْتَهُ، حَلَّـتْ لَهُ شَفَاعَتِي يَوْمَ الْقِيَامَةِ

“Barangsiapa yang setelah selesai mendengar azan kemudian berdoa dengan,

Allahumma rabba haadzihid da’watit taammah, wasshalaatil qaaaimah, aati muhammadanil wasiilata wal fadhiiilata, wab’atshu maqaaman mahmuuda alladzii wa’adtah

(Ya Allah, Pemilik seruan yang sempurna ini dan sholat yang ditegakkan, anugerahkanlah kepada Nabi Muhammad; wasilah (kedudukan yang tinggi di surga) dan keutamaan (melebihi seluruh makhluk), dan bangkitkanlah beliau dalam kedudukan terpuji (memberi syafa’at) yang telah Engkau janjikan)

Maka, ia berhak mendapatkan syafaatku kelak di hari kiamat.” (HR. Bukhari no. 579)

Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin Rahimahullah: Dibolehkan mengangkat tangan ketika do’a adzan setelah adzan, karena pada hakikatnya do’a adalah mengangkat tangan.

Dibolehkan membaca do’a setelah Iqamah seperti do’a setelah adzan, meskipun tidak dianjurkan. (Fatwa Lajnah Daimah).

Diharamkan Keluar Masjid setelah Adzan

Haram hukumnya keluar masjid sesudah adzan, tanpa alasan yang dibenarkan syari’at, atau tanpa niat untuk kembali lagi. Saat Mu’adzin mulai adzan,dan seseorang sedang duduk, ia tidak selayaknya bangkit. Tapi hendaknya bersabar menunggu hingga adzan selesai, agar tidak menyerupai syaitan. Seseorang yang mendengar adzan dianjurkan untuk segera ke masjid dan meninggalkan segala bentuk pekerjaan duniawi.

Dalam sebuah hadits yang shahih disebutkan:

عَنْ أَبِي الشَّعْثَاءِ قَالَ : كُنَّا قُعُودًا فِي الْمَسْجِدِ مَعَ أَبِي هُرَيْرَةَ فَأَذَّنَ الْمُؤَذِّنُ ، فَقَامَ رَجُلٌ مِنْ الْمَسْجِدِ يَمْشِي ، فَأَتْبَعَهُ أَبُو هُرَيْرَةَ بَصَرَهُ حَتَّى خَرَجَ مِنْ الْمَسْجِدِ ، فَقَالَ أَبُو هُرَيْرَةَ : (أَمَّا هَذَا فَقَدْ عَصَى أَبَا الْقَاسِمِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

Dari Abu Asy Sya’tsa, ia berkata: “Ketika itu kami sedang duduk-duduk di masjid bersama Abu Hurairah. Kemudian muadzin pun beradzan. Ada seorang lelaki berdiri berjalan. Maka Abu Hurairah tidak melepaskan pandangan terhadap lelaki tersebut hingga akhirnya lelaki tersebut keluar masjid. Maka Abu Hurairah berkata: ‘Adapun orang ini ia telah bermaksiat kepada Abul Qasim (Rasulullah) Shallallahu’alaihi Wasallam’” (HR. Muslim no. 655).

Kemudian Abu Hurairah mengatakan, Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam memerintahkan kami: “Jika kalian di masjid kemudian adzan dikumandangkan maka kalian tidak boleh keluar sampai menyelesaikan shalat.” (HR. Ahmad no. 10946, dishahihkan oleh Syu’aib Al Arnauth dalam tahqiq beliau terhadap Al Musnad).