بِسْــــــــــــــــــمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ
Kajian Sabtu – Barwa Village
Barwa Village, 11 Jumadil Awwal 1445 / 25 November 2023
Bersama Ustadz Syukron Khabiby, Lc M.Pd Hafidzahullah
Kitab Al-Lu’lu wal Marjan – Muhammad Fu’ad Abdul Baqi
(Kumpulan hadits yang disepakati Bukhari Muslim)
Al-Miqdad bin Al-Aswad Radhiyallahu’anhu bertanya kepada Nabi ﷺ : “Bagaimana pendapatmu jika aku berhadapan dengan orang kafir dalam peperangan lalu ia menebas tanganku dengan pedang hingga patah, lalu ia berlari dan berlindung di belakang pohon dan berkata: Aku Islam kepada Allah, apakah boleh kubunuh ya Rasulullah? Nabi ﷺ menjawab: ‘Jangan engkau bunuh.’ Al-Miqdad berkata: “Ya Rasulullah, dia telah memutuskan tanganku baru kemudian menyatakan Islam.” Nabi ﷺ bersabda: ‘Jangan engkau bunuh, maka jika engkau membunuhnya, ia akan berada pada keadaanmu sebelum engkau membunuhnya, dan engkau berada pada keadaannya sebelum dia menyatakan kalimat yang diucapkannya itu.’”
(Dikeluarkan oleh Bukhari pada Kitab ke-64, Kitab Peperangan dan bab ke-156, bab tentang Khalifah telah menceritakan kepadaku)
Hadits di atas menjadi landasan jelas, bagi kelompok-kelompok yang menggampangkan membunuh orang lain meskipun kafir, jika sudah bersyahadat. Apalagi jika benar-benar Ahlul kiblah. Merekalah kelompok Khawarij yang disebut dalam hadits sebagai anjing-anjing neraka.
Istilah Anjing-anjing neraka ini terdapat dalam sebuah hadist Nabi, mereka adalah kelompok khawarij, para pemberontak yang mengatas namakan jihad di jalan Allah. Nabi Bersabda:
“Anjing-anjing neraka, (mereka) seburuk-buruk yang terbunuh di bawah kolong langit,dan sebaik-baik yang terbunuh adalah yang mereka bunuh.” Lalu Abu Umamah berkata: “Sekiranya aku tidak mendengar hadits ini (dari Rasulullah Shallallahu Alaihi wasallam) sekali, dua kali sampai tujuh kali, aku tidak akan memberitakannya kepada kalian”. (HR.Tirmidzi:3000).
Darah orang kafir yang telah menyerah dan berjanji masuk Islam, haram untuk dibunuh apatah lagi orang yang memeluk Islam dan melakukan Shalat.
Imam Abu Ja’far Ath-Thahawi dalam Aqidah Thohawiyah menyebutkan:
[54] وَنُسَمِّي أَهْلَ قِبْلَتِنَا مُسْلِمِينَ مُؤْمِنِينَ، مَا دَامُوا بِمَا جَاءَ بِهِ النَّبِيُّ ﷺ مُعْتَرِفِينَ، وَلَهُ بِكُلِّ مَا قَالَهُ وَأَخْبَرَ مُصَدِّقِينَ.
[54] Kita menyebut mereka yang (shalat) menghadap kiblat kita dengan (sebutan) kaum Muslimin dan kaum Mukminin selama mereka mengakui apa yang dibawa oleh Rasulullah ﷺ dan membenarkan segala apa yang beliau ucapkan dan beritakan.
Ibnu Mas’ud radhiyallahu anhu, ia berkata : “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda : ‘Tidak halal darah seorang muslim kecuali Karena salah satu di antara tiga perkara : orang yang telah kawin berzina, jiwa dengan jiwa, dan orang yang meninggalkan agamanya yaitu merusak jama’ah’ “. [Bukhari no. 6878, Muslim no. 1676]
Usamah bin Zaid Radhiyallahu’anhu berkata bahwa Rasulullah ﷺ mengutus kami ke daerah Al-Huraqah, maka kami segera menyerbu suku Daurah itu di pagi hari sehingga mengalahkan mereka, kemudian aku bersama seorang sahabat Anshar mengejar salah seorang dari mereka, dan ketika telah kami kepung tiba-tiba ia berkata: Laa ilaha illallah, maka kawan Anshar-ku itu menghentikan pedangnya, dan aku langsung menikamnya dengan tombakku hingga mati. Ketika kami kembali ke Madinah dan berita itu telah sampai kepada Nabi ﷺ sehingga Nabi langsung bertanya padaku: ‘Ya Usamah, apakah engkau membunuhnya sesudah ia berkata: Laa ilaha illallah’ Jawabku: (Ucapan) itu hanya untuk menyelamatkan diri.” Maka Nabi ﷺ mengulang-ulang tegurannya itu sehingga aku sangat menyesal seolah aku belum Islam sebelum hari itu.”
(Dikeluarkan oleh Bukhari pada Kitab ke-64, Kitab Peperangan dan bab ke-45, bab Nabi ﷺ mengutus Usamah bin Zaid ke Huraqah dari Juhainah)
Usamah bin Zaid bin Haritsah bin Syurahbil bin Ka’ab bin Abdil ‘Uzza bin Yazid bin Umrul Qais adalah salah seorang pemeluk Islam paling awal dan pembantu Nabi Muhammad. Mendapat julukan terhormat yaitu “Hibbu Rasulillah” (orang yang dicintai Rasulullah).
Kalimat Laa ilaha illallah ini menunjukkan betapa tidak bolehnya memvonis keyakinan dan kepercayaan orang lain apalagi dengan menafsirkannya. Jika seseorang secara formal telah mempersaksikan syahadatnya dengan terbuka, maka umat Islam tidak boleh lagi mengusiknya.
Hal ini bukan berarti ketika dia masih kafir lalu umat Islam boleh mengusiknya. Umat Islam tetap harus menghargai dan menghormati keyakinan dan kepercayaan orang lain dengan terus berperilaku dan berdakwah dengan cara sebaik-baiknya.
Itulah mengapa kaum munafikin di zaman Rasulullah ﷺ dibiarkan hidup karena secara Zahir mereka tetap mengakui Islam. Sehingga tatkala Rasulullah ﷺ membisikkan nama-nama kaum Munafik kepada Hudzaifah Ibnul Yaman, beliau tetap menjaganya hingga meninggal dunia.