بِسْــــــــــــــــــمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ
Kajian Kitab: 𝕀𝕘𝕙𝕠𝕥𝕤𝕒𝕥𝕦𝕝 𝕃𝕒𝕙𝕗𝕒𝕟 𝕄𝕚𝕟 𝕄𝕒𝕤𝕙𝕠𝕪𝕚𝕕𝕚𝕤𝕪 𝕊𝕪𝕒𝕚𝕥𝕙𝕒𝕟
(Penolong Orang yang Terjepit – Dari Perangkap Syaitan)
Karya: Ibnul Qayyim al-Jauziyah 𝓡𝓪𝓱𝓲𝓶𝓪𝓱𝓾𝓵𝓵𝓪𝓱.
Pemateri: Ustadz Isnan Efendi, Lc. MA. 𝓱𝓪𝓯𝓲𝔃𝓱𝓪𝓱𝓾𝓵𝓵𝓪𝓱
Pertemuan: 6 Jumadil Awwal 1446 / 8 November 2024.
Bab 13 – 33: AT-TAISUL MUSTA’AR (PEJANTAN)
Termasuk tipu daya dan senjata syetan yang dengannya ia sampai pada maksud yang diinginkannya adalah tipu dayanya dalam hal at-tahlil yang Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam melaknat pelakunya, bahkan beliau menyamakannya dengan at-taisul musta’ar (pejantan), dan karenanya ia menanggung aib yang sangat besar, bahkan hingga orang-orang kafir mengolok-olok umat Islam karenanya, dan terjadilah berbagai kerusakan karenanya, yang tidak dapat menghitung seberapa besar kerusakan itu kecuali Tuhan segenap hamba.
Para pejantan itu terpedaya dan lengah, sedang orang-orang yang memiliki jiwa yang bersih merasa sempit dan sesak karena perbuatan mereka, jiwa-jiwa itu merasa jijik kepada perbuatan mereka, bahkan lebih jijik daripada kepada perbuatan zina, seraya berkata, “Seandainya ia adalah nikah yang benar, tentu Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam tidak akan melaknatnya. Sebab nikah adalah Sunnahnya, sedang orang yang melakukan Sunnah berarti dia orang yang ber-taqarrub (mendekatkan diri kepada Allah) dan ia tidak akan dilaknat. Sedangkan muhallil, di samping ia dilaknat ia juga disebut sebagai at-taisul musta’ar (pejantan) oleh Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam. Sedangkan para salaf menamai mereka dengan mismarun nar (pakunya neraka).”
– Pendapat Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullahu dalam Kitabnya Iqomatu ad dalil ala ibthaali at tahlil
Syeikh Islam Ibnu Taimiyah –rahimahullah- telah mengumpulkan semua gambaran nikah tahlil dalam satu konteks, semua itu termasuk haram dan batil. Beliau –rahimahullah- berkata:
“Pernikahan untuk menghalalkan suami sebelumnya adalah batil, dan tidak menjadikannya halal. Gambarannya adalah sebagai berikut: bahwa jika seorang laki-laki telah menceraikan istrinya sampai talak tiga, maka dia pun menjadi haram baginya sampai dia menikah dengan laki-laki lain, sebagaimana yang disebutkan oleh Allah –Ta’ala- di dalam Kitab-Nya dan telah sabdakan oleh Nabi Muhammad –shallallahu ‘alaihi wa sallam- dalam sunnahnya, juga menjadi ijma’ dari para ulama. Maka jika dia dinikahi oleh seorang laki-laki lain dengan niat untuk menceraikannya nanti agar menjadi halal kembali bagi suami sebelumnya, maka pernikahan tersebut adalah haram dan batil, meskipun setelah itu dia berazam untuk mempertahankan pernikahannya atau memang benar menceraikannya, baik syarat menceraikan itu disebutkan dalam akad nikah atau dilakukan sebelumnya, atau tidak disyaratkan melalui perkataan, atau tidak ada syarat sama sekali namun dari pihak suami barunya untuk menceraikannya agar menjadi halal bagi suami pertamanya yang telah menjatuhkan talak tiga tanpa sepengetahuan pihak wanita maupun walinya, baik diketahui oleh suami pertamanya atau tidak, seperti halnya seorang muhallil yang mengira bahwa perbuatannya merupakan kebajikan kepada suami sebelumnya dan pihak wanitanya dengan mengembalikan ikatan suami istri di antara mereka dengan alasan bahwa perceraikan justru akan membahayakan mereka berdua dan masa depan anak-anak mereka dan keluarga besar mereka atau yang lainnya.
Namun seseorang yang telah mentalak tiga istrinya tidak dihalalkan untuk menikahinya lagi sampai ada orang lain yang menikah dengannya terlebih dahulu dengan pernikahan yang didasari cinta yang dalam bukan pernikahan pura-pura atau dengan tipuan, dia pun telah mensetubuhinya dan masing-masing telah menikmatinya satu sama lain, kemudian setelah itu terjadi perceraian di antara keduanya baik karena suami barunya meninggal dunia atau karena jatuh talak atau pernikahannya dibatalkan oleh hakim, maka baru boleh bagi suami sebelumnya boleh menikahinya lagi. Demikianlah yang dijelaskan oleh al Qur’an dan sunnah dan menjadi atsar para sahabat Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam-, para tabi’in dan mayoritas para ahli fikih dalam Islam. Ini merupakan madzhab Malik bin Anas dan semua sahabatnya, al Auza’i, al Alaits bin Sa’d, Sufyan ats Tsauri, juga merupakan madzhab Imam Ahmad bin Hambal yang termasuk dalam ahli hadits, di antara yang lain adalah Ishak bin Rahawaih, Abu Ubaid al Qasim bin Salam, Sulaiman bin Daud al Hasyimi, Abu Khoitsamah Zuhair bin Harb, Abu Bakr bin Abi Syaibah, Abu Ishak al Jauzjani, dan masih banyak lagi, termasuk juga merupakan pendapat Imam Syafi’I”. (Iqamat Dalil ‘ala Ibthol Tahlil: 6-8, yang banyak disebutkan di sana oleh para imam dalam Islam beberapa pendapat tentang haramnya nikah tahlil).
Jika orang-orang yang merdeka dan memelihara dirinya menyaksikan kekejian orang-orang yang mempersiapkan dirinya sebagai muhallil, tentu ia akan merasa jijik; seorang wanita melihat kepada pejantannya laksana kambing melihat kepada kilauan pisau jagal, seraya ia berkata, “Duhai, seandainya sebelum ini aku telah menjadi ahli kubur.”
Sampai kemudian diadakannya perjanjian (akad nikah) yang membuat turunnya laknat dan murka Allah, maka si pejantan itu pun segera bangkit dan meminta kepada sang wanita agar mengikutinya untuk beberapa lama. Dan hal itu dilakukan tanpa adanya resepsi atau pengumuman (pernikahan), semua dilakukan dengan sembunyi-sembunyi. Tidak ada peralatan rumah tangga yang dipindah, tidak pula kasur yang diangkut ke rumah istri, tidak ada teman-teman yang memberinya hadiah, tidak pula tukang rias yang mendandaninya, tidak ada mahar yang diberikan, baik kontan atau diberikan kemudian, tidak ada nafkah, pemberian pakaian, walimah atau rebana, sama sekali tidak ada syiar, justru suaminya yang pertama yang memberikan mahar, sedangkan si pejantan itu malahan mendapatkan upah karenanya.
Lalu ia pun menyendiri dengan wanita itu dalam kesunyian, kelambu pun kemudian ditutupkan, sedangkan sang mantan suami dan wali berdiri di pintu, lalu laki-laki itu pun menghampiri sang wanita untuk membasuhnya dengan air maninya yang najis dan haram, membersihkannya dengan laknat Allah dan Rasul-Nya Shallallahu Alaihi wa Sallam.
Sampai setelah ia menyelesaikan tugasnya dalam malam pengantinan tahlil, dan sungguh tidak ada mawaddah wa rahmah (cinta dan kasih sayang) dalam pernikahannya itu sebagaimana yang disebutkan Allah dalam Kitab Suci-Nya. Nikah yang menimbulkan mawaddah wa rahmah itu, tentu pernikahan yang jelas-jelas tidak dilaknat, ia adalah pernikahan yang benar dan dibolehkan.
Adapun pernikahan tahlil ini maka si pejantan hanya mengharapkan upah dari air maninya, baik secara hutang maupun kontan. Jika tidak diberikan, ia akan menyandera wanita itu hingga bayarannya diberikan.
Pernahkah engkau mendengar seorang suami yang tidak menyetubuhi (istrinya) kecuali setelah ia mendapatkan bayarannya berdasarkan syarat dan kesepakatan? Sampai setelah ia membersihkan dan menyucikannya -demikian dakwaan mereka- dari yang haram serta kemudian ia menjauhinya, maka si pejantan itu pun berkata, “Berterusteranglah dengan apa yang telah terjadi di antara kita, sehingga bisa segera dijatuhkan thalak atasmu, dan setelah itu kalian bisa kembali bersatu lagi (dengan suami pertamanya).”
Lalu wanita itu dengan tersipu malu datang di hadapan para saksi, lalu mereka bertanya, “Benarkah apa yang dikatakannya?” Ia pun tidak bisa mengingkari, lalu para saksi itu (dengan ulahnya itu) juga mengambil upah dari wanita itu atau dari suaminya yang pertama, padahal mereka telah menjerumuskan keduanya ke dalam persoalan yang sungguh rumit.
Demikianlah, dan banyak di antara para pejantan upahan yang menghalalkan ibu dan anaknya dalam dua akad, mencampur maninya di lebih dari empat rahim atau dalam rahim dua perempuan yang bersaudara. Jika demikian keadaan dan sifatnya, maka memang tepat sekali apa yang diriwayatkan oleh Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu Anhu…
Dari Abdullah bin Mas’ud berkata:
” لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمُحِلَّ وَالْمُحَلَّلَ لَهُ ” رواه الترمذي (1120) وصححه ، والنسائي ( 3416(.
“Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- telah melaknat laki-laki yang menghalalkan (suami baru) dan yang dihalalkan (suami lalu)”. (HR. Tirmidzi: 1120 dan menshahihkannya dan Nasa’i: 3416)
Penafsiran kata laknat dalam hadits ini ada dua, yaitu pelaku mendapatkan laknat Allah ﷻ atau Rasulullah ﷺ mendo’akan agar dilaknat bagi mereka.
Laknat artinya terjauh dari rahmat Allah ﷻ. Padahal rahmat inilah sumber keselamatan dan kebahagiaan dunia dan akhirat. Dan melaknat sesama muslim adalah dilarang. Karena laknat hanya cocok untuk setan, laknatullah.
ثَلَاثٌ جِدُّهُنَّ جِدٌّ ، وَهَزْلُهُنَّ جِدٌّ ، النِّكَاحُ ، وَالطَّلَاقُ ، وَالرَّجْعَةُ
“tiga hal yang seriusnya dianggap serius, dan bercandanya dianggap serius: nikah, talak, dan ruju’” (HR. Abu Daud, Tirmidzi, ia berkata: “hasan gharib”).
Dari Uqbah bin ‘Amir berkata: Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda:
( أَلَا أُخْبِرُكُمْ بِالتَّيْسِ الْمُسْتَعَارِ ؟) قَالُوا : بَلَى يَا رَسُولَ اللَّهِ ، قَالَ : ( هُوَ الْمُحَلِّلُ ، لَعَنَ اللَّهُ الْمُحلِّلَ وَالْمُحَلَّلَ لَهُ ) رواه ابن ماجه ( 1936 ) ، وحسنه الألباني في ” صحيح ابن ماجه ” .
“Maukah saya kabarkan kepada kalian tentang pejantan yang dipinjamkan ?, mereka menjawab: Ya, wahai Rasulullah. Beliau bersabda: “Dia adalah muhallil (laki-laki yang menghalalkan suami sebelumnya), Allah telah melaknat laki-laki yang menghalalkan (suami baru) dan yang dihalalkan (suami lama)”. (HR. Ibnu Majah: 1936 dan dihasankan oleh al Baani dalam Shahih Ibnu Majah)
Imam Baihaqi telah meriwayatkan dalam Sunan Kubro (7/208) dari Nafi’ bahwa dia berkata:
” جاء رجل إلى ابن عمر رضي الله عنه فسأله عن رجل طلَّق امرأته ثلاثاً ، فتزوجها أخٌ له عن غير مؤامرة منه ليحلها لأخيه : هل تحل للأول ؟ قال : لا ، إلا نكاح رغبة ، كنَّا نعد هذا سفاحاً على عهد رسول الله صلى الله عليه وسلم ” .
“Seorang laki-laki telah mendatangi Ibnu Umar –radhiyallahu a’nhu- dan menanyakan tentang seseorang yang telah menceraikan istrinya sebanyak tiga kali, kemudian dinikahi oleh saudaranya tanpa ada kesepakatan apapun untuk menghalalkan saudara yang menjadi suami pertamanya, maka apakah wanita tersebut menjadi halal bagi suami pertamanya ?, beliau menjawab: “tidak, kecuali pernikahan tersebut dilakukan atas dasar cinta, kami menganggap kasus seperti itu laksana “saffah” (penjagal) pada masa Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam-“.
Adapun atsar daripada sahabat dan tabi’in, maka jumlahnya banyak sekali. Dan dalam kitab Al-Mushannif oleh Ibnu Abi Syaibah, dan kitab Sunanul Atsram serta Al-Austah oleh Ibnul Mundzir terdapat atsar tentangnya dalam jumlah yang banyak.
Dan yang mengherankan ada yang mempertentangkan hadits-hadits di atas dengan makna tekstual firman Allah,
فَإِنْ طَلَّقَهَا فَلا تَحِلُّ لَهُ مِنْ بَعْدُ حَتَّى تَنْكِحَ زَوْجاً غَيْرَهُ.
“Kemudian jika si suami mentalaknya (sesudah talak yang kedua), maka perempuan itu tidak halal lagi baginya hingga dia kawin dengan suami yang lain…” (QS Al-Baqarah ayat 230).
Padahal yang terhadapnya ayat tersebut diturunkan, dialah yang melaknat muhallil dan muhallallah. Kemudian para sahabat beliau adalah orang-orang yang paling mengetahui tentang Kitabullah, dan mereka tidak menjadikannya sebagai suami, menganggap batal nikahnya bahkan melaknatnya.
Lebih mengherankan dari ini adalah ucapan sebagian mereka, “Kami berdalil dengan namanya muhallil (yang menghalalkan), seandainya beliau Shallallahu Alaihi wa Sallam tidak menetapkan kehalalannya tentu ia tidak dinamakan muhallil.”
Dalam hal ini kita menjawab, “Ini termasuk perkara besar! Sebab ini berarti bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam melaknat orang yang mengamalkan Sunnah yang beliau bawa sendiri, dan melaknat orang yang melakukan sesuatu yang dibolehkan dan benar menurut syariat. Padahal sesungguhnya ia dinamakan muhallil karena ia menghalalkan apa yang diharamkan Allah, sehingga dia berhak mendapat laknat, dan bahwasanya Allah telah mengharamkannya secara mutlak, sampai wanita itu dinikahi oleh suami yang lain.
Nikah adalah nama yang ada di dalam Kitabullah dan Sunnah RasulNya yang dikenal oleh manusia sebagai nikah. Dan itulah nikah yang disyariatkan agar diumumkan, diramaikan dengan penabuhan rebana, diadakan walimah di dalamnya, dan dipersiapkan untuk tinggal bersama, lalu Allah menjadikan dengan nikah itu mawaddah wa rahmah (cinta dan kasih sayang). Dan demikianlah, tradisi nikah tersebut bertentangan sama sekali dengan nikah muhallil.
Sebab muhallil tidak masuk dalam pernikahan dengan memberi nafkah, pakaian, tempat tinggal atau mahar kepada si istri. Juga dengan pernikahan itu ia tidak menjalin nasab dan pertalian keluarga, tidak pula untuk tinggal bersama istri. Ia masuk dengan tanpa bekal apa-apa, seperti pejantan yang disewa untuk membuahi betina, karena itu Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam menyerupakan muhallil dengan at-taisul musta’ar (pejantan) lalu beliau melaknatnya.
Dari sini secara pasti diketahui, muhallil bukanlah suami sebagaimana yang disebutkan dalam Al-Qur’an, demikian pula nikahnya tidak nikah sebagaimana yang disebutkan dalam Al-Qur’an. Bahkan secara fitrah, hati setiap orang mengatakan itu bukanlah nikah, dan bahwa muhallil bukanlah suami yang sesungguhnya. Ia adalah suatu perbuatan mungkar dan keji, yang karenanya wanita itu dan suaminya yang pertama dicerca, demikian pula dengan muhallil dan walinya. Lalu, dari mana hal tersebut bisa digolongkan dalam pernikahan yang disyariatkan dan dicintai Allah dan Rasul-Nya, serta beliau mengabarkan bahwa itu adalah Sunnahnya, dan barangsiapa yang membencinya berarti ia bukan termasuk golongannya.”
Dan tak disangsikan lagi, muhallil adalah termasuk salah satu jenis orang munafik. Sebab orang munafik adalah yang menampakkan dirinya Muslim dan taat terhadap aturan-aturan agama secara lahir batin, padahal sesungguhnya ia tidak mentaatinya dalam hatinya. Dan demikian itulah muhallil, secara lahiriah ia menampakkan diri sebagai suami, dan bahwa ia menginginkan pernikahan, menyebutkan maharnya, dan bersaksi atas kerelaan si wanita itu, padahal semua itu bertentangan dengan hatinya. Ia tidak mau menjadi suami, juga tidak menginginkan agar wanita itu menjadi istrinya, tidak mau mengeluarkan mahar, juga tidak untuk menegakkan hak-hak pernikahan, tetapi ia menampakkan apa yang bertentangan dengan nuraninya, padahal Allah mengetahui, demikian pula dengan orang-orang yang hadir dan wanita itu, juga dirinya sendiri dan suami pertama yang menceraikan wanita itu, semuanya mengetahui bahwa ia hanya menginginkan sebatas itu. Ia bukanlah suami dalam arti yang sesungguhnya, juga wanita itu bukan istrinya dalam arti yang sesungguhnya.
Di antara dalil tentang batilnya nikah tersebut adalah bahwa nikah itu tidak menyerupai nikahnya orang-orang Jahiliyah, juga tidak menyerupai nikahnya umat Islam. Dahulu, orang-orang Jahiliyah membiasakan perkara-perkara mungkar dalam pernikahan mereka, tetapi meski demikian mereka tidak rela dengan nikah tahlil, juga mereka tidak melakukannya.
Dalam Shahihul Bukhari disebutkan dari Urwah bin Az-Zubair bahwasanya Aisyah Radhiyallahu Anha memberitakan kepadanya,
“Sesungguhnya nikah pada zaman Jahiliyah ada empat model: Pertama, nikah sebagaimana nikahnya orang pada zaman sekarang, lakilaki melamar anak perempuan kepada walinya, lalu ia menerimanya dan menikahkan anaknya. Nikah yang lain adalah seseorang setelah istrinya suci dari haid, ia berkata kepadanya, Pergilah kepada si Fulan, dan mintalah agar ia menyetubuhimu’, lalu suaminya membiarkannya dan selamanya tidak menyetubuhinya sama sekali, sampai ia mendapat kejelasan bahwa kehamilan istrinya itu dari orang tersebut. Jika telah jelas kehamilannya, maka suaminya menyetubuhinya jika ia suka. Dan hal itu dilakukan karena keinginan mendapatkan anak yang cerdas, dan nikah tersebut dinamakan ‘istibdha’ (meminta disetubuhi). Nikah yang lain adalah sekelompok orang yangj umlahnya kurang dari sepuluh berkumpul, lalu mereka masuk pada seorang wanita, dan semua menyetubuhinya. Jika wanita itu hamil dan melahirkan, dan telah berlalu beberapa malam setelah ia melahirkan, maka wanita itu mengirimkan anak tersebut kepada mereka, dan tak seorangpun yang bisa menolaknya, sehingga mereka berkumpul bersamanya, selanjutnya wanita itu berkata, ‘Kalian telah mengetahui sendiri persoalan kalian, kini aku telah melahirkan, dan ini adalah anakmu wahai Fulan. Wanita itu boleh menyebutkan nama seseorang yang dia sukai, dan kepada orang itulah anak itu diikutkan nasabnya, dan orang itu tidak dapat menolak daripadanya. Sedang nikah yang keempat adalah orang-orang banyak berkumpul dan masuk kepada wanita yang tidak menolak orang yang mendatanginya, mereka adalah wanita pelacur. Mereka memasang bendera di depan pintu-pintu rumah mereka sebagai tanda (bahwa mereka pelacur), sehingga siapa yang menginginkan bisa masuk kepada mereka. Jika salah seorang dari mereka hamil dan melahirkan mereka berkumpul kepadanya dan mereka membiarkan masing-masing berbicara untuk dinilai, lalu mereka menisbatkan anak wanita itu dengan orang yang mereka pandang (sesuai), kemudian orang itu mengakuinya, dan anaknya pun dipanggil, sedang ia tidak menolak. Lalu ketika Allah mengutus Muhammad Shallallahu Alaihi wa Sallam dengan kebenaran, Ia menghancurkan semua nikah Jahiliyah, kecuali (nikah sebagaimana) nikahnya orang-orang sekarang.”
Dan dimaklumi bahwa nikahnya muhallil tidak sama dengan nikahnya orang-orang yang disebutkan Aisyah Radhiyallahu Anha bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam menetapkannya dan tidak menghancurkannya.
Bahkan orang-orang Jahiliyah pun tidak rela dengan pernikahan tersebut, juga tidak termasuk salah satu model pernikahan mereka, dan fitrah manusia serta segenap umat manusia mengingkari serta mencelanya.
•┈┈┈┈┈┈•❀❁✿❁❀•┈┈┈┈┈•
اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ أَنْ أُشْرِكَ بِكَ وَأَنَا أَعْلَمُ ، وَأَسْتَغْفِرُكَ لِمَا لا أَعْلَمُ
“Ya Allah, aku meminta pada-Mu agar dilindungi dari perbuatan syirik yang kuketahui dan aku memohon ampun pada-Mu dari dosa syirik yang tidak kuketahui”.
وبالله التوفيق وصلى الله على نبينا محمد وعلى آله وصحبه وسلم