بِسْــــــــــــــــــمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ

Kajian Ahad – Doha
Membahas: Mulakhas Fiqhi – Syaikh Shalih bin Fauzan Al Fauzan 𝓱𝓪𝓯𝓲𝔃𝓱𝓪𝓱𝓾𝓵𝓵𝓪𝓱
Bersama Ustadz Hanafi Abu Arify 𝓱𝓪𝓯𝓲𝔃𝓱𝓪𝓱𝓾𝓵𝓵𝓪𝓱
Doha, 22 Muharram 1446 / 28 Juli 2024


https://www.assunnah-qatar.com/wp-content/uploads/2024/07/Hal-yg-dimakruhkan-dlm-shalat-Ustadz-Hanafi.mp3?_=1

KITAB SHALAT

BAB: HAL-HAL YANG DIMAKRUHKAN DALAM SHALAT – 1

1. DALAM SHALAT, MENOLEH DENGAN WAJAH DAN DADA HUKUMNYA ADALAH MAKRUH.

Berdasarkan sabda Nabi ﷺ. Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, dia berkata:

سألت رسُولَ الله – صلى الله عليه وسلم – عَنِ الالتفَاتِ في الصَّلاَةِ، فَقَالَ: «هُوَ اخْتِلاَسٌ (¬1) يَخْتَلِسُهُ الشَّيْطَانُ مِنْ صَلاَةِ العَبْدِ». رواه البخاري

“Aku pernah bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang menoleh dalam shalat. Beliau menjawab: “Menoleh di dalam shalat adalah sebuah hasil curian setan yang diperoleh dari shalat seorang hamba”. (HR Al-Bukhari)

Imam Abu Ismail Ash-Shan’ani dalam kitab subulus salam berkata ini adalah dalil dimakruhkannya menoleh dalam shalat. Jumhur ulama memaknakan hadits ini jika badannya tidak membelakangi kiblat, tetapi jika membelakangi kiblat maka shalatnya batal.

Syeikh Ibnu Utsaimin –rahimahullah- berkata: “Ketahuilah bahwa menoleh itu ada dua macam:
1. Menoleh fisik dengan badan, yaitu menoleh dengan kepala.
2. Menoleh non fisik dengan hati, yaitu was-was dan sibuk dengan pikiran yang menghampiri hati (tidak khusyu). Inilah penyakit yang kita tidak bisa lepas, sangat sulit mengobatinya! Sedikit sekali orang yang selamat darinya. Hal ini mengurangi kualitas shalat. Masih bagus kalau cuma sebagiannya, namun yang terjadi tidak khusyu dari awal shalat sampai terakhir shalat. Perkara ini cocok dikatakan sebagai curian setan dari shalat seorang hamba” (As Syarhu al Mumti’: 3/70)

Kecuali, jika hal itu dilakukan untuk suatu keperluan, maka tidak menjadi masalah. Seperti saat dalam suasana peperangan, atau untuk tujuan yang dibenarkan syari’at.

Telah diriwayatkan oleh Muslim (431) dari Jabir –radhiyallahu ‘anhu- berkata:

اشْتَكَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَصَلَّيْنَا وَرَاءَهُ وَهُوَ قَاعِدٌ وَأَبُو بَكْرٍ يُسْمِعُ النَّاسَ تَكْبِيرَهُ ، فَالْتَفَتَ إِلَيْنَا فَرَآنَا قِيَامًا فَأَشَارَ إِلَيْنَا فَقَعَدْنَا ، فَصَلَّيْنَا بِصَلَاتِهِ قُعُودًا

“Rasulullah –shallallahu alaihi wa sallam- sedang sakit, dan kami shalat di belakang beliau sementara beliau dalam keadaan duduk, dan Abu Bakar memperdengarkan takbir beliau kepada orang-orang, lalu beliau menoleh dan melihat kita berdiri, lalu beliau memberi isyarat kepada kami agar kami duduk, maka kami shalat menjadi makmum beliau dengan duduk”.

Syeikh Ibnu Baz –rahimahullah- berkata: “Menoleh di dalam shalat untuk berlindung kepada Allah dari setan yang terkutuk saat merasa was-was (ragu-ragu) tidak masalah, bahkan dianjurkan saat sangat dibutuhkan dengan (menoleh) kapala saja” (Majmu Fatawa Ibnu Baaz, 11/130)

Jika seseorang memutarkan badannya secara keseluruhan, atau hingga membelakangi kiblat, dan bukan dalam kondisi perang, maka shalatnya batal. Karena ia tidak menghadap kiblat saat shalat, tanpa alasan yang dibenarkan.

Dengan demikian jelaslah bahwa menolehkan wajah ke selain arah kiblat dalam kondisi perang, tidak menjadi masalah. Karena itu termasuk hal-hal darurat yang terjadi di saat perang.

Namun jika bukan dalam suasana perang, dan ia menolehkan wajah dan dadanya saja ke selain arah kiblat, tanpa diikuti anggota badan lainnya, jika memang untuk suatu keperluan, maka tidak mengapa. Namun jika tidak untuk suatu keperluan, maka itu dilarang. Dan bila itu dilakukan dengan seluruh badan, maka shalatnya batal.

Istilah “dimakruhkan’ di sini, meliputi hal-hal yang masuk dalam hukum makruh menurut Ahli Fiqih, dan juga yang haram. Contohnya, menoleh dengan wajah dan dada ke kiri dan ke kanan, hukumnya adalah haram, menurut mayoritas ulama hadits dan fiqih. Sedangkan yang termasuk hukum makruh adalah melirik ke kiri dan ke kanan, tanpa menoleh.

2. DALAM SHALAT JUGA MAKRUH MELAYANGKAN PANDANGAN KE ARAH LANGIT.

Nabi ﷺ pernah melarang orang yang melakukan hal itu. Sabda beliau:

Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, dia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَا بَالُ أقْوامٍ يَرْفَعُونَ أبْصَارَهُمْ إِلَى السَّمَاءِ فِي صَلاَتِهِمْ!» فَاشْتَدَّ قَولُهُ في ذَلِكَ حَتَّى قَالَ:
«لَيَنْتَهُنَّ عَنْ ذَلِكَ، أَوْ لَتُخطفَنَّ أَبْصَارُهُمْ!». رواه البخاري

“Mengapa orang-orang mengangkat pandangan mereka ke langit pada waktu mereka shalat?” Beliau mengatakannya dengan suara keras, beliau berkata: “Hendaklah mereka benar-benar berhenti melakukan hal itu atau pandangan mereka akan dicabut selama-lamanya”.” (HR Al-Bukhari)

Imam Safiur Rahman Mubarakpuri dalam mengatakan tentang hadits ini, menunjukkan ancaman yang keras dan memandang ke atas dalam shalat hukumnya haram karena adanya ancaman dibutakan Allah ﷻ menunjukkan larangan pada hal-hal yang diharamkan. Demikian juga dikuatkan oleh Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin Rahimahullah.

Kata Al-Imam An-Nawawi 𝓡𝓪𝓱𝓲𝓶𝓪𝓱𝓾𝓵𝓵𝓪𝓱, “Hadits ini menunjukkan larangan yang ditekankan dan ancaman yang keras dalam masalah tersebut.” (Al-Minhaj, 4/372)

Sebagaimana pernah dijelaskan sebelumnya, pandangan orang yang sedang shalat harus mengarah ke tempat sujudnya. Ia harus memalingkan pandangannya dari segala yang ada di depannya. Entah itu tembok, ukiran, tulisan atau apa saja. Karena itu menyibukkan (pikirannya), sehingga terlepas dari shalat.

Ulama berbeda pendapat, ke arah mana sepantasnya pandangan orang yang shalat tertuju. Sebagian ke tempat sujud (tetapi haditsnya lemah) dan memandang ke arah imam.

3. MEMEJAMKAN MATA BUKAN UNTUK SUATU KEPERLUAN JUGA MAKRUH.

Karena itu kebiasaan kaum Yahudi. Akan tetapi jika seseorang memejamkan mata untuk suatu keperluan, misalkan di hadapannya ada hal-hal yang mengusik konsentrasi shalatnya, seperti hiasan-hiasan dan dekorasi di dinding masjid, maka ia tidak dilarang memejamkan mata. Demikianlah substansi ucapan Ibnul Qayyim rahimahullah.

Imam Ibnul Qayyim Rahimahullah berkata :

وقد اختلف الفقهاء في كراهته، فكرِهه الإِمامُ أحمد وغيرُه، وقالوا:هو فعلُ اليهود، وأباحه جماعة ولم يكرهوه، وقالوا: قد يكونُ أقربَ إلى تحصيل الخشوع الذي هو روحُ الصلاة وسرُّها ومقصودها. والصواب أن يُقال: إن كان تفتيحُ العين لا يُخِلُ بالخشوع، فهو أفضل، وإن كان يحول بينه وبين الخشوع لما في قبلته من الزخرفة والتزويق أو غيره مما يُشوش عليه قلبه، فهنالك لا يُكره التغميضُ قطعاً، والقولُ باستحبابه في هذا الحال أقربُ إلى أصول الشرع ومقاصده من القول بالكراهة، والله أعلم

“Para fuqaha telah berselisih pendapat tentang kemakruhannya. Imam Ahmad dan lainnya memakruhkannya. Mereka mengatakan itu adalah perilaku Yahudi, segolongan yang lain membolehkannya tidak memakruhkan. Mereka mengatakan: Hal itu bisa mendekatkan seseorang untuk mendapatkan kekhusyuan, dan itulah ruhnya shalat, rahasia dan maksudnya. Yang benar adalah: jika membuka mata tidak menodai kekhusyuan maka itu lebih utama. Dan, jika justru hal itu mengganggu dan tidak membuatnya khusyu karena dihadapannya terdapat ukiran, lukisan, atau lainnya yang mebuat hatinya tidak tenang, maka secara qathi (meyakinkan) memejamkan mata tidak makruh. Pendapat yang menganjurkan memejamkan mata dalam kondisi seperti ini lebih mendekati dasar-dasar syariat dan maksud-maksudnya, dibandingkan pendapat yang mengatakan makruh. Wallahu Alam. (Zaadul Maad, 1/294. Muasasah Ar Risalah)

4. DALAM SHALAT MAKRUH MELAKUKAN DUDUK

IQ’AA: Yakni dengan menghamparkan telapak kaki, dan duduk di atas kedua tumit. Dasarnya adalah sabda Nabi ﷺ :

“Jika engkau bangkit dari sujud, janganlah duduk ig’aa seperti layaknya seekor anjing.”

Diriwayatkan oleh Ibnu Majah. Dan banyak hadits lain yang senada dengan itu.

Iq’aa sendiri memiliki banyak makna dan aplikasi. Di antaranya ada yang disunnahkan, seperti iq’aa pada saat makan dan iq’aa pada saat buang air besar. Namun ada yang kontroversial, yaitu pada waktu duduk di antara dua sujud ini. Yang benar, bahwa yang dilarang adalah iq’aa dengan menghamparkan kedua telapak kaki, dan duduk di antara kedua tumit. Tapi iq’aa dengan menegakkan kedua telapak kaki, lalu menduduki kedua tumit, maka ini disunnahkan berdasarkan hadits Ibnu “Abbas. Di mana beliau menjawab pernyataan orang yang mengatakan, “iq’aa sangat janggal bagi seorang pria.” Beliau menjawab, “Justru itu adalah sunnah.” Wallahu a’lam. ” (Riwayat ini terdapat dalam Shahih Muslim (no. 498) dan Abu Dawud (no. 768).

5. DALAM SHALAT MAKRUH BERSANDAR KE DINDING DAN SEJENISNYA, SAAT SEDANG BERDIRI TEGAK, KECUALI BILA DIBUTUHKAN.

Karena cara tersebut dapat melenyapkan beratnya berdiri. Namun jika seseorang melakukannya karena memang dibutuhkan, seperti karena sakit dan sejenisnya, maka tidak mengapa.

Dalam hadis dari Dari Imran bin Hushain radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

صَلِّ قَائِمًا ، فَإِنْ لَمْ تَسْتَطِعْ فَقَاعِدًا ، فَإِنْ لَمْ تَسْتَطِعْ فَعَلَى جَنْبٍ

Kerjakan sambil berdiri, jika tidak mampu, kerjakan sambil duduk. Jika tidak mampu kerjakan sambil berbaring miring. (HR. Bukhari 1117).

Ada beberapa kondisi mengenai hal ini,

[1] jika dia sedang sakit atau dalam kondisi lemah, dibolehkan untuk bersandar baik dalam shalat sunah maupun shalat wajib. Baik dengan tongkat atau tembok atau semacamnya.

Dalilnya, hadis dari Ummu Qais bintu Mihshan radhiyallahu ‘anha, beliau menceritakan,

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- لَمَّا أَسَنَّ وَحَمَلَ اللَّحْمَ اتَّخَذَ عَمُودًا فِى مُصَلاَّهُ يَعْتَمِدُ عَلَيْهِ

Bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika sudah lanjut usia dan mulai gemuk, beliau meletakkan tongkat di tempat shalatnya,yang digunakan untuk bersandar. (HR. Abu Daud 949 dan dishahihkan al-Albani).

[2] Bagi mereka yang normal dan sehat, tidak boleh bersandar ketika mengerjakan shalat wajib. Dan jika dia bersandar penuh, dimana ketika sandaran itu dicabut menyebabkan dia terjatuh, maka shalatnya menjadi batal.

An-Nawawi mengatakan,

وأما الاتكاء على العصي؛ فجائز في النوافل باتفاقهم، إلا ما نقل عن ابن سيرين من كراهته، وأما في الفرائض؛ فمنعه مالك والجمهور وقالوا: من اعتمد على عصا أو حائط ونحوه بحيث يسقط لو زال؛لم تصح صلاته

“Bersandar dengan tongkat, dibolehkan untuk shalat sunah dengan sepakat ulama. Kecuali riwayat Ibnu Sirin yang memakruhkan. Sementara untuk shalat wajib, dilarang bersandar menurut Imam Malik dan mayoritas ulama. Mereka mengatakan, ‘Siapa yang bersandar dengan tongkat atau tembok atau semacamnya, dimana dia bisa jatuh ketika sandaran itu dibuang, maka shalatnya tidak sah.” (al-Majmu’ Syarh al-Muhadzab, 3/265).

[3] Untuk shalat sunah, dibolehkan sambil bersandar meskipun dia bisa berdiri dengan normal.

Ibnul Qasim mengatakan,

وسألت مالكا عن الرجل يصلي إلى جنب حائط فيتكئ على الحائط؟ فقال: أما في المكتوبة فلا يعجبني وأما في النافلة فلا أرى به بأسا

Saya bertanya kepada Imam Malik tentang orang yang shalat sambil miring dan bersandar ke tembok? Beliau mengatakan, “Untuk shalat wajib, saya tidak suka. Sedangkan untuk shalat sunah, menurutku tidak masalah.” (al-Mudawwanah, 1/169).

6. DALAM SHALAT MAKRUH MENGHAMPARKAN LENGAN BAGIAN BAWAH DI ATAS LANTAI, SAAT BERSUJUD.

Yakni meluruskan kedepan dan melekatkannya ke atas lantai.

Nabi ﷺ bersabda:

“Lakukanlah sujud dengan lurus. Janganlah salah seorang di antara kalian membentangkan kedua lengannya layaknya seekor anjing.” Muttafaqun ‘alaih.

Sementara dalam hadits lain disebutkan:

“Lakukanlah sujud dengan lurus. Janganlah salah seorang di antara kalian merentangkan kedua lengannya layaknya seekor anjing.”

Hadits shahih. Diriwayatkan oleh Abu Dawud dari Anas bin Malik (897) (II: 388), kitab ash-Shalah, bab 153/154.

7. DALAM SHALAT MAKRUH MELAKUKAN ‘ABATS.

Yaitu bermain-main atau melakukan hal-hal yang tidak ada manfaatnya, dengan menggunakan tangan, kaki, jenggot, pakaian atau lainnya. Termasuk mengusap-usap lantai bukan untuk suatu keperluan.

Syaikh Utsaimin menjelaskan keadaan gerakan yang membatalkan shalat:
1. Gerakannya banyak. Yaitu jika orang melihatnya, orang itu berpikir seakan akan dia tidak sedang shalat.
2. Melakukan gerakan yang bukan dari gerakan shalat.
3. Bukan sesuatu yang harus dilakukan.
4. Melakukan terus menerus dan tidak terpisah.


 

8. DALAM SHALAT JUGA MAKRUH BERTOLAK PINGGANG.

Yaitu meletakkan tangan di pinggang. Karena bertolak-pinggang itu kebiasaan orang-orang kafir dan orang-orang sombong. Kita dilarang meniru mereka. Disebutkan dalam sebuah hadits yang diriwayarkan oleh al-Bukhari dan Muslim bahwasanya Nabi ﷺ melarang seseorang shalat dengan bertolak-pinggang.

Dari Abu Hurairah, beliau berkata,

عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ عَنِ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- أَنَّهُ نَهَى أَنْ يُصَلِّىَ الرَّجُلُ مُخْتَصِرًا

“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang seseorang shalat mukhtashiron (tangan diletakkan di pinggang).” (HR. Bukhari dan Muslim)

Alasannya diceritakan oleh ‘Aisyah bahwa perbuatan semacam ini biasa dilakukan oleh orang Yahudi.

‘Aisyah radhiyallahu ‘anha mengatakan, “Terlarang meletakkan tangan di Pinggang.” Lalu dia berkata, “Yahudi biasa melakukan hal ini.” (HR. Bukhari) [Bukhari: 64-Kitab Al Anbiya’, 51-Pembicaraan mengenai Bani Isroil]

Kita dilarang meniru-niru perbuatan orang Yahudi sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ

”Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk bagian dari mereka” (HR. Ahmad dan Abu Dawud. Syaikhul Islam dalam Iqtidho’ [1/269] mengatakan bahwa sanad hadits ini jayid/bagus)

Alasan lain terlarang meletakkan tangan di Pinggang adalah karena di dalamnya terdapat sikap takjub dan sombong. Sifat inilah yang meniadakan khusyu’ dalam shalat. (Syarh Bulughul Marom, 49/3).

9. DALAM SHALAT MAKRUH MEMBUNYIKAN JARI-JEMARI, ATAU MENGANYAM JARI-JEMARI

Karena dia telah melakukan perbuatan yang sia-sia dan mengganggu Jama’ah yang lain.

Dari Syu’bah mantan budak Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma, beliau menceritakan,

صليت إلى جنب بن عباس ففقعت أصابعي فلما قضيت الصلاة قال : لا أم لك تقعقع أصابعك وأنت في الصلاة

Aku pernah shalat di samping Ibnu Abbas, kemudian aku membunyikan jariku. Setelah selesai shalat, beliau mengatakan, ’Kamu tidak sopan, membunyikan jari ketika sedang shalat.’ (HR. Ibn Abi Syaibah, 7280 dan sanadnya dinilai hasan oleh al-Albani dalam Irwa’ al-Ghalil).

Imam Ibnu Utsaimin pernah ditanya tentang hukum membunyikan jari ketika shalat. Jawaban beliau,

فرقعة الأصابع لا تبطل الصلاة، ولكن فرقعة الأصابع من العبث، وإذا كان ذلك في صلاة الجماعة أوجب التشويش على من يسمع فرقعتها …

”Membunyikannya jari tidak membatalkan shalat. Namun menyembunyikan jari termasuk main-main. Jika itu dilakukan ketika shalat akan mengganggu orang yang mendengarkan suara jarinya. ….” (Majmu’ Fatawa wa Rasail Ibn Utsaimin, 13/223).

Sebagian ulama menjelaskan bahwa illah (alasan adanya hukum) perbuatan seperti ini makruh dalam shalat, karena perbuatan semacam ini mengganggu kekhusyuan shalat. Padahal Allah memuji orang yang khusyu dalam shalatnya. (al-Fiqh al-Islami wa Adillatuha, Wahbah Zuhaili, 2/961).

Tidak menjalin (menganyam) jari-jemari (tasybik) termasuk adab yang ditegaskan oleh para ulama ketika seseorang pergi menuju masjid. Mereka berdalil dengan hadits yang diriwayatkan dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إذا توضأ أحدكم في بيته ثم أتى المسجد كان في صلاة حتى يرجع فلا يفعل هكذا وشبك بين أصابعه

“Jika salah seorang di antara kalian berwudhu di rumah, kemudian berangkat ke masjid, maka dia dalam kondisi shalat sampai dia kembali (lagi ke rumah). Maka janganlah melakukan hal ini.” Dia pun menjalin jari-jemarinya (tasybik). (HR. Ad-Darimi, 1: 267; Al-Hakim, 1: 206; shahih)

Larangan tasybik juga ditegaskan dalam hadits berikut ini.

حَدَّثَنِي أَبُو ثُمَامَةَ الْحَنَّاطُ، أَنَّ كَعْبَ بْنَ عُجْرَةَ، أَدْرَكَهُ وَهُوَ يُرِيدُ الْمَسْجِدَ أَدْرَكَ أَحَدُهُمَا صَاحِبَهُ، قَالَ: فَوَجَدَنِي وَأَنَا مُشَبِّكٌ بِيَدَيَّ، فَنَهَانِي عَنْ ذَلِكَ وَقَالَ: إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، قَالَ: إِذَا تَوَضَّأَ أَحَدُكُمْ فَأَحْسَنَ وُضُوءَهُ، ثُمَّ خَرَجَ عَامِدًا إِلَى الْمَسْجِدِ فَلَا يُشَبِّكَنَّ يَدَيْهِ فَإِنَّهُ فِي صَلَاةٍ

Dari Abu Tsumamah Al-Hannath, bahwasanya Ka’ab bin ‘Ujrah pernah menjumpainya hendak pergi ke masjid, salah satunya bertemu dengan temannya. Kata Abu Tsumamah, Ka’ab mendapatiku sedang tasybik, maka dia melarangku berbuat demikian. Dan dia berkata, “Sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Apabila salah seorang di antara kalian berwudhu, lalu dia membaguskan wudhunya, kemudian pergi menuju masjid, maka janganlah dia melakukan tasybik. Karena dia dianggap sedang shalat.” (HR. Abu dawud no. 562, At-Tirmidzi no. 386, shahih).

سَأَلْتُ نَافِعًا، عَنِ الرَّجُلِ يُصَلِّي، وَهُوَ مُشَبِّكٌ يَدَيْهِ، قَالَ: قَالَ ابْنُ عُمَرَ: تِلْكَ صَلَاةُ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ

Dari Isma’il bin Umayyah, “Aku bertanya kepada Nafi’ tentang orang yang shalat dengan melakukan tasybik.” Nafi’ menjawab, “Ibnu ‘Umar pernah berkata bahwa itu adalah shalatnya orang yang dimurkai (yaitu orang Yahudi, pent.).” (HR. Abu Dawud no. 993, shahih).

10. DALAM SHALAT JUGA MAKRUH MENGHADAP SESUATU YANG DAPAT MENYIBUKKAN DAN MEMBUAT SESEORANG TERLENA.

Karena hal itu dapat menganggunya melakukan shalat secara sempurna.

Hal tersebut pernah juga dialami oleh Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam . ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma berkata :

أَنَّ النَّبِيَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَّى فِي خَمِيْصَةٍ لَهَا أَعْلاَمٌ فَنَظَرَ إِلَى أَعْلاَمِهَا نَظْرَةً فَلَمَّا انْصَرَفَ قَالَ : اذْهَبُوا بِخَمِيصَتِي هَذِهِ إِلَى أَبِي جَهْمٍ وَأْتُونِي بِأَنْبِجَانِيَّةِ أَبِي جَهْمٍ، فَإِنَّهَا أَلْهَتْنِي آنِفًا عَنْ صَلاَتِي

Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah shalat dengan pakaian khamishah yang bercorak. Dalam shalatnya beliau memandang sekilas corak pakaian tersebut. Setelah selesai shalat, beliaupun berkata: “Serahkan khamishah ini kepada Abu Jahm, dan ambilkan untukku pakaian ambijaniyah hadiah dari Abu Jahm. Karena, pakaian khamishah tadi melalaikan khusyuk shalatku”. [HR al-Bukhâri, no. 373]

Pakaian anbijâniyyah yang diminta Rasûlullâh adalah pakaian kasar yang tidak bercorak. Berbeda dengan pakaian khamishah yang dikembalikan oleh beliau, pakaian itu memiliki corak ataupun gambar.

11. JUGA MAKRUH SHALAT DI TEMPAT YANG ADA GAMBAR ATAU LUKISANNYA.

Karena itu menyerupai cara menyembah berhala. Baik gambar atau lukisan itu dipajang atau tidak dipajang, menurut pendapat yang benar.

Bahwa para Malaikat tidak akan memasuki rumah yang ada gambarnya. Dari Abu Tolhah radhiallahu anhu sesungguhnya Nabi sallallahu’alaihi wa sallam bersabda:

لَا تَدْخُلُ الْمَلَائِكَةُ بَيْتًا فِيهِ كَلْبٌ وَلَا صُورَةُ تَمَاثِيلَ (رواه البخاري، رقم 3225 ومسلم، رقم 2106)

“Para Malaikat tidak masuk ke rumah yang di dalamnya ada anjing dan gambar patung-patung.” (HR. Bukhori, no. 3225 dan Muslim, no. 2106).

Al-Bahuti Al-Hanbali rahimahullah mengatakan, “Dimakruhkan shalat (menghadap) patung tegak berdiri. Hal itu telah dinyatakan. Karena hal itu menyerupai sujudnya orang-orang kafir. Dan dalam perkara dimakruhkan shalat menghadap dinding yang ada gambar dan patung. Karena di dalamnya menyerupai ibadahnya orang pagan dan berhala.” Selesai dengan diringkas dari kitab ‘Kasyaful Qana’ (1/370).

Para ulama yang tergabung dalam Al-Lajnah Ad-Daimah mengatakan, “Shalat di tempat yang di dalamnya ada gambar di depan orang yang shalat itu menyerupai penyembah patung dan telah ada banyak hadits yang menunjukkan akan larangan menyerupai dengan musuh-musuh Allah dan perintah berbeda dengan mereka. Perlu diketahui bahwa mengantungkan gambar yang bernyawa di dinding termasuk perkara yang dilarang (tidak dibolehkan) bahkan itu termasuk berlebih-lebihan dan syirik. Terutama dari gambar orang yang diagung-agungkan.” Selesai dari ‘Fatawa Al-Lajnah Ad-Daimah, (6/250-251).

  • Hukum orang yang sedang salat dengan mengenakan pakaian yang terdapat gambar makhluk bernyawa.

Jika orang tadi memang tidak mengetahui hukumnya, maka tidak ada dosa baginya. Namun, jika orang tersebut sebenarnya telah mengerti (hukum gambar makhluk bernyawa), maka shalatnya tetap sah dan dia berdosa. Hal ini berdasarkan menurut salah satu pendapat yang paling sahih dari 2 pendapat ulama yang ada.

Namun, di sana juga ada ulama yang berpendapat bahwa salatnya batal (tidak sah). Alasannya karena dia telah menegakkan salat dengan memakai pakaian yang diharamkan untuk dia kenakan.

(Majmu’ Fatawa Syaikh ‘Utsamin Syaikh al-Utsaimin رحمه الله. 360/12)

  • Sholat dengan Sajadah Bergambar.

Kaitan dengan hal ini, Syaikh Muhammad bin Shâlih Utsaimin rahimahullah pernah ditanya tentang sajadah yang ada gambarnya diperuntukkan untuk imam shalat.

Syaikh Shâlih ‘Utsaimin menjawab : Tidak seharusnya disediakan sajadah seperti itu untuk imam shalat, karena itu akan mengganggu kekhusyukannya. Namun, kalau seandainya sajadah tersebut tidak mengganggu dikarenakan imam itu seorang tuna netra, atau disebabkan penggunaan sajadah model seperti itu sudah menjadi kebiasaan yang sering disaksikannya, sehingga perhatiannya tidak teralihkan lagi, untuk kondisi seperti ini, maka tidak mengapa menggunakan sajadah tersebut untuk shalat. [Majmu’ Fatawa Syaikh ‘Utsamin, 12/362].

12. MAKRUH HUKUMNYA BAGI SESEORANG MENDIRIKAN SHALAT DALAM KONDISI PIKIRAN YANG TIDAK MENENTU, AKIBAT SESUATU YANG MENEKAN PIKIRANNYA.

Seperti menahan buang air kecil, buang air besar atau kentut. Atau kondisi dingin yang menggigit, atau panas yang menyengat, atau karena terlalu lapar atau terlalu haus. Karena semua kondisi tersebut mengganggu kekhusyuan shalat.

13. JUGA MAKRUH HUKUMNYA MENDIRIKAN SHALAT SAAT MAKANAN YANG MENGUNDANG SELERA SUDAH DIHIDANGKAN.

Berdasarkan sabda Nabi ﷺ: Dari ‘Aisyah, ia berkata bahwa ia mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لاَ صَلاَةَ بِحَضْرَةِ الطَّعَامِ وَلاَ وَهُوَ يُدَافِعُهُ الأَخْبَثَانِ

“Tidak ada shalat ketika makanan telah dihidangkan, begitu pula tidak ada shalat bagi yang menahan (kencing atau buang air besar).” (HR. Muslim no. 560).

Dalam hadits dari Anas radhiyallahu ‘anhu disebutkan,

إِذَا قُدِّمَ الْعَشَاءُ فَابْدَءُوا بِهِ قَبْلَ أَنْ تُصَلُّوا صَلاَةَ الْمَغْرِبِ ، وَلاَ تَعْجَلُوا عَنْ عَشَائِكُمْ

“Jika makan malam telah tersajikan, maka dahulukan makan malam terlebih dahulu sebelum shalat Maghrib. Dan tak perlu tergesa-gesa dengan menyantap makan malam kalian.” (HR. Bukhari no. 673 dan Muslim no. 557).

Santap makan lebih utama dari shalat dilakukan ketika seseorang sangat butuh pada makan (yaitu ketika sangat lapar). Namun jika kondisi tidak membutuhkan makan (kondisi kenyang) dan makanan telah tersaji, maka shalat wajib atau shalat jama’ah di masjid tetap harus lebih didahulukan.

Oleh karena itu, tidak sepantasnya seseorang mengatur waktu makan atau waktu tidurnya bertepatan dengan waktu shalat. Hal ini dapat membuat seseorang luput dari shalat di waktu utama yaitu di awal waktu. Demikian dijelaskan oleh Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin Rahimahullah.

Semua itu bertujuan untuk memelihara hak Allah Ta’aala, agar seorang hamba memasuki wilayah ibadah dengan hati yang hadir dan penuh konsentrasi terhadap Allah.

14. MAKRUH HUKUMNYA SHALAT DENGAN MENGKHUSUSKAN SESUATU UNTUK MELETAKKAN KENING PADA SAAT SUJUD.

Karena itu adalah syi’ar kaum Syi’ah ar-Raafidhah. Cara itu berarti meniru perbuatan mereha.

15. MAKRUH HUKUMNYA MENGUSAP SESUATU YANG MELEKAT DI HIDUNG ATAU KENING DALAM SHALAT, SETELAH BERSUJUD.

Tapi selesai shalat, diperbolehkan mengusapkan.

16. DALAM SHALAT MAKRUH MEMAIN-MAINKAN JENGGOT, MEMEGANGI PAKAIAN, MEMBERSIHKAN HIDUNG DAN SEJENISNYA.

Karena semua itu dapat menganggu kekhusyu’an shalat. Seorang muslim dituntut untuk berkonsentrasi penuh pada waktu shalat. Tidak boleh sibuk dengan hal-hal di luar shalat.

Allah ﷻ berfirman:

حَٰفِظُوا۟ عَلَى ٱلصَّلَوَٰتِ وَٱلصَّلَوٰةِ ٱلْوُسْطَىٰ وَقُومُوا۟ لِلَّهِ قَٰنِتِينَ.

Peliharalah semua shalat(mu), dan (peliharalah) shalat wusthaa. Berdirilah untuk Allah (dalam shalatmu) dengan khusyu’. (QS. Al-Baqarah:238)

Yang dituntut dari seorang muslim adalah shalat dengan menyertakan hati dan kekusyuan di dalamnya, melakukannya sesuai cara yang disyari’atkan, dan menghindari ucapan-ucapan dan perbuatan yang dapat merusak atau menodainya. Agar shalat menjadi sah dan menggugurkan kewajiban atas pelakunya. Juga agar shalat itu bisa menjadi shalat sejati dan shalat sesungguhnya, bukan hanya shalat secara lahiriah saja.

Semoga Allah ﷻ melimpahkan taufik pada kita semua, untuk memperoleh kebaikan dan kebahagiaan di dunia dan di akhirat.

•┈┈┈┈┈┈•❀❁✿❁❀•┈┈┈┈┈•

اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ أَنْ أُشْرِكَ بِكَ وَأَنَا أَعْلَمُ ، وَأَسْتَغْفِرُكَ لِمَا لا أَعْلَمُ

“Ya Allah, aku meminta pada-Mu agar dilindungi dari perbuatan syirik yang kuketahui dan aku memohon ampun pada-Mu dari dosa syirik yang tidak kuketahui”.

وبالله التوفيق وصلى الله على نبينا محمد وعلى آله وصحبه وسلم