بِسْــــــــــــــــــمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ

Kajian Senin – Kitab Ad Daa’ wa Ad Dawaa’
Karya: Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah Rahimahullah
Bersama: Ustadz Abu Hazim Syamsuril Wa’di, SH, M.Pd Hafidzahullah
Al Khor, 8 Ramadhan 1445 / 18 Maret 2024


Lihat di Facebook Assunnah Qatar


BAB VIII AL-HUBB (CINTA)

B. Ibadah Adalah Cinta yang Diiringi dengan Ketundukan dan Penghinaan Diri kepada yang Dicintai – Lanjutan.

Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah Rahimahullah berkata:

Tatkala Allah mengetahui besarnya kerinduan para wali-Nya untuk bertemu dengan-Nya, bahwasanya hati-hati mereka tidak mendapatkan petunjuk tanpa pertemuan dengan-Nya, maka Allah pun menetapkan janji dan waktu agar mereka dapat bertemu dengan-Nya, tidak lain supaya jiwa-jiwa mereka tenteram dengan perjumpaan itu.

Kehidupan yang paling baik dan bahagia secara mutlak adalah kehidupan orang-orang yang mencinta dan memendam rindu. Kehidupan mereka adalah sebenar-benar kehidupan yang damai. Tidak ada kehidupan hati yang lebih baik, lebih nikmat, dan lebih tenang daripadanya. Inilah kehidupan baik yang sesungguhnya, sebagaimana firman Allah ﷻ :

مَنْ عَمِلَ صَٰلِحًا مِّن ذَكَرٍ أَوْ أُنثَىٰ وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهُۥ حَيَوٰةً طَيِّبَةً ۖ

Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik… (An-Nahl ayat 97)

Ayat di atas tidak mengisyaratkan bahwa kehidupan orang kafir, orang durhaka, orang Mukmin, dan orang yang baik itu bersatu di dalamnya, berupa bagusnya makanan, pakaian, minuman, dan pernikahan. Sebab, bisa jadi musuh-musuh Allah berkali-kali lipat melebihi para wali-Nya dalam perkara-perkara duniawi tersebut.

Allah ﷻ memberikan jaminan kepada setiap orang yang beramal shalih dengan menganugerahkan kehidupan yang baik. Sesungguhnya Allah senantiasa menepati dan tidak pernah mengingkari janji-Nya. Maka, adakah kehidupan yang lebih baik daripada kehidupan seseorang yang seluruh hasratnya terkumpul menjadi satu dalam naungan keridhaan Allah ﷻ. Hatinya tidak bercabang, hanya dihadapkan kepada Allah.

Keinginan dan pikirannya yang sebelumnya terbagi-bagi, yang pada setiap lembah terdapat cabangnya, kini bergabung kembali, yaitu dzikir kepada Dzat yang paling dicintai lagi Mahatinggi, mencintaiNya, merindukan perjumpaan dengan-Nya, dan merasa tenteram dengan kedekatan-Nya, sebab Dialah yang berkuasa atasnya. Itulah yang menjadi poros hasratnya, keinginannya, tujuannya, bahkan lintasan hatinya. Jika ia diam, maka diamnya sejalan dengan perintah Allah. Jika dia bicara, maka bicaranya sejalan dengan perintah Allah. Jika mendengar, maka dia mendengar dengan kebersamaan Allah. Begitu juga ketika dia melihat, mengambil, berjalan, bergerak, diam, hidup, mati, dan dibangkitkan, semua itu dilakukan karena Allah.

Disebutkan dalam Shahiihul Bukhari, dari Nabi ﷺ, beliau meriwayatkan dari Rabbnya Tabaraka wa Ta’ala, bahwasanya Allah ﷻ berfirman:

“… Tidaklah hamba-Ku mendekatkan diri kepada-Ku, melainkan dengan mengerjakan perkara-perkara yang wajib. Hamba-Ku tersebut pun senantiasa mendekatkan diri kepada-Ku dengan perkara-perkara sunnah sehingga Aku mencintainya. Jika Aku mencintainya, maka Aku bersama pendengarannya, yang ia mendengar dengannya, penglihatannya, yang ia melihat dengannya, tangannya, yang ia mengambil dengannya, dan kakinya, yang ia berjalan dengannya. (Dengan-Ku ia mendengar, melihat, mengambil, dan berjalan). Jika ia meminta kepada-Ku, niscaya Aku benar-benar memberinya. Jika ia meminta perlindungan kepadaKu, niscaya Aku benar-benar melindunginya. Tidaklah Aku ragu dalam setiap perkara yang Kulakukan seperti halnya keraguan-Ku untuk mencabut nyawa hamba-Ku yang Mukmin, karena dia tidak menyukai kematian. Sementara Aku tidak ingin menyakitinya, namun kematian itu merupakan suatu keharusan baginya.” (Shahih Bukhari no. 6502).

Hadits ilahi yang mulia ini—yang oleh orang bertabiat buruk dan berhati keras tidak dapat dipahami makna dan tujuannya mengkhususkan sebab-sebab cinta-Nya dalam dua perkara:

1. Melaksanakan perkara-perkara yang wajib.

2. Mendekatkan diri kepada-Nya dengan perkara-perkara yang sunnah.

Syarah oleh Syeikh Abdurrazaq Al-Badr Hafidzahullah :

Penulis menyebutkan bahwasanya kehidupan yang baik di dunia ini adalah kehidupan orang-orang yang menyibukkan hatinya kepada Allâh dari Ketundukan kepada Allah ﷻ. Mereka adalah pemilik kehidupan yang baik seperti disebutkan dalam ayat di atas (An-Nahl ayat 97).

Beliau 𝓡𝓪𝓱𝓲𝓶𝓪𝓱𝓾𝓵𝓵𝓪𝓱 juga menyebutkan kehidupan yang baik itu bukan yang berkaitan dengan tempat tinggal, makanan atau lainnya dimana hal-hal ini berada pada setiap orang baik mukmin maupun kafir, mereka semuanya dapat. Meskipun ketenangan batin tidak. Inilah pemberian terbesar yang membawa kedamaian pada dirinya, karena ketenangan ini pada kehidupan mereka, kelezatan saat ibadah, dzauq (rasa yang dialami saat ibadah).

Maka berkumpul kesedihan, tekad dan juga keadaan hatinya kepada Allah ﷻ. Tidak ada putus asa dan frustasi dalam hidupnya. Jika ia diam, maka diamnya sejalan dengan perintah Allah. Jika dia bicara, maka bicaranya sejalan dengan perintah Allah. Jika mendengar, maka dia mendengar dengan kebersamaan Allah ﷻ. Semuanya diserahkan kepada Allah ﷻ. Ada kebersamaan selalu diawasi Allah ﷻ seperti penjelasan dalam hadits qudsi di atas.

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu ia berkata, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ”Sesungguhnya Allâh Azza wa Jalla berfirman, ’Barangsiapa memusuhi wali-Ku, sungguh Aku mengumumkan perang kepadanya….

Allah ﷻ berfirman:

وَكَذَٰلِكَ نُۨجِى ٱلْمُؤْمِنِينَ

Dan demikianlah Kami selamatkan orang-orang yang beriman. (Al-Anbiya ayat 88).

Faedah tambahan: dalam bulan puasa terkadang orang lebih mementingkan sholat tarawih berjama’ah akan tetapi melalaikan shalat yang wajib. Padahal prioritas yang wajib lebih utama daripada yang sunnah.

Ingatlah sabda Rasulullah, dari Jabir bin Abdullah Al Anshary radhiyallahu ‘anhuma, bahwa seseorang pernah bertanya kepada Rasulullah dengan berkata, “Bagaimana pendapatmu jika saya melaksanakan shalat yang wajib, berpuasa Ramadhan, menghalalkan yang halal dan mengharamkan yang haram, lalu saya tidak menambah lagi sedikit pun, apakah saya akan masuk surga?” Beliau menjawab, Ya.” (HR. Muslim).

Faedah tambahan: Makna hadits qudsi:
Tidaklah Aku ragu dalam setiap perkara yang Kulakukan seperti halnya keraguan-Ku untuk mencabut nyawa hamba-Ku yang Mukmin, karena dia tidak menyukai kematian.

Sifat Taraddud (keragi-raguan) Allah ﷻ adalah tidak benar. Bukan maknanya ragu pada kemampuan sesuatu, tetapi karena rahmatNya bagi hamba yang beriman, menyayangi hamba-Nya, hingga khawatir menyakiti hamba-Nya yang tidak bisa dielakkan.

•┈┈┈┈┈┈•❀❁✿❁❀•┈┈┈┈┈•

اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ أَنْ أُشْرِكَ بِكَ وَأَنَا أَعْلَمُ ، وَأَسْتَغْفِرُكَ لِمَا لا أَعْلَمُ

“Ya Allah, aku meminta pada-Mu agar dilindungi dari perbuatan syirik yang kuketahui dan aku memohon ampun pada-Mu dari dosa syirik yang tidak kuketahui”.

وبالله التوفيق وصلى الله على نبينا محمد وعلى آله وصحبه وسلم