بِسْــــــــــــــــــمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ
𝕂𝕒𝕛𝕚𝕒𝕟 ℝ𝕒𝕓𝕦 𝕄𝕒𝕝𝕒𝕞
Penceramah: Abu Abdillah Nefri bin ‘Ali bin Muhammad Sa’id 𝓱𝓪𝓯𝓲𝔃𝓱𝓪𝓱𝓾𝓵𝓵𝓪𝓱
Edisi: Rabu, 5 Rabi’ul Awal 1445 / 20 September 2023
Membahas: Mata air yang Jernih
Fikih Menyikapi Perbedaan – Masalah Syirik dan Kafir
Manusia dan kehidupan diciptakan beragam, seperti firman Allah ta’aala:
وَمِنْ كُلِّ شَيْءٍ خَلَقْنَا زَوْجَيْنِ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ – ٤٩
“Dan segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan agar kamu mengingat (kebesaran Allah).” (QS. Az Zariyat: 49).
Faedah ayat:
1. Allah menciptakan makhluk yang beragam
2. Makna mafhum mukholafah [Makna kebalikan dari hukum yang dilafadzkan] yaitu yang tidak beragam hanyalah Allah ta’alaa.
3. Keberagaman ditujukan agar kita bisa mengambil pelajaran.
- Perbedaan ada dua: masalah dunia [kauni] dan masalah syariat.
Allah ta’aala berfirman:
وَمِنْ اٰيٰتِهٖٓ اَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِّنْ اَنْفُسِكُمْ اَزْوَاجًا لِّتَسْكُنُوْٓا اِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَّوَدَّةً وَّرَحْمَةً ۗاِنَّ فِيْ ذٰلِكَ لَاٰيٰتٍ لِّقَوْمٍ يَّتَفَكَّرُوْنَ
Dan di antara tanda-tanda (kebesaran)-Nya ialah Dia menciptakan pasangan-pasangan untukmu dari jenismu sendiri, agar kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan Dia menjadikan di antaramu rasa kasih dan sayang. Sungguh, pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang berpikir. [QS Ar-Ruum ayat 21]
Faedah ayat:
1. Allah menciptakan sesuatu berpasangan agar kita bersyukur dan menjadikan pelajaran.
2. Allah ta’aala menciptakan adanya kebaikan dan keburukan, agar kita lebih bersyukur telah dipilihkan sesuatu yang baik dan menjauhi hal-hal yang buruk.
Dalam masalah syariat ada tiga:
1. Dalam masalah ushul agama [Aqidah]; seperti banyaknya agama. Ini adalah masalah iradah Al-Kauniyah, yang telah Allah Ta’aala kehendaki.
Dan dalam masalah aqidah ini sebenarnya tidak boleh berbeda, semua harus di atas tauhid.
2. Cabang Agama. Ada nilai rahmat Allah ta’aala. Dan selama di atas pemahaman yang benar, maka ini harus Berlapang dada.
3. Tidak berpegang pada salah satu dari keduanya. Tidak ada dasarnya dan kita tidak boleh dalam posisi ini.
Syirik
Mempelajari syirik ini penting agar kita tidak terjatuh kepadanya dan tetap teguh di atas keimanan. Syirik adalah dosa dan kezhaliman yang paling besar disisi Allah ta’aala. Praktek kesyirikan sejatinya adalah musuh bersama. Walau perhatian dan semangat manusia dan pemerintah dalam memerangi kesyirikan tidak sebesar semangat mereka ketika memerangi laten korupsi, judi, zina, dan bahaya narkoba. Karena perhatian kepada hak sesama makhluk lebih besar dari pada hak Allah Ta’aala Pencipta makhluk.
Syirik adalah lawan dari Tauhid. Syirik secara bahasa bermakna menyamakan, bersekutu, bersamaan. Para ulama menyebutkan bahwa Syirik adalah:
“Menyamakan selain Allah dengan Allah dalam segala sesuatu yang menjadi kekhususan Allah”. [Lihat kitab Al-Mulakkhas fii Syarhi Kitab At-Tauhid 1/15, Syaikh Shaleh Al-Fauzan hafizahullah].
Allah talaa berfirman Tafsir Surat As-Syu’ara Ayat 96-98:
قَالُوا وَهُمْ فِيهَا يَخْتَصِمُونَ تَاللَّهِ إِن كُنَّا لَفِي ضَلَالٍ مُّبِينٍ إِذْ نُسَوِّيكُم بِرَبِّ الْعَالَمِينَ
Mereka berkata sambil bertengkar di dalamnya (neraka),Mereka berkata sambil bertengkar di dalamnya (neraka),Mereka berkata sambil bertengkar di dalamnya (neraka),
Syirik Terbagi Kepada Dua Bentuk :
- Pertama : Syirik Besar
Syirik besar yaitu menyamakan Allah dengan selain-Nya dalam hal kekhususan Allah. Hal ini terjadi pada Perbuatan-Nya, hak Ibadah, dalam kehususan nama-nama dan sifat-sifat Allah. Namun jika seseorang pernah berbuat syirik, jika dia bertaubat dengan taubat yang benar dan menyesali perbuatannya maka Allah Ta’aala ampuni dosanya. Tidak ada dosa yang tidak diampuni Allah Ta’aala jika seorang hamba jujur dalam taubatnya. Allah Ta’aala berfirman:
“Katakanlah: “Hai hamba-hamba-Ku yang malampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dialah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. (QS. Az-Zumar: 53)
- Kedua : Syirik Kecil
Syirik yang tidak menjadikan pelakunya keluar dari agama Islam, tidak kekal di neraka, dan hanya menghapus satu amal perbuatan yang bercampur kesyirikan itu. Namun tergolong dosa besar.
Syirik kecil dibagi lagi kepada dua bentuk:
Pertama: Syirik yang Nampak. Bentuknya berupa ucapan atau perbuatan. Seperti bersumpah dengan nama selain Allah.
Dari sahabat Abdullah bin Umar Radhiyallohu’anhuma, Rasulullah ﷺ bersabda: “Siapa yang bersumpah dengan selain Allah maka ia telah berbuat syirik”. HR. Ahmad (no. 6072) Contoh kasus, seorang muslim bersumpah “Demi Ka’bah! Demi Ayahku! Demi Matahari! Demi cahaya lampu!
Kedua: Syirik Khafi (tersembunyi)
Syirik jenis ini terjadi dalam perkaran niat dan tujuan, seperti beribadah karena ingin dipuji (riya), atau ingin didengar orang (sum’ah). Berharap dunia dari ibadah. [ Lihat Kitab At-Tauhid, Bab: ke-36. Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab]
Allah ta’aala berfirman: “Siapa yang menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, niscaya Kami berikan kepada mereka balasan pekerjaan mereka di dunia dengan sempurna”. (QS. Hud: 15)
Solusi Agar Terhindar Dari Riya:
Memohon perlindungan kepada Allah Ta’aala dari perbuatan syirik, dari syirik kecil apalagi yang besar. Rasulullah ﷺ mengajarkan kepada sahabat Abu Bakar a sebuah doa untuk berlindung kepada Allah f dari kesyirikan:
اللهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ أَنْ أُشْرِكَ بِكَ وَأَنَا أَعْلَمُ , وَأَسْتَغْفِرُكَ لِمَا لَا أَعْلَمُ
“Wahai Allah, aku berlindung kepada-Mu dari perbuatan syirik kepada-Mu yang aku tahu itu syirik, dan aku memohon ampun kepada-Mu dari perbuatan syirik yang aku tidak ketahui”. Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhari t (w. 256 H) dalam kitab Al-Adabul Mufrad 1/250 (no. 176).
Jika dari awal sudah berusaha ikhlas, setelahnya muncul riya, maka hendaklah seseorang segera mengoreksi niat dan menolak riya untuk mencari perhatian orang. Kondisi semacam ini in syaa Allah tidak memberi pengaruh apapun pada ibadahnya, karena lintasan bathin semacam ini menimpa setiap anak Adam. Adapun perasaan senang yang muncul selesai ibadah dan bahagia jika seseorang memuji amal perbuatannya setelah amal itu selesai dilakukan, maka ini bukan termasuk riya.
Perbedaan Syirik Besar Dengan Syirik Kecil
Syirik besar menghapuskan seluruh amal ibadah, Adapun syirik kecil hanya menghapus amal yang berkaitan saja. Syirik besar bisa mengekalkan pelakunya dalam neraka, sementara syirik kecil tidak menyebabkan kekal di neraka. Syirik besar menyebabkan keluar dari Islam, adapun syirik kecil tidak mengeluarkan dari Islam.
Faidah Penting Dalam Kaidah Hukum Perbuatan dan Pelaku
Perlu diketahui bahwa sebab yang bisa mengeluarkan seseorang dari Islam dan berlaku atasnya muamalah non-muslim baik di dunia ataupun hukum akhirat adalah Syirik besar, Kekafiran, dan Nifaq (kemunafikan dalam hal aqidah).
Hukum syariat adalah Amanah. Maka tidak boleh seseorang berbicara dalam urusan agama kecuali dengan ilmu yang jelas. Menetapkan hukum kesyirikan, kufur, nifaq, fasiq, la’nat dan selainnya, ini adalah hak perogatif Allah Ta’aala dan Rasul-Nya. Dan harus berdasarkan aturan syariat yang terdapat dalam Al-Quran dan As-Sunnah yang shahih. Tidak ada hak manusia sedikitpun atas penentuan hukum. Siapa saja yang masuk ke wilayah Allah Ta’aala dan Rasul-Nya tanpa ilmu dan hujjah dari wahyu, maka ia telah berbuat kesalahan dan kedustaan besar.
Tidak halal seseorang bermudah-mudahan dalam memvonis sebuah perbuatan dengan hukum tertentu, ini syirik, ini kufur, ini bid’ah. Apalagi memvonis pelaku secara personal, “si fulan Musyrik, Kafir, ahli bid’ah, fasiq, munafiq”. Karena hal itu adalah perkara besar dan berpeluang pada dua kerusakan yang berbahaya:
- Pertama: Berdusta atas nama Allah Ta’aala dan Rasul-Nya dalam perkara hukum syariat.
- Kedua : Melemparkan kekejian dan tuduhan atas saudaranya jika ia tidak berbuat sesuai tuduhan.
Dari sahabat Abdullah bin ‘Umar, Rasulullah ﷺ bersabda: Siapa saja yang berkata kepada saudaranya “Wahai kafir! maka ucapan kafir itu akan kembali kepada salah satu dari keduanya. Jika saudaranya benar seperti yang dituduhkan, jika tidak akan kembali kepada yang menuduh”.[HR. Bukhari (no. 6104) Muslim (no. 60). Lafazh ini dishahih Muslim].
Sikap Seorang Muslim dengan Hukum Takfir
Istilah takfir, syirik, bid’ah adalah istilah syar’i, yang digunakan Allah Ta’aala dan Rasul-Nya. Para ulama Ahlu Sunnah As-Salafiyyah sangat Wara’ dan hati-hati dalam menggunakan istilah ini. Tidak seperti yang dituduhkan sebagian kalangan yang BAPERAN, bahwa dakwah As-Salafiyyah keras dan suka mengkafirkan, membid’ahkan.
Para ulama sangat gigih mendakwahkan dan menjelaskan kekeliruan dan penyimpangan beragama kepada umat terkhusus masalah ‘Aqidah karena itu amanah yang akan dipertanggungjawabkan dihadapan Allah Ta’aala. Namun bukan berarti ketika mengingatkan hal berarti mereka benci, justru karena kasih sayang, para ulama Ahlu Sunnah As-Salafiyyah teguh mengobati penyakit umat.
Syaikhul Islam ibnu Taimiyah berkata: “Ahlu Sunnah adalah orang yang paling berilmu dengan kebenaran, dan paling penyayang terhadap umat” [Minhaj As-Sunnah An-Nabawiyyah 5/158]
Berkata sahabat yang mulia Abu Hurairah: “Kalian (Ahlu Sunnah) adalah sebaik-baik manusia yang untuk manusia”. [Shahih Bukhari 6/37 kitab At-Tafsir surat Ali-Imran: 110].
Ahlu sunnah As-Salafiyyah merupakan manusia yang paling hati-hati dan wara’ ketika berbicara tentang hukum Allah Ta’aala, tidak mudah mengkafirkan, namun sabar dalam menyuarakan kebenaran. Berkata Imam Ibnu Al-Qayyim t (w. 751 H) dalam Qasidah an-Nuniyah yang dikenal dengan Al-Kafiyatu As-Syafiyah:
Istilah “Kafir” adalah hak Allah Ta’aalaemudian Rasul-Nya
Ditetapkan dengan Nash, bukan dengan perkataan si fulan
Siapa yang dikafirkan Allah dan hamba-Nya (Rasulullah)
Maka sungguh hak kekafiran telah berlaku padanya
Masalah kekafiran, dibagi menjadi tiga keadaan:
1. Khawarij: sikap berlebihan dalam mengkafirkan, menggunakan kalimat kafir secara membabi buta.
2. Liberalism: Terlalu lemah, Menyamaratakan aqidah antara umat Islam dan kaum kafir.
3. Ahlussnunnah: Bersikap pertengahan.ciri-cirinya:
- Pertama: Mengkafirkan perbuatan atau sifat. Seperti perbuatan syirik, kufur, berhukum dengan hukum selain Allah Ta’aala, menghalalkan hal yang diharamkan Allah Ta’aala, mengolok-olok kebenaran, mencaci Allah Ta’aala dan Rasul-Nya. Semua sifat dan perbuatan ini wajib di kafirkan.
- Kedua: Mengakfirkan kelompok atau figur yang dikafirkan oleh nash syariat. Seperti kafirnya kaum yahudi, nasrani, majusi, hindu, budha, Fir’aun, Qarun, Namrud, Hamman, Abu Lahab, Abu Jahal dan semisal mereka yang sudah ditetapkan nash nya dalam Al-Quran dan As-Sunnah.
Dhawabith dalam menetapkan hukum Takfir:
- Pertama: Hukum takfir dan sejenisnya adalah hukum syariat, hak Allah Ta’aala dan RasulNya. Bukan milik kelompok, aliran, pengajian, Yayasan, dan ulama tertentu.
- Kedua: Tidak boleh seorangpun meniadakan hukum syariat dan menggunakan hukum itu sesuai keinginan hawa nafsu. Dan tidak boleh mengkafirkan kecuali yang dikafirkan Allah Ta’aala dan Rasul-Nya. Seperti Fir’aun dan lainnya.
- Ketiga: Hukum asal seorang muslim adalah diatas Islam. Siapa yang diketahui keislamannya dengan keyakinan maka tidak dibatalkan kecuali dengan perkara yang jelas pula.
- Keempat: Seorang muslim (Ahlu Al-Kiblah) yang terjatuh sebab dosa besar tidak dikafirkan selama dia tidak meyakini halal perbuatan maksiat itu. Kemaksiatan mengurangi iman pelakunya, di akhirat dibawah kehendak Allah Ta’aala (masyiatillah). Jika Allah Ta’aala berkehendak diampuni atau diazab. Berbeda dengan mazhab khawarij, pezina dan pelaku dosa besar lainnya menurut mereka kafir.
- Kelima: Hukum Islam dibangun diatas sesuatu yang Nampak (jelas, zahir), bukan yang tersembunyi. Seseorang tidak dibebani mencari tahu bathin dan niat seseorang. Prinsip pokok yang disepakati para ulama: “Hukum dunia dibangun diatas yang nampak, masalah niat dan hati hanya Allah yang mengetahui” [Al-Milal wa An-Nihal 1/187 Muhammad bin Abdul Karim As-Syahrastani, Al-I’tisham Imam As-Syatibi 2/105, At-Takfir wa Dhawaabituh 1/57, karya Ibnu Mahmud As-Saqaar].
- Keenam: Menetapkan seorang muslim diatas keislamannya lebih selamat dari pada menuduh dia keluar dari islam. Jika dia melakukan sebuah perbuatan yang ada kemungkinan-kemungkinan (ihtimal) yang tidak bermakna kekufuran, maka tidak boleh menuduh dengan hukum kafir.
Allah Ta’ala berfirman,
مَن كَفَرَ بِاللَّهِ مِن بَعْدِ إيمَانِهِ إِلاَّ مَنْ أُكْرِهَ وَقَلْبُهُ مُطْمَئِنٌّ بِالإِيمَانِ وَلَكِن مَّن شَرَحَ بِالْكُفْرِ صَدْرًا فَعَلَيْهِمْ غَضَبٌ مِّنَ اللَّهِ وَلَهُمْ عَذَابٌ عَظِيمٌ
“Barangsiapa yang kafir kepada Allah sesudah dia beriman (dia mendapat kemurkaan Allah), kecuali orang yang dipaksa kafir padahal hatinya tetap tenang dalam beriman (dia tidak berdosa), akan tetapi orang yang melapangkan dadanya untuk kekafiran, maka kemurkaan Allah menimpanya dan baginya azab yang besar.” (QS. An-Nahl: 106)
Dalam hadits disebutkan bahwa orang-orang musyrik pernah menyiksa ‘Ammar bin Yasir. Ia tidaklah dilepas sampai mencela Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan menyanjung dengan kebaikan pada sesembehan orang musyrik. Lalu setelah itu ia pun dilepas. Ketika ‘Ammar mendatangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka ia pun ditanya oleh Rasul, “Apa yang terjadi padamu?” “Sial, wahai Rasulullah. Aku tidaklah dilepas sampai aku mencelamu dan menyanjung-nyanjung sesembahan mereka.” Rasul balik bertanya, “Bagaimana hatimu saat itu?” Ia menjawab, “Hatiku tetap dalam keadaan tenang dengan iman.” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kembali mengatakan, “Kalau mereka memaksa (menyiksa) lagi, silakan engkau mengulanginya lagi seperti tadi.” (HR. Al-Hakim dalam Al-Mustadrak, 2:389; Al-Baihaqi dalam Sunan Al-Kubra, 8:208. Sanad hadits ini dha’if. Namun ada banyak jalur periwayatan kisah ini. Intinya kisah ini masih memiliki asal. Ibnu Hajar dalam Fath Al-Bari, 12:312 menyatakan bahwa hadits ini termasuk hadits mursal yang saling menguatkan satu dan lainnya).