Kejujuran hendaknya tidak menjadi barang langka. Itulah dambaan setiap muslim yang fitrahnya lurus. Jika kejujuran mewarnai kehidupan setiap muslim, niscaya kebaikan akan menerangi dunia. Kaum Muslimin, pelaku kejujuran adalah calon-calon penghuni surga, tempat kebahagiaan abadi yang jauh lebih baik dari dunia.
Imam Ibnu al-Qayyim rahimahullah menempatkan sifat jujur dengan perkataannya sebagai berikut, “Jujur adalah predikat bangsa besar. Berangkat dari sifat jujur inilah terbangun semua kedudukan agung dan jalan lurus bagi para pelakunya. Barangsiapa yang tidak menempuh jalan ini, niscaya ia akan gagal dan binasa. Dengan sifat jujur inilah, akan terbedakan antara orang-orang munafik dengan orang-orang beriman dan akan terbedakan antara penghuni surga dengan penghuni neraka.” [1]
Bangsa besar manapun di dunia dan kapanpun, pasti mengutamakan kejujuran. Kaum Muslimin mestinya lebih layak menyandangnya. Allâh Azza wa Jalla berfirman :
Wahai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allâh dan jadilah bersama orang-orang yang jujur.[ at-Taubah/9:119]
Itulah tuntutan setiap fitrah manusia. Jujur! Sebaliknya, setiap fitrah pasti membenci kedustaan dan perbuatan zhalim. Jika dusta dan kezaliman mewabah, maka yang terjadi adalah musibah, di dunia dan di akhirat.
Dalam riwayat lain pada Shahih Muslim, hadits diawali dengan :
Imam Nawawi rahimahullah menjelaskan tentang tambahan-tambahan riwayat tersebut dengan menukil perkataan para ulama, bahwa di dalamnya terdapat penekanan supaya seseorang bersungguh-sungguh untuk bersikap jujur. Maksudnya, berniat sungguh-sungguh dan benar-benar memperhatikan kejujuran. Sebaliknya harus berhati-hati jangan sampai dusta dan jangan sampai mudah berdusta. Sebab apabila seseorang mudah berdusta, maka ia akan banyak berdusta dan akhirnya dikenal sebagai orang yang suka berdusta. Jika seseorang terbiasa bersikap jujur, maka Allâh Azza wa Jalla akan menetapkannya sebagai orang yang benar-benar jujur. Sedangkan apabila seseorang terbiasa dusta, maka Allâh Subhanahu wa Ta’ala akan menetapkannya menjadi orang yang dikenal pendusta.[4]
Dusta adalah perbuatan terlarang dan haram, bahkan bisa menjauhkan keimanan. al-Hâfizh Ibnu Hajar al-‘Asqalâni rahimahullah membawakan riwayat al-Baihaqi yang menurut beliau sanadnya shahih, dari Abu Bakar ash-Shiddîq Radhiyallahu anhu , beliau (Abu Bakar) berkata :
al-Hâfizh Ibnu Hajar al-Asqalâni rahimahullah kemudian menjelaskan, “Hadits Abu Hurairah Radhiyallahu anhu tentang tanda-tanda orang munafik yang dimaksud di sini mencakup perbuatan dusta, baik dengan kata-kata maupun dengan perbuatan. Tanda pertama, dusta dalam perkataannya; Tanda kedua, dusta dalam amanahnya; Tanda ketiga, dusta dalam janjinya. Berikutnya Imam Bukhâri mengetengahkan hadits tentang jenis ancaman hukum di akhirat bagi para pendusta, yaitu mulutnya akan disobek sampai ke telinga, karena mulutnya itulah yang menjadi lahan kema’siatannya.[6]
Imam Bukhari rahimahullah dalam masalah ini membawakan tiga hadits berturut-turut :
Dengan demikian menjadi jelas, buah kejujuran adalah kebaikan dan surga. Sedangkan akibat kedustaan dan penipuan adalah petaka dan neraka. Dusta juga merupakan kezhaliman kepada diri sendiri, di samping juga kezhaliman terhadap orang lain. Sementara zhalim kepada orang lain juga terlarang.
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits qudsi bersabda, meriwayatkan firman Allâh Azza wa Jalla :
Maksudnya, Allâh Subhanahu wa Ta’ala telah mengharamkan perbuatan zalim bagi para hambaNya. Allâh Subhanahu wa Ta’ala melarang mereka saling menzhalimi. Maka haram bagi seseorang untuk berlaku zhalim kepada orang lain.[10]
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga mengingatkan dengan sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
Prilaku zhalim itu akan berakibat kegelapan (bagi pelakunya) pada hari kiamat. [HR. Bukhari dan Muslim][11].
Kezhaliman kepada orang lain dapat berbentuk pelanggaran terhadap hak orang lain, baik pelanggaran hak darah, fisik, harta benda maupun harga diri. Karena itu Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda pada hari haji wada’:
Sesungguhnya (saling menumpahkan) darah di antara kalian, (saling melanggar hak) harta di antara kalian dan (saling melanggar) kehormatan di antara kalian, adalah haram terjadi di antara kalian, sebagaimana haramnya hari kalian ini, di bulan kalian ini dan di negeri kalian ini.[HR. Bukhâri dan Muslim] [12].
Seseorang harus terbebas dari perbuatan zalim agar hidupnya selamat di akhirat kelak. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
Barangsiapa yang memilki dosa kezaliman pada saudaranya, baik berkenaan dengan kehormatan dirinya atau sesuatu yang lain, maka hendaknya ia berusaha melepaskannya hari ini, sebelum datangnya hari dimana tidak ada lagi uang dinar dan uang dirham (yaitu hari kiamat). (Jika pada hari kiamat nanti kezaliman belum terlepas,) maka apabila ia memiliki amal shaleh, amal shalehnya akan diambil (diberikan kepada saudaranya) sesuai dengan kezaliman yang dilakukannya, dan apabila ia tidak memiliki kebaikan, maka keburukan saudaranya akan diambil dan dipikulkan kepadanya. [HR. Bukhari] [13]
al-Hâfizh Ibnu Hajar al-Asqalâni rahimahullah menerangkan, kezhaliman seseorang kepada saudaranya bisa berkait dengan kehormatan diri atau persoalan lain, termasuk kezhaliman dalam masalah harta benda orang lain dengan segala bentuknya. Begitu juga kezaliman yang berupa mencederai, meskipun hanya berbentuk tamparan dan sebagainya.[14]
Perbuatan dusta menyangkut lahan yang sangat luas. Penipuan-penipuan menyangkut pekerjaan, harta benda, perdagangan dan lain sebagainya adalah pelanggaran terhadap hak orang lain. Karena itu seharusnya setiap Muslim berusaha sungguh-sungguh menghindari dusta, sebagaimana ditekankan dalam hadits-hadits di atas.
Demikianlah, seharusnya kepribadian asli seorang Muslim adalah pribadai yang adil dan jujur. Sedangkan dusta dan khianat bukan sifat seorang Mu’min. Ibnu Hajar rahimahullah membawakan hadits riwayat al-Bazzâr, dari Sa’ad bin Abi Waqqâsh Radhiyallahu anhu yang dimarfu’kan kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
يُطْبَعُ الْمُؤْمِنُ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ إِلاَّ الْخِيَانَة وَالْكَذِب.
Seorang mu’min dapat terbentuk wataknya berdasarkan watak apa saja kecuali khianat dan dusta.[15]
Artinya, seorang mu’min bisa terbentuk wataknya menjadi berwatak apa saja selain khianat dan dusta.
Kesimpulannya, hadits-hadits di atas menjelaskan kewajiban berlaku jujur dan menjelaskan tentang keharaman prilaku dusta.
Namun, pada kenyataannya, mengapa seringkali terjadi ketidakjujuran, penipuan dan penggelapan ? Bahkan hampir disegala lapisan masyarakat dan banyak dilakukan oleh orang yang secara formal tercatat sebagai Muslim ?
Akibat dari semua itu antara lain korupsi. Ternyata korupsi bukan hanya dapat dilakukan oleh orang-orang besar yang memiliki peluang-peluang besar serta memiliki kekuasaan besar. Tetapi juga dapat dilakukan oleh segala lapisan umat dengan kemungkinan serta peluang sekecil apapun. Pedagang buah bisa melakukan korupsi dengan menipu timbangan, pedagang kain bisa melakukan korupsi melalui penipuan tentang ukuran kain, pesuruh kecil di kantor-kantor bisa melakukan perbuatan korupsi dengan tidak mengembalikan uang belanja yang seharusnya, pegawai dengan mengelabuhi nota atau kwitansi sementara toko atau perusahaan tempat belanja justeru mendukung terjadinya pembuatan kwitansi palsu. Pelajar dan mahasiswa juga dapat melakukan tindakan korupsi ketika menjadi pengurus keuangan dengan membuat laporan-laporan palsu atau fiktif, betapapun kecilnya, atau ketika melakukan penipuan dengan kebiasaan nyontek pada saat ujian.
Lembaga-lembaga pendidikanpun dapat melakukan tindak penipuan atau korupsi melalui rekayasa laporan-laporan keuangan, atau upaya-upaya tidak jujur lainnya. Jika terjadi demikian pada lembaga-lembaga pendidikan yang nota bene merupakan lembaga kaderisasi manusia dan pemimpin masa depan, maka kelak akan lahir manusia-manusia yang terdidik tidak jujur, menjadi penipu terpelajar, koruptor dan lain sebagainya.
Oleh karena itu, apabila sebuah bangsa ingin menjadi bangsa besar, berwibawa dan disegani, maka bangsa itu harus berani membangun dirinya berdasarkan asas kejujuran dan harus berani meninggalkan sifat dusta, betapapun beratnya.
Taqwa kepada Allâh Subhanahu wa Ta’ala dan takut akan ancaman siksaNya di akhirat, akan dapat mendorong seseorang untuk selalu bersikap jujur dan menjauhi sikap dusta. Jika taqwa dan rasa takut kepada Allâh Azza wa Jalla telah tertanam dalam jiwa dan telah terbentuk, berarti telah terbentuk pula pengawasan melekat pada tiap-tiap individu Muslim. Dengan demikian segalanya akan berjalan rancak insya Allâh. Biaya untuk membuat team-team pengawas yang harus di awasi lagi oleh team lain, dan yang lain harus diawasi lagi oleh yang lainnya lagi, akan dapat ditekan dan dapat dipergunakan untuk kepentingan lainnya, misalnya peningkatan kesejahteraan fakir miskin dan fasilitas-fasilitas pembangunan umat kearah yang lebih baik lagi. Wallâhu Waliyyut Taufîq.
Maraji’
Footnotes